I. Pendahuluan
Salah satu kebiasaan atau tradisi orang Melayu, khususnya orang Minangkabauyang masih tampak lekat begitu kuat adalah; tidak mau berterus terang. Terutama dalamdalam berbicara. Tidak berterus terang merupakan adab dan nilai tersendiri. Menurut etika atau tata nilai, mereka yang bicara terus terang adalah anak-anak yang belum mengerti dengan bahasa kiasan, lambang-lambang atau simbol-simbol, hanya baru tahu memakaibahasa untuk berkata-kata saja, belum sampai pada taraf seni bahasa, adab bahasa dansopan santun. Orang yang bicara terus terang dianggap tidak beradat, tidak bertamaddun.Dalam kaba Cindua Mato, Bundo Kanduang raja Minangkabau memarahiDang Tuanku dan Cindua Mato ketika kedua anak muda itu bicara terus terang didalam sebuah majelis para Basa Ampek Balai. Walaupun Dang Tuanku adalahputranya sendiri, mereka diusir dari persidangan dan menyuruh pergi bermain layang-layang.Dalam pepatah petitih juga ditemukan ajaran untuk tidak harus berterus terang sebagai berikut:Sungguhpun harimau dalam paruikKambiang juo nan musti dikaluakanSungguhpun harimau dalam perutKambing juga yang mesti di keluarkanDi kandang kambiang mambebekDi kandang kabau malanguahDi kandang kambiang mambebekDi kandang kerbau melenguhAngguk anggak geleang namuahAngguk tidak, geleng mauOrang Minangkabau lebih suka menyampaikan sesuatu dengan beribarat, bermisal-misal,sindir-menyindir, mempergunakan lambang-lambang atau simbol-simbol, dalam bentukpantun atau pepatah petitih, atau secara sambil lalu dalam kelakar dan senda gurau.
Menegur tingkah laku atau perbuatan seseorang yang tidak sejalan dengan etika dan normanorma yang berlaku, tidaklah mereka lakukan secara terus terang. Berterus terang dapat pula menimbulkan akibat samping yang tidak menguntungkan, bahkan dapat menjadikan sebuah pergaulan retak, renggang atau putus.Bila seseorang menyuruh mengambilkan sesuatu untuk kepentingan pribadiatau untuk kepentingan siapapun, selalu mengawali kalimat perintah dengan kata tolong. “Tolong ambilkan kopiah ayah.” Walaupun yang diperintahinya anak atau istrinya sendiri.Melalui jenaka pihak yang menegur tidak dibenci oleh pihak yang ditegur, dan pihak yang ditegur tidak merasa tersinggung. Dapat dikatakan, berjenaka adalah salah satu cara sehat untuk menghindari akibat-akibat buruk dari berterus terang. Sebagaimana yang mereka patrikan dalam pepatah; awak mandapek, urang indak kahilangan artinya, tujuan kita tercapai tetapi orang lain tidak merasa dirugikan.Seorang perempuan kebetulan berwajah kurang cantik misalnya, tidaklahmereka katakan wajah perempuan itu jelek atau buruk, tapi dikatakan dengan jenaka; Manihnyo lari ka dalam. Manisnya lari ke dalam.Seorang suami selalu berusaha untuk tidak menyinggung perasaan istrinya.Walaupun gulai yang dibuat isterinya terlalu banyak garam, si suami akanmengatakan dengan jenaka; Lamak lo masin-masinnyo gulai ko. Enak pula masinmasinnya gulai ini.Menasehati seseorang agar bersabar mendengar orang lain bicara keras,marah, tak keruan atau terus terang kepadanya, nasehat itu disampaikan dengan jenaka: “Urang nan indak buliah didanga keceknyo ado ampek; partamo urangjago lalok. Kaduo, urang kamatian bini. Katigo, urang kayo jatuah bansaik.kaampek, urang bapangkek tenggi baru pansiun.” (Orang yang tidak perlu didengarbicaranya ada empat; pertama, orang baru bangun tidur. Kedua, orang yangkematian istri. Ketiga, orang kaya jatuh miskin. Keempat, orang berpangkat tinggibaru pensiun.)Oleh karena itu, jenaka, kejenakaan, berjenaka menjadi salah satu bagian yang pentingdalam kehidupan mereka. Merupakan pintu keluar menghindari keterusterangan.II. Bentuk-bentuk jenakaDalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau terdapat tiga macam bentukjenaka;31. Kucindan - senda gurau dalam bertegur sapa (Irfan Darwis,1980). Di dalam pepatahpetitihnya,salah satu unsur dari seorang perempuan yang baik itu disebutkan; muluik manihkucindan murah (mulut manis kecindan murah). Dalam bertegur sapa dia menyelitkangurauan yang baik, yang membuat orang senang atau tersenyum. Dia bukan berjenaka, atausengaja melakukan sesuatu yang jenaka, tetapi kata-kata yang diucapkannya dapatmenimbulkan sedikit gurauan.Kucindan dalam dialog sehari-hari;- Lah bara urang anaknyo? (Sudah berapa orang anaknya?)+ Baru anak lidah (Baru anak lidah), artinya belum punya anak seorangpun.- Apo anaknyo? (Apa anaknya)+ Kundua (Kundur) maksudnya gemuk, bersih dan sehat seperti buah kundur(Navis, 1986)2. Garah - senda gurau untuk bersuka ria dan tertawa bersama. Bagarah artinya bersendagurau atau berjenaka. Senda gurau dalam bentuk garah ini sangat lazim dipakai. Seseorangyang suka bersenda gurau disebut pagarah, dan setiap orang suka kepadanya. Orang yangtak pandai bagarah dianggap sebagai orang yang kaku, sombong dan pemarah.Namun kata bagarah tidak pula dapat diartikan bermain-main, atau tidak serius.Bagarah itu adalah cara untuk menyampaikan sesuatu yang serius dengan tidak serius.Akan tetapi kata dipagarahkan tidak dapat diartikan dipersendaguraukan ataudiperjenakakan, karena arti kata dipagarahkan sama artinya diperolok-olokkan, dipermainmainkan,dipersendokan.Orang yang lebih tua atau yang dihormati tidak boleh dipagarahkan, apalagi kalauseorang gila yang memegang lading/parang. “Urang gilo baladiang jaan dipagarahkan”artinya, orang gila yang sedang memegang parang jangan dipermain-mainkan. Maknasesungguhnya adalah; orang yang sedang memegang kekuasaan jangan dilawan.a. Garah dalam bentuk pantun:Tanah like bakupiekDitimpo tanah badaraiNan alun diliek lah diliekKuciang jo mancik samo bakasai.Tanah liat berkepiatDitimpa tanah berderaiYang belum dilihat sudah dilihatKucing dan tikus sama berkasai4(A.A.Navis, 1986)b. Garah dalam bentuk pemeo:Bak sibisu barasian, taraso lai takatokan indak.Seperti si bisu bermimpi, terasa ada terkatakan tidakBak si kompoang dapek cincin.Seperti si buntung dapat cincin. Gembira tapi tak tahu di mana harus dipakai karenadia tidak punya jari.c. Garah dalam bentuk teka-teki:Sikicak sikicam si rio-rio kandiNan masak nan masam, nan mudo nan manihSikacak sikicam si rio-rio kandiYang masak yang masam, yang muda yang manis(Harmsen, 1876)Lantai ditembak, iduang nan kanai.Lantai ditembak, hidung yang kenad. Garah dalam bentuk penceritaan:Seorang ibu menstop sebuah oplet berisi para pemburu dengan anjingnya. Setelahoplet berhenti, si ibu tak jadi naik. Sopirnya bertanya, kenapa tak jadi naik. Jawab siibu bagarah:+ Isinyo sadonyo anjiang. (Isinya semuanya anjing)Seorang bapak turun dari bus. Kneknya menanyakan di mana diletakkan barangbawaan si bapak, di atas atap bus atau di ditempat barang di bawah, padahal bapakitu tidak membawa apapun dan penumpang lain tahu akan hal itu.- Di ma barang apak? (Di mana barang bapak?)+ Barang den di bawah (Barang saya di bawah)Semua penumpang tertawa, karena “barang” dimaksudkan bapak yang jenaka ituadalah memang satu-satunya milik pribadi yang paling berharga.3. Cimeeh (cemooh) - senda gurau yang digunakan untuk mengeritik sesuatu atau menegurtingkah laku seseorang yang tidak pantas secara tidak langsung. Cimeeh atau cemooh dapatdikatakan sebagai manifestasi dari daya kritis masyarakat Minangkabau yang diungkapkandengan jenaka.a. Cimeeh dalam bentuk pantunKuciang balang baranak balangBagolek-golek diateh niruUrang gaek mancilok lamangLuko bibienyo dek sambilu.5Kucing belang beranak belangBergolek-golek di atas niruUrang tua mencuri lemangLuka bibirnya kena sembilub. Cimeeh dalam bentuk pemeoTabali lado pagiTerbeli lada pagi(seorang yang terburu-buru membeli sesuatu yang ternyata sorenya harga barang itujadi murah)Pulang pai babasah-basahPulang pergi berbasah-basah(ke mana-mana selalu berhutang)Sudah cakak takana silekSelesai berkelahi baru teringat silat(Maksud sesungguhnya; orang yang tidak siap menerima keadaan yang tiba-tiba)c. Cimeeh dalam dialog sehari-hari+ Baa inyo kini? Bagaimana dia sekarang?- Maambuih nasi dingin. Meniup nasi dingin. (sakit sesak nafas )+ Baa kok indak banyak bana kecek nyo kini?Kenapa sekarang dia tidak banyak mulut?- Dilapua ayam batino.Diterjang ayam betina.. (takut pada istri).Dalam pembicaraan ini saya memakai kata jenakauntuk ketiga macam jenaka diatas, guna memusatkan perhatian pada beberapa aspek kejenakaannya. Masih ada kata lainyang dapat dipadankan dengan kata jenaka, yaitu lucu atau lawak. Namun kedua kata. itutidaklah merupakan kosa kata Minangkabau. Kedua kata itu dikenal kemudian karenapengayaan bahasa yang terus berlangsung dalam bahasa Indonesia. Selain kata garah adakosa kata Minang lain yang hampir sama artinya; gurau. Tetapi kata gurau lebih kepadapercandaan, berolok-olok. Sebuah acara orang-orang muda berbalas pantun diiringi tiupansaluang dengan berbagai selingan pantun-pantun jenaka, disebut pula bagurau, dan tidaktepat kalau disebut bagarah.III. Tema-tema jenaka6Jenaka atau sesuatu perbuatan atau perkataan yang dapat menimbulkan orang lainmerasa geli, tersenyum atau tertawa, mempunyai batas-batas tertentu. Bagi orangMinangkabau, tidak semua yang dapat membuat orang tertawa dapat dimasukkan dalam kategori jenaka. Orang yang tertawa karena melihat seseorang membuat kesalahan atau kekeliruan, bukanlah sesuatu yang jenaka. Itu namanya menghina, mentertawakankesalahan orang lain. Orang yang memperlihatkan kebodohannya, lalu orang lain tertawa melihat kebodohan itu bukanlah jenaka. Begitu juga, orang yang mentertawakan dirinya sendiri, walau tampak jenaka, bukan sesuatu yang jenaka. Orang yang suka tertawa sendiri,mungkin sekali orang itu, orang gila. Orang gila tidak untuk ditertawakan.Sebuah peristiwa jenaka terjadi apabila ada hubungan timbal balik antara si pejenaka dengan pendengarnya, adanya rapport, baik sendiri maupun sebuah kumpulan.Sebuah peristiwa jenaka tidak dapat disebut jenaka apabila sipejenaka saja yang merasa jenaka, sedang pendengarnya tidak merasakannya sebagai sesuatu yang jenaka.Tetapi dapat pula terjadi sebaliknya, sipejanaka tidak merasa berjenaka, tetapi pendengaratau penontonnya menganggapnya sebagai sebuah peristiwa jenaka.Hal ini dapat dilihat pada beberapa acara yang sering ditayangkan televisi hasil rekamancamera tersembunyi atau hidden camera.Hubungan timbal balik antara sipejenakan dengan orang lain yang terlibat dalamperistiwa jenaka itu dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain; adanya pengertian yangsama terhadap kata, ungkapan atau idiom-idiom yang sama, dialek yang sama-samadipahami, citarasa yang sama, simbol-simbol yang sama, dan juga cara berpikir yang samaserta tingkah laku yang dapat dipahami bersama.Sebuah peristiwa jenaka sangat terikat dengan situasi dan kondisi-kondisilingkungan. Oleh karena itu, sesuatu yang dianggap jenaka oleh masyarakat Minangkabau,belum tentu jenaka juga bagi komunitas sosial yang lain.Barangkali, itulah pula sebabnya, kenapa sebuah jenaka sulit untuk menjadi milik seluruhkaum atau etnik. Banyak pertunjukan jenaka baik di televisi atau di pentas-pentas khususyang mempertunjukkan jenaka sering menghasilkan sesuatu yang tak terduga.Pejenaka yang sukses di Jakarta, sesampainya di Medan gagal.Jenaka Minangkabau sering tak membuat orang Melayu Malaysia merasa jenaka, begitupunsebaliknya.7Orang Minang tersenyum jenaka ketika melihat tulisan pada sebuah kedai di Kualalumpur;Di sini pokok untuk dijual.Bagi orang Minang menjual pokok sama artinya menjual modal atau bangkrut.Orang Malaysia merasa jenaka bila mendengar orang Minang selalu berkata dengan serius;pokoknya yang bermaksud “pada dasarnya”. Karena pokok bagi orang Melayu Malaysiadapat menghasilkan buah dan boleh ditebang.Duduk dalam bandar bagi orang Melayu suatu kebanggaan, tapi orang Minang tidak maududuk dalam bandar karena dapat membuat celananya basah sampai ke dalam.Namun begitu, jenaka dari suatu etnik dapat saja sama dengan jenaka pada etniklain. Hal disebabkan oleh; rasa bahasa yang sama, tema yang sama, persoalan yang sama.Banyak jenaka Melayu yang sama dengan jenaka Minang, jenaka Minang sama denganjenaka Jawa misalnya. Karena banyak kesamaan, timbul kesulitan mencari sumber asal darimana sebuah jenaka bermula. Hal yang sama juga berlaku pada mencari asal-usul ceritaceritarakyat. Misalnya, ada kaba Malin Deman di Minangkabau, ada pula cerita MalimDeman di Malaysia, atau Jaka Tarub di Jawa. Kaba Anggun Nan Tongga di Minangkabau,Hikayat Anggun Cik Tungga di Malaysia. Malin Kudang di Minangkabau, Sampuraga diTapanuli, Si Tenggang di Malaysia dan lainnya.1. Fungsi JenakaBerbagai macam, corak, gaya dan tema jenaka yang beredar dan hidup dalamhampir semua lapisan masyakarat Minangkabau, semuanya ditujukan untuk berbagaikeperluan. Jenaka mempunyai banyak kegunaan dan fungsi. Secara sepintas, orangberjenaka atau kejenakaan tampak tidak begitu penting, tetapi dalam hal-hal tertentu jenakadapat mengganti nasehat-nasehat yang biasanya disampaikan para penghulu atau ulamasecara formal di balai-balai adat, di persidangan adat maupun di mimbar-mimbar masjid.Jenaka memang tidak mutlak dapat sebagai pengganti nasehat, tetapi nasehat dapatdiberikan secara jenaka. Beberapa fungsi jenaka, antara lain;1. Untuk menghibur diri, pelipur lara atau bersuka-suka.Mereka yang telah bekerja seharian baik di ladang maupun di sawah, biasanyaberistirahat di lapau atau kedai-kedai kopi.Rumah bagi masyarakat Minang bukan tempat istirahat, hanya untuk tempat tidur.Apalagi kalau rumah itu rumah gadang dengan konstelasi sistem kekerabatan matrilineal,tidak memungkinkan rumah bagi lelaki, apakah dia sebagai mamak apalagi semenda untukmenjadikannya untuk tempat istirahat.8Lepau, surau, masjid adalah tempat mereka istirahat sebelum pulang ke rumah.Di lepau-lepau itu mereka berjumpa kawan-kawannya, orang sekampung lainnya, tempatmereka bercanda, berjenaka. Karena itu peranan lapau atau kedai kopi sangat penting dalammasyarakat Minangkabau. Lepau tak dibuat berdasarkan perhitungan ekonomi, jual beli danperdagangan semata, tetapi sebagai pusat informasi, sarana adu pendapat, tempat berjenaka,baik dalam bentuk pembicaraan-pembicaraan spontan maupun dalam pantun-pantun.Itulah sebabnya, setiap laki-laki Minang, mulai saja dia remaja dan bahkan sampai tua,lepau bagi mereka adalah terminal. Lelaki Minang yang tidak pernah ke lepau, dia tidakakan berjumpa dengan orang berjenaka atau bersilat lidah.Dalam bentuk penceritaanKetika Columbus mendarat di pantai Amerika, dua orang Pariaman yang telah lebihdulu datang ke sana, terkejut dan segera memanggil temannya yang sedangmemancing.“Mek siko!” Mek kemari! (ada orang datang, dia terpaksa memanggil temannyaitu).Columbus mendengar panggilan itu dan langsung menamakannya Meksiko.(Dari Zatako, wartawan/penyair)Dalam bentuk pantun:Antah modang antah tapaiBapuluik-puluik kuahnyoAntah lamang antah tapaiJangguik lah kuyuik dek kuahnyoEntah madang entah tapaiBerpulut-pulut kuahnyaEntah lemang entah tapaiJenggot lah kuyup kena kuahnyaAnak urang di Kampuang BaruahNak lalu ka Aie AngekMandanga durian jatuahMalonjak-lonjak lamang angekAnak orang di Kampung BaruhHendak lalu ke Aie AngekMendengar durian jatuhMelonjak-lonjak lemang panas(Edwar Djamaris, 1980)2. Untuk mengiringi tari-tarian.9Tarian tradisi Minang, selain diiringi oleh musik, juga diiringi dengan nyanyian,seperti Tari Tupai Janjang dan Tari Buai-buai. Tarian-tarian ini ditarikan oleh lelaki sajadan penontonnya duduk melingkar bernyanyi bersama. Pantun-pantun yang merekanyanyikan mengandung jenaka. Jadinya, mereka menonton sambil menyanyi dan tertawagembira.Nyanyian pengiring Tari Tupai Janjang:Kok berang ayah ka denaiDi hukum pancuang den lai namuahPancuanglah sabatang tabu junjuangDi hukum gantuang buliah juoGantuangkan ka tandan pisang masakDi hukum banam den namuah juoBanam ka dalam pariuak barisi kolakHukuman buang lai buliah juoBuang ka puncak kue boluHukuman tembak den namuah juoTembaklah jo mariam lamang sabatangBapiluru ondeh-ondehJika marah ayah pada sayaD hukum pancung sama mauPancunglah sebatang tebu junjungDihukum gantung boleh jugaGantungkan ke tandan pisang masakDihukum benam saya mau jugaBenamkan ke dalam periuk barisi kolakHukuman tembak saya mau jugaTembaklah dengan meriam lemang sebatangBelurunya onde-onde(Arby Samah 1983)3. Untuk menegur, mengeritik sesuatu yang kurang baik atau yang tidak disukai.Berbagai persoalan yang kurang baik atau yang tidak sesuai dengan apa yangmereka inginkan selalu mereka ungkapkan dengan pecandaan.Pada suatu ketika orang Minang dipaksa memilih partai tertentu dalam suatu pemilihanumum. Mereka tidak suka dipaksa, tetapi mereka tidak mau berterus terang mengemukakankeberatannya. Mungkin karena takut atau karena ditekan sedemikian rupa.Lalu, mereka membuat percandaan yang membuat seorang pegawai tinggi pemerintahmerah muka, karena tidak ada alasan untuk marah kepada mereka yang bercanda.10Setelah seorang Bupati (Kepala Daerah) bicara penuh semangat kepada orang-orangyang duduk di lepau tentang kebaikan sebuah partai dan sepantasnya partai itulahyang harus dipilih dan dimenangkan, sedangkan partai-partai lain tidak perludipilih, seorang tua yang menyimak saja sejak tadi bertanya.“Pak Bupati. Haruskah kami bertepuk tangan, kalau kuda yang berpancu itu hanyaseekor?”Kritik terhadap perubahan kelakuan seseorang dalam bentuk teka-teki.+ Kenapa laki-laki Minang suka berkelahi dan berteriak-teriak sewaktu menontonpertendingan bola kaki?- Karena di rumahnya dia tidak berani berkelahi dan berteriak-teriak di depanistrinya.3. Untuk memperluas wawasan dan mempertajam pikiran.Memperluas wawasan dan mempertajam pikiran dapat juga dilakukan denganjenaka dan sambil bersenda gurau. Biasanya hal ini sering di lakukan di surau-surau,sesama mereka yang sedang belajar mengaji, dalam bentuk pantun dan teka-teki.Dalam bentuk pantun teka-teki:Biduak kaia mambao sapekSapek dijua nak rang SolokMakan dilauik muntah didarekKok tahu cubolah takok.Biduk kail membawa sepatSepat dijual orang SolokMakan di laut muntah di daratKalau tahu cobalah terka.(A.A.Navis, 1986)Dalam bentuk teka-tekiSeorang anak bertanya kepada serombongan burung yang terbang di atasnya.“Banyak sekali kamu,” seru anak itu. Lalu burung itu menjawab. “Belum. Kalauditambah sebanyak ini lagi, ditambah pula sebanyak ini lagi dan ditambah denganseorang ibu kami, baru jumlah seratus”.Berapa jumlah burung dalam rombongan itu?Dalam bentuk dialek, penekanan suku kata+ Bara kaki kuciang balang tigo?Berapa kaki kucing belang tiga?- Ampek.Empat+ Kaki kuciang balang, tigo?11Kaki kucing belang, tiga?- Duo baleh- Dua belasMasyarakat Minangkabau, atau mungkin sekali masyarakat pada umumnya ataumanusia secara keseluruhannya, di manapun juga, selalu mencari saluran atau ventilasiuntuk melepaskan tekanan-tekanan batin yang dialami.Tekanan-tekanan tersebut mungkin berupa kondisi-kondisi sosial ekonomi dan kondisisosial politik yang kacau balau, atau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tidaklangsung dapat membuat mereka tertekan, takut, marah, mual, benci dan segala perasaanlainnya. Menurut sesetengah pakar sosio-linguistik, jenaka banyak muncul di negara-negaraotoriter. Semakin kuat tekanan pemerintahan, semakin banyak jenaka muncul.Rusia paling banyak mengeluarkan jenaka. Salah satu buku yang terbit di Indonesiabertajuk Mati Ketawa Cara Rusia merupakan jenaka-jenaka terjemahan yang laris dipasaran.Ketika orang Minangkabau dijajah Belanda, kebencian pada penjajah itudiungkapkan dengan jenaka melalui petuah, teka-teki, dan pantun-pantunPetuahOrang yang bermata biru tidak dapat dipercaya.(Umar Junus, 1997)Teka-tekiPertanyaan; Ula nan paliang gadang. (Ular yang paling besar).Jawabnya: Ulando (Belanda).Pertanyaan: Kuman nan paliang jahek (Kuman yang paling jahat),Jawabnya; Kumandua. (Engku Mandor, pegawai Belanda)(R.Chadwijk: Vernicular…. Buku di rumah)Ketika semangat kemerdekaan sedang membakar dada orang Minang, timbul jenakadalam bentuk teka-teki yang lain;Pertanyaan: Bom jatuah bandera tagak.Bom jatuh bendera tegakJawabnya: Kakabu tacirik.Kerbau berakPantun12Sajak pabirik di IndaruangLori bajalan ateh kawek.Sajak paningga mande kanduangNasi dimintak sumpah nan dapek.Sejak pabrik di IndarungLori berjalan di atas kawatSejak meninggal ibu kandungNasi dimintak sumpah yang dapatBegitu juga ketika rezim Orde Baru begitu kuatnya berkuasa. Banyak lahir jenakaberupa baik jenaka yang bertema politik maupun kritik terhadap tokoh-tokoh politiktertentu.Jenaka yang berisi kritik.Beberapa mahasiswa Akademi Ilmu Al-Quran yang telah hafal Al-Qurandiperkenalkan kepada menteri agama.+ Bapak Menteri. Inilah mahasiswa kita yang sudah hafal Al-Quran sebanyak 30juz.- Bagus. Juz-juz yang lain bila?(Dari D.Zawawi Imron, penyair dan ulama)Ketika larangan berkumpul dan penangkapan-penangkapan terjadi di Indonesia,orang-orang berjenaka dengan teka-teki.Pertanyaan: Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang,manusia mati meninggalkan nama. Cacing mati?Jawabannya: Meninggalkan kawan-kawan seperjuangan.Ketika kekuasaan pemerintah begitu kuat dan sampai mendominasi pengertian kata.Pergantian kata pelacur menjadi tunasusila, gelandangan menjadi tunawisma, orang pekakmenjadi tunarunggu. Kata bekas diganti menjadi mantan. Orang lalu membuat teka-tekijenaka:Pertanyaan: Bekas sungai?Jawabannya: Kalimantan.3. Tema-tema jenakaTema jenaka Minangkabau banyak sekali. Tema itu selalu berubah-ubah danberkembang menurut perkembangan zamannya, sesuai dengan apa yang dialami atau apayang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tema-tema yang banyak itu terdiri daribeberapa persoalan/ masalah;a. Masalah sosial-politik.13Persoalan-persoalan politik yang terjadi sangat menarik bagi orang Minang untukmendiskusikannya, mengeritik dan sekaligus mencemoohkan bila persoalan itu dianggaptidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kecenderungan mereka berpolitik melebihikecenderungan untuk bekerja keras. Boleh jadi mereka bukanlah orang politik, tetapi sangatsuka bicara politik.Pergantian pemimpin negara, pemimpin adat, pemimpin kaum dan berbagaipersoalan lainnya, bila menurut penilaian mereka pergantian itu tidak menimbulkanperubahan, atau tidak menunjukan perbaikan-perbaikan yang berarti, akan merekacemoohkan dengan mengatakan:Batuka baruak jo cigak.Bertukar beruk dengan cigak. (Beruk dan cigak itu sama jenis binatangnya, kera.)Bila ada persoalan-persoalan yang tidak kunjung dapat diselesaikan walau sudahdiusahakan bertahun-tahun mereka cemoohkan dengan mengatakan:Saroman maeto kain saruang.Seperti menghasta (mengukur) kain sarung. (Tidak akan pernah selesai-selesainya).Rapat-rapat yang sering diadakan tetapi tidak pernah menghasilkan apa-apa, merekacemoohkan dengan mengatakan:Rapek karo. Kalau hari ujan, karo rapek. Kalau ujan lah taduah bahamburan kailie ka mudiak.Rapat kera. Kalau hari hujan, kera-kera rapat. Kalau hujan teduh, berlompatan kehilir ke mudik.b. Masalah sosial-ekonomi.Ketertarikan mereka pada masalah-masalah ekonomi sama dengan ketertarikannyadengan masalah politik. Oleh karena dalam masalah ekonomi mereka terlibat langsungsecara aktif, dan juga menyangkut mata pencaharian mereka, jenaka mereka langsungkepada objek, atau langsung kepada masalah yang mereka hadapi.Bia kapalo bakubang asa tanduak lai makan.Biar kepala berlumpur asalkan tanduk mengenai sasaran.dalam dialog seperti berikut:+ Mak, abak lah pulang. (Mak, ayah sudah pulang)- Pulang bana abak, adiak waang juo nan kabatambah nyo(Pulang pun ayahmu, hanya adikmu juga yang akan bertambah)14Artinya, pulangpun suami kesulitan ekonomi keluarga tidak akan merubah, selain jumlahanak bertambah.1. Masalah adat dan budayaMasalah-masalah pelaksanaan adat dan perubahan yang terjadi dalam adat danbudaya, selalu menjadi objek jenaka, terutama untuk mengeritik tingkah laku, putusanputusanpara pemangku adat yang tidak sesuai, keliru, salah atau tidak tepat. Jenaka dengantema ini biasanya mereka lakukan dengan memakai pepatah-petitih atau pantun-pantun adatyang sudah baku, lalu mereka ganti kalimat atau kata-kata tertentu, sehingga menimbulkanjenaka namun sekaligus mengandung kritik.Nan kurik kundi, nan merah sagoNan baik budi, nan endah basoKemudian mereka ganti menjadi:Nan kurik kundi, nan merah sagoNan baik tivi, nan indah videoc. Masalah agamaMasalah-masalah keagamaan dan pelaksanaan-pelaksanaan ibadat yang tidaksempurna dijalankan juga menjadi tema dalam jenaka. Baik untuk kritik terhadap merekasendiri, maupun khatib, imam, bilal dan semua yang terlibat dalam kegiatan peribadatan.Biasanya, jenaka-jenaka yang bertema agama ini sering dilakukan dalam bentuk dialog disurau, masjid atau di kedai-kedai. Kadang-kadang jenaka mereka sangat menganggupemikiran dan bahkan juga sepertinya mempertanyakan sesuatu yang sudah pasti.Dalam garah sehari-hariRatusan orang meninggal tertimbun tanah longsor. Masyarakat daerah itu dikenalsebagai pengikut adat yang kuat, mengutamakan kata mufakat. Setelah semuanyameninggal, malaikat segera datang menanyakan setiap mayat sebagaimana yangdiajarkan di surau-surau.“Marrabuka?” tanya malaikat pada salah seorang mayat.“Tunggu dulu malaikat. Dek karano kami lai banyak, baiyo kami daulu baa nyo,”jawab seorang datuk.“Tunggu dulu malaikat. Oleh karena kami ada banyak, mufakat kami dulubagaimana?”15Dalam bentuk pemeo:Iduik baraka, mati barimanHidup berakal, mati beriman.d. Masalah seksMasalah-masalah seks adalah tema yang paling disukai tua muda dalam berjenaka,dan itupun tak dapat didustai siapapun. Tapi karena masalah seks tidak boleh dibicarakandalam seminar ini, maka saya hanya memberikan sebuah contoh saja dari jenaka sekssebagai bukti bahwa jenaka bertemakan seks memang ada dan hidup dalam masyarakatMinangkabau.Seorang tukang pedati singgah makan pada sebuah kedai nasi yang terkenal dengangulai otak, goreng udang, dendeng batokok dan ayam panggang. Penjaga kedai nasiitu tentulah seorang perempuan cantik pula.+ Ada otak?- Otak udang ya, pak?+ Saya tak mau otak udang. Dendeng?- Ditokok dulu ya pak?+ Saya tak mau ditokok. Ayam?- Bapak mau paha atau dada?+ Yang panas yang mana?- Ini pak. KomporIV. Penyampaian jenaka.Jenaka dalam masyarakat Minangkabau direpresentasikan atau disampaikan dalamberbagai cara; pertama, jenaka yang diucapkan dapat ditemukan dalam pembicaraan seharihari,spontan. Kedua, jenaka yang diperagakan atau dengan sengaja membuat sesuatumenjadi jenaka, dapat ditemukan di dalam berbagai pertunjukan kesenian seperti randai,indang, dan beberapa bentuk tarian yang diiringi nyanyian. Ketiga, jenaka yang dituliskandapat ditemukan pada pepatah, petitih, pantun, cerita rakyat yang telah ditulis.1. Jenaka yang diucapkan.Jenaka yang diucapkan paling kuat memberikan kesan kejenakaannya.Jenaka demikian paling banyak ditemukan adalah dalam pembicaraan sehari-hari. Jenakayang diucapkan secara langsung baik untuk menegur tingkah laku seseorang, untukmeluahkan berbagai perasaan maupun hanya untuk penglipur lara banyak dilakukan dilapau-lapau, di surau atau dalam perjalanan di atas bendi, kereta api, bus, atau kapal laut.16Seorang pemuda Minang belajar adat, dan datuknya membacakan tambo. Ketikabacaan datuknya sampai pada asal usul orang Minang dikatakan; “Ketika gunuangMarapi sagadang talue itik,” (Ketika gunung Merapi sebesar telur itik) si pemudalangsung mengembangkan imajinasinya sambil bicara sendiri; “Kalau sagadanggunuang marapi tu talua itiaknyo Tuak, bara gadang itiaknyo tu?”. (Kalau sebesargunung merapi itu telur itiknya Tuk, berapa besar itiknya?)Dalam bentuk pemeo:Lansia jakunnyo mancaliak padusi tu.Turun naik jakunnya melihat gadis itu.2. Jenaka yang dipertunjukanKejenakaan dalam suatu cerita rakyat baru muncul setelah dijadikan sebagai ceritauntuk pertunjukan randai. Dalam pertunjukan randai, banyak bagian-bagian dalam ceritakaba yang diselingi dengan jenaka, baik dalam bentuk gerakan maupun dalam dialogdialogspontan dan menurut dialek setempat di mana randai itu dipertunjukan.Contoh dialog jenaka di dalam randai:Seorang anak muda baru pulang dari rantau. Dia bicara sambil berdiri danbergoyang-goyang ke kiri ke kanan. Temannya heran kenapa si perantau inibergoyang-goyang demikian.+ Baa kok bagoyang-goyang bana waang mangecek?Kenapa kau bicara bergoyang-goyang seperti itu.- Baru pulang balaia. Taraso juo oleng kapa tu lai.Baru pulang berlayar. Masih terasa olengnya kapal.Datang seorang pemain lain yang lebih tua, mencemooh si pemuda.+ Alah yung! Waang baru balayie sabulan, mangecek lah bagoyang-goyang.Aden, bini den ampek, cucu lapan, indak panah aden mangecek baiko baiko doh(sambil menggoyang-goyang pinggulnya ke depan dan ke belakang)Alah yung. Kau baru berlayar sebulan, bicara sudah bergoyang-goyang. Aku,biniku empat, cucu delapan, tidak pernah aku bicara bicara begini-begini.Ada juga jenaka yang dilakukan pendendang-pendendang yang membuatpertunjukan di sudut-sudut pasar, seperti di muka Matahari Store di Padang, di bawahJanjang 40 puluah di Bukittinggi, di sudut-sudut kedai di berbagai restoran nasi Padangsepanjang jalan Lintas Sumatera. Si pendendang sengaja berpantun menyindir orang-orangyang mendengarkan untuk membuat suasana pertunjukan saluang dendang itu menjadisemakin meriah dan ramai pengunjung.17Sindiran kepada orang muda yang bercintaSajak denai gubalo itiakKa Bayang denai dakikanIndak den ka pulau lai.Sajak denai cinto ka adiakSumbayang denai hantikanIndak den ka surau lai.Sejak saya gembala itikKe Bayang denai dakikanIndak denai ke pulau lagiSejak denai cintakan adikSembahyang denai hentikanTidak denai ke surau lagi(Dikutip dari sebuah buku Prof. Hamka)Jenaka juga banyak sekali ditemukan dalam cerita-cerita Minang modern di dalamkaset yang sering diperdengarkan pada rumah-rumah makan dan pada kendaraan angkutanumum dan juga sebagai selingan-selingan lagu Minang yang dikaset dan VCD kan.Contoh jenaka pada selingan lagu Minang dalam VCD.Seorang Minang yang selalu memakai sepeda motor, sesampainya di Jakartamembeli sebuah sedan. Ketika lampu merah menyala pada trafic light, dia berhentisegera buka pintu dan kakinya diturunkan sebelah. Polisi datang bertanya.+ Baa kok baturunan kaki sabalah?Kenapa kakinya diturunkan sebelah?- Biaso naiak sepeda motor di kampuang, pakBiasa naik sepeda motor di kampung, pak.(Jenaka Ajo Aan)3. Jenaka yang dituliskan.Sesuatu yang jenaka biasanya dituliskan dalam bentuk pantun, petatah-petitih, kabaatau cerita rakyat. Petatah-petitih atau pantun yang berunsur kejenakaan itu, disebut sebagaipantun jenaka atau pantun suka. Namun pada mulanya semua jenaka itu diucapkan dalampercakapan sehari-hari. Jenaka di dalam kaba tidak begitu berhasil dapat dituliskan.Kisah-kisah dalam kaba Minangkabau umumnya mempunyai tema yang sama, yaituperantauan. Perjuangan yang dihadapi seorang lelaki Minang di luar kampungnya untukmencapai suatu cita-cita, yang kemudian berhasil dan kembali pulang.Kisah-kisah perjalanan demikian penuh dengan berbagai ragam dan variasi.18Setelah kaba itu dituliskan, unsur jenakanya menjadi hilang, namun indikasi kejenakaan itumasih tampak jelas, berupa nama-nama tokoh cerita sampingan dengan memberikan namanamayang tidak lazim dari nama-nama manusia biasa; Baruak Panjaguang, Datuak SalahCangkuang, Silangkaneh, Jilatang Gata, Datuk Palajang Bukik, Datuk Biawak Kasekdalam kaba Cindua Mato (Sy.St.Rajo Endah, 1985) atau Juki dan Gambuik pada kaba SitiBaheram, Palimo Parang Usai, Manih Talonsong, Puti Basusuak Intan dalam cerita randaiManih Talonsong.Dalam perkembangan berikutnya, jenaka Minangkabau juga ditemui dalamberbagai hasil karya sastra modern; novel, cerita pendek, naskah drama, juga dalam suratsuratkabar. Cerita bersambung Si Jibun jo Si Kiah setiap minggu diterbitkan oleh suratkabar Haluan Minggu, sekitar tahun 60an, kemudian rubrik Jilatang dalam surat kabarPadang Ekpres selama dua tahun, 2001-2002.Jenaka dalam rubrik Jilatang dalam surat kabar Padang Ekspres:DOTOR ANDUSMamak si Jila, Daraman namonyo, lah pulang dari Australia. Sabaleh tauninyo di sinan. Kini lah manatap di kampuang. Dek inyo urang dari rantau, inyodisuruah mambuek KTP. Pailah Daraman ka kantua Desa.Sampai di kantua, inyo disuruah duduk dek jurutulih. Duduak ma adok kajurutulih. Jurutulih madok ka masin tik. Sambia mantik jurutulih batanyo kaDaraman. Bak rupo polisi mananyo urang tatangkok maliang ayam.“Apak ka mambuek KTP?”“Iyo.”“Namo?”“Darman.”“Daraman. Gala?”“Sutan Mudo.”“Sagaek ko apak bagala sutan mudo?”“Iyo itu gala nan diagiah mamak ambo dulu.”“Gala sarjana bagai lai ado?”“Lai.”“A tu?”“Dotor.”“Dotor? Apak dotor? Bantuak apak se sarupo urang maidok sakik tujuahtaun! Kuruih. Kapalo colak sunguik bauban. Bajalan se tadi den caliak indak tagoklai doh. Tagak apak se alah oyoang. Kalau indak den suruah duduak tadi, mungkinalah tatilantang apak di lantai kantua den ko. Jaan bagarah juo apak jo den.”“Ambo serius. Ambo iyo dotor.”“Dotor ko banyak macamnyo pak. Dotor badah, dotor panyakik dalam, dotorsaraf, dotor tulang, dotor baranak. Apak dotor apo?”“Dotor bahaso.”19“Dotor bahaso? E yayai! Maa adoh dotor bahaso. Kecek apak bahaso koadoh pulo nan sakik?”“Iyo. Ambo dotor bahaso.”“Pak, ko den serius mangecek ka apak. Dotor bahaso tu namonyodotorandus. Kalau nan padusi namonyo dotoranda. Tamat IKIP. Baa apak ko?Paniang?”“Iyo bana. Ambo dotor. Sambilan tahun ambo jadi dosen di Australi. Galadotor ambo ko indak babali bagai doh. Sah. Ado ijazahnyo.”“Jaan batangka disiko, malu awak. Pak, kini den kecek an ka apak. Galaapak sabananyo dotorandus. Jaan dikicuah pulo den lai.”Darman maangguak-angguak surang. Jurutulih tu taruih mantik. Drs.Daraman Sutan Mudo, nan sabananyo DR. Darman St. Mudo.Jenaka dalam skrip drama:(Jalan Lurus, hal.42-43)LAKON : Saudara-saudara. Kata Bapak, di sini banyak perkebunan. Kebun kelapa,kebun cengkeh, kebun jeruk, kebun kopi, kebun .. apa ya. Sekarang masih ada?LELAKI V: Masih buLAKON: Kebun apa?LELAKI V: Kebun tuan.LAKON: Kebuntuan? Wah, saya bisa pusing kalau begini.(Jalan Lurus, hal 59-69)LELAKI V: Kami punya kera, pak ajudan.LAKON: Kera? Ya ya. Bapak suka sekali. Dulu pernah dibeli tapi lari lagi ke hutan.Kera? Yaya. Mana?LELAKI V: Jenis kera banyak di sini pak. Bapak mau kera apa?LAKON: Kera apa ya?LELAKI V: Kera Tuan? Kera Wanan? Kera Mahan? Kera Cunan? Atau KeraKusan.?*LELAKI V: Penyu bagaimana pak?LAKON: Yaya. Telurnya bermutu tinggiLELAKI V: Penyu yang mana pak? Penyu Sutan? Penyu Lingan? Atau Penyuapan?LAKON: Nah itu. Penyu Apan. Telurnya tentu lebih enak.LELAKI I: Tapi pak, penyuapan tidak pernah kami lakukan kepada siapapun. Maaf.LELAKI V: Soal suap menyuap hanya kami lakukan dalam ucapara perkawinantradisional, pak. Siang hari, penganten menyuapi mempelai. Malamnya, laki-lakimenyuapi perempuan.(Wisran Hadi, 1997)Dalam penulisan jenaka sedikit sekali pengarang yang berasal dari Minangkabauberhasil menuliskannya. Banyak hal dalam cerita-cerita kaba yang dapat dibuat menjadi20jenaka, tetapi tidak ditemukan dalam penulisan. Persoalan utama barangkali terletak darikemampuan penulis untuk menyain sebuah jenaka ke dalam bahasa tulisan. Bahasa lisanuntuk sebuah jenaka tidak sama dengan bahasa tulisan. Bahasa lisan lebih komunikatif,langsung, spontan dan dapat diperkuat dengan menambahkan gerakan-gerakan, intonasi,penekanan-penekanan pada pengucapan, yang semua itu tidak dapat disempurnakan denganbahasa tulisan. Begitu juga pada pihak pembaca jenaka. Mereka dengan vocabulary yangberbeda dengan apa yang dibacanya akan mengalami kesulitan merasakan kejenakaansebuah jenaka. Bisa jadi, sebuah jenaka tidak jadi jenaka lagi setelah dituliskan. Penulisanjenaka Minang ke dalam bahasa Minangkabau itu sendiri, apalagi ke dalam bahasaIndonesia mempunyai banyak persoalan yang dapat dibicarakan lagi lebih khusus.4. Jenaka yang sudah diperkayaKemajuan teknologi dan iptek memberikan pengaruh besar dalam memperkayatema, bentuk dan penyampaian jenaka. Jenaka dari budaya lain saling berinteraksi denganjenaka Minang yang ada. Sekarang, sulit sekali mengetahui apakah sebuah jenaka itujenaka Minang, atau jenaka lain yang sudah dialih bahasakan ke bahasa Minang, ataujenaka itu dipengaruhi jenaka Minang, atau pengaruh jenaka lain yang mendomonir jenakaMinang, perlu pula agaknya dibuat dalam sebuah kajian khusus yang lebih mendalam.Umumnya jenaka yang diperkaya ini hidup dikalangan kaum muda atau remaja. Jenakamereka tidak terbatas lagi pada bahasa Minang, tetapi sudah disampaikan dalam bahasaIndonesia. Dalam jenaka baru ini, mereka begitu bebas menggelincirkan ataumemesongkan makna kata, baik dalam bentuk dialog, pantun ataupun teka-teki.Dalam bentuk penceritaan:Seorang presiden yang terkenal pakar matematik datang mengunjungi sebuahpesantren, dia bertanya pada murid-murid.+ Bagaimana cara kamu mengukur tinggi tiang bendera itu?- Mudah saja presiden. (Murid itu segera mengambil tali dan memanjat tiangbendera.+ Bukan begitu. Nanti kamu jatuh atau tiang itu patah. (Murid itu patuh dan turun)- Bagaimana cara presiden?+ Rebahkan dulu tiang bendera itu. (Semua patuh. Setelah tiang itu direbahkan,presiden mengukur tiang itu dengan alat pengukur)- Itu bukan ukuran tinggi, tetapi ukuran panjang, presiden.(Dari D. Zawawi Imron, ulama dan penyair Madura)21Dalam bentuk teka-teki.+ Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusiamati meninggalkan nama. Cacing mati?- Meninggalkan kawan-kawan seperjuangan.+ Ayam apakah namanya, kepalanya di kaki, kepaknya di kaki, bulunya di kaki,kakinya di kaki?- Ayam dipijak.*+ Itik apakah namanya, yang terbang dari Padang ke Jakarta.- Itik nekad.Selain jenaka yang diucapkan dan dituliskan, juga berkembang jenaka yang dibuatdalam bentuk gambar, kartoon dan komik. Apalagi pada zaman sekarang, jenaka banyaktersebar melalui internet, film dan majalah.VII. PenutupDari beberapa jenaka yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Minangkabausebagaimana yang dijelaskan di atas, untuk sementara dapat ditentukan beberapa cirinya;1. Apapun juga bentuk persoalan yang dapat dijenakakan, jenaka Minangkabau tidakmengeksploitir bentuk-bentuk tubuh seseorang yang menjadi objek yangdijenakakan. Tubuh yang pendek, tinggi, kurus, buruk, cantik tidak dijadikansasaran kejenakaan atau cemoohan. Ini berarti, jenaka Minang tidak mengeritikkekurangan yang ada pada tubuh pribadi-pribadi.2. Jenaka Minangkabau lebih menekankan pada “permainan” kata dan makna. Satukata dengan pengucapan yang berbeda-beda, atau dalam susunan kalimat yangberbeda akan merubah makna sebuah kata kepada makna lain. Permainan katadalam berjenaka, baik dalam bentuk pantun maupun teka-teki merupakan suatukeunggulan tersendiri dari jenaka Minangkabau. Hal ini sekaligus pula menjelaskantingkat kecerdasan keintelektualan masyarakat Minang itu sendiri.3. Sebuah jenaka tidak bertendensi untuk memperbodoh-bodohkan seseorang. Jenakaorang bingung dan bodoh biasanya tidak terlalu populer di kalangan masyarakatMinang. Hal berarti, mereka tidak mau jadi bodoh dengan berjenaka, atau dapatdikatakan jenaka harus dapat mencerdaskan.224. Setiap jenaka Minangkabau, terutama dalam bentuk teka-teki berusaha memperluaswawasan. Mereka yang punya pengetahuan yang luas akan mudah mengikuti jenakaMinang dibanding dengan mereka yang punya pengetahuan terbatas.5. Tema jenaka Minang sangat bervariasi, beragam dan bebas sekali. Masalah-masalahsosial politik, ekonomi, adat dan agama dapat dijadikan bahan jenaka. Ini berartibahwa masyarakat Minang yang begitu bebasnya berjenaka dapat dikatakan sebagaicerminan mamsyarakat yang berfikir kreatif dan merdeka.6. “Isi” dari jenaka Minangkabau lebih merupakan kritik terhadap sesuatu keadaan,kondisi, perlakuan dan luahan perasaan dari ketertekanan, ketakutan dan kemualanyang terjadi di sekeliling kehidupannya. Jenaka hanya merupakan “bungkus” sajadari isi. Dengan demikian, jenaka bukan merupakan tujuan, tetapi menyampaikanisinya itulah tujuan utamanya.Sekian.Kualalumpur 30 Mei 200323Rujukan:A.A. Navis (1986) Alam Terkembang Jadi Guru PT Pustaka Grafitipers, JakartaArby Samah dkk (1983) Tari Rakyat Minangkabau. Proyek Pengembangan KesenianSumatera BaratEdwar Djamaris (1980) Pantun Minangkabau Majalah Kebudayaan Minangkabau no.13Irfan Darwis (1980) Antropologi Minangkabau Majalah Kebudayaan Minangkabau no.12Harmsen, L.K. (1876) Minangkabausch Raadsels. Tijdschrift voor Indische Tall; Land enVolkenkunde, Batavia: XXII. Dalam Topics in Minangkabau Vernaculer Literaturoleh A.J. Chadwick (1986) University of Western Australia.Khaidir Anwar (1984) Fungsi dan Peranan Bahasa, Sebuah Pengantar. Gadjah MadaUniversitry Press.M.Thaib gl.St Pamoentjak (1935) Kamoes Bahasa Minangkabau - Bahasa Melajoe - Riau.Balai Poetaka BataviaSy. St. Rajo Endah (1985) Cindua Mato Balai Buku Indonesia, BukittinggiSyamsuddin St.Rajo Endah (1989) Tuanku Lareh Simawang Pustaka Indonesia. BukitinggiUmar Junus (1997) Undang-Undang Minangkabau, wacana intelektual dan warnaideology, Kuala Lumpur, Perpustakaan Negara Malaysia.Wisran Hadi (1997) Jalan Lurus ANGKASA, Bandung
Falsafah atau pandangan hidup masyarakat adat Minagkabau adalah “adat basandi syarak syarak basandi kitabullah” (ABS-SBK) “syarak mangato, adat mamakai, alam takambang jadi guru” Dalam hal ini akal dan budi, keluasan perasaan budi sangat berperan, “manusia tahan kieh, binatang tahan lacuik, kilek baliung alah ka kaki, kilek kaco alah kamuko, tagisia lah labiah bak kanai, tasinggung labiah bak jadi”. Pepatah tersebut menuntut kearifan dan kebijaksanaan manusia dalam berkata bertindak dan bekerja. Sehingga disebut pula dalam adat “nan bagarih babalabeh” sebagai hasil kearif bijaksanaan sebagai berikut :
Basilek diujung lidah Malangkah dipangka karihBamain diujuang padangTahu dikieh kato putuihTahu digelek kato abihTahu diereang jo gendeangSarato kurenah jo baenahTahu dirunciang ka mancucuakTahu dirantiang kamalantiangTahu didahan kamahimpokTahu digantiang nan kaputuihTahu dicondong kamahimpikTahu dibiang nan katabuakTahu diunah kamahambekTahu dibayang kato sampai
Dalam melahirkan motif-motif dasar ukiran juga terdapat ungkapan adat atau pepatah petitihnya sebagai pangkal tolak renungan seni ukir Minangkabau.
Ukia banamo bungo janggiSakaki samundam panuahDibaliak gunuang maha biruDitangahnyo tatandu bararakKiri kanan baaka cinoKaliliang bungo sari manjariWarano kambang gumirabTurang manurang biludu gandumSiba batanti kiri kananBuatan jambak jambu erangBatatah intan co padiRuponyo bagirinyamKilau gumilau camburanoUkia banamo dandam tak sudahSalusin buliah diragamSalaso dapek dilariakMaukia dipapan lawehElok arak dihari panehRancak lenggang di jalan dataTiok kelok nampak balikuMakanan ukia kasamonyoCancang tadaeh jadi ukiaAlam takambang jadi guruRaso pareso tagak ditangah
Alua jo patuik mangamudiPanakiak pisau sirauikAmbiak galah batang lintabuangSalodang ambiak kaniruNan satitiak jadikan lauikNan sakapa jadikan gunuangAlam takambang jadi guruNan Basaluak nan balakaNan Bakaik nan bagagangSupayo tali nan jan putuihKaik kaik nak jan sangkahKaluak paku kacang balimbiangTampuruang lenggang lenggokkanBawo manurun ka SaruasoAnak dipangku kamanakan dibimbiangUrang kampuang dipatenggangkanTenggang nagari jan binasoTenggang sarato jo adatnyoPilin aka nak mamanjekPilin jariang nak barisiRamo-ramo sikumbang jatiKatik Endah pulang bakudoPatah tumbuah hilang bagantiPusako turun ka nan mudo
LETAK UKIRAN
Walaupun tempat ukiran pada sebuah rumah “gadang” tidak muthlak ada satu jenis ukiran, namun hal ini diatur dan berpedoman juga pada ukuran “jangko” dalam adat. “Patut senteang” tidak boleh dalam, “patut” dalam boleh “senteang” , didalam “alur” dengan “patut, malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio, talampau aru bapantiangan, kurang aru cirik kambiangan, condong mato ka nan elok, condong salero ka nan lamak.
Namun secara umum dapat dijelaskan letaknya pada bahagian rumah “gadang” yang walaupun pada beberapa daerah di Minagkabau masih terdapat perbedaan. Adapun tempat atau letak ukiran serta jenisnya adalah sebagai berikut :
PADA LINGKUNGAN ANJUANG RUMAH
Jenis atau Ragam Ukiran :
Penempatan atau lokasi Ukiran :
1. Saluak Laka
2. Labah Mangirok
3. Kalalawa Bagayuik
4. Salimpat
5. Tatandu Manyasok Bungo
6. Itiak Pulang Patang
7. Tangguak Lamah
8. Lumuik Hanyuik
9. Pesong Aia Babuih
10. Tupai Managun
pada perengpada papan galuangpada dinding haripada papan salangkopada papan sabalik anjuangpada paso-pasopada tarawangpada lambai-lambai tagakpada camin-caminpada petak dindiang hari
PADA BADAN RUMAH
Jenis atau Ragam Ukiran :
Penempatan atau lokasi Ukiran :
1. Pisang Sasikek
2. Aka Cino Sagagang Duo Gagang
3. Ukir Tirai
4. Sikambang Manih
5. Kudo Manyipak
6. Takuak Kudo Basipak
7. Saluak Laka
8. Salimpat
9. Aka Barayun
10. Kuciang Lalok
11. Pesong Aia Babuih
12. Saluak Laka
pada papan garebek kepala pintupada lambai-lambai garebekpada lambai-lambai di atas garebekpada dindiang tapi/jendelapada konsen jendelapada konsen jendelapada papan sakapiang di bawah pengadan jendelapada papan sakapiang di bawah pengadan jendelapada papan sakapiang di bawah pengadan jendelacamin-camin jendelacamin-camin jendelacamin-camin jendela
PADA TEMPAT-TEMPAT YANG UMUM LAINNYA
Jenis atau Ragam Ukiran :
Penempatan atau lokasi Ukiran :
1. Tantadu Manyasok Bungo
2. Itiak Pulang Patang
3. Aka Barayun
4. Aka Duo Gagang
5. Lapiah Batang Jarami
6. Tupai Managun
7. Kalalawa Bagayuik
8. Siku Kalalawa
9. Bada Mudiak
10. Buah Palo Bapatah
11. Bungo Mangarang Buah
12. Paruah Anggang
13. Jalo Takaka/Taserak
14. Kaluak Paku
15. Aka Cino
16. Saik Galamai
17. Kuciang Lalok
18. Lumuik Hanyuik
19. Pucuak Rabuang
20. Tampuak Manggih
21. Labah Mangirok
22. Lumuik Hanyuik/Aka Barayun
23. Alang Babega
24. Itiak Pulang Patang
25. Daun Bodi
26. Aka Cino
27. Sajamba Makan
28. Carano Kanso
29. Siriah Gadang
pada tepi ukiran besarpada tepi ukiran besarpada ukiran tengahpada lambai-lambaipada lambai-lambaipada ujung-ujung pekayuan/balokdibawah kasau dan lain-lainpada lambai-lambai dindingpada tepi ukiranpada tepi ukiranpada papan dindingujung ukir pekayuan / balokpada hamparanpada pain dan tiangpada tempe-tempe panjangpada les plangpada pangka ukiranpada tiang-tiang besarpenutup ukiranpada gonjongpada atap penipiranpada serambi / rumah gonjongpada tuturan atappada lesplank / les tempepada dindiang haripada pintupada dindiangpada ujuang peranginanpada ujuang peranginan
Ragam Dan Jenis Ukiran
( 01 )SINGO MANDONGKAK JO TAKUAK KACANG GOREANG
Singo mandongkak namonyo ukiaUkia di papan nan sakapiangDirumah gadang sulangko gadiangDi dalam lumbuang nan bapereng
Asa di Agam Balai Gurah Kiasan jago pado adaik Ingek-ingek sabalun kanai Sadio payuang sabalun hujan Ingek-ingek nan di ataehNan di bawah kok mahimpokBaitu kieh ibaraitnyo
(02)CARANO KANSO
Carano kanso namonyo ukiaSiriah gadang lingka-balingkaBalingka jo arai pinangBatukuik dulamak kaco
Kuniang sacoreng di atehnyo Pananti sutan jolong pulang Sajamba makan mairiangnyo Latak diateh pintu biliak
Suko rayo raso dipakaiSanang siat puti bakuruangCupu bakaran basusun nyato
Santo timbakau pakaian adat Latak di dalam carano kanso Suatu talatak di tampeknyo Ukia dikarang tampuak tangkai
Pakaian balai nan saruangPariangan jo Padang PanjangUkia tuo ukia usaliWarih dek anak Indo JatiWarih nan indak putuihTutua nan samo kito danga
03 )SIRIAH GADANG
Siriah gadang siriah balingkaKuniang sacoreng diatehnyoBaaleh batadah tampan Hulu adat kapalo baso Pangka kato hulu bicaro Panyingkok peti bunian Pambukak biliak nan dalamSusunan dari PrianganBuatan Parpatiah Nan SabatangTidan nan turun dari atehBalingka jo mufakatBalingka jo limbago
Jadi pusako alam nangko
Latak diateh pintu biliak Dijujuang jo mufakat Dipikua kato baiyoBarundiang sasudah makan
Batanyo salapeh arakSiriah gadang manjadi punco Anak kunci dalam hetongan
Tando adat badiri nyato
Nan tampak sirah balingkaIsinyo adat jo pusako
Bapahek diateh papan
Baukia ditimbagoBacacak ateh batu
Manjadi pado zaman
Tando biti adat bapakai
Tinggi nan amban jantan Dalam juo takasiak bulan
Pandai ukia di timbago
Pandai pahek pado kayu
Disitu hati mako sanang
Dilahia manahan bandiang
Di bathin manahan tiliak
Nan nyato nampak di mato
Nan bathin dibawo raso
Distulah latak makna siriah
Siriah sahalai nan bagagangGagang barangkai jo bungonyo
Bungo nan elok katiruan
Disinan tiruan adat
Di situ limbago tumbuah
Laweh dikambang ka alam nangko
Kucuik saleba daun siriah
Kok rimbun tampak di junjuangan Urek malakek di rumpunyo
Aka mancakam masuak tanah
Kok lah tampak siriah balingko
Mangundang pintak dengan pinto
Siriah naiak junjungan naiak
Baitu dandamnyo siriah nantun
Lakek di papan nan balariak
Ukiran di rumah gadang
Lukisan adat jo limbago
Jadi pakaian di istano
Manjadi suri tuladan kain
Umpamo ragi nan tadendeng
Dalam bathin budi marangkak
Lahianyo kayu nan balariak
Bathinnyo limbago cupak adat
Adat limbago tempat diam
di alam Minangkabau
Alam takambang jadi guru
( 04 )BADA MUDIAK
ITIAK PULANG PATANG
Elok susun bada mudiak
Manyonsong aia samo sakato
Arak baririang samo saraso
Indak saiku nan mayalo
Saiyo sakato bakayuah mudiak
Tuah di ateh nan sakato
Cilako kato basilang
Dilukih diateh papan
Diukia di rumah gadang
Rumah gadang sandaran adat
Adat di alam Minangkabau
Indah nian tampak dimato
Raso dibawo turun
Dilahia bada nan disabuik
Di bathin adat jo limbago
Kieh ibarat caro Minang
Adat nan samo kito pakai
Tempe manempe ukia gadang
Salo manyalo dan nan banyak
Baitu latak ragam ukia
Alua patuik, barih balabehnyo
( 05 )TATANDU MANYASOK
BUNGO JO BUAH NIBUANG
Tatandu samo manyasok
Bungo satangkai kambang nyarak
Dibuek ukia langkok-langkok
Susun barangkai tatandu bararak
Buah nibuang sato bararak
Bararak sarato jo putiaknyo
Indah ukia jo tatahnyo
Ragam sarato indahnyo
Papan sabalik kagunonyo
Pita jo pilin kabatehnyo
Ukia sabalik nan tampak nyato
Adat bajalin di dalamnyo
( 06 )LUMUIK HANYUIK
Aka lapuak gagangnyo lapuak
Hiduik nan indak mamilihah tampek
Asa lai lambah inyo lah tumbuah
Dalam aia bagagang juo
Aia hilia lumuik pun hilia
Walau tasalek di ruang batu
Baguba babondoang-bondoang
Aia bapasang lumuik
Bapiuah namun hiduik bapantang mati
Baitu untuangnyo lumuik
Indak mancari tampek diam
Hanyo manompang jo aia hilia
Indak mamiliah tampek tumbuah
Asa kasampai ka muaro
Usah cameh badan kahanyuik
Baguru kito kalumuik
Alam takambang jadi guru
Lahianyo lumuik nan disabuik
Bathinnyo adat Minangkabau
Dilariak di papan tapi
Ukiran rumah nan di lua
Gambaran adat hiasan alam pusako salamonyo
( 07 )BUAH PALO PATAH
Rancak raginyo buah palo
Dikarek disusun nyato
Elok tampaknyo pandangan mato
Ukia tuturan tumpuan kasau
Balampih jo itiak pulang patang
Basalo jo tatandu manyasok bungo
Raginyo dama tirih bintang gumarau
Baitu tatah lataknyo ukia
Dalam barih cupak adat
( 08 )TAJI SIAREK
Papan gadang baujuan ukia
Ukia bataji jo siarek
Talatak di papan pereng
Buliah di lumbuang nan bapereng
Baik di rumah nan baanjuang
( 09 )PARUAH ANGGANG
Paruah anggang kaluak bakaluak
Mangkuto di ateh ranggah
Suntiangan buruang di rimbo
Runciang saragam pisau lariak
Pambuek ukia panca ragam
Pakakeh tukang ukia maukia
Tumbuak manumbuak rasuk jo paran
Disinan baukia pamalanggang
Di ujuang papan tumbukkan kayu
Pereng mamereng kayu gadang
Ujuang maujuang kayu taba
Sanan talatak paruah anggang
Baitu suriah barih adat
( 10 )SALANGKO
Rumah gadang silanko gadiang
Salajang kudo balari
Sawah gadang lumbuang bapereng
Pereng banamo silangko gadiang
Baitu barih balabehnyo
Pereng baukia jo silangko
Baujuang simanggih karek
Talatak di papan taba
Kan ganti ukua dengan jangko
Pambateh didiang sasak basusun
Latak di ateh tampek nan tinggi
Indak buliah karandahan
Ukia banamo ukia tuo
Samo tajadi ju lumbuang nangko
Samo tadiri jo rumah gadang
Samo naiak jo galombang
Samo turun jo gapocong
Indak baumpuak bakeh tumbuah
Gadang tabawo dek pungkamnyo
Tinggi tabawo de ruehnyo
( 11 )AKA TANGAH DUO GAGANG
Sipasan baranak jantan
Anaknyo baranak pulo
Anak jadih induakpun jadih
Anak manjadi induak pulo
Alam bakalebaran
Manusia bakakambangan
Lukisan alam Minangkabau
Ada barasa di Parianagn
Nan samo naiak jo galombang
Samo turun jo kapocoang
ukia gambaran alam bakalebaran
Diukia di kasau gadang
Baitu cancang tarahnyo
( 12 )BUNGO PANCA MATOHARI JO RANTAK MALAM
Panco ringek di tapi jalan
Mati-mati mako babuah
Ingek-ingek anak bajalan
Lauik sati rantau batuah
Bungo matohari kapunco ukia
Rantak malam lingka ba lingka
Gayo mantohari nan jadi rasiah
Corak bulan mancari aka
Dipetak, ukia dibuek
Mancari tenggang jo kalaka
Maragam bungo sari manjari
Baitu alam salingka laweh
Alam takambang jadi guru
Buliah maukia jo maragam
Malukih adat jo limbago
Pakaian alam saisinyo
( 13 )KUCIANG LALOK JO SAIK GALAMAI
Bakirim usah bapitaruah
Bapasan usah baturuti
Manyuruah usah bakahandak hati
Bana lai picayo tidak
Pitaruah baunyikan juo
Itu nan labiah rang pantangkan
Ukia ragam kuciang lalok
Salo manyalo saik galamai
Latak dipucuak dindiang hari
Disingok di ujuang paran
Parannyo ulua mangulampai
Asanyo di Gudam Balai janggo
Di dalam Koto Pagaruyuang
Ukiran Rajo Tigo Selo
Pikia-pikia mangambang kato
Kato rahasio baandokkan
Simpan bakeh nan picayo
Lamak usah dimakan sajo
Rancak usah capek dilakekan
Ingek dirantiang kamancucuak
Jago di unak kamanaruang
Lalok usah talalu mati
Manyuruak usah talalu hilang
Lamak manih raso galamai
Dalam gatah minyaknyo tumbuah
Ingek dibadan kabinaso
( 14 )PESONG AIA BABUIAH
Bulek kato dek mufakaik
Bulek aia dek pambuluah
Alua jo patuik tagak ditangah
Bana nan satu panyudahan
Sapuluah kelek ditampuah
Sabaleh lauik jo buiah
Namun bana hanyo sabuah
Pesong babuih puputan kaliang
Sabuah ujuid jo mukasuik
Dilengong ka suok jo ka kida
Dipakai baso jo basi
Dalam raso jo pareso
Aia luluih aia lah tingga
Bana lalu hetongan tingga
Nan janiah buliah diminum
Nan karuah lalu ka hilia
Ukia nan turun dari Saruaso
Payuang panji alam Minangkabau
Basa Ampek Balai nan punyo ukia
Baitu warih nan bajawek
Bapasang di singok jo pasarek
Dindiang hari tupai managun
( 15 )SIKUMBANG MANIH ( I )
Kambang manih bungo nan mulia
Timbalan bungo sari manjari
Dicaliah gunung maha biru
Batangkai babuah labek
Balingka baaka cino
Silang bapiuah di salo daun
Buah manih satandan labek
Mainan bundo, simpanan puti
Panyaru dagang di rantau
Pananti alek nan datang
Ukia diulak Tanjuang Bungo
Pakaian Ranah Minangkabau
Latak di muko adaok halaman
Ukia nan tagak surang
Puti bakuruan jo aturan
Baitu warih di Gudam Balai Janggo
Kambang tigo buatan tukang
Indah di dalam maliputi
Adat nan nyato bakambangan
( 16 )SIKUMBANG MANIH ( II )
SIKUMBANG MANIH ( III )
SIKUMBANG MANIH ( IV )
SIKUMBANG MANIH ( V )
Kambang manih bungo nan mulia
Timbalan bungo sari manjari
Dibaliak gunung maha biru
Babuah babungo pulo
Rajo Bajalan badaulat
Pangulu bajalan basisampiang
Balingka baaka cino
Silang bapiuah kri kanan
Panyalo buah jo putiak
Palingka bungo ka kambang
Kambang manih kulindam suto
Bujang Salamat duo sairiang
Urang dalam suruah suruahan
Patuah nan indak basisiah
Salo manyalo di ukiran
Sisampiang tibo dipakaian
Bitu arak iriangannyo
Baitu barih curiangnyo
Aturan di Ulak Tanjuang Bungo
Bapakai di Gudam Balai Janggo
Ikutan alam saisinyo
( 17 )LAPIAH BATANG JARAMI
Bilalang dapek dek manuai
Lapiah balapiah batang padi
Tapijak dek tapak manuju lampok
Bakeh lalu tampek bapijak
Tanah lambok, bungin kok rawang
Nak samat padi ka lampok
Elok nampak dek mato
Indah nan lalu kahati
Timbua kalukih papan tuai
Manjala katumbuang sitinjau lauik
Dek arih tukang nan utuih
Lah jadi ukia sampai kini
Latak di panin ukia dindiang
Panyalo papan nan tagak
Mauleh tak mangasan
Mambuhua tak mambuku
Ukia salayok sabidang dindiang
lapiah jarami tagak di bateh
Baitu arih situkang utuih
Pakaian anak Minangkabau
Pusako Tuan Gadang Pamuncak Alam
Baitu curiang barih adat
( 19 )RUSO BALARI DALAM RANSANG
Ingek-ingek jago-jago
Kana diri kanalah badan
Tanduak bacapang kaki nan haluih
Karuik maruik samak sameto
Ingek juo sabalun kanai
Kulimek sabalun habih
Dalam hiduik di dunia ko
Banyak sansaro nan katumbuah
Ingek tasumbek jo tasanduang
Arih jo bijak ka dipakai
Ulemu dalam paham bakunci
Bapakai ukua jo jangko
Salamat badan kasubarang
Ukia nan turun dari Tampuang tangkai
Pariangan Lapan Koto nan Ampek Koto
Diateh nan Ampek Koto Dibawah
Pasangan di dakek pintu katurun
Palapeh dagang kabajalan
( 20 )KALUAK PAKU KACANG BALIMBIANG
Kaluak paku kaca balimbiang
Tampuruang lenggang lenggokan
Bawo manurun ka Saruaso
Tanam siriah jo gagangnyo
Anak dipangku kamanakan di bimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Tenggang nagari jan binaso
Tenggang sarato jo adatnyo
Ukia nak rang Saruaso
Dibuek anak Balai Salasa
Sonsong runuik Sungai Pagu
Baitu curiang barih rang dahulu
Anak bapangku kamanakan babimbiang
Samo dibawo kaduonyo
Arif manganduang bijak bicaro
Kini basuo dalam ukia
Latak di rasuak paran dalam
Disalasa balai-balai
Baitu tutua rang dahulu
( 21 )BUNGO DUO TANGKAI JO BUAH PINANG-PINANG
Ukia tungga buah pinang
Bapetak papan tampek diam
Bungonyo duo tangkai sajo
Sanang batenggang di nan lapang
Adat limbago tampek diam
Santoso alam saisinyo
Kiasan adat bungo pusako
Di dalam alam Minangkabau
Maukia di papan laweh
Elok arak di hari paneh
22 )BUNGO TARATAI DALAM AIA
Taratai, bungo taratai
Talipuak di dalam tabek
Usah picayo daun takampai
Di dalam lunau urek takabek
Ukia di aliah ateh papan
Ujuang ukia talipuak layua
Badannyo buliah jo nan lain
Lataknyo di ateh alua patuit
Condoang mato kan nan rancak
Condoang salero ka nan lamak
Nan tampak papan baukia
Bathinnyo adat jo pusako
Babedo lahie jo bathin
Talampau bathin kalihatan
Baitu suriah barih adat
( 23 )DAUN BODI
Daun bodi nago taran
Badaun babubgo pulo
Tampek balinduang kapanehan
Dek rajo nan dahulu
Samaso di Dusun Tuo
Daun di buek jadi ukia
Bacampua campua jo akanyo
Buliah di latak di nan petak
Di ujuang bakipeh ambai-ambai
Tandonyo santoso alam nangko
Asa ukia di daun tuo
Di Limo Kaum Duo Baleh Koto
Sambilan Koto Di Dalam
Ukia rang Bodi Caniago
Dek pandai tukang maukiakan
Jalan pisau lariak balariak
Di dalamnyo adat maha mulie
Kok singkek bari bauleh
Sakapa jadikan gunuang
Satitiak jadikan lauik
Tariklah isi maknanyo
Usah diliek nyato sajo
Baitu warih kito jawek
( 24 )DAUN PULUIK-PULUIK
Puluik-puluik tumbuah di parak
Babuah lai, mamakan tidak
Pauitan kambiang, tambang taranak
Tangah padang puputan angin
Kok gadang kagalang tabuah
Tabuah pusako di Pariangan
Kok pupuih di surek, di batu tingga juo
Kok habih tumbuah puluik-puluik
Dalam ukia tingga juo
Ukia banamo puluik-puluik
Latak di ujuang bakeh sudah
Ujuang rasuak ujuang paran
Baitu latak tatahnyo
Asa di Batipuah Pariangan
Di Sumpu Batu Taba
Baitu warih cupak adat
( 25 )GAJAH BADORONG
Gajah gadang ta dorong lalu
Pilanduak mati tasapik
Salisiah basa samo basa
Paduko tagak di tangah
Gajah dilukih aka bagaluang
Bungo tasapik dalam guluangan
Itu nan tando balarangan
Dek adat nyato batagah
Dek syarak nan jauh bana
Di latak diateh papan data
Tampek nan tarang kalihatan
Nak jaleh dek nan banyak
Pamimpin indak buliah basalisiah paham
Hambo rakyat bapantiangan
Baitu barih nan tabantang
Asa ukia di Luhak Agam
Kambang di alam Minangkabau
Dan masih banyak jenis lain, akan diposting secara bertahap
BAB I. Istano Si Linduang Bulan
Disarikan oleh : Puti Reno Raudha Thaib
Rumah Gadang Tuan Gadih Pagaruyung Istano Si Linduang Bulan yang berdiri di Melayu Ujung Kapalo Koto atau di Balai Janggo Pagaruyung kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat adalah rumah pusaka dari Keluarga Besar Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.
Diresmikan pada tanggal 21 dan 23 Desember 1989. Merupakan pengganti Rumah Tuan Gadih Pagaruyung Istano Si Linduang Bulan yang terbakar pada 3 Agustus 1961. Merupakan untaian dari sejarah yang panjang yang tak terputuskan dari masa kerajaan Pagaruyung tempo dulu.Nama Si Linduang Bulan adalah nama yang diberikan kepada Istana Raja Pagaruyung setelah dipindahkan dari Ulak Tanjuang Bungo ke Balai Janggo pada tahun 1550 oleh Daulat Yang Dipertuan Raja Gamuyang Sultan Bakilap Alam (Sultan Alif Kalifatullah Johan Berdaulat Fil’Alam I) Raja Alam sekaligus memegang jabatan Raja Adat dan Raja Ibadat Pagaruyung, sebagai penanda awalnya perhitungan tahun menurut tarikh Islam, sekaligus berlakunya secara resmi hukum syariat Islam di seluruh kerajaan Pagaruyung menggantikan hukum-hukum yang bersumber dari agama Budha Tantrayana. Kemudian Istano Si Linduang Bulan ini di bangun lagi pada tahun 1750, karena Istano lama telah tua dan mulai runtuh. Pada tahun 1821 Istano Si Linduang Bulan terbakar dalam kecamuk Perang Padri. Pada tahun 1869 Istano Si Linduang Bulan dibangun lagi oleh Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu kemenakan kandung dari Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagar Syah Yang Dipertuan Hitam dan anak dari Yang Dipertuan Gadih Reno Sori dengan Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang (pemegang jabatan Raja Adat, Raja Ibadat dan Raja Alam) setelah Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagar Syah Yang Dipertuan Hitam dibuang Belanda Ke Betawi. Pada tanggal 3 Agustus 1961 Istano Si Linduang Bulan terbakar lagi.
Istano Si Linduang Bulan yang ada sekarang didirikan kembali di tapak Istano yang terbakar pada tahun 1961. Pembangunannya dimulai pada tahun 1987 dan diresmikan pada tahun 1989. Diprakarsai oleh Drs. Sutan Oesman Yang Dipertuan Tuanku Tuo Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung, Tan Sri Raja Khalid bin H. Raja Harun, Raja Syahmenan bin H.Raja Harun, Aminuzal Amin Datuk Raja Batuah, Basa Ampek Balai, ninik mamak Nagari Pagaruyung, anak cucu keturunan dari Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung dalam kaitannya sebagai “Sapiah Balahan, Kuduang Karatan”. Kemudian didorong sepenuhnya oleh Ir. H. Azwar Anas Gubenur Sumatera Barat.
Sedangkan pembangunan Istano Si Linduang Bulan dibiayai secara bersama oleh keluarga ahli waris dan anak cucu keturunan serta zuriat dari Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung beserta masyarakat adat.
Peresmiannya dilakukan dalam sebuah upacara adat kebesaran, melibatkan para pemangku adat se alam Minangkabau: Basa Ampek Balai, Tuan Gadang Batipuah, Tampuak Tangkai Alam di Pariangan, Gajah Gadang Patah Gadiang di Limo Kaum, Simarajo Nan Sambilan, Langgam Nan Tujuah, Lubuak Nan Tigo, Tanjuang Nan Ampek, Sapiah Balahan Kuduang Karatan, Kapak Radai, Timbang Pacahan dan zuriat keturunan Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung. Dihadiri para pejabat Tinggi Negara, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kodya se Sumatera Barat. Serta Undangan Khusus yang datang dari Kerabat Raja Negeri Sembilan, Sri Sultan Hamengkubuono X, dari Brunei Darussalam, keluarga Paku Alam dan Sisingamangaraja.
Di Pagaruyung terdapat dua buah istana. Pertama, Istano Si Linduang Bulan, yang berdiri di Balai Janggo Pagaruyung, sebagai istana pengganti dari istana raja yang terbakar, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Kedua, Istano Basa, yang mulai dibangun pada tahun 1976 di Padang Siminyak Pagaruyung (letaknya satu kilometer dari Istano Si Linduang Bulan) di atas tanah milik keluarga ahli Waris Raja Pagaruyung yang dipijamkan kepada pemerintah selama bangunan tersebut masih berdiri. Istano Basa didirikan atas biaya sepenuhnya dari pemerintah daerah Sumatera Barat yang berfungsi sebagai musium dan objek kunjungan wisata, sedangkan istano Si Linduang Bulan dibiayai oleh ahli waris dan anak cucu keturunan dari Daulat yang Dipertuan Raja Pagaruyung.Pada 27 Februari 2007 Istano Basa terbakar disambar petir meluluh lantakkan semua bangunan tersebut.
Bentuk, ukuran dan ukiranRumah Gadang Tuan Gadih Istano Si Linduang Bulan adalah rumah gadang yang sangat khusus dengan style “Alang Babega”.Mempunyai tujuh buah gonjong (tajuk) yang megah seakan mencucuk langit. Sedangkan rumah gadang lain yang ada di Minangkabau memakai bermacam style: Gajah Maharam, Rajo Babandiang, Sitinjau Lauik dan sebagainya. Style “Alang Babega ” merupakan khas style rumah gadang raja.
Istano Si Linduang Bulan disebut juga rumah gadang sambilan ruang dengan ukuran 28 x 8 meter dan di halamannya berdiri dua buah rangkiang; Si Bayau-bayau dan Si Tinjau Lauik. Rumah Gadang ini mempunyai empat buah bilik atau kamar tidur dan dua buah anjuang di samping kanan Anjuang Emas dan di samping kiri Anjuang Perak. Di bagian belakangnya terdapat sebuah dapur yang khas. Tiang penyangga rumah gadang ini berjumlah 52 buah terdiri dari: delapan buah di barisan depan disebut Tiang tapi panagua alek. Barisan kedua memanjang bangunan terdapat 12 buah tiang yang disebut Tiang tamban suko mananti, barisan ketiga memanjang bangunan terdapat 12 buah tiang yang disebut Tiang tangah manti salapan, salah satu dari 12 tiang ini disebut Tonggak Tuo atau disebut juga Tiang panjang simajolelo yang terletak di bagian kanan setelah pintu masuk. Barisan keempat berjumlah 12 tiang disebut “Tiang dalam puti bakuruang” yang menjadi penopang bagian tengah rumah. Selanjutnya 12 tiang lagi disebut tiang salek dindiangnyo samiek. Barisan tiang ini membatasi dinding belakang dengan bagian muka bilik atau ruang tidur. Delapan tiang lagi di bagian belakang disebut Tiang dapua suko dilabo. Kedua anjuang di ujung kiri dan kanan rumah adalah tempat “Kedudukan Rajo” atau tahta raja, yakni “Rajo Tuo” di Anjuang Emas dan “Tuan Gadih” di Anjuang Perak
Ukiran yang membalut Istano Si Linduang Bulan berjumlah lebih dari 200 macam motif ukiran. Hampir seluruh motif ukiran Minangkabau terdapat di Istano Si Linduang Bulan. Ukiran itu mendominasi bentuk luar fisik bangunan yang kaya dengan simbol-simbol. Setiap ukiran dan penempatannya mempunyai makna sendiri-sendiri, sebagai tanda bahwa Istano Si Linduang Bulan adalah rumah gadang raja atau rumah pemimpin rakyat atau sebagai”Pusat Adat”.
Beberapa motif ukirannya antara lain terdapat di bandua Ayam bagian memanjang di bawah jendela, dihiasi tiga jenis ukiran: Aka Cino Bapilin, Sikambang Manih dan Siriah Gadang. Pada bagian dinding yang lebih luas dihiasi dengan ukiran: Pucuak Rabuang dan Aka Cino ditambah dengan hiasan kaca Tabentang Kalangik. Pada jalusi di atas jendela dihiasi dengan ukiran tembus dengan motif Si Kambang Manih. Pada bagian di bawah pinggir atap yang disebut dampa-dampa dihiasi dengan tiga jenis ukiran: Pisang Sasikek, Aka Cino dan Tantadu Bararak. Pada pintu masuk ditemukan berbagai ukiran: Tupai Managun, Daun Bodi, Saik Wajik, Bungo Lado, Buah Palo Bapatah, Itiak Pulang Patang.
Banyak lagi bagian-bagian pada dinding Istano Si Linduang Bulan yang diukir dengan berbagai jenis ukiran. Umumnya ukiran-ukiran itu didominasi oleh warna-warna: merah, kuning, hitam dan diselingi oleh warna coklat (warna tanah) serta warna perak dan emas.
Di bagian dalam Istano Si Linduang Bulan semua bagian ditutupi dengan kain tabir dan langik-langik dengan sulaman bertatah warna emas dengan berbagai motif pula. Ini semua merupakan hasil kerajinan rakyat dari nagari-nagari di sekitar Pagaruyung antara lain: Sungayang, Pandai Sikek.
Sekarang Istano Si Linduang Bulan tidak lagi menampilkan sosoknya sebagai Istana Raja, karena sejak kemerdekaan Republik Indonesia, keluarga ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung sudah menyatukan diri dengan negara kesatuan Republik Indonesia. Namun begitu Istano Si Linduang Bulan tetap berfungsi sebagai Pusat Adat bagi masyarakat Minangkabau. Fungsi ini sudah merupakan adat dan menjadi bagian dari budaya bangsa.(Sumber : Tambo Pagaruyung dan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.
BAB II. Yang Dipertuan Gadis
Gelar Yang Dipertuan Gadis (Tuwan Gadih) bagi perempuan keturunan Raja Pagaruyung di dalam Tambo Pagaruyung pertama kali dijumpai pada generasi ke XI yang dipakai oleh Puti Reno Maharani yang menjadi Rajo Pusako (Raja Adat) ke 3 di Buo.
Dia adalah anak dari Puti Reno Marak Rindang Ranggowani dengan Tuanku Rajo di Buo (Raja Adat ke II). Gelar Tuan Gadih ke II diwariskan kepada Puti Reno Nalo Nali anak dari Tuan Gadih Puti Reno Maharani dengan Rajo Bagewang II (Tuan Titah ke V).
Tuan Gadih ke III adalah Puti Reno Jalito anak Tuan Gadih Puti Reno Nalo Nali dengan Tuan Titah VI. Tuan Gadih ke IV adalah Puti Reno Pomaisuri anak dari Tuan Gadih Puti Reno Jalito dengan Daulat Yang Dipertuan Batu Hitam Raja Alam Pagaruyung. Tuan Gadih Pomaisuri adalah permaisuri dari Yam Tuan Bakilap Alam (Daulat Yang Dipertuan Sulthan Alif I) yang menjadi Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat sekaligus. Pada masanya (diperkirakan tahun 1580) Istana Pagaruyung dipindahkan ke Melayu Ujung Kapalo Koto di Balai Janggo Pagaruyung, sekaligus menandai era keIslaman dalam kerajaan tersebut.
Anaknya Puti Reno Rampiang memakai gelar Tuan Gadih ke V. Puti Reno Baruaci anak dari Puti Reno Rampiang Tuan Gadih ke V dengan Yamtuan Rajo Samik I (Raja Ibadat) di Sumpur memakai gelar Tuan Gadih ke VI. Puti Reno Kuniang anak dari Puti Reno Baruaci Tuan Gadih ke VI dengan Daulat Yang Dipertuan Paduka Sri Sulthan Ahmadsyah (Yam Tuan Rajo Barandangan (Raja Alam) diperkirakan tahun 1670 memakai gelar Tuan Gadih ke VII sekaligus menjadi Raja Adat. Puti Reno Janggo anak dari Puti Reno Kuniang dengan Yam Tuan Rajo Pingai memakai gelar Tuan Gadih ke VIII sekaligus menjadi Raja Adat.
Puti Reno Suto anak dari Puti Reno Janggo dengan Daulat Yang Dipertuan Raja Bagagarsyah Alam (Yam Tuan Jambang Raja Alam di Balai Janggo memakai gelar Tuan Gadih ke IX sekaligus menjadi Raja Adat berkedudukan di Balai Janggo Pagaruyung. Puti Reno Aluih memakai gelar Tuan Gadih ke X adalah anak dari Puti Reno Janggo Tuan Gadih ke IX dengan Yam Tuan Rajo Gamuyang (Tuan Titah ke XII). Puti Reno Janji memakai gelar Tuan Gadih ke XI adalah anak dari Puti Reno Aluih Tuan Gadih ke X dengan Yam Tuan Balambangan (Makhudum Sumanik). Puti Reno Sori memakai gelar Tuan Gadih ke XII adalah anak dari Puti Reno Janji Tuan Gadih ke XI dengan Daulat Yang Dipertuan Sulthan Alam Muningsyah II (Raja Alam pada tahun 1780). Puti Reno Sumpu memakai gelar Tuan Gadih XIII adalah anak dari Puti Reno Sori Tuan Gadih ke XII dengan Daulat Yang Dipertuan Sulthan Abdul Jalil (Yam Tuan Garang atau Yang Dipertuan Sembahyang, Raja Adat).
Puti Reno Sumpu ini mewarisi Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat setelah mamaknya Sulthan Alam Bagagarsyah (Yang Dipertuan Hitam, Raja Alam) dibuang Belanda ke Betawi dan ayahnya Sulthan Abdul Jalil(Raja Adat) mangkat. Puti Reno Saiyah memakai gelar Tuan Gadih ke XIV (Tuan Gadih Mudo) adalah anak dari Puti Reno Sumpu Tuan Gadih ke XIII dengan Sutan Mangun Tuah anak dari Sulthan Alam Bagagarsyah (Tuan Titah ke XVI). Tuan Gadih ke XV adalah anak-anak dari Puti Reno Saiyah Tuan Gadih ke XIV dengan Sutan Badrunsyah (cucu dari Sulthan Alam Bagagarsyah) yaitu: Puti Reno Aminah memakai gelar Tuan Gadih Hitam, Puti Reno Halimah memakai gelar Tuan Gadih Uniang dan Puti Reno Fatimah memakai gelar Tuan Gadih Etek. Dan sekarang yang memakai gelar Tuan Gadih ke XVI adalah Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang (anak dari Tuan Gadih Hitam), Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah dan Puti Reno Fatimah Zahara Tuan Gadih Etek (anak Tuan Gadih Ketek).
Gelaran Yang Dipertuan Gadis dilekatkan kepada perempuan yang dianggap dapat menjadi pimpinan kaumnya di dalam keluarga raja disamping Raja Pagaruyung. Raja Pagaruyung sendiri mempunyai gelaran Yang Dipertuan Bujang. Dengan demikian dapat dipahamkan bahwa laki-laki yang dinobatkan menjadi raja Pagarayung dipanggil juga Yang Dipertuan Bujang, disamping gelaran-gelaran kebesarannya lainnya seperti; Sultan Abdul Jalil, Yang Dipertuan Sembahyang, Yang Dipertuan Hitam dan banyak gelaran kebesaran lainnya. sedang yang perempuan (ibu, saudara perempuan, istri) dipanggilkan Yang Dipertuan Gadis. Perempuan yang boleh diberi gelar Yang Dipertuan Gadis adalah perempuan terdekat dalam keturunan raja, terutama dalam kaitan pertalian sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu, adagium adat dalam tambo tersebut disebutkan; Adat rajo turun tamurun, adat puti sunduik basunduik. Turun tamurun atau turun temurun, dimaksudkan sebagaimana mengikuti garis keturunan patrilineal, sedangkan sunduik basunduik dimaksudkan sebagaimana mengikuti garis keturunan matrlineal. Dengan demikian, seorang laki-laki dalam keturunan tersebut dapat menjadi raja, apabila ibunya adalah keturunan raja dan akan semakin kuat lagi kalau ayahnya juga keturunan raja.
Para perempuan keturunan raja menurut garis matrilineal, di dalam Tambo Pagaruyung umumnya memakai nama kecil tersendiri yaitu, Puti Reno. Dari sekian Puti Reno itulah nanti dipilih untuk dijadikan Yang Dipertuan Gadis. Pemberian gelar Puti Reno hanya dikhususkan bagi perempuan keturunan raja Pagaruyung saja. Disepakati oleh Basa Ampek Balai. Oleh karena itu, di dalam tambo Pagaruyung tersebut banyak ditemui nama-nama perempuan dengan pangkal nama Puti Reno. Begitu juga banyak perempuan yang digelari Yang Dipertuan Gadis. Yang Dipertuan Gadis adalah nama gelar kebesaran, sedangkan nama Puti Reno sebagai nama pertanda keturunan raja dalam garis matrlinel.
Disamping gelar Tuan Gadih yang ada di Pagaruyung ada Tuan Gadih Saruaso yang pertama dipakai oleh Puti Reno Sudi yang kawin dengan Indomo Saruaso adalah anak dari Puti Reno Pomaisuri Tuan Gadih ke IV. Gelar Tuan Gadih Saruaso ini diwarisi sampai Tuan Gadih Saruaso ke VII yaitu yang terakhir yang kawin dengan Daulat Yang Dipertuan Sulthan Alam Muningsyah III (Daulat Yang Dipertuan Basusu Ampek).
Dalam catatan Raffles sewaktu berkunjung ke pedalaman Minangkabau, dia menjumpai seorang raja perempuan Minangkabau yang bernama Yang Dipertuan Gadis Saruaso. Yang dimaksudkan Raffles tersebut adalah salah seorang dari keturunan raja yang berada di Saruaso. Begitu juga dalam catatan Belanda, ditemukan nama Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu, kemenakan dari Sultan Alam Bagagar Syah, anak dari Yang Dipertuan Sembahyang. Hasil perkawinan Yang Dipertuan Sembahyang dengan Tuan Gadis Puti Reno Sori.
Yang Dipertuan Reno Sumpu disebut demikian karena beliau lahir di Sumpur Kudus, dalam masa ayahnya Yang Dipertuan Sembahyang yang menjadi Raja Adat dengan Tuan Gadih Puti Reno Sori menetap di rantau itu di penghujung Perang Paderi. Oleh karena Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah ditangkap Belanda pada tahun 1833, dan Yang Dipertuan Sembahyang dihalang oleh Belanda untuk kembali ke Pagaruyung, maka Yang Dipertuan Reno Sumpu kembali ke Pagaruyung untuk menggantikan mamaknya Sultan Alam Bagagar Sah sebagai Raja Alam, sekaligus menggantikan ayahnya Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang sebagai Raja Adat serta melanjutkan tugas waris ibunya Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sori.
Dari jalinan peristiwa ini ternyata yang berhak menjadi raja di Pagaruyung bukan anak-anak dari Sultan Alam Bagagar Syah. Walaupun dia raja tetapi karena istrinya bukan seorang Puti Reno, maka anak-anaknya tidak dapat menggantikan kedudukannya sebagai Raja Pagaruyung. Yang berhak menggantikannya sebagai ahli waris menurut acuan “Adat Rajo turun tamurun Adat puti Sundut basundut” justru Yang Dipertuan Puti Reno Sumpu, karena dia merupakan perempuan dalam garis matrlineal; ibunya adalah Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sori, saudara dari Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah dan secara patrilineal dari ayahnya Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang.
Ketika Belanda akan menjatuhkan hukuman mati kepada beberapa penghulu yang dianggap sebagai tokoh pendukung perang rakyat Silungkang, Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu datang menemui Belanda di Batusangkar dan menyediakan dirinya untuk menggantikan para penghulu tersebut. Akhirnya Belanda membatalkan hukuman mati kepada para penghulu tersebut. Catatan peristiwa ini telah ditulis oleh seorang penulis sejarah Rusli Amran dalam bukunya Padang Riwayatmu Dulu.
(Sumber : Tambo Pagaruyung dan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.Disarikan oleh : Puti Reno Raudha Thaib)
Bab III. Masyarakat Minangkabau
1. Norma Kehidupan
Apa yang bakal terjadi bila manusia hidup atas dasar hukum rimba?. Yang kuat akan memakan yang lemah. Yang besar akan menindas yang kecil. Yang pintar akan menipu yang bodoh. Kehidupan akan segera menjadi neraka. Manusia mungkin akan segera musnah. Nenek moyang orang Minang, nampaknya sejak beribu tahun yang lalu telah memahami bahaya ini bagi hidup dan kehidupannya, apalagi bagi kelangsungan anak dan cucunya. Karena itu mereka telah menciptakan norma-norma kehidupan yang akan menjamin ketertiban-kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bagi mereka sendiri dan anak cucunya sepanjang zaman. Norma-norma itu antara lain berupa aturan-aturan yang sangat esensial bagi kehidupan yang tertib aman dan damai. Aturan-aturan itu antara lain mengatur hubungan antara wanita dan pria, aturan mengenai harta kekayaan, yang menjadi tumpuan kehidupan manusia, norma-norma tentang tata krama pergaulan dan sistim kekerabatan. Kalau dipelajari dengan seksama, ketentuan adat Minang mengenai hal-hal diatas, agaknya tidak ada seorangpun diantara kita yang tidak kagum dan bangga dengan aturan itu. Kalau kita tahu manfaat dari aturan-aturan itu, agaknya tidak seorangpun diantara kita yang mengingini lenyapnya aturan itu. Namun sayangnya banyak juga diantara kita yang kurang memahami aturan-aturan adat itu sehingga kurang mencintainya. Tak tahu maka tak kenal, tak kenal maka tak cinta. Kebanyakan kita dewasa ini memang sudah banyak yang melupakan norma-norma kehidupan yang terkandung dalam ajaran adat Minang. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
2. Sistem Matrilinial
Menurut para ahli antropologi tua pada abad 19 seperti J. Lublock, G.A. Wilken dan sebagainya, manusia pada mulanya hidup berkelompok, kumpul kebo dan melahirkan keturunan tanpa ikatan.
Kelompok keluarga batih (Nuclear Family) yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak seperti sekarang belum ada. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara “ibu dan anak-anaknya” sebagai satu kelompok keluarga karena anak-anak hanya mengenal ibunya dan tidak tahu siapa dan dimana ayahnya. Dalam kelompok keluarga batih “ibu dan anak-anaknya” ini, si Ibulah yang menjadi Kepala Keluarga. Dalam kelompok ini mulai berlaku aturan bahwa persenggamaan (persetubuhan) antara ibu dan anak lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu). Inilah asal mula perkawinan diluar batas kelompok sendiri yang sekarang disebut dengan “adat eksogami”. Artinya perkawinan hanya boleh dilakukan dengan pihak luar, dan sebaliknya perkawinan dalam kelompok serumpun tidak diperkenankan sepanjang adat. Kelompok keluarga itu tadi makin lama makin bertambah banyak anggotanya. Karena “garis keturunan” selalu diperhitungkan menurut “Garis Ibu”, dengan demikian terbentuk suatu masyarakat yang oleh para sarjana seperti Wilken disebut masyarakat “matriarchat”. Istilah “matriarchat” yang berarti “ibu yang berkuasa” sudah ditinggalkan. Para ahli sudah tahu bahwa sistem “ibu yang berkuasa” itu tidak ada. Yang ada ialah kelompok keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu atau dalam bahasa asing disebut garis “matrilinial”. Jadi dalam sistem kekerabatan “matrilinial” terdapat 3 unsur yang paling dominan :
Garis keturunan “menurut garis ibu”.
Perkawinan harus dengan kelompok lain diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah Eksogami matrilinial.
Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
3. Hubungan Individu dan Kelompok
Manusia secara alami tidak mungkin hidup sendiri. Setiap individu membutuhkan orang lain untuk bisa hidup. Sudah menjadi hukum alam dan merupakan takdir Tuhan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup bersama dan bekerjasama. Ia telah ditentukan harus hidup berkelompok dan hidup bermasyarakat. Kelompok kecil dalam masyarakat Minang adalah suku, sedangkan kelompok terbesar, terlihat dari kacamata adat Minang adalah nagari. Suku sebagai kelompok terkecil, seyogianya harus dipahami dan dihayati betul oleh orang-orang Minang. Kalau tidak akan mudah sekali tergelincir pada pengertian bahwa keluarga terkecil adalah keluarga batih yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak. Pengertian yang keliru inilah yang sering membawa pecahnya kekeluargaan Minang, karena mamak rumah, dunsanak ibu, bahkan Penghulu suku tidak lagi dianggap keluarga. Selain itu sifat dasar masyarakat Minang adalah “kepemilikan bersama”. Tiap individu menjadi milik bersama dari kelompoknya. Sebaliknya tiap kelompok itu menjadi milik dari semua individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling memiliki ini menjadi sumber dari timbulnya rasa setia kawan (solidaritas) yang tinggi, rasa kebersamaan, rasa tolong menolong. Tiap individu akan mencintai kelompok sukunya dan setiap anggota dari satu suku akan selalu mengayomi atau melindungi setiap individu. Kehidupan individu terhadap kelompok sukunya bagaikan kehidupan ikan dengan air. Ikan adalah individu sedangkan air adalah suku tempat hidup. Bila si ikan dikeluarkan dari air, maka ia akan segera mati. Dari sini lahirlah pepatah yang berbunyi : Suku yang tidak bisa dianjak Malu yang tidak bisa dibagi. Dengan melihat hubungan individu dengan kelompoknya seperti digambarkan diatas, maka jelas antara individu dan kelompoknya akan saling mempengaruhi. Individu yang berwatak baik, akan membentuk masyarakat yang rukun dan damai. Sebaliknya kelompok yang tertata rapi, akan melahirkan individu-individu yang tertib dan berdisiplin baik. Dengan demikian nenek moyang orang Minang, telah memberikan kriteria tertentu yang dianggap ideal untuk menjadi sifat-sifat orang-orang Minang.
Sumber : Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang
4. Adat Nagari dan Keturunan Orang Minangkabau
ADAB
Adapun adab yang pertama, patut kita berkasih-kasihan antara sesama hamba Allah dengan sahabat kenalannya, dengan kaum kerabatnya serta sanak saudaranya. Adapun adab yang kedua, hormat kepada ibu dan bapak, serta guru dan raja, mamak dan ninik serta orang mulia-mulia. Adapun adab yang ketiga, yang tua wajib dimuliakan , yang muda patut dikasihi, sesama remaja dibasa-basikan (dipersilakan / dilayani dengan baik). Adapun adab yang keempat, adab berkorong dan berkampung, adab berkaum kerabat, jika sukacita sama-sama ketawa, kalau dukacita sama-sama menangis. Bertolong-tolongan pada jalan kebaikan, jangan bertolong-tolongan pada jalan maksiat, atau jalan aniaya, jangan memakai khizit dan khianat serta loba dan tamak, tidak usah berdengki-dengkian sesama hamba Allah, pada jalan yang patut-patut; janganlah memandang kepada segala manusia, dengan cara bermasam muka, itulah dia yang bersama adat yang patut, yang kita pakaikan setiap hari.
TERTIB
Adapun tertib kepada raja-raja dan orang-orang besar serta kepada alim ulama; kepada ibu dan bapak; dan kepada ninik mamak dan orang tua-tua dengan orang mulia-mulia; jikalau menyambut barang sesuatu hendaklah meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya. Sewaktu mengunjukkan barang sesuatu, duduk menghadap dengan cara bersimpuh, jika berjalan mengiring di belakang; jikalau sama-sama minum dan makan, hendaklah kemudian daripadanya, jangan meremas-remas nasi, jangan mengibas-ngibaskan tangan kearah belakang atau samping kanan belakang sehingga besar sekali kemungkinan ada orang lain atau sekurang-kurangnya dinding rumah akan kejipratan air bekas pembasuh tangan yang masih melengket dijari-jari tangan. Selain dari itu lebihkanlah menekurkan kepala daripada menengadah kepadanya dan apabila berkata-kata hendaklah dengan suara yang lemah lembut.
SIFAT PEREMPUAN
Adapun setiap wanita itu hendaklah dia berhati sabar; menurut perintah suaminya, serta ibu bapaknya; baikpun ninik mamaknya; kalau dia berkata-kata hendaklah merendahkan diri terhadap mereka itu. Dan wajib baginya untuk mempelajari ilmu dan tertib sopan, serta kelakuan yang baik-baik; menghindarkan segala macam perangai yang akan menjadi cela kepadanya, atau kepada suaminya, atau kepada kaum kerabatnya, yang timbul oleh karena tingkah laku dan perangainya yang kurang tertib, hemat cermat. Kalau dia sudah bersuami, hendaklah dia berhati mukmin terhadap suaminya itu.
PERANGAI
Adapun perangai yang wajib, berlaku atas segala makhluk, baik laki-laki maupun perempuan; ialah menuntut ilmu, dan mempelajari adat dan hormat, dan merendahkan dirinya pada tempatnya juga, dan wajib dia berguru, sifat berkata-kata yang “mardesa” (tertib sopan; hemat cermat) bagaimana bunyi yang akan baik, didengar oleh telinga si pendengar, serta dengan perangai yang lemah lembut juga dilakukan, dengan halus budi bahasanya, karena kita berlaku hormat kepada orang-orang besar dan orang-orang mulia dan orang-orang tua, supaya terpelihara daripada umpat dan caci; itulah kesempurnaan perbasaan bagi orang baik-baik, yang terpakai dalam nagari atau dalam alam ini.
HUTANG BAGI ORANG TUA-TUA
Adapun yang menjadi hutang bagi orang tua-tua dan cerdik pandai serta orang mulia-mulia dan segala arif bijaksana yaitu harus baginya mengingatkan kepada segala ahlinya, dan kepada segala orang nan percaya kepadanya, dan segala kaumnya, yang tidak ikut melakukan perangai dan tertib yang baik-baik. Maka hendaklah dibantahi; segala kelakuan mereka itu, yang bersalahan dengan kebenaran juga, memberi petunjuk ia akan segala kaumnya itu, supaya dia melakukan segala perangai yang baik-baik dan membuangkan segala perangai yang kurang baik itu, supaya mudah sekalian mereka itu mengetahui akan keindahan dan kemuliaan yang terpakai oleh orang besar-besar yang membawa kepada jalan kebajikan, dan kesempurnaan hidupnya, supaya ingat segala anak kemenakannya itu kepada yang baik, dan lembut hatinya yang keras itu, karena hati lebih keras dari batu dan besi. Apabila sudah berkata-kata dengan orang tua-tua dan orang cerdik pandai itu; dengan ilmunya dan pengetahuannya yang sempurna, tidak boleh tidak akan lembutlah orang yang keras-keras itu oleh muslihatnya, dan kendorlah yang tegang itu, sebab kepandaiannya berkata-kata, melakukan nasihat nan baik-baik itu. Karena itu wajiblah bagi orang yang tua-tua dan cerdik pandai itu akan menajak segala kaum keluarganya dan orang yang percaya kepadanya, dengan perkataan yang lemah lembut juga, serta tutur kata yang baik-baik, akan menarik hati sekalian mereka itu, karena sekalian jalan kebajikan, memberi sukahatinya mendengarkan; serta wajib juga kepada orang tua-tua dan cerdik pandai itu, akan bercerita dan memberi ingat kepada segala kaum kerabatnya, apapun cerita dan kabar; baik maupun buruk; menceritakan kabar-kabar yang dahulu kala, yang dilihat dan didengarnya, dengan menyatakan kesan-kesannya yang baik ataupun yang jelek. Supaya menjadi pengajaran dan peringatan juga untuk semua ahli baitnya; yakni kabar-kabar yang kira-kira cocok dengan pendapat dan pikiran si pendengar. Demikianlah yang wajib dipakaikan oleh orang tua-tua dan cerdik pandai serta arif bijaksana;”menyigai-nyigaikan”(sigai=diusut, diselidiki sebaik-baiknya; di dalam ini berbarti mendengarkan/menghampirkan dirinya) artinya, janganlah dia mengatakan jauhnya dengan mereka itu, melainkan wajib dia menyatakan hampirnya juga, supaya tertambah-tambah kasih sayangnya, kaum kerabatnya itu dan murah baginya melakukan segala nasihat dan petunjuk yang dilakukannya kepada sekalian orang.
ADAT BERKAUM BERKELUARGA
Apabila ada kerja dalam kampung atau dalam suku dan nagari, baik “kerja yang baik” (kerja yang menyukakan hati) maupun “kerja yang tidak baik” (dukacita, kematian, musibah dan kerugian yang mendadak); jikalau suka sama-sama ketawa, kalau duka sama-sama menangis; jika pergi karena disuruh, jika berhenti karena dilarang; artinya semua perbuatan hendaklah dengan sepengetahuanpenghulu-penghulunya juga, serta orang tua-tuanya dan sanak saudaranya yang patut-patut. Demikianlah adat orang berkaum keluarga dan beranak berbapak, beripar besan, berindu bersuku. Itulah yang dipertalikan dengan adat lembaga, yang “persaluk urat, yang berjumbai akar, berlembai pucuk” (bertali kerabat) namanya, menyerunduk sama bongkok, melompat sama patah; kalau ke air sama basah, jika ke api sama letup, itulah yang dinamakan “semalu sesopan”, kalau kekurangan tambah-menambah, jika “senteng bilai-membilaia’, yang berat sama dipikul dijunjung dan yang ringan sama dijinjing. Adat penghulu kepada anak kemenakan, baik dalam pekerjaan yang baik maupun didalam pekerjaan yang tidak baik. Apabila sesuatu persoalan anak kemenakan disampaikan kepada penghulu dan orang tua-tua wajiblah bagi beliau itu; bila kusut diselesaikan, bila keruh diperjernih, menghukum dengan jalan keadilan, beserta dengan orang tua-tuanya disana. Adapun yang dikatakan tua disana, ialah orang yang cerdik pandai, orang yang berakal juga, yang akan menimbang buruk dengan baik, tinggi dengan rendah, supaya menjadi selesai seisi kampungnya itu. Jika tidak putus oleh penghulu-penghulu dan orang tua-tua didalam masing-masing kampung mengenai apa-apa yang diperselisihkan oleh anak buahnya; wajiblah kepada penghulu-penghulu dan orang tua-tua tersebut untuk membawa “serantau hilir, serantau mudik” (sepanjang sungai kesana kemari mencarikan air yang jernih, sayak yang landai” (keadilan) katian (timbangan dengan ukuran berat sekati) yang genab; supaya diperoleh kata kebenaran dan aman segala kaum keluarganya. Adat orang menjadi “kali” (Tuan Kadi; penghulu nikah), pendeta dan alim ulama, imam, khatib dan bilal serta maulana; hendaklah dia mengetahui benar-benar segala aturan agama (syarat; syariat Islam) di dalam surau dan mesjid-mesjidnya atau didalam segala majelis perjamuan, dan pada tempat yang suci-suci baikpun di dusun-dusun atau di medan majelis orang banyak, hendaklah selalu dia melakukan perangai nan suci dan hormat, supaya menjadi suluh, kepada segala isi nagari dan yang akan diturut, oleh segala murid-muridnya. Wajib dia mengatur segala penjagaan nan bersalahan, dalam mesjid dan surau dan didalam majelis perjamuan yang akan menjadi cacat dan cela bagi ketertiban agamanya, yang boleh membinasakan tertib kesopanan orang-orang “siak” (santri) dan alim ulama yang sempurna.
ADAT LAKI-LAKI KEPADA WANITA YANG SUDAH DINIKAHINYA
Wajib laki-laki itu memberi nafkah lahir dan bathin kepada istrinya dan memberi tempat kediaman serta memberi minum dan makannya serta pakaian sekurang-kurangnya dua persalin setahun; dan wajib pula bagi perempuan itu berperangai yang sempurna kepada segala ahli-ahli (karib bait) suaminya dengan perangai yang hormat dan tertib sopan seperti adab kepada suaminya juga. Demikianlah pula wajiblah bagi lelaki tsb berperangai nan sopan, kepada segala kaum kerabat anak istrinya seperti dia melakukannya terhadap kaum kerabatnya sendiri yang patut-patut. Cara bagaimana hormatnya istri kepada ibu bapaknya dan ninik mamaknya begitu pulalah hendaknya dia menghormati dan mempunyai rasa malu terhadap ibu bapak dan ninik mamak istrinya itu. Yakni dengan basa-basi yang lemah lembut dan hendaklah dia memberi petunjuk akan anak istrinya yang alpa dalam menghormati kaum kerabatnya dan ibu bapak serta ninik mamaknya yang sepatutnya dihormatinya, supaya istrinya itu berlaku baik dan beradat yang sempurna terhadap kepada ahli-ahlinya (karib baitnya). Wajib pula suami melarang istrinya berperangai yang salah menurut adab dan tertib yang sopan dan santun, supaya istrinya itu tetap menurut jalan yang baik-baik dan sopan; begitulah yang sebaik-baiknya yang dilakukan oleh segala suami terhadap istrinya masing-masing.
MILIK
Ada berbagai milik; ada milik raja, ada milik penghulu, ada milik kadi, ada milik dubalang dan pegawai, ada milik imam dan khatib dan ada pula milik orang banyak. Masing-masing milik tsb tidak boleh dikuasai oleh yang bukan pemiliknya. Adapun yang menjadi milik raja itu adalah memerintah dan menghukum segala perselisihan hamba rakyatnya yang disampaikan kepadanya dan menjaga kesentosaan nagari, dan mengetahui dia akan perangai sekalian orang-orang yang dibawah kekuasaannya serta berhubungan dengan pembantunya dan apabila pembantu-pembantunya bersalah maka diapun akan menghukum mereka itu juga supaya nagari menjadi sempurna dan rakyat menjadi sentosa. Adapun milik penghulu itu adalah menjaga akan kesentosaan dan keselamatan anak buahnya; baik yang ada dalam kampung dalam suku, dalam nagari, pada tempat masing-masing, dan wajib baginya menentukan batas dan “bintalak” (pasupadan; sempadan) milik anak buahnya didalam pegangan masing-masingnya; dan yang lain-lainnya yang akan memberi kebajikan kepada segala anak buahnya. Adapun milik tuan Kardi itu adalah menghukumkan menurut jalan hukum dan syariat agama nabi kita Muhammad dan menentukan sah dan batal, pasal dan bab, dalil dan maknanya, setiap hukum agama dikeluarkannya (diterapkannya). Adapun milik pegawai dan hulubalang, menjelaskan apa-apa yang dititahkan penghulu-penghulu; “menakik” yang keras, “menyudu” yang lunak; berdasarkan jalan kebenaran juga. Adapun milik bagi orang banyak itu, wajib kita menutur segala titah dan perintah penghulu-penghulu, orang tua-tuanya; memelihara akan pekerjaannya masing-masing; dengan yakin menjalankan titah rajanya dan disampaikan kepadanya; Tuan Kadinya dan ibu bapaknya serta sanak saudaranya. Adapun milik bagi harta benda itu, seperti sawah ladang, emas perak kerbau sapi, ayam itik dan lain-lainnya, wajib tergenggam pada yang punya milik masing-masing juga, tidaklah harus dimiliki oleh bukan pemiliknya.
HAK
Adapun hak itu tidaklah tetap terpegang, kepada yang empunya hak untuk selamanya; hak yang terpegang ditangan yang empunya masing-masing adalah hak milik namanya. Dan apabila haknya itu dipegang oleh orang lain, maka dinamai “Haknya saja” tetapi yang memiliki orang lain. Itulah undang-undang yang terpakai dalam nagari di Alam Minangkabau ini yang sepatutnya engkau ketahui terlebih dahulu. Tentukan (usut dan periksa) benarlah dahulu semuanya yang hamba sebut tadi; yang dipakai didalam nagari ini; agar jelas pegangan masing-masing, agar berbeda orang dengan awak; baik jauh maupun dekat. (Sumber : Mustika Adat Minangkabau)
5. NAMA PANGGILAN MASYARAKAT MINANG
Bagi orang Minang nama itu penting. Ketek banamo - gadang bagala. Katiko ketek disabuik namo - alah gadang disabuik gala. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa yang dikatakan sepesukuan sebagai unit terkecil dalam sistem kekerabatan Minang terdiri dari 5 lapis generasi atau keturunan. Mungkin dalam satu masa tidak terdapat kelima tingkat keturunan itu, karena hal itu sangat tergantung dari usia rata-rata anggota suku dari tiap generasi.
Panggilan Sesama Anak
Adik memanggil kakaknya yang perempuan dengan “Uni” dan “Uda” untuk kakak lelaki. Antara mereka yang seusia, memanggil nama masing-masing. Si Ani memanggil si Ana dengan menyebut Ana. Si Husin memanggil si Hasan dengan sebutan Hasan.Mande dan Mamak serta generasi yang lebih tua, memanggil anak-anak dengan panggilan kesayangan “Upiak” pada anak perempuan dan “Buyuang” untuk anak laki-laki.
Panggilan untuk Ibu dan Paman
Anak sebagai generasi terbawah dalam susunan pesukuan Minang, mempunyai panggilan kehormatan terhadap ibu dan saudara ibunya, serta generasi yang berada diatasnya.Anak memanggil ibunya dengan panggilan Mande - Amai - Ayai - Biyai - Bundo - Andeh dan di zaman modern ini dengan sebutan Mama - Mami - Amak - Ummi dan Ibu.Jika ibu kita mempunyai saudara perempuan yang lebih tua dari ibu kita (kakak ibu) maka sebagai anak kita memanggilnya dengan istilah Mak Adang yang berasal dari kata Mande dan Gadang.Bila ibu mempunyai adik perempuan, maka kita memanggilnya dengan Mak Etek atau Etek yang berasal dari kata Mande nan Ketek.Bila ibu kita punya saudara lelaki, kita panggil beliau dengan Mamak. Semua lelaki dalam pesukuan itu, dan dalam suku yang serumpun yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita, disebut Mamak. Jadi Mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua lelaki yang segenerasi dengan ibu kita dalam suku yang serumpun. Dengan demikian kita punya Mamak Kanduang, Mamak Sejengkal, Mamak Sehasta, Mamak Sedepa sesuai dengan jarak hubungan kekeluargaan. Mamak Kandung adalah Mmamak dalam lingkungan semande.Mamak tertua dan yang lebih tua dari ibu kita, kita panggil dengan istilah Mak Adang dari singkatan Mamak nan Gadang sedangkan yang lebih muda dari ibu kita , kita sebut dengan Mak Etek atau Mamak nan Ketek. Mamak yang berusia antara yang tertua dan yang termuda dipanggil dengan Mak Angah atau Mamak nan Tangah.
Kedudukan Mamak
Mamak mempunyai kedudukan yang vital dalam struktur kekerabatan minang, khususnya dalam hubungan Mamak-Kemenakan, seperti diatur dalam Pepatah Adat berikut ini.
Kamanakan barajo ka mamak,
Mamak barajo ka panghulu,
Panghulu barajo ka mufakat,
Mufakat barajo ka nan bana,
Bana badiri sandirinyo.
Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa mamak mempunyai kedudukan yang sejajar dengan ibu kita. Karena beliau itu saudara kandung. Sehingga mamak dapat diibaratkan sebagai ibu-kandung kita juga kendatipun beliau lelaki. Adat Minang bahkan memberikan kedudukan dan sekaligus kewajiban yang lebih berat kepada mamak ketimbang kewajiban ibu. Adat mewajibkan mamak harus membimbing kemenakan, mengatur dam mengawasi pemanfaatan harta pusaka, mamacik bungka nan piawai. Kewajiban ini tertuang dalam pepatah adat, ataupun dalam kehidupan nyata sehari-hari. Kewajiban untuk membimbing kemenakan sudah selalu didendangkan orang Minang dimana-mana. Namun kini sudah mulai jarang diamalkan Pepatah menyebutkan :
Kaluak paku kacang balimbiang,Buah simantuang lenggang lenggangkan,Anak dipangku kamanakan dibimbiang,Urang kampuang dipatenggangkan.
Kewajiban mamak terhadap harta pusaka antaranya dalam menjaga batas sawah ladang, mengatur pemanfaatan hasil secara adil di lingkungan seperindukan, dan yang terpenting mempertahankan supaya harta adat tetap berfungsi sesuai ketentuan adat.
Fungsi utama harta pusaka :
Sebagai bukti dan lambang penghargaan terhadap jerih payah nenek moyang yang telah mencancang-malateh, manambang-manaruko, mulai dari niniek dan inyiek zaman dahulu, sampai ke mande kita sendiri. Karena itu kurang pantaslah bila kita sebagai anak cucu, tidak memeliharanya, apalagi kalau mau menjualnya. Tugas mamak terutama untuk menjaga keberadaan harta pusaka ini.
Ramo-ramo si kumbang janti,
Katik Endah pulang bakudo,
Patah tumbuah hilang baganti,
Harto pusako dijago juo.
Sebagai lambang ikatan kaum yang bertali darah. Supaya tali jangan putus, kait-kait jangan sekah (peceh) sehingga pusaka ini menjadi harta sumpah satie (setia), sehingga barang siapa yang merusak harta pusaka ini, akan merana dan sengsara seumur hidupnya dan keturunannya.
Sebagai jaminan kehidupan kaum jaman dahulu sehingga sekarang terutama tanah-tanah pusaka. Baik kehidupan zaman agraris, maupun kehidupan zaman industri, tanah memegang peranan yang sangat strategis. Jangan terpedaya atas ajaran individualistis atas tanah, yang bisa menghancurkan sendi-sendi adat Minang.
Sebagai lambang kedudukan social.
Itulah 4 fungsi utama dari harta pusaka yang menjadi kewajiban mamak untuk memeliharanya. Kewajiban mamak sebagai pamacik bunka nan piawai, selaku pemegang keadilan dan kebenaran. Kewajiban ini dilakukan dengan bersikap adil terhadap semua kemenakan. Antaranya dalam pemanfaatan hasil harta pusaka tinggi. Dilain pihak penanggung jawab terhadap ikatan perjanjian antara pihak luar pesukuan misalnya dalam ikatan perkawinan. Bila sudah ada kesepakatan antara kedua keluarga, maka mamaklah menjadi penanggung jawab atas kesepakatan itu. Bila terjadi ingkar janji, mamaklah yang harus membayar hutang. Bila telah dilakukan Tukar Tando sebagai tanda kesepakatan, maka mamaklah yang akan menjadi tumpuan dan tumbal bagi kesepakatan itu.Mamaklah yang menjadi penanggung jawab atas janji antara kedua keluarga ini, bukan kemenakan yang akan dikawinkan.
Panggilan Generasi Ketiga
Dalam hubungan pesukuan diatas, terlihat bahwa kita sebagai anak menjadi generasi kelima. Kita sebagai generasi kelima, memanggil “Uo” atau “Nenek” kepada Mande dari ibu kita sendiri dan Mamak atau Tungganai (Mamak Kepala Waris) pada saudara lelaki dari Uo (Nenek) kita. Berdasarkan pada pengelompokkan umur rata-rata, maka yang diangkat jadi Penghulu dalam pesukuan ini, biasanya dari kelompok tungganai ini. Pada saat kita lahir,kelompok para tungganai ini berusia sekitar 40 tahun, sehingga memenuhi syarat usia yang pantas untuk memimpin suku (kaum) kita. Selanjutnya pada generasi kedua kita memanggil Gaek untuk perempuan dan Datuak pada lelaki yang termasuk dalam generasi kedua ini. Generasi pertama (kalau masih hidup) kita sebut dengan panggilan Niniek untuk perempuan dan Inyiek untul lelaki yang termasuk generasi pertama. Usia rata-rata generasi pertama ini, pada saat kita lahir sekitar 80 th. Bagi mamak atau tungganai yang diangkat jadi Penghulu, diberi gelar DATUK. Keluarga yang seusia atau lebih tua dari Penghulu memanggilnya dengan “Ngulu”, sedangkan yang lebih muda dengan panggilan yang biasa seperti Uda dan Mamak.
(Sumber : Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang)
6. Suku dan Pengembangannya
1. Suku Asal
Kata suku dari bahasa Sanskerta, artinya “kaki”, satu kaki berarti seperempat dari satu kesatuan. Pada mulanya negeri mempunyai empat suku, Nagari nan ampek suku. Nama-nama suku yang pertama ialah Bodi, Caniago, Koto, Piliang. Kata-kata ini semua berasal dari sanskerta :
Bodi dari bhodi (pohon yang dimuliakan orang Budha)
Caniago dari caniaga (niaga = dagang) ·
Koto dari katta (benteng)
Piliang dari pili hiyang (para dewa) Bodi Caniago adalah kelompok kaum Budha dan saudagar-saudagar (orang-orang niaga) yang memandang manusia sama derajatnya.
Koto Piliang adalah kelompok orang-orang yang menganut agama Hindu dengan cara hidup menurut hirarki yang bertingkat-tingkat. Dalam tambo, kata-kata Bodi Caniago dan Koto Piliang ditafsirkan dengan : Budi Caniago = Budi dan tango, budi nan baharago, budi nan curigo Merupakan lambang ketinggian Dt. Perpatih nan Sabatang dalam menghadapi pemerintahan aristokrasi Dt. Katumanggungan. Koto Piliang = kata yang pilihan (selektif) dalam menjalankan pemerintahan Dt. Katumanggungan.
2. Pertambahan Suku
Suku yang empat itu lama-lama mengalami perubahan jumlah karena :
Pemecahan sendiri, karena warga sudah sangat berkembang. Umpama : suku koto memecah sendiri dengan cara pembelahan menjadi dua atau tiga suku.
Hilang sendiri karena kepunahan warganya, ada suku yang lenyap dalam satu nagari.
Perpindahan, munculnya suku baru yang warganya pindah dari negeri lain.
Tuntutan kesulitan sosial, hal ini timbul karena masalah perkawinan, yang melarang kawin sesuku (eksogami). Suatu suku yang berkembang membelah sukunya menjadi dua atau tiga.
Biasanya suku-suku yang baru tidak pula mencari nama baru. Nama yang lama ditambah saja dengan nama julukan. Jika suku bari itu terdiri dari beberapa ninik, jumlah ninik itu dipakai sebagai atribut suku yang baru itu. Koto Piliang memakai angka genap dan Bodi Caniago memakai angka ganjil. Umpama :
Suku Melayu membelah menjadi : melayu ampek Niniak, Melayu Anam Niniak, Caniago Tigo Niniak, Caniago Limo Niniak (Bodi Chaniago)
Kalau gabungan terdiri dari sejumlah kaum, namanya : Melayu Ampek Kaum (Koto Piliang), Melayu Tigo Kaum (Bodi Caniago)
Apabila gabungan terdiri dari sejumlah korong namanya : Melayu Duo Korong (Koto Piliang), Caniago Tigo Korong (Bodi Caniago)
3. Pembentukan
Suku dipemukiman baru perpindahan dari beberapa negeri ke tempat pemukiman baru di luar wilayah negari masing-masing, ditempat yang baru itu dapat dibuat suku dengan memilih beberapa alternatif :
Setiap anggota bergabung dengan suku yang sejenis yang terlebih dulu tiba di tempat itu.
Beberapa ninik atau kaum dari suku yang sama berasal dari nagari yang sama bergabung membentuk suku baru. Nama sukunya pakai nan spt: Caniago nan Tigo Niniak atau Caniago nan Tigo.
Apabila tidak ada tempat bergabung dengan suku yang sama lalu mereka berkelompok membentuk suku baru. Mereka memakai nama suku asli dari negerinya tanpa atribut, spt asal Kitianyir ditempat baru tetap Kutianyir.
Membentuk suku sendiri di nagari baru tanpa bergabung dengan suku yang ada ditempat lain. Biasanya memakai atribut korong spt Koto nan Duo Korong.
Orang-orang dari bermacam-macam suku bergabung mendirikan suku yang baru. Nama suku diambil dari nama negeri asal : spt Suku Gudam (negeri Lima Kaum), Pinawan (Solok Selatan), suku Padang Laweh, suku Salo dsb.
Selain dari itu , cara-cara lain yaitu mengambil nama-nama dari :
Tumbuh-tumbuhan, seperti Jambak, Kutianyir, Sipisang, Dalimo, Mandaliko, Pinawang dll.
Benda seperti Sinapa, Guci, Tanjung, Salayan dll.
Nagari seperti Padang Datar, Lubuk Batang, Padang Laweh, Salo dll.
Orang seperti Dani, Domo, Magek dll.
Suku yang demikian lebih banyak daripada suku-suku yang semula. Apabila dijumlahkan nama-nama suku itu seluruhnya sudah mendekati seratus buah di seluruh Alam Minangkabau.
4. Adat orang sesuku
Orang-orang yang sesuku dinamakan badunsanak atau sakaum. Pada masa dahulu mulanya antara orang yang sesuku tidak boleh kawin walaupun dari satu nagari, dari satu luhak ke luhak. Tetapi setelah penduduk makin bertambah banyak, dan macam-macam suku telah bertambah-tambah, dewasa ini hal berkawin seperti itu pada beberapa nagari telah longgar. Tiap-tiap suku itu telah mendirikan penghulu pula dengan ampek jinihnyo. Jauh mencari suku, dakek mancari indu, sesungguhnya sejak dahulu sampai sekarang masih berlaku, artinya telah menajdi adat juga. Adat serupa ini sudah menjadi jaminan untuk pergi merantau jauh. Mamak ditinggakan, mamak ditapati. Mamak yang dirantau itulah, yaitu orang yang sesuku dengan pendatang baru itu yang menyelenggarakan atau mencarikan pekerjaan yang berpatutan dengan kepandaian atau keterampilan dan kemauan “kemenakan” yang datang itu sampai ia mampu tegak sendiri. Baik hendak beristri, sakit ataupu kematian mamak itu jadi pai tampek batanyo, pulang tampek babarito, bagi kemenakan tsb. Sebaliknya “kemenakan” itu harus pula tahu bacapek kaki baringan tangan menyelenggarakan dan memikul segala buruk baik yang terjadi dengan “mamak” nya itu. Dengan demikian akan bertambah eratlah pertalian kedua belah pihak jauh cinto-mancinto, dakek jalang manjalang. Tagak basuku mamaga suku adalah adat yang membentengi kepentingan bersama yang merasa semalu serasa. Bahkan menjadi adat pusaka bagi seluruh Minangkabau, sehingga adat basuku itu berkembang menjadi Tagak basuku mamaga suku tagak banagari mamaga nagari, tagak baluhak mamaga luhak dll. Artinya orang Minangkabau dimana saja tinggal akan selalu bertolong-tolongan, ingat mengingatkan, tunjuk menunjukkan, nasehat menasehatkan, ajar mengajarkan. Dalam hal ini mereka tidak memandang tinggi rendahnya martabat, barubah basapo batuka baangsak. Karena adat itulah orang Minangkabau berani pergi merantau tanpa membawa apa-apa, jangankan modal. Kalau pandai bakain panjang Labiah dari kain saruang Kalau pandai bainduak samang Labiah dari mande kanduang. Lebih-lebih kalau yang datang dengan yang didatangi sama-sama pandai. Padilah nan sama disiukkan sakik nan samo diarangkan. Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang. Apalagi kalau “ameh lah bapuro, kabau lah bakandang“.
BAB IV. Yang Di Pertuan Sultan Alam Muningsyah
Tuanku Raja Muning Alamsyah atau juga yang disebut Yang Dipertuan Sultan Alam Muningsyah adalah raja alam Pagaruyung yang secara luar biasa selamat dari tragedi pembunuhan di Koto Tangah, Tanah Datar pada tahun 1809 dalam masa Perang Paderi berkecamuk di Minangkabau. Tahun terjadinya tragedi ini dipertikaikan.
Christine Dobin mencatatkan dalam Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, (Inis, Jakarta 1992) tragedi tersebut terjadi pada tahun 1815, sebagaimana yang juga ditulis Rusli Amran dalam Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, (Sinar Harapan, Jakarta 1981).
Menurut A.A.Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru (Penerbit PT Pustaka Grafiti pers, Jakarta 1984 cetakan pertama) tragedi tersebut bermula dari pertengkaran antara kaum Paderi dengan kaum adat yang diwakili oleh raja beserta pembesar kerajaan lainnya. Menurut MD Mansur dkk.dalam Sejarah Minangkabau (Penerbit Bharata, Jakarta, 1970) perundingan tersebut diadakan pada tahun 1809. Padamulanya dilakukan dengan iktikad baik oleh Tuanku Lintau, telah beralih menjadi sebuah pertengkaran. Menurut Muhamad Radjab dalam bukunya Perang Paderi, (Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1964 cetakan kedua) hal itu terjadi juga pada tahun 18009.
Karena ikut campurnya Tuanku Lelo, salah seorang tokoh Paderi yang ambisius dari Tapanuli Selatan. Beberapa orang dari keluarga raja seperti Tuanku Rajo Naro, Tuanku di Talang dan seorang putra raja lainnya dituduh tidak menjalankan aqidah Islam secara benar, oleh karena itu mereka anggap kapir dan harus dibunuh. Perundingan berubah menjadi pertengkaran dan berlanjut menjadi pembunuhan. Semua rombongan raja beserta Basa Ampek Balai dan para penghulu lainnya terbunuh. Daulat Yang Dipertuan Muningsyah dapat menyelamatkan dengan cara yang ajaib sekali. Baginda bersama cucu perempuannya Puti Reno Sori menghindar ke Lubuk Jambi Kuantan.
Menurut silsilah raja-raja Pagaruyung, Puti Reno Sori bersaudara dengan Sultan Alam Bagagar Syah, pada masa yang sama menyingkir ke Padang. Sultan Alam Bagagar Syah, Puti Reno Sori dan tiga saudara mereka lainnya adalah anak dari Tuan Gadih Puti Reno Janji dan ayahnya Yang Dipertuan Fatah. Sewaktu Sultan Alam Bagagar Syah dinobatkan menjadi raja alam menggantikan datuknya Sultan Alam Muningsyah, saudara sepupunya Sultan Abdul Jalil yang berada di Buo dikukuhkan menjadi Raja Adat dengan gelar Yang Dipertuan Sembahyang.A.A. Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru, mencatat bahwa Daulat Yang Dipertuan Muningsyah wafat pada 1825 dalam usia 80 tahun. Baginda makamkan di pemakaman raja-raja Minangkabau, ustano rajo di Pagaruyung.
BAB V. Daulat Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah, Raja Alam Pagaruyung
Berdasarkan Silsilah Ahli Waris Daulat yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung, Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah yang dikenal juga dengan panggilan Yang Dipertuan Hitam mempunyai empat orang saudara; Puti Reno Sori, Tuan Gadih Tembong, Tuan Bujang Nan Bakundi dan Yang Dipertuan Batuhampar, hasil perkawinan dari Daulat yang Dipertuan Sultan Alam Muningsyah (II) yang juga dikenal dengan kebesarannya Sultan Abdul Fatah Sultan Abdul Jalil (I) dengan Puti Reno Janji Tuan Gadih Pagaruyung XI.
Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah menikah pertama kali dengan Siti Badi’ah dari Padang mempunyai empat orang putera yaitu: Sutan Mangun Tuah, Puti Siti Hella Perhimpunan, Sutan Oyong (Sutan Bagalib Alam) dan Puti Sari Gumilan.
Dengan isteri keduanya Puti Lenggogeni (kemenakan Tuan Panitahan Sungai Tarab) mempunyai satu orang putera yaitu Sutan Mangun (yang kemudian menjadi Tuan Panitahan SungaiTarab salah seorang dari Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung).Sutan Mangun menikah dengan Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII (anak Puti Reno Sori Tuan Gadih Pagaruyung XII dan kemenakan kandung dari Sultan Alam Bagagarsyah).
Dengan isteri ketiganya Tuan Gadih Saruaso (kemenakan Indomo Saruaso, salah seorang Basa Ampek Balai Kerajaan Pagaruyung) mempunyai putera satu orang: Sutan Simawang Saruaso (yang kemudian menjadi Indomo Saruaso).
Dengan isteri keempatnya Tuan Gadih Gapuak (kemenakan Tuan Makhudum Sumanik) mempunyai putera dua orang yaitu Sutan Abdul Hadis (yang kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik salah seorang Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung) dan Puti Mariam. Sutan Abdul Hadis mempunyai delapan orang putera yaitu: Sutan Badrunsyah, Puti Lumuik, Puti Cayo Lauik, Sutan Palangai, Sutan Buyung Hitam, Sutan Karadesa, Sutan M.Suid dan Sutan Abdulah. Puti Mariam mempunyai dua orang putera : Sutan Muhammad Yakub dan Sutan Muhammad Yafas (kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik)
Adik perempuan dari Daulat Sultan Alam Bagagarsyah yaitu Puti Reno Sori yang kemudian dinobatkan menjadi Tuan Gadih Pagaruyung XII menikah dengan saudara sepupunya Daulat Yang Dipertuan Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang II Raja Adat Pagaruyung, mempunyai seorang puteri yaitu Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung XIII. Puti Reno Sumpu dengan suami pertamanya Sutan Ismail Raja Gunuang Sahilan mempunyai seorang puteri: Puti Sutan Abdul Majid. Sedangkan dengan suami keduanya: Sutan Mangun Tuan Panitahan Sungai Tarab (putera dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai seorang puteri: Puti Reno Saiyah Tuan Gadih Mudo (Tuan Gadih ke XIV).
Puti Reno Saiyah ini menikah dengan Sutan Badrunsyah Penghulu Kepala Nagari Sumanik (putera dari Sutan Abdul Hadis dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera empat orang yaitu: Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam Tuan Gadih Ke XV, Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang, Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek dan Sultan Ibrahim Tuanku Ketek.
Puti Reno Aminah dengan suami pertamanya Datuk Rangkayo Basa, Penghulu Kepala Nagari Tanjung Sungayang mempunyai seorang puteri: Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang (Tuan Gadih Pagaruyung XVI) dan dengan suami keduanya Datuk Rangkayo Tangah dari Bukit Gombak mempunyai putera satu orang: Sutan Usman Tuanku Tuo.
Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang menikah dengan Sutan Muhammad Thaib Datuk Penghulu Besar (ibunya Puti Siti Marad adalah cucu dari Sutan Abdul Hadis dan cicit dari Sultan Alam Bagagarsyah, sedangkan ayahnya Sutan Muhammad Yafas adalah anak dari Puti Mariam dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera enam orang: Puti Reno Soraya Thaib, Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Sutan Muhammad Thaib Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Puti Reno Yuniarti Thaib, Sutan Muhammad Farid Thaib, Puti Reno Rahimah Thaib.
Sutan Usman Tuanku Tuo menikah dengan Rosnidar dari Tiga Batur (cicit dari Sutan Mangun anak Sutan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera delapan orang: Puti Rahmah Usman, Puti Mardiani Usman, Sutan Akmal Usman Khatib Sampono, Sutan M .Ridwan Usman Datuk Sangguno, Sutan Rusdi Usman Khatib Muhammad, Puti Rasyidah Usman, Puti Widya Usman, Sutan Rusman Usman, Puti Sri Darma Usman.Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang tidak mempunyai putera.
Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek menikah dengan Ibrahim Malin Pahlawan dari Bukit Gombak mempunyai putera tiga orang: Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah, Puti Reno Fatima Zahara Tuan Gadih Etek dan Sutan Ismail Tuanku Mudo.Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah menikah dengan Sy.Datuk Marajo dari Pagaruyung mempunyai seorang putera : Sutan Syafrizal Tuan Bujang Muningsyah Alam.
Puti Reno Fatima Zahara menikah dengan Sutan Pingai Datuk Sinaro Patiah Tanjung Barulak (adalah cicit dari Puti Fatimah dan piut dari Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang) mempunyai putera delapan orang: Sutan Indra Warmansyah Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Sutan Indra Firmansyah, Sutan Indra Gusmansyah, Puti Reno Endah Juita, Sutan Indra Rusmansyah, Puti Reno Revita, Sutan Nirwansyah Tuan Bujang Bakilap Alam, Sutan Muhammad Yusuf.
Sutan Ismail Tuanku Mudo menikah dengan Yusniar dari Saruaso (adalah cicit dari Yam Tuan Simawang anak Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera tujuh orang: Sutan Fadlullah, Puti Titi Hayati, Sutan Satyagraha, Sutan Rachmat Astra Wardana, Sutan Muhammad Thamrinul Hijrah, Puti Huriati, Sutan Lukmanul Hakim.
Sutan Ibrahim Tuanku Ketek dengan isteri pertamanya Dayang Fatimah dari Batipuh (kemenakan Tuan Gadang Batipuh) mempunyai seorang putera: Sutan Syaiful Anwar Datuk Pamuncak; dengan istri keduanya Nurlela dari Padang mempunyai seorang putera: Sutan Ibramsyah dan isteri ketiganya Rosmalini dari Buo mempunyai puteri dua orang: Puti Roswita dan Puti Roswati.
Dari kutipan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung dapat dilihat bahwa ahli waris baik berdasarkan garis matrilineal maupun patrilineal adalah anakcucu dari Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII yang sampai sekarang mewarisi dan mendiami Istano Si Linduang Bulan di Balai Janggo Pagaruyung Batusangkar.
Setelah mamaknya Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap Belanda pada tanggal 2 Mei 1833 dan dibuang ke Batavia dan ayahnya Daulat Yang Dipertuan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang mangkat di Muara Lembu, maka Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu dijemput oleh Datuk-datuk Yang bertujuh untuk kembali ke Pagaruyung melanjutkan tugas mamak dan sekaligus tugas ayahnya sebagai Raja Alam dan Raja Adat.
Sesampainya di Pagaruyung, ternyata tidak ada lagi istana yang berdiri di Pagaruyung karena telah dibumi hanguskan. Kemudian pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk mendirikan istananya di Gudam atau di Kampung Tengah atau di Balai Janggo. Beliau memilih mendirikan istananya di Balai Janggo dengan alasan dekat dengan padangnya, Padang Siminyak (diceritakan oleh cucu beliau Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam kepada penulis). Nama Istana Si Linduang Bulan kembali dipakai (nama istana tempat kediaman Raja Pagaruyung sejak dulu) untuk nama istana yang baru itu, sekaligus sebagai pengganti dari istana-istana raja Pagaruyung yang terbakar semasa Perang Paderi.
Istana Si Linduang Bulan ini kemudian terbakar lagi pada tanggal 3 Agustus 1961. Atas prakarsa Sutan Oesman Tuanku Tuo ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung beserta anak cucu dan keturunan; Tan Sri Raja Khalid dan Raja Syahmenan dari Negeri Sembilan, Azwar Anas Datuk Rajo Sulaiman, Aminuzal Amin Datuk Rajo Batuah, bersama-sama Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Timbang Pacahan, Kapak Radai dari Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung serta Basa Ampek Balai dan Datuk Nan Batujuh Pagaruyung, Istana Si Linduang Bulan dibangun kembali dan diresmikan pada tahun 1989.
Sejarah Alam Minangkabau
Materi Sejarah Minangkabau ini di download dari situs http://www.minangkabau.info/
” Budaya adalah ayat - ayat Allah SWT yang tidak tertulis ”
Daftar IsiA. Lintasan Sejarah Minangkabau
Pengantar
Zaman Mula Sejarah Minangkabau
Zaman Minangkabau Timur
Maharajo Dirajo
Suri Dirajo, Cati Bilang Pandai dan Indo Jati
Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang
Masa Pemerintahan Adityawarman
Kerajaan Pagaruyung Sesudah Adityawarman
Kedatangan Bangsa Barat Ke Minangkabau
Pembaharuan Agama Islam
B. Alam Minangkabau
Pengertian Alam
Lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago
luhak
Rantau
C. Adat Minangkabau
Pengertian Adat
Pendapat-Pendapat Mengenai Nama Minangkabau
D. Nagari
Asal Kata Nagari
Asal Nagari Menurut Pertumbuhannya
Nagari Nan Ampek
Ikatan Kekeluargaan Dalam Nagari Nan Ampek
Syarat Berdirinya Sebuah Nagari
Kebesaran Nagari
Perhiasan Nagari
Pagaran Nagari
Batasan Nagari
Sistem Pemerintahan Nagari
E. Undang - Undang
Undang – Undang
Undang-Undang Nan Ampek
Cupak Nan Duo
Kato Nan Ampek
F. Sistem Kekerabatan
Pengantar Sistem Kekerabatan
Garis Kekerabatan dan Kelompok-Kelompok Masyarakat
perkawinan
Peranan Ibu Dan Bapak dalam Keluarga
Mamak Dan Kemenakan
G. Sistem Kepemilikan
Harta
Pewarisan Harta Pusaka
Tanah Ulayat
Pemindahan Hak
H. Limpapeh Rumah Gadang
Bundo Kanduang
Keutamaan Bundo Kanduang Di Minangkabau
Sifat-Sifat Bundo Kanduang
Martabat Seorang Bundo Kanduang
Larangan Dan Pantangan Bundo Kanduang
Tugas Dan Kewajiban Bundo Kanduang
Pembagian Bundo Kanduang Menurut Adat Minangkabau
Sumbang Salah Menurut Adat
I. Adat Sopan Santun
Adat Sopan Santun
pengertian Adat Sopan Santun
Adat Sopan Santun Dalam Hidup Bermasyarakat
Adat Sopan Santun Yang Dimiliki Seseorang Individu
Sifat - Sifat Terpuji Dalam Hidup Bermasyarakat
J. Nilai Dasar Adat Minangkabau
Nilai - Nilai Dasar Adat Minangkabau
Pandangan Terhadap Hidup
Pandangan Terhadap Kerja
Pandangan Terhadap Waktu
Hakekat Pandangan Terhadap Alam
Pandangan Terhadap Sesama
K. Elok Nagari Dek Penghulu
Elok Nagari Dek Penghulu
Sistem Kepemimpinan Setelah Islam
Tingkat - Tingkat Kepemimpinan
Penghulu
Kepustakaan
· LKKAM Kabupaten Agam, 2002, “Materi Pembekalan Ninik Mamak se-Kabupaten Agam Tahun 2002“, Lubuk Basung.
A. Lintasan Sejarah Minangkabau
Pengantar Sejarah Alam Minangkabau Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun. A. LINTASAN SEJARAH MINANGKABAUA.1. PengantarUntuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun.Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki Gunung Emas, Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan Gadang, Koto Tinggi, Ampang Gadang.
Seperti umumnya kebudayaan megalit lainnya berawal dari zaman batu tua dan berkembang sampai ke zaman perunggu. Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong. Megalit seperti yang terdapat disana juga tersebar ke arah timur, juga terdapat di Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu, Birma dan Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang sama pula.
Menurut para ahli bahwa pendukung kebudayaan Dongsong adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara dalam dua gelombang. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi. Gelombang kedua datang kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.
Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut oleh para ahli dengan bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Barak, Toraja, Dayak, Nias, Mentawai dan lain-lain. Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis dan lain-lain.
Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau adalah bangsa melayu muda dengan kebudayaan megalit yang mulai tersebar di Minangkabau kira-kira tahun 500 SM sampai abad pertama sebelum masehi yang dikatakan oleh Dr. Bernet Bronson. Jika pendapat ini kita hubungkan dengan apa yang diceritakan oleh Tambo mengenai asal-usul orang Minangkabau kemungkinan cerita Tambo itu ada juga kebenarannya.
Menurut sejarah Iskandar Zulkarnain Yang Agung menjadi raja Macedonia antara tahun 336-323 s.m. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur.
Tokoh Iskandar Zulkarnai dalam Tambo Minangkabau secara historis tidak dapat diterima kebenarannya, karena dia memang tidak pernah sampai ke Minangkabau. Di samping di dalam sejarah Melayu, Hikayat Aceh dan Bustanul Salatin Tokoh Iskandar Zulkarnain ini juga disebut-sebut, tetapi secara historis tetap saja merupakan seorang tokoh legendaris.
Sebaliknya tokoh Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh Tambo sebagai salah seorang anak Iskandar Zulkarnain, kemungkinan merupakan salah seorang Panglima Iskandar Zulkarnain yang ditugaskan menguasai pulau emas (Sumatera), termasuk di dalamnya daerah Minangkabau. Dialah yang kemudian menurunkan para penguasa di Minangkabau, jika kita tafsirkan apa yang dikatakan Tambo berikutnya. Sayangnya Tambo tidak pernah menyebutkan tentang kapan peristiwa itu terjadi selain ”pada masa dahulunya” yang mempunyai banyak sekali penafsirannya.
Tambo juga mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau dari puncak gunung merapi. Hal ini tidak dapat diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi seperti kebiasaan orang Minangkabau sendiri harus dicari tafsirannya, karena orang Minangkabau selalu mengatakan sesuatu melalui kata-kata kiasan, ”tidak tembak langsung”. Tafsirannya kira-kira sebagai berikut: Sewaktu Maharajo Dirajo sedang berlayar menuju pulau emas dalam mengemban tugas yang diberikan oleh Iskandar Zulkarnain, pada suatu saat dia melihat daratan yang sangat kecil karena masih sangat jauh. Setelah sampai ke daratan tersebut ternyata sebuah gunung, yaitu gunung merapi yang sangat besar. Tetapi oleh pewaris Tambo kemudian gunung Merapi sangat kecil yang mula-mula kelihatan itulah yang dikatakan sebagai tanah asal orang Minangkabau. Selanjutnya cerita Tambo yang demikian, juga masih ada sampai sekarang pada zaman kita ini.
Ada baiknya kita kutip apa yang dikatakan Tambo itu sebagai yang dikatakan oleh Sang Guno Dirajo: ”…Dek lamo bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, yang sagadang talua itiak, sadang dilamun-lamun ombak…” (sesudah lama berlayar akhirnya kelihatanlah pulau yang sangat kecil kira-kira sebesar telur itik yang kelihatan hanya timbul tenggelam sesuai denga turun naiknya ombak).
Selanjutnya dikatakan:”…Dek lamo - bakalamoan aia lauik basentak turun, nan gosong lah basentak naiak, kok dareklah sarupo paco, namun kaba nan bak kian, lorong kapado niniak kito, lah mendarek maso itu, iyo dipuncak gunuang marapi…” (karena sudah lama berlayar dan pasang sudah mulai surut, gosong yang kecil tadi makin besar, daratan yang kelihatan itu tak obahnya seperti perca, maka dinamakanlah daratan itu dengan pulau perca yang akhirnya didarati oleh nenek moyang kita yang mendarat kira-kira di gunung merapi).
Peristiwa inilah yang digambarkan oleh mamangan adat Minangkabau berbunyi “dari mano titiak palito, dari telong nan barapi, dari mano asal niniak kito, dari puncah gunuang marapi” (dari mana titik pelita dari telong yang berapi, dari mana datang nenek kita, dari puncak gunung merapi). Mamangan adat ini sampai sekarang masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau..
Bagi kita yang menarik dari cerita Tambo ini bukanlah mengenai arti kata-katanya melainkan adalah cerita itu memberikan indikasi kepada kita tentang nenek moyang orang Minangkabau asalnya datang dari laut, (dengan berlayar) yang waktunya sangat lama. Kedatangan nenek moyang inilah yang dapat disamakan dengan masuknya nenek moyang orang Minangkabau. Dengan demikian masuknya nenek moyang orang Minangkabau dapat diperkirakan waktu kedatangannya: yaitu antara abad kelima sebelum masehi dengan abad pertama sebelum masehi, sesuai dengan umur kebudayaan megalit itu sendiri.
Kembali kepada permasalahan pokok pada bagian ini, maka menurut Soekomo, tradisi Megalit pada mulanya merupakan batu yang dipergunakan sebagai lambang untuk memperingati seorang kepala suku. Sesudah kepala suku itu meninggal, akhirnya peringatan itu berubah menjadi penghormatan yang lambat laun menjadi tanda pemujaan kepada arwah nenek moyang.
Bagaimana dengan megalit yang terdapat di Minangkabau? Barangkali fungsi pemujaan terhadap arwah nenek moyang masih tetap berlanjut, seperti Menhir lainnya di Indonesia. Tetapi jika kita hubungkan Menhir itu dengan kehidupan orang Minangkabau yang berkaitan dengan Medan Nan Bapaneh, yaitu tempat duduk bermusyawarah dalam masyarakat Minangkabau sudah mulai berkembang pada zaman pra sejarah, khususnya di zaman berkembangnya tradisi menhir di Minangkabau dan keadaan ini sudah berlangsung semenjak sebelum abad masehi.
Dari peninggalan menhir dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemuka masyarakat sekarang di tempat-tempat menhir itu terdapat seperti di Sungai Belantik, Andieng, Kubang Tungkek, Tiakat, Padang Japang, Limbanang, Talang Anau, Padang Kandih, Balubus, Koto Tangah, Simalanggang, Taeh Baruh, Talago, Ampang Gadang seperti yang dikatakan oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:”Bahwa ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang. Di gelanggang ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu Tagak yang kemudian kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian berubah fungsi, sebahagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang dan sebahagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama Medan nan Bapaneh”.
Karena sudah ada kehidupan bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat sudah hidup menetap dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang utama. Hal ini sesuai pula dengan kehidupan para pendukung kebudayaan Dongsong yang sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra sejarah Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan ditemui peninggalan-peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan bertani tersebut.
Diwaktu itu sudah dapat diperkirakan bahwa antara Adat Nan Sabana Adat sudah hidup di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, mengingat akan ajaran adat Minangkabau itu sendiri, yaitu Alam Takambang jadikan guru. Sedangkan Adat Nan Sabana Adat berisi tentang hukum-hukum alam yang tidak berubah dari dahulu sampai sekarang seperti dikatakan: Adat api mambaka, adat aia mamabasahi, adat tajam malukoi, adat runciang mancucuak dan sebagainya (Adat api membakar, adat air membasahi, adat tajam melukai, adat runcing mencucuk).
Demikian juga dengan Adat Nan Diadatkan sudah ada waktu itu, yaitu sebagai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Barangkali di zaman inilah berlakunya apa yang dikenal dengan hukum adat yang bersifat zalim dan tidak boleh dibantah yaitu hukum adat yang bernama “Simumbang Jatuah” (simumbang jatuh), mumbang kalau jatuh tidak dapat dikembalikan ke tempatnya lagi. Selanjutnya juga ada hukum yang bernama “si gamak-gamak”, yaitu suatu aturan yang tidak dipikirkan masak-masak. Disamping itu juga terdapat hukum yang dinamakan “Si lamo-lamo” yaitu siapa kuat siapa di atas persis seperti hukum rimba.
Barangkali hukum yang dinamakan “Hukum Tariak Baleh” juga berlaku di zaman ini. Hukum Tariak Baleh hampir sama dengan hukum Kisas dalam agama Islam, misalnya orang yang membunuh harus di hukum bunuh pula.
Keempat macam hukum adat itu memang sesuai dengan zamannya dimana belum terlalu banyak pertimbangan terhadap suatu yang dihadapi dalam kehidupan. Sampai kapan berlakunya hukum ini mungkin berlangsung sampai masuknya agama Islam pertama ke Minangkabau kira-kira abad ketujuh.
Zaman Purba Minangkabau berakhir dengan masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu kira-kira abad ketujuh, dimana buat pertama kali di Sumatra Barat sudah didapati kelompok masyarakat Arab tahun 674. Kelompok masyarakat Arab ini sudah menganut agama Islam, bagaimanapun rendahnya pendidikan waktu itu, tentu sudah pandai tulis baca, karena ajaran Islam harus diperoleh dari Qur’an dan Hadist Nabi yang semuanya sudah dituliskan dalam bahasa Arab. Dengan demikian diakhir bahagian ketiga abad ketujuh itu zaman purba Minangkabau sudah berakhir. A.2. Zaman Mula Sejarah MinangkabauYang dimaksud dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang meliputi kurun waktu antara abad pertama Masehi dengan abad ketujuh. Dalam masa tersebut masa pra Sejarah masih berlanjut, tetapi masa itu dilengkapi dengan adanya berita-berita tertulis tertua mengenai Minangkabau seperti istilah San-Fo Tsi dari berita Cina yang dapat dibaca sebagai Tambesi yang terdapat di Jambi. Di daerah Indonesia lainnya juga sudah terdapat berita atau tulisan seperti kerajaan Mulawarman di Kutai Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa Barat. Namun dari berita-berita itu belum banyak yang dapat kita ambil sebagai bahan untuk menyusun sebuah ceritera sejarah, karena memang masih sangat sedikit sekali dan masing-masingnya seakan-akan berdiri sendiri tanpa ada hubungan sama sekali. Untuk zaman ini Soekomono memberikan nama zaman Proto Sejarah Indonesia, yaitu peralihan dari zaman Prasejarah ke zaman sejarah.Berita dai Tambo dan ceritera rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara semu mengenai hal ini, yaitu hanya menyebutkan tentang kehidupan orang Minangkabau zaman dahulu. Dalam hal ini Tambo mengemukakan sebagai berikut: ”…tak kalo maso dahulu…”…(Diwaktu zaman dahulu),. ”…dari tahun musim baganti, dek zaman tuka – batuka, dek lamo maso nan talampau, tahun jo musim nan balansuang…” (Karena tahun musim berganti, karena zaman bertukar-tukar, karena masa yang telah lewat, tahun dengan musim yang berlangsung),”… Antah barapo kalamonyo…”(entah berapa lamanya), dari ungkapan waktu yang demikian memang sulit sekali menentukan kapan terjadinya. Pengertian zaman dahulu itu saja sudah mengandung banyak kemungkinan tafsiran dan sangat relatif.
Barangkali kehidupan zaman mula sejarah Minangkabau ini hampir sama dengan kehidupan pada zaman Pra sejarahnya, hanya saja di akhir zaman mula sejarah ini agama Islam sudah masuk ke Minangkabau dan sudah ada berita-berita dari Cina. Dapat dikatakan, bahwa cerita sejarah untuk zaman mula sejarah Minangkabau ini sangat sedikit sekali, bahkan dapat dikatakan merupakan zaman yang paling gelap dalam sejarah Minangkabau. Demikian gelapnya untuk menghubungkan zaman Pra Sejarah dengan zaman sejarahnya kita tidak mempunyai sumber sama sekali, bukan lagi kabur, tetapi sudah gelap gulita.
A.3. Zaman Minangkabau TimurIstilah ini dipinjam dari istilah yang dikemukakan oleh Drs. M. D. Mansoer dkk, dalam bukunya, Sejarah Minangkabau, dikatakannya Minangkabau mengalami dua periode, yaitu periode Minangkabau Timur yang berlangsung antara abad ketujuh sampai kira-kira tahun 1350 dan periode Minangkabau Pagaruyung antara tahun 1347-1809.
Dikatakannya, bahwa kerajaan-kerajaan lama, pusat perdagangan lada, pusat perekonomian, politik dan budaya yang pertama timbul dan berkembang di Minangkabau adalah di lembah aliran Batang Hari dan Sungai Dareh. Daerah itu berkembang pada abad ke tujuh sampai pertengahan abad keempat belas.
Secara geografis memang pantai timur pulau Sumatera lebih memungkinkan untuk dilayari oleh kapal-kapal dagang yang dapat berlayar sampai masuk jauh kepedalaman. Daerah pantai Sumatera Timur ini pulalah yangdahulu didatangi oleh nenek moyang orang Minangkabau yang berlayar sampai ke daerah Mahat di Kabupaten Lima Puluh Kota sebelah Utara. Pedagang-pedagang Islam yang mula-mula ke Minangkabau juga melalui daerah ini, sehingga perdagangan diwaktu periode Minangkabau ini menjadi sangat ramai sekali, bukan itu saja, Islam pertama pun masuk dari sini, baik yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Arab sendiri, maupun yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Persia, Hindustan, Cina, India dan lain-lain.
Pada permulaan abad Masehi perpindahan bangsa-bangsa dari utara ke selatan telah berakhir. Mereka telah menetap di sepanjang pantai kepulauan Nusantara. Setelah mereka menempati kepulauan Nusantara dan hidup secara terpisah, akhirnya karena lingkungan alam kehidupan bahasa yang mereka pergunakan pun mengalami perubahan seperti yang kita kenal sekarang dengan suku-suku bangsa Minangkabau, Jawa, Bugis, Madura, Sunda, Bali dan lain-lain.
Pada zaman purbakala, di Asia terdapat dua jalan perdagangan yang ramai antara Barat dan Timur, yaitu melalui darat dan laut, jalan yang melalui darat disebut jalan Sutera, mulai dari daratan Cina melalui Asia Tengah sampai ke Laut Tengah. Perhubungan darat ini sudah mulai semenjak abad kelima sebelum Masehi. Waktu dimulainya perpindahan bangsa Melayu Muda ke arah selatan. Perhubungan darat ini terutama menghubungkan antara Cina dengan Benua Eropah (Romawi) diwaktu itu dibawah raja Iskandar Zulkarnain dan selanjutnya dengan menyinggahi daerah sepanjang perjalanan seperti India, Persia dan lain-lain.
Perhubungan laut ialah dari Cina dan Indonesia melalui selat Malaka terus ke Teluk Persia dan Laut Tengah. Perhubungan laut ini menjadi sangat ramai pada awal abad pertama Masehi, karena jalan darat mulai tidak aman lagi. Sejak waktu itulah daerah-daerah di Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa menjadi daerah perhubungan antara perdagangan Arab, India dan Cina. Keadaan ini memungkinkan pedagang-pedagang Indonesia, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang Minangkabau ikut aktif berdagang.
Dengan aktifnya pedagang-pedagang Minangkabau dalam perdagangan dengan India, maka terbuka pulalah perhubungan antara kebudayaannya. Dari sini dapat kita lihat masuknya pengaruh Hindu ke Minangkabau melalui daerah pantai timur pulau Sumatera. Dalam abad kedua setelah Indonesia mempunyai perhubungan dengan India dan selama enam abad berturut-turut pengaruh Hindu di Indonesia besar sekali.
Jadi karena keadaan, pedagang-pedagang Minangkabau ikut terlibat dalam kancah lalu lintas perdagangan yang ramai di Asia. Keadaan itu pulalah yang menyebabkan Minangkabau di daerah aslinya sendiri yang jauh terletak di pedalaman.
Karena selat Malaka sangat ramai dilalui oleh kapal-kapal dagang dari Cina dan India maka salah satu bandar diselat itu bertumbuh dengan pesatnya sehingga akhirnya umbuh menjadi kerajaan Melayu. Kerajaan Melayu ini menurut para ahli berpusat di daerah Jambi yang sekarang dan diperkirakan berdirinya pada awal abad ketujuh Masehi. Nama Melayu pertama kalinya muncul dalam cerita Cina. Dalam buku Tseh Fu-ji Kwei diterangkan bahwa pada tahun 664 dan 665 kerajaan Melayu mengirimkan utusan kenegeri Cina untuk mempersembahkan hasilnya pada raja Cina. Pada waktu itu daerah Minangkabau merupakan daerah penghasil merica yang utama di dunia.
Rupanya Minangkabau Timur tidak lama memegang peranan dalam perdagangan di Selat Malaka, kareana sesudah muncul kerajaan Melayu dan kemudian sesudah kerajaan Melayu jatuh di bawah kekuasaan Sriwijaya, Minangkabau Timur menjadi bahagian dari kerajan Sriwijaya.
Dengan berdirinya kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya kelihatan peranan Minangkabau Timur tidak ada lagi, karena berita-berita dari Cina hanya ada menyebut tentang Melayu dan Sriwijaya saja.
Dalam satu buku yang disusun oleh It-Tsing dapat kita ketahui bahwa dalam tahun 690 Masehi, Sriwijaya meluaskan daerah kekuasaannya dan kerajaan Melayu dapat ditaklukannya sebelum tahun 692 Masehi.
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai, negara perniagaan dan perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat. Selama lebih kurang enam abad kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan utama di daerah nusantara waktu itu. Namun sementara itu di Jawa mulai timbul kerajaan-kerajaan baru yang lama-kelamaan menjadi saingan utama dari kerajaan Sriwijawa dalam merebut hegemoni perdagangan di wilayah nusantara yang menyebabkan lemahnya Sriwijaya.
Dalam hal ini lawan kerajaan Sriwijaya yang utama adalah kerajaan Kediri di Jawa Timur dan Kerajaan Colamandala di India selatan. Dari kelemahan Sriwijaya itu, rupanya kerajaan Melayu dapat melepaskan diri dari Sriwijaya dan dapat memperkuat diri kembali dengan memindahkan ibu kota kerajaan ke daerah hulu Sungai Batang Hari. Kerajaannya dinamakan dengan Darmasraya. Hal ini dapat diketahui dari prasasti Padang Candi tahun 1286 yang terdapat di Sungai Langsat Si Guntur dekat Sungai Dareh dalam Propinsi Sumatera Barat sekarang.
Pada tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari (kerajaan yang menggantikan kekuasaan Kediri di Jawa Timur) mengirimkan suatu ekspedisi militer ke Sumatera dalam rangka melemahkan kekuasaan Sriwijaya dan memperluas pengaruhnya di Nusantara. Ekspedisi ini dikenal dalam sejarah Indonesia dengan nama ekspedisi Pamalayu.
Sebagai hasil dari ekspedisi itu, maka Kertanegara pada tahun 1286 mengirimkan acara Amogapasa ke Sumatera sebagai hadiah untuk raja dan rakyat kerajaan Melayu. Dengan kejadian ini dapat diartikan, bahwa semenjak peristiwa itu kerajaan Melayu sudah mengikuti kerajaan Singosari dan menjadi daerah tumpuan untuk menghadapi kemungkinan serangan dari negeri Cina akibat peristiwa penghinaan terhadap utusan Cina sebelumnya.
A.4. Maharajo DirajoDalam hal ini timbul suatu kontradiksi keterangan-keterangan, yaitu nama Maharajo Dirajo sudah disebutkan sebelumnya sebagai salah seorang panglima Iskandar Zulkarnain yang tugaskan menguasai Pulau Emas. Kalau memang demikian keadaannya, lalu bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang kita bicarakan ini yang waktunya sudah sangat jauh berbeda. Dalam hal ini kita tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Maharajo Dirajo yang sudah kita bicarakan hanya merupakan perkiraan saja dan belum tentu benar. Tetapi berdasarkan logika berfikir kira-kira diwaktu itulah hidupnya Maharajo Dirajo jika dihubungkan dengan nama Iskandar Zulkarnain. Sedangkan Maharajo Dirajo yang sedang dibicarakan sekarang ini adalah seperti yang dikatakan Tambo Alam Minangkabau yang mana yang benar perlu penelitian lebih lanjut. Dalam kesempatan ini kita hanya ingin memperlihatkan betapa rawannya penafsiran dari data yang diberikan Tambo Alam Minangkabau.
Maharajo Dirajo yang sekarang dibicarakan adalah Maharajo Dirajo seperti yang dikatakan Tambo. Dalam hal ini kita ingin mengangkat data dari Tambo menjadi Fakta sejarah Minangkabau.
Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu Maharajo Alif, Maharajo Dipang, dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi), tetapi Josselin de Jong mengatakan, menjadi raja di Turki. Maharajo Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo menjadi raja di Pulau Emas (Sumatera).
Kalau kita melihat kalimat-kalimat Tambo sendiri, maka dikatakan sebagai berikut: “…Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek nobat, nan sorang Maharajo Alif, nan pai ka banua Ruhun, nan sorang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan sorang Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko…” (pada masa dahulu kala, ada tiga orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke negeri Ruhun, yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina, dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau Sumatera).
Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka tahunnya hanya dengan istilah “Masa dahulu kala” itulah yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama sekali, sedangkan waktu yang mencakup zaman dahulu kala itu sangat banyak sekali dan tidak ada kepastiannya. Kita hanya akan bertanya-tanya atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat jawaban yang pasti. Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar, tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka tahun selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.
Percantuman raja Romawi dalam Tambo menurut hemat kita hanya usaha dari pembuat Tambo untuk menyetarakan kemasyhuran raja Minangkabau dengan nama raja di luar negeri yang memang sudah sangat terkenal di seantero penjuru dunia.
Dengan mensejajarkan kedudukan raja-raja Minangkabau dengan raja yang sangat terkenal itu maka pandangan rakyat Minangkabau terhadap rajanya sendiri akan semakin tinggi pula. Disini kita bertemu dengan satu kebiasaan dunia Timur untuk mendongengkan tuah kebesaran rajanya kepada anak cucunya.
Gelar Maharajo Dirajo sendiri terlepas ada tidaknya raja tersebut, menunjukan kebesaran kekuasaan rajanya, karena istilah itu berarti penguasa sekalian raja-raja yang tunduk di bawah kekuasaannya. Josselin de Jong mengatakan Lord of the Word atau Raja Dunia.
Dalam sejarah Indonesia gelar Maharaja Diraja tidak hanya menjadi milik orang Minangkabau saja, melainkan juga ada raja lain yang bergelar demikian seperti Karta Negara dari Singasari dengan gelar Maharaja Diraja seperti yang tertulis pada arca Amogapasa tahun 1286 sebagai atasan dari Darmasraya yang bernama raja Tribuana.
Tambo mengatakan bahwa Maharajo Dirajo adalah raja Minangkabau pertama. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Srimaharaja Diraja yang disebut dalam tambo sebagai raja Minangkabau yang pertama itu tidak lain dari Adityawarman sendiri yang menyebut dirinya dengan Maraja Diraja. Tentang Adityawarman mempergunakan gelar Maharaja Diraja memang semua ahli sudah sependapat, karena Adityawarman sendiri telah menulis demikian dalam prasasti Pagaruyung.
Dari gelar Maharaja Diraja yang dipakai Adityawarman menunjukan kepada kita bahwa sewaktu Adityawarman berkuasa di Minangkabau tidak ada lagi kekuasaan lain yang ada di atasnya, atau dengan perkataan lain dapat dikatakan pada waktu itu Minangkabau sudah berdiri sendiri, tidak berada di bawah kekuasaan Majapahit atau sudah melepaskan diri dari Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah ahli waris dari Singasari. Sedangkan Singasari pernah menundukkan melayu Darmasraya, tentu berada di bawah kekuasaan Singasari - Majapahit itu, maka untuk melepaskan diri dari Singasari - Majapahit itu Adiyawarman memindahkan pusat kekuasaannya kepedalaman Minangkabau dan menyatakan tidak ada lagi yang berkuasa di atasnya dengan memakai gelar Maharaja Diraja.
Ada sesuatu pertanyaan kecil yang perlu dijawab, yaitu apakah tidak ada lagi kemungkinan bahwa gelar Maharajo Dirajo itu merupakan gelar keturunan bagi raja-raja Minangkabau, sehingga diwaktu Adityawarman menjadi raja di Minangkabau dia merasa perlu mempergunakan gelar tersebut agar dihormati oleh rakyat Minangkabau. Kalau memang demikian, maka kita akan dapat menghubungkannya dengan Maharajo Dirajo yang kita bicarakan kehidupannya sebelum abad Masehi. Tetapi hal ini kembali hanya berupa dugaan saja yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Kalau kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Maharaja Diraja itu sama dengan Adityawarman, maka satu kepastian dapat dikatakan bahwa kerajaan Minangkabau baru bermula pad tahun 1347, yaitu pada waktu Adityawarman menjadi raja di Minangkabau yang berpusat di Pagaruyuang. Logikanya tentu sebelum Adityawarman, belum ada raja di Minangkabau, kalau ada baru merupakan daerah-daerahyang dikuasai oleh seorang kepala suku saja. Kalau pendapat itu tidak dapat diterima kebenarannya, maka tokoh Maharajo Dirajo yang disebut di dalam Tambo itu masih tetap merupakan seorang tokoh legendaris dalam sejarah Minangkabau dan hal ini akan tetap mengundang bermacam-macam pertanyaan yang pro dan kontra.
Kemungkinan gelar Maharajo sudah dipergunakan sebelum kedatangan Adityawarman memang ada. Tetapi apakah gelar itu merupakan gelar keturunan dari raja-raja Minangkabau masih belum lagi dapat diketahui dengan pasti. Yang jelas pada waktu sekarang ini, banyak gelar para penghulu di Sumatera Barat yang memakai gelar Maharajo sebagai gelar kepenghulunya disamping nama lainnya, seperti Dt. Maharajo, Dt. Marajo, Dt. Maharajo Basa, Dt. Maharajo Dirajo.
Kelihatan gelar tersebut dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai gelar pusaka yang turun-menurun. Sebaliknya raja-raja Pagaruyung sendiri tidak mempergunakan gelar tersebut sebagai pusaka kerajaannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gelar Maharajo Dirajo tersebut merupakan gelar pusaka Minangkabau dan sudah ada sebelum Adityawarman menjadi raja di Pagaruyung. Barangkali memang gelar itu diturunkan dari Maharajo dirajo seperti disebutkan dalam Tambo itu.A.5. Suri Dirajo, Cati Bilang Pandai Dan Indo JatiKetiga nama ini hanya terdapat dalam Tambo atau kaba yang banyak terdapat dalam masyarakat Sumatera Barat sekarang ini. Dari situlah bersumbernya ketiga nama tersebut, sedangkan sumber-sumber sejarah lainnya seperti prasasti dan tulisan lainnya tidak ada menyebut ketiga nama tersebut. Namun, sama halnya dengan nama Iskandar Zulkarnaen rakyat Sumatera Barat mempercayai ketiga nama tersebut sebagai cikal bakal orang Minangkabau.
Menurut Tambo Zuriat Sultan Iskandar Zulkarnaen, sewaktu Maharajo bertolak dari Tanah Basa, (India Selatan) memimpin satu rombongan yang terdiri dari: Suri Dirajo, Indo Jati, Cati bilang Pandai, dan beberapa rombongan dari Campa, Siam, Kambai dan lain-lain berlayar mengarungi lautan Indonesia lalu menetap ke gunung Merapi. P. E. Josselin de Jong juga menyebutkan nama Cati Bilang Pandai sebagai penasehat dari Maharajo.
Perlu dijelaskan bahwa nama Indo Jati sering disebutkan dengan sebutan yang berbeda, walaupun orangnya itu juga. Hamka menyebutkan dengan nama Indo Jelita atau dengan nama lain Ceti Reno Sudah. PE Josselin de Jong menyebut dengan nama Indo Calita. Sedangkan untuk kedua nama yang lain tidak ada perbedaan sebutan. Sekarang timbul pertanyaan: Apakah ketiga nama itu betul-betul merupakan nenek moyang orang Minangkabau di zaman dahulu dengan pengertian benar-benar ada dalam sejarah Minangkabau. Jawabannnya mudah saja, karena tidak ada bukti-bukti lain yang akan mendukung, maka secara historis ketiga tokoh ini hanya merupakan tokoh legendaris belaka dalam sejarah Minangkabau. Keberadaannya sebagai tokoh sejarah tidak dapat dibuktikan.
Namun demikian, hampir semua Tambo Minangkabau sependapat mengatakan bahwa Suri Dirajo dan Cati Bilang Pandai adalah tokoh yang melambangkan orang pandai, ahli pikir, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang kemasyarakatan. Segala sesuatu yang dikerjakan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari salah seorang kedua tokoh itu, demikian besar pengaruhnya di samping Maharajo Dirajo sendiri.
Sedangkan menurut Hamka, tokoh Indo Jati yang disebutnya sebagai Indra Jati melambangkan sesuatu yang luhur asal-usulnya. Dalam kepercayaan Hindu nama Indra adalah nama seorang dewa yang merupakan salah seorang dewa utama Trimurti. Indra adalah salah satu penjelmaan Wisnu sebagai Dewa Matahari. Gelar dewa jelas menunjukkan seorang kesatria yang berdarah luhur. Jadi tokoh Indo Jati adalah salah seorang tokoh wanita kesatria dari rombongan Maharajo Dirajo.
A.6. Datuk Ketumanggungan Dan Datuk Perpatih Nan SabatangSiapa tokoh ini?. Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris sejarah Minangkabau?. Atau apakah keduanya merupakan tokoh historis sejarah Minangkabau yang benar-benar ada dan hidup dalam sejarah Minangkabau pada masa dahulu. Penjelasan berikut ini dapat menjawab beberapa pertanyaan itu.
Suku bangsa Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan penuh keyakinan, bahwa kedua orang tokoh itu merupakan pendiri Adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup subur di dalam masyarakat Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat sendiri maupun yang ada diperantauan.
Demikian kokohnya sendi-sendi kedua adat itu sehingga tidak dapat digoyahkan oleh bermacam-macam pengaruh dari luar, dengan pengertian akan segera mengadakan reaksi membalik apabila terjadi perbenturan terhadap unsur-unsur pokok adat itu. Hal ini telah dibuktikan oleh perputaran masa terhadap kedua adat itu.
Ada petunjuk bagi kita bahwa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah Minangkabau. Pitono mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan tokoh Dewa Tuhan Perpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang sama.
Dijelaskan selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai salah seorang terkemuka dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu adalah sama dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.
Kalau pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa tokoh Datuk Perpatih Nan Sabatang itu adalah merupakan salah seorang tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, karena namanya juga tertulis pada salah satu prasasti sebagai peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada.
Bukti lain mengenai kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah Minangkabau adalah dengan adanya Batu Batikam di Dusun Tuo Lima Kaum, Batusangkar. Dikatakan dalam Tambo, bahwa sebagai tanda persetujuan antara Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini sebagai peringatan bagi anak cucunya dikemudian hari. Sebelum peristiwa ini terjadi antara kedua tokoh adat itu terjadi sedikit kesalah pahaman. Adanya Batu Batikam itu yang sampai sekarang masih terawat dengan baik, dan ini membuktikan kepada kita bahwa kedua tokoh itu memang ada dalam sejarah Minangkabau, bukan sekedar sebagai tokoh dongeng saja sebagaimana banyak ahli-ahli barat mengatakannya.
Bukti lain dalam hikayat raja-raja Pasai. Dikatakan bahwa dalam salah satu perundingan dengan Gajah Mada yang berhadapan dari Minangkabau adalah Datuk Perpatih Nan Sabantang tersebut. Hal ini membuktikan pula akan kehadiran tokoh itu dalam sejarah Minangkabau.
Di Negeri Sembilan, sebagai bekas daerah rantau Minangkabau seperti dikatakan Tambo, sampai sekarang juga dikenal Adat Perpatih. Malahan peraturan adat yang berlaku di rantau sama dengan peraturan adat yang berlaku di daerah asalnya. Hal ini juga merupakan petunjuk tentang kehadiran Datuk Parpatih Nan Sabantang dalam sejarah Minangkabau. Menurut pendiri adat Koto Piliang oleh Datuk Ketumanggungan dan Adat Budi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Sesudah ternyata terbukti bahwa kedua tokoh itu benar-benar hadir dalam sejarah Minangkabau, maka ada hal sedikit yang kurang benar yang dikemukakan oleh Pinoto. Dia mengatakan bahwa kedua tokoh itu merupakan pembesar dengan kedudukan menteri dalam kerajaan Adiyawarman. Tetapi pencantuman kedua tokoh itu dalam Prasasti Adityawarman tidaklah berarti bahwa menjadi menterinya, melainkan untuk menghormatinya, karena sebelum Adityawarman datang, kedua tokoh itu sudah ada di Minangkabau yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Maka oleh Adityawarman untuk menghormati kedudukan kedua tokoh itu dicantumkan nama mereka pada prasastinya. Tidak sembarang orang yang dapat dicantumkan di dalam prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul sangat terhormat.
Walaupun Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan sudah merupakan tokoh historis dalam sejarah Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti yang dikemukakan, akan tetapi keduanya bukanlah merupakan raja Minangkabau, melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini, yaitu adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago, bagi masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang sedemikian, jauh lebih tinggi martabatnya dari kedudukan seorang raja yang manapun.
Antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan adalah dua orang bersaudara satu Ibu berlainan Ayah. Karena ada sedikit perbedaan dari apa yang dikatakan Tambo mengenai siapa ayah dan ibu dari kedua orang itu, rasanya pada kesempatan ini tidak perlu dibicarakan perbedaan itu. Tetapi dari apa yang dikatakan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa ayah Datuk Ketumanggungan adalah suami pertama ibunya (Indo Jati). Berasal dari yang berdarah luhur atau dari keturunan raja-raja. Sedangkan ayah dari Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah Cati Bilang Pandai suami kedua ibunya yang berasal dari India Selatan juga. Perbedaan darah leluhur dari keduanya itu menyebabkan nantinya ada sedikit perbedaan dalam ajaran yang disusun mereka. Kesimpulannya adalah bahwa kedua orang itu yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, bukan tokoh legendaris sebagaimana yang dianggap oleh kebanyakan penulis-penulis barat.A.7. Masa Pemerintahan AdityawarmanAdityawarman bukan raja di Minangkabau, melainkan adalah raja di kerajaan Pagaruyung yang merupakan salah satu periode dari sejarah Minangkabau yang sangat panjang. Agar tidak mendatangkan keraguan kepada kita, maka kerajaan yang diperintahkan oleh Adityawarman kita namai kerajaan Pagaruyung saja.
Untuk mengetahui siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil dari ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275, bukan hasil secara keseluruhan melainkan hasil yang berhubungan dengan asal-usul Adityawarman saja.
Setelah ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu rombongan ekspedisi kembali ke Jawa, mereka membawa Dara Jingga dan Dara Petak. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah diganti oleh kerajaan Majapahit. Maka Dara Petak diambil sebagai selir oleh Raden Wijaya yang menjadi raja pertama kerajaan Majapahit. Dari perkawinan ini nanti akan melahirkan seorang putra yang pada waktunya akan menjadi raja di Majapahit. Puteranya tersebut bernama Jayanegara.
Dara Jingga kawin dengan salah seorang pembesar kerajaan Majapahit dan melahirkan seorang putera yang nama kecilnya. Aji Mantrolot. Aji Mantrolot ini yang kemudian dikenal sebagai Adityawarman. Dengan demikian Adityawarman merupakan keturunan dari dua darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan Sumatera dan satu darah bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua yaitu Jayanegara adalah saudara sepupu dari Adityawarman.
Mengenai asal-usul Adityawarman ini, Muhammad Yamin mengatakan bahwa Adityawarman berasal dari tanah Minangkabau di Pulau Sumatera. Tempat lahirnya terletak di Siguntur dekat nagari Sijunjung. Diwaktu muda dia berangkat ke Majapahit, tempat dia dididik disekeliling pusat pemerintahan dalam suasan keraton Majapahit. Kesempatan yang diperdapatnya itu berasal dari turunannya. Ayah bundanya mempunyai hubungan darah dengan permaisuri raja Majapahit yang pertama.
Pendapat Muhammad Yamin mengenai tempat kelahiran Adityawarman dan hubungan kekeluargaannya dengan Kerajaan Majapahit diperkuat oleh Pinoto yang mengatakan, bahwa Adityawarman adalah seorang putera Sumatera yang lahir di daerah aliran Sungai Kampar dan besar kemungkinan dalam tubuhnya mengalir darah Majapahit. Hubungan dengan kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan politis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Adityawarman dilahirkan di Kerajaan Melayu atau Minangkabau dan dibesarkan di Kerajaan Majapahit. Di keraton Majapahit Adityawarman di didik bersama saudara sepupunya Jayanegara yang kemudian menjadi raja Majapahit yang kedua. Di keraton Majapahit kedudukan Adityawarman sangat tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah seorang menteri atau perdana menteri yang diperolehnya bukan saja karena hubungan darahnya dengan raja Majapahit tetapi juga berkat kecakapannya sendiri. Tahun 1325 raja Jayanegara mengirim Adityawarman segbagai utusan ke negeri Cina yang berkedudukan sebagai duta. Bersama dengan Patih Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas wilayah kekuasaan Majapahit di Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan pemberontakan Sadeng dengan suatu perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim kembali menjadi utusan ke negeri Cina dengan kedudukan sebagai duta. Pada tahun 1334 Adityawarman pulang kembali ke negeri asalnya. Karena dengan lahir dan menjadi besarnya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman utnuk menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat.
Adityawarman adalah cucu dari raja Melayu karena ibunya Dara Jingga adalah anak Tribuana raja Mauliwarmadewa, raja kerajaan Melayu. Oleh karena itu, Adityawarman berhak atas takhta kerajaan Melayu tersebut. Timbulnya keinginan Adityawarman untuk mendirikan kerajaan Melayu yang mandiri, disebabkan karena kegagalan usaha patih Gajah Mada menguasai selat malaka. Pada tahun 1347 Adityawarman menjadi raja kerajaan Melayu yang dipusatkan di Darmasraya. Hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian belakan arca Amogapasa dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu Adityawarman memakai nama : “Udayadityawarman Pratakramarajendra Mauliwarmadewa” dan bergelar “Maharaja Diraja” dengan memakai gelar tersebut rupanya Adityawarman hendak menyatakan bahwa dia merupakan raja yang berdiri sendiri dan tidak ada lagi raja yang berada di atasnya. Dengan demikian dia sudah bebas dari Majapahit. Sebagai realisasi dari pernyataan tersebut, maka Adityawarman pada tahun 1349 memindahkan pusat kerajaan dari Darmasraya ke Pagaruyung di Batusangkar.
Selama pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa kerajaan Pagaruyung ke puncak kejayaannya. Dalam usaha memajukan kerajaan itu Adityawarman mengadakan hubungan dengan luar negeri, yaitu dengan Cina. Tahun 1357, 1375, 1376 Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Selama masa pemerintahannya di Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai 1376, kerajaan Pagaruyung berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat dikatakan pada waktu itu Indonesia bagian barat dikuasai kerajaan Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit.
Adityawarman sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di Majapahit serta telah pula pernah menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, tentulah paham betul dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian corak pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung. Hal ini ternyata pada prasasti yang ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang oleh Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.
Menurut Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung, sedangkan daerah lain di Minangkabau masih tetap berada dibawah pengawasan Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk ketumanggungan dengan pemerintahan adatnya. Dengan demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat dianggap sebagai lambang kekuasaan saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya tetap berada di tangan kedua tokoh pemimpin adat tersebut, sehingga hal ini menyebabkan kemudian pengaruh budha yang dibawa ke Pagaruyung tidak dapat tempat di hati rakyat Minangkabau, karena prinsipnya rakyat Minangkabau sendiri secara langsung tidak berkenalan dengan pengaruh-pengaruh tersebut. Disamping itu, selama menjadi raja Pagaruyung yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau tetap hukum Adat Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam hal ini Tambo mengatakan bahwa Adityawarman walaupun sudah menjadi raja yang besar, tetap saja merupakan seorang sumando di Minangkabau, artinya kekuasaannya sangat terbatas.
Barangkali hal ini memang disengaja oleh Datuk yang berdua itu, mengingat pada mulanya kekuasaan Adityawarman yang sangat besar sekali. Agar kehidupan masyarakat Minangkabau jangan terpengaruh oleh kebiasaan yang dibawa oleh Adityawarman maka kedua Datuk itu memagarinya dengan pengaturan kekuasaan, Adityawarman boleh menjadi raja yang sangat besar, tetapi kekuasaannya hanya terbatas di sekitar istana saja, sedangkan kekuasaan langsung terhadap masyarakat tetap dipegang oleh mereka. Sesudah meninggalnya Adityawarman yang memang merupakan seorang raja yang besar dan kuat, kekuasaan kerajaan Pagaruyung mulai luntur. Kelihatannya dengan pengaturan yang dilakukan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang berdua dengan Datuk Ketumanggungan tidak memberi kesempatan kepada pengganti Adityawarman yang menganut agama budha untuk berkuasa seterusnya.
Adityawarman sebagai raja Pagaruyung merupakan seorang raja yang paling banyak meninggalkan prasasti. Hampir dua puluh buah prasasti yang ditinggalkannya. Diantaranya yang telah dibaca seperti Prasasti Arca Amogapasa, Kuburajo, Saruaso I dan II, Pagaruyung, Kapalo Bukit Gambak I dan II, Banda Bapahek, dan masih banyak lagi yang belum dapat dibaca.
Diantara yang telah dapat dibaca itu menyatakan kebesaran dan kemegahan kerajaan Pagaruyung, barangkali diantara raja-raja yang pernah ada di Indonesia tidak ada seorang pun yang pernah meninggalkan prasasti sebanyak yang telah ditinggalkan oleh Adityawarman. Sayangnya di Minangkabau kebiasaan seperti itu hanya dilakukan oleh Adityawarman seorang raja. Sebelum dan sesudahnya Adityawarman tidak ada yang membiasakan sehingga sampai sekarang kebanyakan data sejarah Minangkabau agak gelap.
Sesudah Adityawarman meninggal kerajaan Pagaruyung yang tidak lagi mempunyai raja yang merupakan keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan Ananggawarman yang dikatakan dalam salah satu prasasti Adityawarman sebagai anaknya tidak pernah memerintah, karena kekuasaan Adityawarman langsung digantikan oleh Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam. Dari sebutan raja itu saja, kelihatannya sesudah Adityawarman raja yang menggantikannya sudah menganut agama Islam.
Adanya Sultan Bakilap Alam sebagai raja Minangkabau Pagaruyung dijelaskan oleh Tambo Minangkabau. Dengan sudah dianutnya agama Islam oleh pengganti Adityawarman, maka hilang pulalah pengaruh agama Budha yang dianut Adityawarman di Minangkabau.
Sampai dengan pertengahan abad ke-16 sesudah Adityawarman kita tidak memperoleh keterangan yang lengkap mengenai kerajaan Pagaruyung. Rupanya sesudah Adityawarman meninggal, kerajaan Majapahit kembali berusaha untuk menguasai Pagaruyung serata Selat Malaka. Tetapi usaha tersebut gagal kaena angkatan perang kerajaan Majapahit yang datang dari arah pantai timur dikalahkan oleh tentara Pagaruyung dalam pertempuran di Padang Sibusuk tahun 1409.
Akibat pertempuran Padang Sibusuk itu membawa akibat yang sangat besar dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung selanjutnya. Semasa Adityawarman menjadi raja, pemerintahan bersifat sentralisasi menurut sistem di Majapahit. Tetapi sesudah pertempuran Padang Sibusuk itu, nagari-nagai di Minangkabau membebaskan diri dari kekuasaan yang berpusat di Pagaruyung.
A.8. Kerajaan Pagaruyung Sesudah AdityawarmanDari berita Tambo Pagaruyung dapat diketahui bagaiman keadaan Pagaruyung sesudah Adiyawarman demikian pula wawancara dengan S.M. Taufik Thaib SH. Dikatakan mengenai silisilah raja-raja Pagaruyung adalah sebagai berikut:
Adityawarman (1339-1376)
Ananggawarman (1376)
Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam
Yang Dipertuan Sultan Pasambahan
Yang Dipertuan Sultan Alif gelar Khalifafullah
Yang Dipertuan Sultan Barandangan
Yang Dipertuan Sultan Patah (Sultan Muning II)
Yang Dipertuan Sultan Muning III
Yang Dipertuan Sultan Sembahwang
Yang Dipertuan Sultan Bagagar Syah
Yang Dipertuan Gadih Reni Sumpur 1912
Yang Dipertuan Gadih Mudo (1912-1915)
Sultan Ibrahim 1915-1943 gelar Tuanku Ketek
Drs. Sultan Usman 1943 (Kepala Kaum Keluarga Raja Pagaruyung)
Dari data ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sesudah Adityawarman raja-raja di Pagaruyung sudah menganut agama Islam sesuai dengan sebutan Sultan (pengaruh Islam).
Bila Sultan Bakilap Alam memerintah tidak disebutkan oleh tambo tersebut, tetapi dapat diperkirakan sesudah tahun 1409, karena sampai 1409 pemerintahan Pagaruyung masih bersifat sentralisasi seperti sewaktu pemerintahan Adityawarman. Sesudah tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah desentralisasi dengan pengertian bahwa nagari-nagari sudah mempunyai otonom penuh dan pemerintahan di Pagaruyung sudah mulai melemah.
Selanjutnya dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari terlihat adanya dua tingkat pemerintahan yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo Tigo Selo dimaksudkan adalah tiga orang raja yang sekaligus berkuasa di bidang masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk pimpinan, Raja Adat berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas kerajaan dibidang adat. Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan melaksanakan urusan keagamaan kerajaan. Gambaran ini adalah lembaga pemerintahan di tingkat raja.
Sedangkan ditingkat Menteri dan Dewan Menteri yang dimaksud dengan Basa Ampek Balai terdiri dari:1. Bandaro (Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri2. Tuan Kadi di Padang Ganting yang mengurus masalah Agama3. Indomo di Saruaso mengurus masalah keuangan4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan rantau
Masyarakat nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik sampai ketingkat kerajaan. Dibidang adat dari nagari terus ke Bandaro dan kalau tidak putus juga diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau tidak putus juga masalahnya diteruskan lagi kepada Raja Alam di Pagaruyung yang akan memberikan kata putus. Begitu juga dalam bidang agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di Padang Ganting, terus kepada raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan bula tidak selesai juga akhirnya sampai kepada raja Alam yang akan memberikan kata putusnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk bersama dengan pembentukan Lembaga Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai bersamaan pula dengan pengangkatan dan pengiriman “Sultan Nan Salapan” ke daerah rantau Minangkabau yaitu daerah-daerah: Aceh, Palembang, Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Indra Pura, Rembau Sri Menanti dan lain-lain. Pengangkatan dan pelantikan itu dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam.
Dalam hal ini Bahar Dt Nagari Basa, mengatakan bahwa Basa Ampek Balai pada mulanya terdiri dari Bandaro di Sungai Tarap, yang menjadi Payung Panji Koto Piliang; Datuk Makhudum di Sumanik yang menjadi Pasak Kungkung Koto Piliang; Indomo di Saruaso yang menjadi Amban Puruak (bendahara) Koto Piliang; Tuan Gadang di Batipuah yang menjadi Harimau Campo Koto Piliang, yaitu Menteri Pertahanan Koto Piliang. Kemudian setelah Islam masuk ke Minangkabau dimasukkan Tuan Kadhi sebagai anggota Basa Ampek Balai dan “Tuan Gadang” di Batipuh ke luar dari keanggotaan itu dengan berdiri sendiri sebagai orang yang bertanggung jawab dalam masalah pertahanan Koto Piliang. Semuanya itu terdapat di Tanah Datar yang merupakan pucuk pimpinan di Minangkabau. Selanjutnya dikatakan yang menjadi kebesaran Luhak Agam adalah Parik Paga dan Kebesaran Lima Puluh Kota adalah Penghulu.
Dari keterangan itu yang dapat diambil kesimpulan bahwa Lembaga Basa Ampek Balai sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkabau dengan bukti seperti yang dikatakan oleh Datuk Nagari Basa dengan susunan yang sedikit berbeda dari apa yang kita kenal kemudian. Baru sesudah Islam masuk ke Minangkabau kedudukan Tuan Kadhi diserahkan untuk mengurus masalah agama Islam. Selanjutnya susunan Basa Ampek Balai dengan Tuan Gadang sudah seperti yang kita kenal sekarang ini.
Mengenai susunan pemerintahan Pagaruyung sesudah Adityawarman ini diuraikan dengan lengkap dalam cerita Cindua Mato. Cindua Mato (Candra Mata) adalah sebuah cerita rakyat Minangkabau yang menggambarkan tentang keadaan pemerintahan Minangkabau Pagaruyung di zaman kebesarannya. Walaupun dalam cerita ini mengenai raja-raja yang diceritakan sudah ada unsur legendanya, tetapi yang mengenai masalah lainnya sama dengan apa yang dikatakan Tambo.
Menurut Tambo, Basa Ampek Balai pernah memegang kedudukan Raja Alam yaitu sesudah Sultan Alif meninggal, karena orang yang akan menggantikan Sultan Alih masih belum dewasa. Buat sementara dipegang oleh Basa Ampek Balai.A.9. Kedatangan Bangsa Barat Ke MinangkabauHubungan Minangkabau dengan bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan bangsa Portugis. Menurut berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan Melayu yang datang ke Malaka. Kedatangan utusan tersebut adalah untuk membicarakan masalah perdagangan dengan bangsa Portugis yang waktu itu menguasai Malaka. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau Sumatera, maka hubungan dagang dengan Portugis itu terputus.
Dengan bangsa Belanda hubungan Minangkabau terjadi pertama kali kira-kira tahun 1600, diwaktu Pieter Both memerintahkan Laksamana Muda Van Gaedenn membeli lada ke pantai barat pulau Sumatera. Waktu itu beberapa pelabuhan yang ada disana menolak permintaan Belanda dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh.
Pada waktu Sultan Iskandar Muda dari kerajaan Aceh meninggal dunia, maka kekuasaan kerajaan Aceh menjadi lemah, sehingga mulai tahun 1636 sewaktu Iskandar Muda meninggal dunia, daerah-daerah Pesisir Barat kerajaan Pagaruyung mulai membebaskan diri dari kekuasaan Aceh dan melakukan hubungan dagang langsung dengan Belanda, seperti yang dilakukan oleh raja-raja Batang Kapas, Salido, Bayang di Pesisir Selatan.
Pada tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis dan semenjak itu Belanda mulai memperbesar pengaruhnya di pesisir barat Sumatera untuk menggantikan kerajaan Aceh. Mula-mula Belanda mendirikan kantor dagangnya di Inderapura terus ke Salido. Kemudian di Pulau Cingkuak juga didirikan lojinya pada tahun 1664 untuk mengatasi perlawanan rakyat pesisir yang dikoordinir oleh Aceh.
Untuk melepaskan pesisir barat pulau Sumatera dari pengaruh Aceh, maka Belanda melakukan perjanjian dengan raja Pagaruyung yang merupakan pemilik sesungguhnya dari daerah tersebut. Oleh raja Pagaruyung Belanda diberikan kebebasan untuk mengatur perdagangannya pada daerah tersebut. Perjanjian itu dilakukan pihak Belanda dengan Sultan Ahmad Syah pada tahun 1668.
Mulai saat itu Belanda, melangkah selangkah demi selangkah menanamkan pengaruhnya di Sumatera Barat dengan jalan politik pecah belahnya yang terkenal itu. Disatu pihak mereka menimbulkan perlawanan rakyatnya terhadap raja atau pemimpinnya sesudah itu mereka datang sebagai juru selamat dengan mendapat imbalan yang sangat merugikan pihak Minangkabau, sehingga akhirnya seluruh Minangkabau dapat dikuasai Belanda.
Semenjak abad ke 17 terjadi persaingan dagang yang sangat memuncak antara bangsa Belanda dengan bangsa Inggris di Indonesia. Pada tahun 1684 Belanda dapat mengusir Inggris berdagang di Banten. Sebaliknya Inggris masih dapat bertahan di daerah Maluku dan menguasai perdagangan di daerah pesisir Sumatera Bagian Barat. Pada tahun 1786 berhasil menguasai pulau Penang di Selat Malaka sehingga mereka dapat mengontrol jalan dagang diseluruh pulau Sumatera. Sumatera mulai dibanjri oleh barang-barang dagang Inggris. Tentu saja hal ini sangat merugikan pihak Belanda.
Tahun 1780-1784 pecah perang antara Inggris dan Belanda di Eropa. Peperangan ini merambat pula sampai ke daerah-daerah koloni yang mereka kuasai di seberang lautan. Pada tahun 1781 Inggris menyerang kedudukan Belanda di Padang dari pusat kedudukannya di Bengkulu, dan Padang serta benteng Belanda di Pulau Cingkuak di hancurkan.
Dengan demikian pusat perdagangan berpindah ke Bengkulu. Setelah terjadi perjanjian antara kerajaan Belanda dengan kerajaan Inggris maka Inggris terpaksa mengembalikan seluruh daerah yang sudah direbutnya.
Bangsa Prancis yang pernah datang ke Sumatera Barat, yaitu ketika bajak laut yang dipimpin oleh Kapten Le Me dengan anak buahnya mendarat di Pantai Air Manis Padang. Hal ini terjadi pada tahun 1793. mereka dapat merebut Kota Padang dan mendudukinya selama lima hari. Setelah mereka merampok kota, mereka pergi lagi. Pada tahun 1795 Inggris merebut Padang lagi, karena terlibat perang lagi dengan Belanda.
A.10. Pembaharuan oleh Agama Islam Seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa pada pertengahan abad ke tujuh agama Islam sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun pada waktu itu perkembangan Islam di Minangkabau masih boleh dikatakan merupakan usaha yang kebetulan saja, karena adanya pedagang-pedagang yang beragama Islam datang ke Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya terbatas pada daerah-daerah yang didatangi oleh pedagang-pedagang Islam, yaitu di sekitar kota-kota dagang di pantai Timur Sumatera.
Masuknya agama Islam itu ada yang secara langsung dibawa oleh pedagang Arab dan ada yang dibawa oleh Pedagang India atau lainnya, artinya tidak langsung datang dari negeri Arab. Perkembangan yang demikian berlangsung agak lama juga, karena terbentur kepentingan perkembangan Politikk Cina dan Agama Budha.
Di kerajaan Pagaruyung sampai dengan berkuasanya Adityawarman, agama yang dianut adalah agama Budha sekte Baiwara dan pengaruh agama Budha ini berkisar di sekitar lingkungan istana raja saja. Tidak ada bukti-bukti yang menyatakan kepada kita bahwa rakyat Minangkabau juga menganut agama tersebut.
Secara teratur agama Islam pada akhir abad ke tiga belas yang datang dari Aceh. Pada waktu itu daerah-daerah pesisir barat pulau Sumatera dikuasai oleh kerajaan Aceh yang telah menganut agama Islam. Pedagang Islam sambil berdagang sekaligus mereka langsung menyiarkan agama Islam kepada setiap langganannya. Dari daerah pesisir ini, yaitu daerah-daerah seperti Tiku, Pariaman, Air Bangis dan lain-lain dan kemudian masuk daerah perdalaman Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau terjadai secara damai dan nampaknya agama Islam lebih cepat menyesuaikan diri dengan anak nagari. Barangkali itulah sebabnya bekas-bekas peninggalan Hindu dan Budha tidak banyak kita jumpai di Minangkabau, karena agama itu tidak sampai masuk ketengah-tengah masyarakat, tetapi hanya disekitar istana saja. Habis orang-orang istana itu, maka habis pulalah bekas-bekas pengaruh Hindu dan Budha.
Perkembangan agama Islam menjadi sangat pesat setelah di Aceh diperintah oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al Kahar (1537-1568 ), karena Sultan tersebut berhasil meluaskan wilayahnya hampir ke seluruh pantai barat Sumatera.
Pada permulaan abad ketujuh belas, seorang ulama dari golongan Sufi penganut Tarikat Naksabandiyah mengunjungi Pariaman dan Aceh. Kemudian beberapa lama menetap di Luhuk Agam dan Lima Puluh Kota. Juga dalam ke abad ke-17 itu di Ulakan Pariaman bermukim seorang ulama Islam yang bernama Syeh Burhanuddin, murid dari Syeh Abdurauf yang berasal dari Aceh. Syeh Burhanuddin adalah penganut Tarikat Syatariah.
Murid-murid Syeh Burhanuddin itulah yang menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau dan mendirikan pusat pengajian di Pamansiangan Luhak Agam. Sebaliknya ulama-ulama dari Luhak Agam ini pergi memperdalam ilmunya ke Ulakan Pariaman, yaitu tempat yang dianggap sebagai pusat penyebaran dan penyiaran Islam di Minangkabau. Dari Luhak Agam inilah nanti lahir ulama-ulama besar yang akan membangun agama Islam selanjutnya di Minangkabau seperti Tuanku Nan Tuo dari daerah Cangkiang Batu Taba Ampek Angkek Agam. Tuanku Imam Bonjol sendiri merupakan salah seorang murid Tuanku Nan Renceh Kamang Mudiak Agam.
Pada awalnya agama Islam di Minangkabau tidak dijalankan secara ketat, karena disamping melaksanakan agama Islam para penganut juga masih menjalankan praktek-praktek adat yang pada dasarnya bertentangan dengan ajaran agama Islam itu sendiri.
Keadaan ini ternyata kemudian setelah datangnya beberapa orang ulama Islam dari Mekkah yang menganut paham Wahabi. Yaitu suatu paham dimana penganut-penganutnya melaksanakan ajaran Islam secara murni. Di tanah Arab sendiri tujuan gerakan kaum Wahabi adalah utnuk membersihkan Islam dari Anasir-anasir bid’ah. Kaum Wahabi menganut Mazhab Hambali dan bertujuan kembali kepada pelaksanaan Islam berdasarkan Qur’an dan Hadist.
Pada waktu beberapa ulama di Minangkabau, seperti Tuanku Pamansiangan, Tuanku Nan Tuo di Cangkiang, Tuanku Nan Renceh dan lain-lain juga sudah melihat ketidak beresan dalam pelaksanaan praktek ajaran Islam di Minagkabau dan ingin melakukan pembersihan terhadap hal tersebut, tetapi mereka belum menemukan bagaimana caranya yang baik. Baru pada tahun 1803 dengan kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, sesudah mereka itu menceritakan bagaimana yang dilakukan oleh gerakan Wahabi disana (di Makkah).
Untuk melaksanakan pembersihan terhadap ajaran agama Islam itu Tuanku Nan Renceh membentuk suatu badan yang dinamakan “Harimau Nan Salapan” terdiri dari delapan orang tuanku yang terkenal pada waktu itu di Minangkabau. Diakhir tahun 1803 mereka memproklamirkan berdirinya gerakan Paderi dan mulai saat itu mereka melancarkan gerakan permurnian agama Islam di Minangkabau.
Mula-mula Paderi memulai gerakan pembersihannya di daerah Luhak Agam yang tidak terlalu lama telah mereka kuasai, dengan berpusat di Kamang Mudik. Selanjutnya gerakan Paderi melancarkan kegiatannya ke daerah Lima Puluh Kota dan di daerah ini mereka mendapat sambutan yang baik dari rakyat Lima Puluh Kota.
Gerakan kaum paderi baru mendapat perlawanan yang berat dalam usahanya di Luhak Tanah Datar, karena pada waktu itu Luhak Tanah Datar masih merupakan pusat kerajaan Pagaruyung yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan tertentu secara tradisional. Tetapi berkat kegigihan para pejuiang paderi akhirnya daerah Luhak Tanah Datar dapat juga diperbaharui ajaran Islam nya berdasarkan Qur’an dan Hadist, selanjutnya gerakan kaum paderi mulai meluas ke daerah rantau.
Pada waktu itu di daerah Pasaman muncul seorang ulama besar yang membawa rakyatnya ke arah pembaharuan pelaksanaan ajaran Islam sesuai dengan Alquran dan Hadist Nabi. Karena gerakannya berpusat di Benteng Bonjol maka ulama tersebut akhirnya terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol, yang semulanya terkenal dengan nama Ahmad Sahab Peto Syarif.
Setelah di daerah Minangkabau dapat diperbaharaui ajaran Islamnya oleh kaum paderi, maka gerakan selanjutnya menuju keluar daerah Minangkabau, yaitu ke daerah Tapanuli Selatan yang akhirnya juga dapat dikuasai dan menyebarkan ajaran Islam di sana.
Setelah Tuanku Nan Renceh meninggal tahun 1820, maka pimpinan gerakan paderi diserahkan kepada Tuanku Imam Bonjol dan diwaktu itu gerakan paderi sudah dihadapkan kepada kekuasaan Belanda yang semenjak tahun 1819 sudah menerima kembali daerah Minangkabau dari tangan Inggris.
Karena terjadinya perbenturan kedua kekuatan di Minangkabau yaitu antara kekuatan paderi di satu pihak yang berusaha dengan sekuat tenaga menyebarkan agama Islam secara murni dengan kekuatan Belanda di lain pihak yang ingin meluaskan pengaruhnya di Minangkabau maka terjadilah ketegangan antara kedua kekuatan itu dan akhirnya terjadi perang antara kaum paderi dengan Belanda di Minangkabau. Perang ini terjadi antara tahun 1821-1833. pada akhirnya rakyat Minangkabau melihat bahwa kekuatan Belanda tidak hanya ditujukan kepada gerakan kaum paderi saja, maka pada tahun 1833 rakyat Minangkabau secara keseluruhannya juga mengangkat senjata melawan pihak Belanda. Perang ini berlangsung sampai tahun 1837.
Tetapi karena kecurangan dan kelicikan yang dilakukan pihak Belanda akhirnya peperangan itu dapat dimenangkan Belanda, dalam arti kata semenjak tahun 1837 itu seluruh daerah Minangkabau jatuh ke bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Dari masa inilah Minangkabau di rundung duka yang dalam, karena menjadi anak jajahan Belanda. Tuanku Imam ditangkap Belanda dengan tipu muslihat, dikatakan untuk berunding tetapi nyatanya Belanda menangkap beliau, dibuang semula ke Betawi, tinggal di Kampung Bali, selanjutnya dipindahkan ke Menado. Ditempat yang sangat jauh dari kampung halaman, badan yang telah sangat tua itu akhirnya dihentikan Tuhan Dari penderitaan yang berat, berpulanglah seorang Patriot Islam Minangkabau dirantau orang.
Beliau telah berjuang sekuat tenaga menegakkan Syiar Islam di Ranah Minangkabau tercinta ini, jasatnya terbujur disebuah desa kecil yang sepi bernama “Lotak” nun jauh diujung pulau Selebes, harapannya kepada kita semua anak Minangkabau, lanjutkan perjuangan beliau dengan menegakkan akidah Islam dalam kehidupan sehari-hari, jawabnya barangkali yang paling tepat bagi kita sekarang, ” Mari kita berbenar-benar menegakkan Adat Basandi Syarak-syarak Basandi Kitabullah “ dalam kehidupan kita.Home
B. Alam Minangkabau
B.1. Pengertian AlamPengertian “alam” bila diperhatikan kamus umum bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta, mengemukakan alam:1. Dunia, misalnya : alam semesta, syah alam.2. Kerajaan : daerah, nagari, misalnya : Alam Minangkabau
Dari keterangan ini dapat diambil pengertian, bahwa alam yang dimaksud oleh orang Minangkabau adalah daerah Minangkabau. Untuk menentukan mana yang termasuk alam Minangkabau dapat dilihat dari keterangan tambo. Batas-batas daerah alam Minangkabau yang dikemukakan dalam tambo dikemukakan dengan batas-batas alam. Batas-batas alam ini kadang-kadang sulit ditafsirkan dengan pengertian sekarang. Batas-batas terebut seperti dikatakan “…dari riak nan badabua, seluluak punai mati, sirangkak nan badangkang, buayo putiah daguak, taratak aia hitam, sikilang aia bangieh, sampai kadurian di takuak rajo…”.
Dari batas-batas yang dikemukakan ini tidak semuanya dapat ditafsirkan seperti nama siluluak punai mati, sirangkak nan badangkang dan lain-lain. Sedangkan taratak aia hitam dan sikilang aia bangih merupakan nama nagari yang sampai sekarang masih ditemui. Sikilang Aia Bangih adalah daerah pantai barat di Utara Sumatera Barat, sedangkan taratak aia hitam di daerah Bangko Tanah Tinggi. Riak nan badabua adalah Laut pantai Barat dari Sumatera Barat.
Bila diperhatikan peta geografis Propinsi Sumbar sekarang, maka batas-batas alam Minangkabau tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan dalam tambo Alam Minangkabau. Untuk jelasnya dapat dikemukakan, sebelah barat batasnya Samudra India, sebelah timur batasnya sialang balantak basi dan durian di takuak rajo. Sialang balantak basi berbatasan dengan Propinsi Riau. Sebelah Utara batasnya sikilang aia bangih, berbatasan dengan Sumatera Utara. Sebelah selatan batasnya taratak aia hitam adalah Muko-muko, berbatasan dengan Propinsi Bengkulu.
Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam tambo alam Minangkabau tidak dikemukakan Pulau Mentawai, maupun tempat pemukiman orang Minangkabau seperti Nagari Sembilan dan Tapak Tuan. Bila ditinjau sejarah perkembangan geografis dan perpindahan orang Minangkabau, maka alam Minangkabau terdiri dari Pusat Alam Minangkabau dan daerah rantaunya dengan batas-batas yang disebutkan di atas.
Sehubungan dengan hal tersebut, batas geografis alam Minangkabau yang dikemukakan dalam tambo dan penutur adat lainnya menunjukkan, bahwa alam Minangkabau adalah daerah pusat alam Minangkabau (Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota) dengan daerah rantauannya masing-masing. Untuk membicarakan alam Minangkabau ini kita tidak dapat melepaskan diri dari pembicaraan laras, luhak dan rantau karena satu sama lain berkaitan.
B.2. Lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago1. Asal Kata dan Pengertian Kata Kelarasan
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali terjadi kerancuan mengenai kata “lareh” dengan kata “laras”. Dalam bahas daerah Minangkabau, kata “lareh” berarti hukum, yaitu hukum adat. Jadi lareh Koto Piliang berarti Hukum Adat Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago berarti Hukum Adat Bodi Caniago. Disamping itu kata lareh berarti “daerah” seperti Lareh Nan Panjang.
Menurut kepercayaan orang Minangkabau yang berpedoman kepada tambo Alam Minangkabau, pertama sekali didirikan Lareh Nan Panjang yang berpusat di Pariangan Padang Panjang yang dianggap sebagai nagari tertua di Minangkabau. Pucuk pimpinan pada waktu itu Dt. Suri Dirajo. Nagari yang termasuk daerah Lareh Nan Panjang adalah : Guguak Sikaladi, Pariangan, Padang Panjang, Sialahan, Simabua, Galogandang Turawan, Balimbiang. Daerah ini dikatakan juga Nan Sahiliran Batang Bangkaweh, hinggo Guguak Hilia, Hinggo Bukik Tumansu Mudiak.
Semasa penjajahan Belanda daerah Minangkabau dijadikan Kelarasan yang dikepalai oleh seorang Laras atau Regent. Kelarasan bikinan penjajahan Belanda ini merupakan gabungan beberapa Nagari dan tujuannya lebih mempermudah pengontrolan oleh penjajah. Yang menjadi laras atau regent ditunjuk oleh Belanda. Setelah penjajahan Belanda berakhir, maka kelarasan bikinan Belanda ini juga lenyap tidak sesuai dengan susunan pemerintahan secara adat yang berlaku di Minangkabau.
2. Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Chaniago dengan Daerahnya.
Yang termasuk lareh Koto Piliang dengan pengertian yang memakai sistem adat Koto Piliang disebut Langgam Nan Tujuah. Langgam Nan Tujuh itu adalah sebagai berikut:
1. Sungai Tarab Salapan Batu, disebut Pamuncak Koto Piliang2. Simawang Bukik Kanduang, disebut Perdamaian Koto Piliang3. Sungai Jambu Lubuak Atan, disebut Pasak Kungkuang Koto Piliang4. Batipuah Sepuluh Koto disebut Harimau Campo Koto Piliang5. Singkarak Saniang Baka, disebut Camin Taruih Koto Piliang6. Tanjung Balik, Sulik Aia, disebut Cumati Koto Piliang7. Silungkang, Padang Sibusuak, disebut Gajah Tongga Koto Piliang
Disamping Langgam Nan Tujuh, nagari-nagari lain yang termasuk Lareh Koto Piliang adalah Pagaruyuang, Saruaso, Atar, Padang Gantiang, Taluak Tigo Jangko, Pangian, Buo, Bukik Kanduang, Batua, Talang Tangah, Gurun, Ampalu, Guguak, Padang Laweh, Koto Hilalang, Sumaniak, Sungai Patai, Minangkabau, Simpuruik, Sijangek.
Pusat pemerintahan Lareh Koto Piliang di Bungo Satangkai Sungai Tarab. Dengan demikian pusat pemerintahan sudah tidak di pariangan padang panjang lagi. Daerah-daerah yang termasuk Lareh Bodi Canago disebut juga dalam tambo “Tanjuang Nan Tigo, Lubuak Nan Tigo” :
Tanjuang Nan Tigo1. Tanjuang Alam2. Tanjuang Sungayang3. Tanjuang Barulak
Lubuak Nan Tigo1. Lubuak Sikarah di Solok2. Lubuak Simauang di Sawahlunto Sijunjung3. Lubuak Sipunai di Tanjuang Ampalu
Disamping Lubuak Nan Tigo dan Tanjuang Nan Tigo, yang termasuk Lareh Bodi Caniago juga adalah Limo Kaum XII Koto dan sembilan anak kotonya. Daerah yang termasuk XII Koto adalah: Tabek, Sawah Tengah, Labuah, Parambahan, Sumpanjang, Cubadak, Rambatan, Padang Magek, Ngungun, Panti, Pabalutan, Sawah Jauah. Sembilan Anak Koto Terdiri Dari : Tabek Boto, Salaganda, Baringin, Koto Baranjak, Lantai Batu, Bukik Gombak, Sungai Ameh, Ambacang Baririk, Rajo Dani. Pusat pemerintahan di Dusun Tuo Limo Kaum.
Suatu peninggalan Lareh Bodi Caniago yang sampai saat sekarang merupakan monumen sejarah adalah Balairung Adat yang terdapat di desa Tabek. Di Balairung Adat inilah segala sesuatu dimusyawarahkan oleh ninik mamak bodi caniago pada masa dahulu.
3. Beberapa Pendapat Tentang Lahirnya Koto Piliang dan Bodi Caniago
Mengenai lahirnya Koto Piliang dan Bodi Caniago ada beberapa versi. Datuk Batuah Sango dalam bukunya Tambo Alam Minangkabau mengemukakan sebagai berikut :
“…sesudah itu mufakatlah nenek Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Suri Dirajo hendak membagi kelarasan, maka dibagilah oleh orang yang bertiga itu menjadi dua kelarasan…”.
Adapun sebabnya dibagi dua laras negeri itu yaitu karena yang menjadi kepala atau yang punya pemerintahan ialah Datuk Ketumanggungan, dialah yang menjadi raja pada waktu itu. Sebab Datuk Ketumanggungan ini adalah anak dari raja, dan datuk perpatih ini yaitu di bawah Datuk Ketumanggungan sebagai berpangkat mangkubumi (perdana menteri) karena ia adalah orang yang pandai mengatur kerajaan sehingga negeri pariangan padang panjang menjadi besar dan sempurna peraturannya.
Dan dapat pula ia meluaskan pemerintahan samapai ke durian ditakuak rajo hingga sialang balantak basi sampai ke sipisau-pisau hanyuik hingga semuanya adalah oleh peraturan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Oleh karena itu berfikirlah Datuk Ketumanggungan akan membalas jasa usaha dari Datuk Perpatih Nan Sabatang dan mufakatlah Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang serta Datuk Suri Dirajo dengan segala penghulu-penghulu, manti dan hulubalang, sambil Datuk Ketumanggungan bersuara lebih dahulu dalam kerapatan, karena nagari sudah ramai dan peraturan sudah sempurna diatur oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, tidaklah saya dapat membalas budinya itu melainkan negeri ini saya berikan sebagian supaya boleh ia berkuasa pula memerintah dalam negeri ini.
Sesudah bicara Datuk Ketumanggungan itu, maka dijawab oleh anggota kerapatan, itulah kata tuanku yang pilihan atau kata yang tak boleh dipalingkan lagi. Sebab itulah pemerintahan Datuk Ketumanggungan bernama Koto Piliang berasal dari kota pilihan, atau dari kata yang tidak boleh dipalingkan. Pemerintahan Datuk Perpatih Nan Sabatang bernama Bodi Caniago yang berasal dari budi yang berharga.
Untuk memperoleh pengertian dari kutipan diatas adalah, bahwa pada mulanya kepala pemerintahan adalah Datuk Ketumanggungan sesudah ayahnya meninggal dunia. Sedangkan yang membantunya sehari-hari adalah adiknya yang berlainan ayah yaitu Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Berkenaan adiknya telah berrbuat baik dalam meluaskan daerah dan pemerintahan, timbulah niat saudaranya untuk membalas budi baik adiknya Datuk Perpatih Nan Sabatang. Niatnya ini disampaikan pada suatu sidang kerapatan adat. Setelah niatnya disampaikan kepada sidang kerapatan, untuk memberi daerah kekuasaannya sebagian kepada adiknya semua anggota sidang kerapatan setuju dengan rencana yang dikemukakan oleh Datuk Ketumanggungan. Bahkan dikatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Datuk Ketumanggungan tersebut, sudah merupakan kata pilihan, dengan arti kata tidak perlu lagi dipersoalkan.
Dari sinilah asal kata Koto Piliang yaitu dari kata yang pilihan. Sedangkan pemerintahan atau sistim adat Bodi Caniago berasal dari bodi baharago (budi yang berharga), yaitu Datuk Perpatih Nan Sabatang telah bertanam budi terlebih dahulu dan kemudian mendapat penghargaan dari saudaranya Datuk Ketumanggungan.
Pendapat lain mengatakan bahwa Bodi Caniago berasal dari kata “bodhi caniago” yang artinya berasal dari kata bhodi can yaga yang artinya bahwa budi nurani manusialah yang menjadi sumber kebajikan dan kebijakan. Sedangkan Koto Piliang berasal dari bahasa sansekerta yaitu “koto pili” yang dari kata pili hyang artinya segala sesuatu bersumber sabda dari hyang dan pili sama artinya dengan karma atau dharma. Datuk Ketumanggungan seorang penganut hiduisme yang regilius, percaya manusia disusun dalam kerangka hirarki piramidal dengan pucuk, seorang pribadi yang merenungkan langit (hyang). Datuk Perpatih Nan Sabatang seorang egaliter, demokrat murni yang menilai tinggi kedudukan pribadi yang menganut persamaan dan kesamaan.
Pada dasarnya orang minangkabau sampai sekarang masih memegang teguh asal kata Koto Piliang dan Bodi Caniago yang bersumberkan kepada tambo Alam Minangkabau.
4. Berberapa Perbedaan Adat Koto Piliang Dengan Bodi Caniago
Ada beberapa perbedaan dalam kedua sistim adat ini seperti berikut:
a. Memutuskan Perkara
Menghadapi sesuatu permasalahan dalam memutuskan perkara, Bodi Caniago berpedoman kepada “…tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati, dilahia lah samo nyato di batin buliah diliekti…” (tuah karena sekata, mulanya rundingandimufakati, dilahir sudah sama nyata, dibatin boleh dilihat). Artinya sesuatu pekerjaan atau menghadapi sesuatu persolan terlebih dahulu hendaklah dimufakati, dimusyawarahkan. Hasil dari mufakat ini benar-benar atas suara bersama, sedangkan Koto Piliang berdasarkan kepada “…nan babarih nan bapahek, nan baukua, nan bakabuang : coreng barih buliah diliek, cupak panuah bantangnyo bumbuang…” ( yang digaris yang dipahat, yang diukur yang dicoreng : baris boleh dilihat, cupak penuh gantangnya bumbung). Pengertian segala undang-undang atau peraturan yang dibuat sebelumnya dan sudah menjadi keputusan bersama harus dilaksanakan dengan arti kata “terbujur lalu terbulintang patah”.
b. Mengambil Keputusan
Dalam mengambil suatu keputusan adat Bodi Caniago berpedoman kepada “…kato surang dibuleti katobasamo kato mufakat, lah dapek rundiang nan saiyo, lah dapek kato nan sabuah, pipiah dan indak basuduik bulek nan indak basandiang, takuruang makanan kunci, tapauik makanan lantak, saukua mako manjadi, sasuai mangko takana, putuih gayuang dek balabeh, putih kato dek mufakat, tabasuik dari bumi…”. (kata seorang dibulati, kata bersama kata mufakat, sudah dapat kata yang sebuah, pipih tidak bersudut, bulat tidak bersanding, terkurung makanan kunci, terpaut makanan lantak, seukur maka terjadi, sesuai maka dipasangkan, putus gayung karena belebas, putus kata karena mufakat, tumbuh dari bumi). Maksud dari sistem adat Bodi Caniago ini yang diutamakan sekali adalah sistem musyawarah mencari mufakat.
Sedangkan Koto Piliang yang menjadi ketentuannya, “…titiak dari ateh, turun dari tanggo, tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang dalam lauik, ikan makannyo, nan mailia di palik, nan manitiak ditampung…” (titik dari atas, turun dari tanggga, terbujur lalu terbelintang patah, kata sorang besar segala iya, ikan besar dalam laut ikan makannya, yang mengalir di palit yang menitik ditampung).
c. Pengganti Gelar Pusaka
Pada lareh Bodi Caniago seseorang penghulu boleh hidup berkerilahan, yaitu mengganti gelar pusaka kaum selagi orangnya masih hidup. Hal ini bila yang digantikan itu sudah terlalu tua dan tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagai pemimpin anak kemenakan. Dalam adat dikatakan juga “lurahlah dalam, bukiklah tinggi” (lurah sudah dalam, bukik sudah tinggi). Sedangkan pada lareh Koto Piliang “baka mati batungkek budi” (mati bertongkat budi) maksudnya gelarnya itu baru bisa digantikan setelah orangnya meninggal dunia.
d. Kedudukan Penghulu
Pada lareh Koto Piliang ada tingkatan-tingkatan penguasa sebagai pembantu penghulu pucuk, berjenjang naik bertangga turun. Tingkatan penghulu dalam nagari ada penghulu andiko, penghulu suku, dan penghulu pucuk. Penghulu pucuk inilah sebagai pucuk nagari. “bapucuak bulek, baurek tunggang” (berpucuk bulat berurat tunggang). Sedangkan pada Bodi Caniago semua penghulu sederajat duduknya “sahamparan, tagak sapamatang” (duduk sehamparan tegak sepematang).
e. Balai Adat dan Rumah Gadang
Balai adat lareh Koto Piliang mempunyai anjuang kiri kanan berlabuh gajah di tengah-tengah. Anjung kiri kanan ada tempat yang ditinggikan. Ini dari lantai yang lain untuk menempatkan penghulu-penghulu sesuai dengan fungsinya atau tingkatannya. Lantai rumah gadang Koto Piliang ada tingkatannya. Maksudnya juga bila ada persidangan penghulu-penghulu tidak sama tinggi kedudukannya, dia duduk sesuai dengan fungsinya dalam adat.
Pada lareh Bodi Caniago lantai balai adat dan rumah gadang, lantainya datar saja. Semua penghulu duduk sehamparan duduk sama rendah, tegak sama berdiri.
Secara substansial, kedua sistem adat ini sesungguhnya sama-sama bertitik tolak pada azas demokrasi. Perbedaannya hanya terletak pada aksentuasi dalam penyelenggaraan dan perioritas pada hak azasi pribadi disatu pihak dan kepentingan umum dipihak lain. Suatu fenomena yang sudah sama tuanya dengan sejarah kebudayaan umat manusia sendiri.
B.3. Luhak1. Pengertian Luhak
Dalam bahasa daerah Minangkabau kata luhak diucapkan dengan “luak”. Artinya yang terkandung dari padanya adalah negeri, daerah, sumur, susut, berkurang. Dari tambo Alam Minangkabau sejarah lahirnya luhak dihubungkan dengan pengertian kurang. Seperti dikemukakan Luhak Tanah Datar berarti kurang tanah yang datar. Juga ada pendapat karena Tanah Datar sebagai luhak yang tertua, maka adat dan penduduknya berpindah dari sini. Dengan demikian berkurang jugalah Luhak Tanah Datar ini.
Luhak Agam menurut ceritanya : orang-orang agam berasal dari keturunan Harimau Campo, mereka mempunyai watak pemberani, jantan dan pamuncak. Agam itu artinya pemberani, jantan dan pamuncak. Setelah orang-orang Harimau Campo pindah dari Pariangan Padang Panjang kesebelah barat gunung merapi (melalui batipuah) maka “luak”lah orang-orang pemberani yang akan mengamankan Nagari Pariangan Padang Panjang. Oleh karena itu tersebutlah di Pariangan Padang Panjang “Luhak Orang Agam” (kurang orang pemberani) dalam nagari Pariangan Padang Panjang, karena mereka telah pindah ke tempat yang baru. Tidak ada hubungan dengan “luak agama” karena pada masa itu orang Minangkabau belum islam.
Luhak Lima Puluh Kota penduduknya berasal dari Pariangan Padang Panjang. Mereka berangkat untuk mencari tempat pemukiman baru sebanyak lima puluh orang. Disebuah padang dekat piladang sekarang hari sudah malam. Keesokkan harinya jumlah rombongan itu tidak ditemui lima orang. Setelah saling bertanya semuanya mengatakan “antah” dan tempat tersebut sampai sekarang bernama padang siantah. Keturunan yang berjumlah 45 orang ini merupakan asal penduduk luhak lima puluh kota, dengan pengertian sudah kurang dari lima puluh.
Dalam pengertian sehari-hari di daerah Minangkabau kata “luak” juga berarti sumur. Pergi ke luak berarti pergi mengambil air atau pergi mandi. Luak dengan pengertian sumur ini juga ada kaitannya dengan kurang, sebab sumur tersebut berada pada tanah yang kerendahan, bisa kemudian digenangi air yang sewaktu-waktu airnya bisa berkurang (luak).
2. Luhak Tanah Datar
daerah yang termasuk Luhak Tanah Datar terdiri atas empat bahagian yaitu : Lima Kaum XII Koto, Sungai Tarab Salapan Batu, Batipuah X Koto dan Lintau Buo IX Koto. Lima Kaum XII Koto terdiri dari : Ngungun, Panti, Cubadak, Supanjang, Pabalutan, Sawah Jauah, Rambatan, Padang Magek, Labuah, Parambahan, Tabek dan Sawah Tangah. Lima Kaum XII Koto dengan sembilan koto di dalam terdiri dari Tabek Boto, Salaganda, Baringin, Koto Baranjak, Lantai Batu, Bukik Gombak, Sungai Ameh, Ambacang Baririk dan Rajo Dani.
Sungai Tarab Salapan Batu daerahnya, Koto Tuo, Pasia Laweh, Sumaniak jo Koto Panjang, Supayang jo Situmbuak, Gurun Ampalu, Sijangek, Koto Bandampiang, Ujuang Labuah, Kampuang Sungayang VII Koto Disinan Andaleh, Baruah Bukik, Sungai Patai, Sungaiyang, Sawah Laiek dan Koto Ranah.
Daerah Batipuah X Koto daerahnya adalah : Pariangan, Padang Panjang, Jaho, Tambangan, Koto Laweh, Pandai Sikek, Sumpu, Malalo, Gunuang, Paninjauan. Lintau Buo IX Koto merupakan perkembangan dari Tanjung Sungayang dan Andaleh Baruah Bukik yang terdiri dari Batu Bulek, Balai Tangah, Tanjung Bonai, Tapi Selo, Lubuak Jantan. Nagari-nagari ini disebut juga Limo Koto Nan Diateh. Kemudian ditambah dengan Empat Koto di Bawah yaitu; Buo, Pangian, Taluak dan Tigo Jangko. Perpindahan penduduk ke daerah selatan, muncul 13 nagari yang disebut dengan Kubuang XIII. Nagari-nagari yang termasuk Kubang XIII adalah : Solok Salayo, Koto Hilalang, Cupak, Talang, Guguak, Saok Laweh, Gantuang Ciri, Koto Gadang, Koto Anau, Muaro Paneh, Kinali, Koto Gaek dan Tanjuang Balingkuang. Dari arah Kubuang XIII berkembang terus menjadi Alahan Panjang, Pantai Cermin, Alam Surambi Sungai Pagu.
Dari daerah Batipuah X Koto, dari Jaho dan Tambangan terjadi perpindahan ke Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Sicincin, Toboh Pakandangan yang dinamakan Ujung Darek Kapalo Rantau 2 X 11 Enam Lingkuang. Dari daerah ini berkembang menjadi VII Koto Sungai Sariak yang terdiri dari Tandikek, Batu Kalang, Koto Dalam, Koto Baru, Sungai Sariak, Sungai Durian, Ampalu.
Perpindahan dari Lintau Buo, Tanjuang Barulak berlajut kearah timur sampai ke Sijunjung Koto Tujuah, Koto Sambilan Nan Dihilia, Koto Sambilan Nan Di Mudiak, Kolok, Sijantang, Talawi, Padang Gantiang, Kubang Padang Sibusuak, Batu Manjulua, Pamuatan, Palangki, Muaro Bodi, Bundan Sakti, Koto Baru, Tanjung Ampalu, Palaluar, Tanjuang Guguak, Padang Laweh, Muaro Sijunjuang, Timbulun, Tanjuang, Gadang, Tanjuang Lolo, Sungai Lansek. Adapun yang menjadi daerah inti dari Luhak Tanah Datar adalah kabupaten Tanah Datar sekarang.
3. Luhak Agam
Luhak Agam merupakan luhak yang kedua sesudah Luhak Tanah Datar. Luhak Agam berasal dari Pariangan Padang Panjang dan kedatangan penduduk ke Luhak Agam pada mulanya empat kaum atau empat rombongan yang berlangsung empat periode dan tiap periode empat-empat. Periode pertama keempat rombongan ini mendirikan empat buah nagari yaitu Biaro, Balai Gurah, Lambah dan Panapuang. Periode kedua mendirikan Nagari Canduang, Koto Laweh, Kurai dan Banahampu. Periode ketiga lahir Nagari Sianok, Koto Gadang, Guguak dan Tabek Sarojo. Periode keempat mendirikan Nagari Sariak, Sungai Puar, Batagak dan Batu Palano.
Dengan demikian Luhak Agam terdiri enam belas koto pada mulanya dan kemudian berkembangan nagari-nagari lainnya seperti Kapau, Gadut, Salo, Koto Baru, Magek, Tilatang Kamang, Tabek Panjang, Pincuran Puti, Koto Tinggi, Simarasok dan Padang Tarab. Dari gugusan Sianok Koto Gadang berkembang sampai ke Matur, Kampung Panta, Lawang Togo Balai, sampai ke Ranah Palembayan. Perkembangan ini bertemu dengan yang datang dari Kamang dan Tujuh Lurah Koto Rantang. Perpindahan selanjutnya telah melahirkan Nagari Kumpulan, Ganggo, Kinali, Sundata, Lubuak Basuang, Batu Kambing, Katiagan, Sasak dan Tiku. Dari Matur perkembangan selanjutnya ke Maninjau, Muko-Muko, XII Koto Sungai Garinggiang, Gasan, Tiku, Lauik Nan Sadidih, melalui Malalak, Sigiran, Cimpagok, Ulu Banda dan seterusnya menjadi Limo Koto Kampuang Dalam, Piaman Sabatang Panjang dan III Koto Malai. Dari Malalak berkembang juga ke Sungai Batang, Sigiran, Tanjuang Sani melalui Batu Anjuang.
Perpindahan dan perkembangan dari Tiku Pariaman akhirnya bertemu dengan perpindahan dari Jaho, Tambangan dan Bungo Tanjuang dari Luhak Tanah Datar dan melahirkan Padang VIII Suku. Padang VIII Suku ini terdiri dari Pasia, Ulak Karang, Ranah Binuang, Palinggam, Subarang Gantiang, Parak Gadang, Aia Cama, Alang Laweh, Balai Tampuruang.
Dari daerah Kubuang XIII bertemu dengan perpindahan dari Tiku Pariaman dan Padang VIII Koto akhirnya melahirkan nagari Lubuak Kilangan, Tarantang, Baringin, Bandar Buek, Limau Manis Nan XX. Nagari yang termasuk Nan XX adalah Lubuak Bagaluang jo Ujuan Tanah, Tanjuang Saba, Pitameh, Banuaran, Koto Baru, Pampangan, Pasia Gauang, Sungai Barameh, Taluak Nibuang, Piai, Tanah Sirah, Batu Kasek, Parak Patamburan, Gurun Laweh, Tanjuang Aua, Batuang Taba, Kampuang Jua, Cangkeh, Kampuang Baru. Perpindahan dari Singkarak, Saniang Baka dengan melintasi bukik barisan telah melahirkan nagari Pauh Lima dan Pauh Sembilan, Kandih dan Nanggalo.
Dapat diambil kesimpulan bahwa Kota Padang sekarang merupakan pertemuan dari penduduk yang berasal dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Kubuang XIII. Secara historis tepat sekali kota padang ibukota propinsi Sumatera Barat, bila dikaitkan wilayah adat Minangkabau, karena sebagian besar wilayah adat berkaitan dengan bandar Padang tersebut.
4. Luhak Lima Puluh Koto
Luhak Limo Puluah Koto disebut Luhak Nan Bonsu. Wilayah yang termasuk Lima Puluh Kota terdiri empat bagian. Keempat wilayah tersebut adalah:
a. Sandi
Daerahnya dari Bukit Sikabau Hilir sampai Muaro Mudiak, Nasi Randam hingga Padang Samuik ketepi yang meliputi Nagari Koto Nan Gadang dan Koto Nan Empat sekarang ini.
b. Luhak
Luhak daerahnya dari Mungo Mudiak hingga Limbukan Hilia, Mungo, Koto Kaciak, Andaleh, Tanjuang Kubu, Banda Tunggang, Sungai Kamuyang, Aua Kuniang, Tanjuan Patai, Gadih Angik, Limbukan, Padang Karambia, Limau Kapeh, Aia Tabik Nan Limo Suku.
c. Lareh
Yang menjadi wilayah lareh sejak dari Bukik Cubadak sampai mudiak hingga Padang Balimbiang Hilir. Pusatnya di Sitanang Muara Lakin. Perkembangan dan perpindahan penduduk selanjutnya lahir nagari-nagari Ampalu, Halaban, Labuah Gunuang, Tanjuang Baringin, Kurun, Labuak Batingkok, Tarantang, Sari Lamak, Solok, Padang Laweh.
d. Hulu
Yang termasuk wilayah hulu dalam Luhak Lima Puluh Kota adalah yang “Berjenjang Ke Ladang Laweh Berpintu Ke Sungai Patai, Selilit Gunuang Sago, Hinggo Labuah Gunuang Mudik Hinggo Babai Koto Tinggi”.
Dari Luhak Lima Puluh Kota perkembangan selanjutnya ke Muaro Sungai Lolo, Tapus Rao Mapattunggal, Kubu Nan Duo, Sinuruik, Talu Cubadak, Simpang Tonang, Paraman, Ampalu, Aua Kuniang, Parik Batu, Sasak, Sungai Aua, Air Balam, Sikilang Aia Bangih.Dari Niniak Nan Balimo (nenek yang berlima) yang meninggalkan rombongan telah membuat tempat kediaman baru yaitu Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Aia Tirih. Sebagai daerah Luhak Lima Puluh Kota adalah Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang.
5. Kepribadian Masyarakatnya
Kepribadian masing-masing luhak juga diungkapkan dalam bambo, dengan perumpamaan, yaitu Luhak Agamdikatakan buminya-panas, airnya keruh, ikannya liar. Perumpamaan ini ditafsirkan bahwa penduduknya keras hati, berani dan suka berkelahi. Luhak Tanah Datar dikatakan buminya lambang, airnya tawar, ikannya banyak, dengan penafsiran masyarkatnya ramah, suka damai dan sabar. Sedangkan Luhak Lima Puluh Kota dikatakan buminya sejuk, airnya jernih dan ikannya jinak yang artinya bahwa masyarakatnya mempunyai kepribadian berhati lembut, tenang dan suka damai.
Prof. Hamka mengatakan, sifat ketiga luhak ini surang cadiak, surang pandeka, surang juaro tangah balai. “pendekar luhak tanah datar, juara tengah balai Luhak Agamdan cerdik luhak lima puluh kota.
Disamping perbedaan kepribadiannya juga warna tiap-tiap luhak saling berbeda yang mungkin ada kaitannya dengan kepribadiannya tadi. Warna kuning untuk Luhak Tanah Datar, warna merah untuk Luhak Agam dan biru untuk Luhak Lima Puluh Kota. Sedangkan tiap luhak mempunyai perlambang yang diambil dari hewan. Luhak Tanah Datar hewannya kucing. Sifat kucing yang jinak dan penyabar tetapi bila habis kesabarannya baru dia memperlihatkan kukunya. Luhak Agam lambang hewannya harimau. Harimau sebagai perlambang sikap berani dan pantang menyerah. Luhak Lima Puluh Kota lambang hewannya kambing. Kambing walaupun jinak tapi tidak bisa ditarik begitu saja, dia mempunyai kepribadian yang kokoh dan tidak mau cepat terpengaruh. Perumpamaan-perumpamaan diatas dikaitkan dengan sifat kepribadian masing-masing luhak.B.4. Rantau1. Pengertian Rantau
Menurut kamus umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta, arti dari pada “rantau” banyak sekali. Rantau mempunyai pengertian pantai sepanjang teluk (sungai), pesisir, daerah diluar negerinya sendiri, negeri asing tangah (negeri) tempat mencari penghidupan. Pengertian yang diambil terhadap rantau ini adalah tanah (negeri) tempat mencari penghidupan. Di tempat ini muncul nagari-nagari yang didiami oleh orang-orang yang datang dari Luhak Nan Tigo.
2. Daerah Rantau Luhak Nan Tigo
Tiap-tiap luhak mempunyai daerah rantau masing-masing sesuai dengan perpindahan penduduk dari luhak tersebut.
Rantau Luhak Tanah Datar meliputi rantau Batang Hari, Pucuak Jambi Sembilan Lurah, yaitu daerah-daerah sailiran batang hari. Di daerah hulu Batang Hari dikenal Rantau Cati Nan Kurang Aso XX. Rantau Nan Kurang Aso XX yaitu Lubuak Ambacang, Lubuak Jambi, Gunuang, Koto, Benai, Pangian, Basra, Sitanjau, Kopa, Teluk Ingin, Indoman, Surantih, Taluak Rayo, Simpang Kulayang, Aia Molek, Pasia Ringgik, Kuantan, Talang Mamak dan Kuala Enok. Daerah Rantau Luhak Tanah Datar yang lain yaitu Rantau Pesisir Panjang yang dinamakan Bandar X. daerah yang termasuk Bandar X adalah : Batang Kapeh, Kuok, Surantih, Amping Parak, Kambang, Lakitan, Punggasan, Air Haji, Painan, Banda Salido, dan Tarusan. Tapan, Lunang, Silaut, Indopuro dan Manjuto juga merupakan Rantau Luhak Tanah Datar.
Disamping itu ada juga yang disebut Ujung Darek Kapalo Rantau dari Luhak Tanah Datar. Ujung Darek Kapalo Luhak Tanah Datar merupakan daerah perbatasan antara Luhak Tanah Datar dengan daerah rantau. Daerah tersebut adalah Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapao Hilalang, Sicincin Tinggi, Toboh Pakandangan, 2 X 11 Enam Lingkuang dan VII Koto Sungai Sariak.
Luhak Agam daerah rantaunya adalah Tiku Pariaman, Sasak Air Bangis, sedangkan daerah yang disebut ujuang darek kapalo rantau adalah Palembayan, Sirasak Aie, Sungai Garinggiang, Lambah Bawan, Padang Manggopoh. Ke selatan adalah Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Toboh Pakandangan.
Luhak Lima Puluh Kota daerah rantaunya adalah rantau Kampar Kanan dan Kampar Kiri yang termasuk daerah Kampar Kiri terdiri dari enam daerah yaitu Kudai, Ujuang Bukik, Gunuang Sahilan, Lipat Kain, Kuniuk dan Sanggan. Rantau Kampar Kanan dibagi atas tiga bagian. Pertama disebut di hulu Tuangku Nan Tigo, yang terdiri dari Limbanang Koto Laweh, Koto Tangah dan Koto Tinggi, Sungai Dadok dan Sungai Naniang. Yang kedua disebut di Tengah Kampar Sembilan yang terdiri dari Yajuang, Muaro Takus, Gunuang, Malelo Pongkai, Koto Bangun, Sialang, Durian Tinggi, Kapuak dan Lubuak Alai. Yang ketiga disebut di Ulak Koto Nan Anam yang terdiri dari Koto Baru, Koto Alam, Tanjuang Pauah, Tanjuang Balik, Mangilang dan Malintang.
3. Merantau
Bila diperhatikan arti kata merantau mempunyai berbagai pengertian seperti berlayar, mencari penghidupan di sepanjang rantau (dari sungai kesungai). Merantau juga berarti pergi ke pantai atau pesisir, pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan. Dari sekian arti kata merantau maka yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pergi ke negeri laun untuk mencari penghidupan.
Ciri khas pada permulaan merantau mereka membawa adat minangkabau dengan sistem lareh yang mereka anut serta suku mereka. Di samping itu waktu-waktu tertentu mereka pulang melihat tanah asal mereka. Tujuan pulang ini agar tali kekeluargaan jangan sampai putus dengan tempat asal. Namun demikian pulang ketempat asal ini bisa jadi semakin kurang, malahan keturunan selanjutnya tidak meneruskan tradisi nenek-nenek mereka, yang tinggal hanya ceritera asal usul mereka.
Motivasi merantau pada tingkat permulaan, ialah untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka pindah jauh dari pusat Luhak Nan Tigo, yaitu di daerah pesisir dan hiliran sungai.
Perkembangan arti merantau selanjutnya bukan hanya terbatas pada daerah Alam Minangkabau saja, tetapi meluas kedaerah yang bukan etnis minangkabau. Hal ini erat hubungannya dengan situasi dan kondisi di tempat mereka tinggal. Di daerah pesisir atau di daerah hiliran sungai mereka berhubungan dengan dunia perdagangan. Secara tidak langsung kehidupan yang bersifat rural agraris berpindah kepada ekonomi perdagangan. Mereka ambil bagian dalam perdagangan antar daerah di luar Alam Minangkabau. Di daerah yang mereka kunjungi akhirnya lahir permukiman orang minangkabau seperti di Tapak Tuan, Batu Bara, Asahan, Negeri Sembilan dan lain-lain. Sampai sekarang keturunan mereka yang ada disana masih menanggap sebagai keturunan orang Minangkabau.
Pada saat sekarang pengertian merantau sudah menjadi luas. Keluar dari kampung sendiri atau ke kota lain yang masih dalam kawasan Sumatera Barat sudah dikatakan pergi merantau, apalagi pergi keluar sumatera barat. Pada permulaan merantau bertujuan untuk mencari penghidupan, sedangkan sekarang untuk melanjutkan pendidikan ke negeri lain juga dikatakan pergi merantau.
4. Tujuan Merantau
Untuk mencari ilmu dan memperbaiki ekonomi, disebut dalam mamangannya:
mencarikan punggung tak basaokmencarikan paruik tak berisi
Dirantau orang harus pandai-pandai menyesuaikan diri, mamak ditinggalkan di kampung, dapati pula mamak di rantau, saudara ditinggalkan, cari pula saudara di rantau, dalam hal ini juga disebut dalam mamangan :
kok pandai bakain panjanglabiah sa elok kain saruangkok lai pandai mangaokannyokok pandai ba induak samanglabiah sa elok mamak kanduangkok lai pandai mambaokannyo
walaupun sutan di kampuang awakanak dagang juo di rantau urangkok mandi di hilia-hiliakok bakato di bawah-bawah
turuikkan langkah bak bacatuaturuikkan ayun bak babuaipakailah pulo deta jawakanakkan malah kain bugihsaruangkan baju guntiang cinopakai sarawa lambuak acehsarato tarompa rang gujaratbaitu caro anak dagang
dima bumi dipijakdinsanan langik dijunjuangdima rangitiang dipatahdisitu sumua di kalidima nagari diunyiadat disitu nan dipakai
5. Akibat Merantau Bagi Orang Minangkabau
Akibat merantau bagi orang minangkabau yang meninggalkan kampung halaman telah meluas cakrawala atau pandangan untuk mengenal daerah diluar Minangkabau, seperti di katakan “tidak seperti katak di bawah tempurung”. Akibatnya orang minangkabau tidak berpaham sempit dalam hubungan sosial dengan lain suku bangsa. Hasil perantauan pada masa dahulu dibawa pulang untuk menjadi modal dalam membina kecerdasan dan kesejahteraan keluarga. Tipe merantau seperti ini dibentuk dengan talibun adat yang mengatakan:
karatau madang diulubabuah babungo balunmarantau bujang dahuludi kampuang paguno balun
satinggi - tinggi malantiangjatuahnyo ka tanah juosajauah-sajuah tabang bangausuruiknyo ka kubangan juo
makna yang dapat diambil, adalah yang pergi merantau itu diharapkan dan ditunggu kedatangannya lagi, jadi bukan merantau cina.
Kepada yang muda diharapkannya untuk mencari ilmu, pengalaman sebanyak mungkin di negeri orang, baik berusaha maupun menambah ilmu. Belum ada gunanya bagi keluarga atau kampung halaman bila seseorang itu belum dapat mempersembahkan segala yang diperolehnya dari rantau. Demikian pula dengan pengalamannya di daerah rantau akan lebih mendewasakannya nanti sebagai pemimpin kaum dan negeri bila tiba saatnya menggantikan kebesaran mamaknya.
Jiwa merantau yang memikirkan kampung halaman ini masih terdapat bagi orang Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dengan mengalirnya bantuan dari rantau yang bertujuan bukan hanya untuk keluarga di kampung tetapi juga bantuan untuk pembangunan kampung halamannya.
C. Adat Minangkabau
C.1. Pengertian AdatDalam membicarakan pengertian adat ada beberapa hal yang perlu dikemukakan, diantaranya adalah asal kata adat, pengertian adat secara umum dan pengertian adat dalam Minangkabau.1. Asal Kata Adat
Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau banyak mempergunakan kata adat terutama yang berkaitan dengan pandangan hidup maupun norma-norma yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan masyarakatnya. Kesemuan yaitu diungkapkan dalam bentuk pepatah, petitih, mamangan, ungkapan-ungkapan dan lain-lain. Sebagai contohnya dapat dikemukakan “…adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah ; adat dipakai baru, kain dipakai usang, adat sepanjang jalan, cupak sepanjang batuang, adat salingka nagari; harato salingka kaum…”, dan lain-lain.
Walaupun banyak penggunaan kata-kata adat oleh orang Minangkabau, namun barangkali tidak banyak orang mempertanyakan asal usul dari kata adat tersebut. Tidak banyak literatur yang memperkatakan kata adat ini. Drs. Sidi Gazalba dalam bukunya pengantar kebudayaan sebagai ilmu mengatakan : ” adat adalah kebiasaan yang normatif “. Kalau adat dikatakan sebagai kebiasaan maka kata adat dalam pengertian ini berasal dari bahasa arab yaitu “adat”.
Sebagai bandingan, seorang pemuka adat Minangkabau, yaitu Muhammad Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu dalam bukunya sejarah Ringkas Minangkabau Dan Adatnya mengatakan : adat lebih tua dari pada adat. Adat berasal dari bahasa sansekerta dibentuk dari “a”dan “dato”. “a” artinya tidak, “dato” artinya sesuatu yang bersifat kebendaan. “a” artinya tidak, “dato” artinya sesuatu yang bersifat kebendaan. “adat” pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang tidak bersifat kebendaan.
Dalam pembahasannya dapat disimpulkan bahwa adat yang tidak memikirkan kebendaan lagi merupakan sebagai kelanjutan dari kesempurnaan hidup, dengan kekayaan melimpah-limpah, sampailah manusia kepada adat yang tidak lagi memikirkan hal-hal yang tidak bersifat kebendaan. Selagi benda masih dapat menguasai seseorang, ataupun seseorang masih dapat diperhamba benda disebut orang itu belum beradab. Kalau diperhatikan kedua pendapat diatas, maka pendapat yang teakhir lebih bersifat filosofis dan ini mungkin dikaitkan dengan pengaruh agama hindu yang datang kemudian ke Indonesia.
Walaupun kata adat dengan ‘adat berlainan penafsiran dari arti yang terkandung pada kata tersebut namun keduanya ada kesamaan yaitu tujuannya sama-sama mengatur hidup dan kehidupan masyarakat agar menjadi baik.
Bagi orang Minangkabau sebelum masuknya pengaruh hindu dan islam, orang telah lama mengenal kata “buek”. Kata “buek” ini seperti ditemui dalam mamangan adat yang mengatakan kampuang bapaga buek, nagari bapaga undang (kampung berpagar buat, nagari berpagar undang). Buek inilah yang merupakan tuntunan bagi hidup dan kehidupan orang Minangkabau sebelum masuk pengaruh luar.
Oleh sebab itu masuknya perkataan adat dalam perbendaharaan bahasa Minangkabau tidak jadi persoalan karena hakekat dan maknanya sudah ada terlebih dahulu dalam diri masyarakat Minangkabau. Kata-kata “buek” menjadi tenggelam digantikan oleh kata adat seperti yang ditemui dalam ungkapan “minang babenteng adat, balando babenteng basi” (minang berbenteng adat, belanda berbenteng besi).
2. Pengertian Adat Secara Umum
Seperti dikatakan kata adat dalam masyarakat Minangkabau bukanlah kata-kata asing lagi, karena sudah merupakan ucapan sehari-hari. Namun demikian apakah dapat “adat” ini diidentikan dengan kebudayaan, untuk ini perlu dikaji terlebih dahulu bagaimana pandangan ahli antropologi mengenai hubungan adat kebudayaan ini.
Dalam ilmu kebudayaan dan kemasyarakatan konsep kebudayaan sangat banyak sekali. Inventarisasi yang dilakukan oleh C. Kluckhohn dan A. L Kroeber ahli atropologi pada tahun 1952 telah ditemukan lebih kurang 179 defenisi. Tetapi yang sifatnya dan banyak dipakai para ahli adalah pendapat C. Kluckhohn yang memberikan batasan kebudayaan sebagai berikut:“kebudayaan adalah keseluruhan dari gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang berupa satu sistem dalam rangka kehidupan masyarakat yang dibiasakan oleh manusia dengan belajar”.
Kata kebudayaan dalam istilah inggris adalah “culture” yang berasal dari bahasa latin “colere”yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah atau pertanian. Dari pengertian ini kemudian berkembang menjadi “culture”. Istilah “culture” sebagai istilah teknis dalam penulisan oleh ahli antropologi inggris yang bernama Edwar B. Tylor mengatakan bahwa “culture” berarti “complex whole of ideas and thinks produced by men in their historical experlence”. Sesudah itu pengertian kultur berkembang terus dikalangan antroplogi dunia. Sebagai istilah umum “culture” mempunyai arti, kesopanan, kebudayaan, pemeliharaan atau perkembangan dan pembiakan.
Bahasa Indonesia sendiri mempunyai istilah budaya yang hampir sama dengan culture, dengan arti kata, kata kebudayaan yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia bukanlah merupakan terjemahan dari kata “culture”. Kebudayaan berasal dari kata sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata budhi. Budhi berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kata buddhayah (budaya) yang mendapatkan awalan ke- dan akhiran -an, mempunyai arti “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Berdasarkan dari asal usul kata ini maka kebudayaan berarti hal-hal yang merupakan hasil dari akal manusia dan budinya. Hasil dari akal dan budi manusia itu berupa tiga wujud, yaitu wujud ideal, wujud kelakuan, dan wujud kebendaan.
Wujud ideal membentuk kompleks gagasan konsep dan fikiran manusia. Wujud kelakuan membentuak komplek aktifitas yang berpola. Sedangkan wujud kebendaan menghasilkan benda-benda kebudayaan. Wujud yang pertama disebut sistim kebudayaan. Wujud kedua dinamakan sistim sosial sedangkan ketiga disebut kebudayaan fisik.
Bertitik tolak dari konsep kebudayaan Koen Cakraningrat membicarakan kedudukan adat dalam konsepsi kebudayaan. Menurut tafsirannya adat merupakan perwujudan ideal dari kebudayaan. Ia menyebut adat selengkapnya sebagai adat tata kelakuan. Adat dibaginya atas empat tingkat, yaitu tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan tingkat aturan khusus. Adat yang berada pada tingkat nilai budaya bersifat sangat abstrak, ia merupakan ider-ide yang mengkonsesikan hal-hal yang paling berniali dalam kehidupan suatu masyarakat. Seperti nilai gotong royong dalam masyarakat Indonesia. Adat pada tingkat norma-norma merupakan nilai-nilai budaya yang telah terkait kepada peran-peran tertentu (roles), peran sebagai pemimpin, peran sebagai mamak, peran sebagai guru membawakan sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya dalam berbagai kedudukan tersebut.
Selanjutnya adat pada tingkat aturan-aturan yang mengatur kegiatan khusus yang jelas terbatas ruang lingkupnya pada sopan santun. Akhirnya adat pada tingkat hukum terdiri dari hukum tertulis dan hukum adat yang tidak tertulis.
Dari uraian-uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan merupakaan hasil dari budi daya atau akal manusia, baik yang berwujud moril maupun materil. Disamping itu adat sendiri dimaksudkan dalam konsep kebudayaan dengan kata lain adat berada dalam kebudayaan atau bahagian dari kebudayaan.
3. Pengertian Adat Dalam Adat Minangkabau
Bagi orang Minangkabau, adat itu justru merupakan “kebudayaan” secara keseluruhannya. Karena didalam fakta adat Minangkabau terdapat ketiga bagian kebudayaan yang telah dikemukakan oleh Koencaraningrat, yaitu adat dalam pengertian dalam bentuk kato, cupak, adat nan ampek dan lain-lain. Adat dalam pengertian tata kelakuan berupa cara pelaksanaannya sedangkan adat dalam pengertian fisik merupakan hasil pelaksanaannya. Malahan bila dibandingkan dengan pengertian culture yang berasal dari kata “colere”maka dapat dikatakan bahwa orang Minangkabau bukan bertitik tolak dari mengolah tanah melainkan lebih luas lagi yang diolah yaitu alam, seperti yang dikatakan : “alam takambang jadi guru” (alat terkembang jadikan guru).
Bertitik tolak dari nilai-nilai dasar orang Minangkabau yang dinyatakan dalam ungkapan “alam takambang jadikan guru” maka orang Minangkabau membuat katagori adat sebagai berikut:
a. Adat Nan Sabana Adatb. Adat Istiadatc. Adat Yang Diadatkand. Adat Yang Teradat
Sedangkan M. Rasyid Manggis Dt Rajo Penghulu memberi urutan yang berbeda seperti berikut:
1. Adat Nan Babuhua Mati, yaknia. Adat Nan Sabana Adatb. Adat Nan Diadatkan
2. Adat Nan Babuhua Sentak, yaknic. Adat Nan Teradatd. Adat Istiadat
Bila dikumpulkan literatur mengenai katagori adat ini sangat banyak sekali. Dari pendapat yang banyak sekali itu ada kesamaan dan ada perbedaannya. Kesamaannya hanya terlihat dalam “adat nan ampek” sedangkan penafsirannya terdapat perbedaan dan malahan urutannya juga. Menurut isinya serta urutannya paling umum adalah pendapat yang dikemukakan oleh M. Rasyid Manggis Dt Rajo Penghulu di atas.
Pengertian dari adat nan ampek di atas dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Adat Nan Sabana Adat
Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat) merupakan yang palingkuat (tinggi) dan bersifat umum sekali, yaitu nilai dasar yang berbentuk hukum alam. Kebenarannya bersifat mutlak seperti dikatakan : adat api mambaka, adat aia membasahi, tajam adatnyo melukoi, adat sakik diubeti. Ketentuan-ketentuan ini berlaku sepanjang masa tanpa terikat oleh waktu dan tempat.
b. Adat Nan Diadatkan
Adat nan diadatkan merupakan warisan budaya dari perumus adat Minangkabau yaitu Datuak. Katumanggungan dan Datauk Perpatih Nan Sabatang.
Adat nan diadatkan mengenai:Peraturan hidup bermasyarakat orang Minangkabau secara umum dan sama berlaku dalam Luhak Nan Tigo sebagai contoh
1. Garis keturunan menurut ibu2. Sistim perkawinan eksogami3. Pewarisan sako dan pusako4. Limbago nan sapuluah5. Garis keturunan pewarisan sako dan pusako dan lain-lain.
c. Adat Nan Teradat
Adat Nan Teradat merupakan hasil kesepakatan penghulu-penghulu dalam satu-satu nagari. Di sini berlaku lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
d. Adat Istiadat
Adat istiadat adalah kebiasaan umum yang berasal dari tiru-meniru dan tidak diberi kekuatan pengikat oleh penghulu-penghulu seperti permainan anak-anak muda seni dan lain-lain serta tidak bertentangan dengan adat nan teradat.
C.2. Pendapat-Pendapat Mengenai Nama MinangkabauPendapat-pendapat mengenai nama Minangkabau saat ini sangat banyak sekali. Pendapat-pendapat yang dikemukakan berasal dari orang-orang yang memiliki ilmu di bidang sejarah. Ada yang bersumber dari orang-orang yang sekedar pendapat tanpa argumentasi yang kuat, artinya tanpa didukung oleh nilai-nilai sejarah dan akibanya juga kurang didukung oleh masyarakat. Pendapat yang bersumber dari tambo pada umumnya didukung oleh masyarakat Minangkabau. Dari keterangan-keterangan yang dikumpulkan ada dikemukakan sebagai berikut:
1. Prof. DR. RM. NG. Poerbacaraka:
Pendapatnya dikemukakan dalam sebuah karangan yang berjudul “Riwayat Indonesia” dalam tulisannya mengenai nama Minangkabau dikaitkan dengan prasasti yang terdapat di palembang yaitu Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini memuat sepuluh baris kalimat yang berangka tahun 605 (saka) atau 683 masehi. Batu bertulis ini telah diterjemahkannya ke dalam bahasa indonesia sebagai berikut:
Selamat tahun saka telah berjalan 605 tanggal iiParo terang bulan waisyakka yang dipertuan yang naik diPerahu mengambil perjalanan suci. Pada tanggal 7 paro terang,Bulan jyestha Yang Dipertuan Hyang berangkat dari MinangaTamwan membawa bala (tentara) dua puluh ribu dengan petiDua ratus sepuluh dua banyaknya tulisanDua ratus berjalan diperahu dengan jalan (darat) seribuTiga ratus sepuluh dua banyaknya. Datang di MatayapBersuka cita pada tanggal lima bulan…Dengan mudah dan senang membuat kota…Syri-wijaya (dari sebab dapat) menang (karena) perjalanan suci, (yang menyebabkan kemakmuran)
Kesimpulan dari isi prasasti ini adalah Yang Dipertuan Hyang berangkat kari Minanga Tamwan naik perahu membawa bala tentara. Sebagian melalui jalan darat. Menurut Poerbacaraka kata tamwan pada prasasti itu sama dengan bahasa jawa kuno yaitu “temwan”, bahasa jawa sekarang “temon”, bahasa indonesianya “pertemuan”. Pertemuan disini yaitu pertemuan dua buah sungai yang sama besarnya. Sungai yang dimaksud itu ialah sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Besar kemungkinan kemudian dinamakan Minanga Kamwar yaitu Minanga Kembar.
Bagi orang Sumatera Barat disebut Minanga Kanwa, yang lama kelamaan diucapkan Minangkabau. Juga dikemukakannya, bahwa dengan pertemuan kampar kiri dan kampar kanan disinilah terletak pusat agama Budha Mahayana, yaitu Muara Takus.
2. M. Sa’id
Pendapat M. Sa’id bertitik tolak dari prasasti padang Roco tahun 1286, didekat sungai langsat, di hulu sungai Batang Hari. Pada prasasti ini ditemukan kata-kata swarna bumi dan bhumi melayu. Tidak satupun dari prasasti-prasasti yang ditemui yang berisikan kata-kata Minangkabau. Sedangkan tempat prasasti ditemukan termasuk daerah Minangkabau sekarang. Oleh sebab itu M. Sa’id berkeyakinan bahwa ketika ekspedisi pamalayu, nama Minangkabau belum ada.
Menurut penelitian ahli sejarah seperti M. Yamin, dan C.C Berg, ekspedisi Pamalayu bukanlah agresi militer, melainkan suatu muhibah diplomatik dalam usaha mengadakan aliansi untuk menghadapi Khubilai Khan. Itulah sebabnya prasasti Padang Roco isinya juga menunjukkan kegembiraan.
Tidak mustahil antara pihak tamu dengan tuan rumah diadakan pesta untuk menyenangkan hati kedua belah pihak. Pada peristiwa inilah salah satu acaranya diadakan arena pertarungan kerbau antara tuan rumah dengan pihak tamu. Rupanya kemenangan berada pada pihak tan rumah. Suatu pertanyaan timbul apakah ceritra-ceritra mengenai perlagaan kerbau yang kebanyakkan dianggap dongeng tidak mempunyai hubungan dengan kedatangan misi pamalayu ini. Menurut ukuran sekarang terlalu kecil peristiwa pertarungan kerbau ini untuk menguji kalah menang yang mempertaruhkan peristiwa dan status negara. Tetapi dari peristiwa ini nama Minangkabau lahir bukanlah mustahil.
3. Prof. Dr. Muhammad Hussein Nainar
Menurut keterangan, guru besar pada Universitas Madras ini, sebutan “Minangkabau” berasal dari “Menon Khabu” yang artinya “Tanah Pangkal” atau “Tanah Permai”.
4. Prof. Vander Tuuk
Menurut pendapatnya, bahwa Minangkabau asalnya dari kata “Pinang Khabu” yang artinya Tanah Asal.
5. Sulthan Muhammad Zain
Menurut pendapatnya, bahwa “Minangkabau” berasal dari “Binanga Kanvar” yang artinya Muara Kampar. Keterangan ini bertambah kuat oleh karena Chaw Yu Kua yang dalam abad ke 13 pernah datang berkunjung ke Muara Kampar menerangkan, bahwa disana didapatinya satu-satunya bandar yang paling permai di pusat sumatera.
6. Pendapat Thambo
Dari beberapa tambo yang ditemui seperti Tambo Pariangan dan Tambo Sawah Tangah yang tidak diketahui penulisannya, maupun tambo yang dikenal penulisannya, pada dasarnya mempunyai kesamaan sejarah lahirnya nama Minangkabau. Salah satu di antaranya transkipsi Tambo Pariangan nama Minangkabau diceritakannya sebagai berikut :
“tidak berapa lama di antaranya datang lagi raja itu membawa seekor kerbau besar yang tanduknya sepanjang delapan depa. Maka raja itu bertaruh atau bertanding, seandainya kalah kerbau kami, maka ambilah isi perahu ini. Maka dijawablah oleh raja, kemudian minta janji selama tujuh hari. Keesokan harinya dicarilah seekor anak kerbau yang sedang erat menyusu, lalu dipisahkan dari induknya. Anak kerbau tadi dibuatkan tanduk dari besi, yang bercabang dua yang panjangnya enam depa. Setelah sampai janji itu maka dipasanglah tanduk palsu itu dikepala anak kerbau yang disangka induknya tadi. Melihat kerbau besar tersebut, maka berlarilah anak kerbau itu menuju kepada kerbau besar yang dipisahkan dari induknya sendiri untuk menyusu karena demikian haus dan laparnya. Lalu anak kerbau itu berbuat seperti menyusu sehingga tanduk palsunya masuk perut kerbau besar itu dan akhirnya iduk kerbau itu mati. Maka mufakatlah seluruh rakyat akan menamakan negeri itu Minangkabau”.
Atas kemenangan pertarungan kerbau yang diungakpkan oleh tambo tersebut juga diungkapkan dalam bentuk talibunnya sebagai berikut:
Karano tanduak basi paruik tajaloMati di Padang Koto RanahTuo jo Mudo sungguahpun heranDatangnya indak karano diimbauDek karano Cadiak Niniak kitoLantaran manyambuang di galanggang tanahDipadapek tuah kamujuranTimbualah namo Minangkabau
(karena tanduk besi tanduk terjela, mati dipadang koto ranah, tua dengan muda sangat heran, datangnya karena tidak dihimbau, karena cerdik nenek kita lantaran menyambung digelanggang tanah, diperoleh tuah kemujuran timbulah nama Minangkabau).
Pendapat dari tambo ini merupakan pendapat yang umum Minangkabau. Walaupun banyak pendapat yang lain seperti yang telah dikemukakan di atas tetapi tidak didukung oleh orang Minangkabau sendiri. Lain halnya pendapat tambo yang beberapa hal sebagai berikut:
Sampai sekarang di arena tempat pertarungan kerbau tersebut masih diperoleh nama-nama tempat yang tidak berobah dari dahulu sampai sekarang. Nagari tempat pertarungan ini sekarang masih bernama nagari Minangkabau (lebih kurang 4 km dari kota batusangkar). Di nagari Minangkabau tempat gelanggang pertarungan kerbau ini sekarang masih tetap bernama Parak Bagak (kebun berani). Di tempat inilah kerbau yang kecil tersebut memperlihatkan keberaniannya. Disamping itu juga ada nama Sawah Siambek dimana kerbau yang kalah itu lari dan kemudian dihambat bersama-sama.Pendapat yang dikemukakan tambo didukung oleh masyarakat Minangkabau dari dahulu sampai sekarang dan tidak sama halnya dengan pendapat-pendapat lainnya.Asal nama Minangkabau karena menang kerbau juga ditemui dalam “Hikayat Raja - Raja Pasai” seperti yang dikemukakan oleh Drs. Zuber Usman dalam bukunya “Kesusasteraan Lama Indonesia”. Dalam buku hikayat raja-raja pasai itu dikemukakan raja majapahit telah menyuruh Patih Gajah Mada pergi menaklukkan Pulau Perca dengan membawa seekor kerbau keramat yang akan diadu dengan kerbau Patih Sewatang. Dalam pertarungan ini Patih Sewatang mencari anak kerbau yang sedang kuat menyusu. Setelah sekian lama tidak menyusu kepada induknya baru dibawa ke arena pertarungan. Karena haus dan kepalanya diberi minang (taji yang tajam), ketika pertarungan terjadi anak kerbau tersebut menyeruduk kerbau Majapahit tadi. Dalam pertarungan ini kerbau Patih Sewatang yang menang.Berdasarkan kepada tambo mungkin ada yang bertanya mengapa tidak disebut manang kabau tetapi Minangkabau. Jawabnya karena kemenangan itu lantaran anak kerbau tadi memakai “minang” yaitu taji yang tajam dan runcing sehingga merobek perut lawannya.
Asal nama Minangkabau lantaran kemenangan seperti yang dikemukakan tambo juga ada pesan-pesan tersirat yang disampaikan kepada kita dan enerasi selanjutnya bahwa sifat diplomatis haruslah dipergunakan dalam menghadapi sesuatu masalah. Pertentangan fisik harus dihindarkan seandainya masih ada alternatif lainnya. Disamping itu juga secara tidak langsung memberi inspirasi kepada kita sekarang untuk meniru meneladani cara berbuat dan berfikir seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang Minangkabau pada masa dahulu. Dimana dibiasakan menggunakan otak sebelum menggunakan otot, diplomasi adalah langkah yang terbaik dalam menyelesaikan suatu pertikaian, dengan diplomasi musyawarah, berunding dan lain-lain, resiko yang lebih berat dapat dapat dihindari.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa nama Minangkabau yang bersumber dari kemenangan kerbau tidak diragukan lagi kebenarannya. Disamping itu juga dapat disimpulkan bahwa pemakaian nama Minangkabau dipergunakan untuk nama sebuah nagari dekat kota Batusangkar, untuk suku bangsa Minangkabau dan wilayah kebudayaan Minangkabau, nama Minangkabau yang berasal dari cerita adu kerbau inilah yang kita yakini kebenarannya. Sedangkan nama-nama yang dikemukakan oleh para ahli sejarah lainnya, kita terima juga sebagai pelengkap perbendaharaan kita dalam menggali sejarah Minangkabau selanjutnya.
D. Nagari
D.1. Asal Kata NagariSebagai poin pertama akan dikemukakan asal kata nagari. Sebuah pendapat mengatakan, bahwa nagari bukanlah kata asli Minangkabau. Kata nagari berasal dari bahasa sansekerta yaitu “nagara”, yang dibawa oleh bangsa Hindu yang menetap di tengah-tengah masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat tengah pada masa Hindu . Kemungkinan bangsa Hindu (bangsa asing) tersebutlah yang menciptakan pembagian nagari, serta mengelompokkan mereka dalam suku-suku. Nagari-nagari kecil itu merupakan bentuk negara yang berpemerintahan sendiri (otonom).Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Sumatera Barat , belum ditemukan istilah lembaga nagari tersebut. Perkauman Minangkabau masih terbagi dalam berbagai-bagai kelompok genealogis, yang mendiami tanah-tanah tertentu. Jika sebelum pengaruh Hindu datang sudah ada pembagian nagari, tentu sudah ada istilah di dalam logat Minangkabau.
Dari penyelidikan para ahli, pengaruh Hindu terhadap Indonesia sangat besar sekali dari berbagai aspek, seperti bahasa, pemerintah, kepercayaan, seni ukir dan lain-lain.
Ditinjau dari segi bahasa bahkan sampai sekarang kata-kata melayu kuno atau sansekerta masih memperbanyak, memperkaya bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah Minangkabau.
D.2. Asal Nagari Menurut Pertumbuhannya1. Taratak
Dalam adat asal nagari menurut pertumbuhannya dikatakan :
Taratak mulo dibuekSudah taratak manjadi dusunSudah dusun manjadi kotoSudah koto jadi nagari
(taratak mula dibuat, sudah taratak menjadi dusun, sudah dusun menjadi koto, sudah koto menjadi nagari)
Dari ketentuan di atas maka tempat yang mula-mula didiami oleh nenek moyang orang Minangkabau adalah taratak. Taratak asal kata dari “tatak” yang berarti membuat. Pengertian membuat yaitu membuat tempat tinggal. Sebagian pimpinan pada taratak ini adalah kepala taratak (tuo taratak).
2. Dusun
Pertumbuhan dari taratak menjadi dusun. Orang yang tinggal dalam satu dusun, telah mempunyai peraturan-peraturan hidup bermasyarakat sesama anggota dusun. Pada dusun ini belum didirikan rumah gadang. Sebagai pimpinan di dusun ini disebut kepala dusun (kapalo dusun).
3. Koto
Koto berasal dari bahasa sansekerta, yaitu “kuta” yang berarti suatu tempat yang diperkuat untuk menahan serangan musuh. Pada masa dahulu di Minangkabau, koto dipagar dengan bambu berduri dan adakalanya dilingkari dengan tanah dan batu. Pada saat sekarang tidak dijumpai lagi koto yang dipagari dengan bambu berburi.
Di dalam koto sudah terdapat kumpulan rumah gadang yang didirikan berdekat-dekatan dan masing-masing mempunyai pekarangan. Pada mulanya koto didiami oleh orang-orang yang berasal dari sebuah paruik (peru) dari nenek yang sama. Lama kelamaan kumpulan rumah gadang yang ada di koto ini ditambah dengan rumah baru yang didirikan oleh orang-orang yang datang kemudian. Orang baru yang datang ke koto tersebut harus seizin dari orang yang mendirikan koto tersebut.
4. Nagari
Gabungan dari koto merupakan nagari. Penduduk suatu nagari merupakan satu satuan sosial, yang berdasarkan kebudayaan dan kebatinan. Nagari mempunyai hak otonom sendiri dan mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu dengan nagari lainnya.D.3. Nagari Nan AmpekPada masa dahulu syarat sebuah nagari terdiri dari empat suku, sedangkan bahkan sebuah nagari lebih dari empat suku. Dalam pesukuan penghulu suku dibantu oleh manti, mali, dan dubalang. Orang-orang inilah yang disebut sebagai orang ampek jinih (empat jenis).
Orang ampek jinih mempunyai tugas dan kewajiban yang berlain-lainan, dan masing-masing berdiri sendiri di atas tempatnya dan bersifat turun-temurn. Tiap-tiap suku pada masa dahulu terdiri dari atas kampung-kampung, dan tiap suku tidak sama jumlah kampungnya. Berdasarkan banyaknya dapat disebutkan:
1. Suku nan sambilan (9 kampung)2. Suku nan ampek (4 kampung)3. Suku nan limo (5 kampung)4. Suku nan anam (6 kampung)
Ikatan batin antara orang yang sesuku sangat besar sekali, karena mereka yang sesuku beranggapan berasal dari satu nenek yang sama pada masa dahulunya. Rasa seberat seringan, sehina semalu antara orang sesuku dikatakan, malu tak dapek dibagi, suku tak dapek dianjak (malu tidak dapat dibagi, suku tidak dapat dipindahkan).D.4. Ikatan Kekeluargaan Dalam Nagari Nan AmpekPenduduk suatu nagari bukan saja merupakan satu kesatuan sosial, tetapi mereka juga diikat oleh kehendak ingin hidup bersama dengan rukun. Mereka juga patuh kepada norma-norma pergaulan hidup bersama.
Setelah hidup bersama dalam suatu nagari, orang-orang yang berasal dari berbagai suku itu akhirnya menjadi satu perkauman teritorial dan mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama. Hal ini menimbulkan semangat gotong-royong, saling tolong-menolong dan ingin menciptakan kedamaian sesama masyarakat nagari. Segala permasalahan baik dan buruk semuanya dilaksanakan secara musyawarah.
Kerapatan adat nagari, merupakan dewan tertinggi dalam nagari. Berbagai permasalahan yang tidak terselesaikan pada tingkat bawah diputuskan dalam kerapatan adat nagari. Pengesahan dari kerapatan adat nagari mengenai sesuatu permasalahan merupakan pengesahan tertinggi. Dalam hal ini tentu yang berkaitan dengan permasalahan adat.
Demikian pula segala sesuatu yang sifatnya menyangkut nagari, harus sampai ketingkat kerapatan adat nagari. Sebagai contohnya pengangkatan penghulu, mendirikan rumah gadang dan lain-lain.
Kerapatan adat nagari juga mempunyai hak untuk membuat peraturan-peraturan yang berguna untuk kepentingan anak kemenakan. Hal ini dikatakan juga sebagai adat yang teradat, yaitu adat yang bersumber dari kesepakatan ninik mamak dalam nagari, dan tidak bertentangan dengan adat yang diadatkan.
Untuk kesejahteraan anak nagari, maka nagari juga mempunyai sumber-sumber pendapatan. Orang yang mengerjakan tanah ulayat harus menyerahkan sebahagian hasilnya yang telah ditentukan oleh adat kepada nagari. Hasil-hasil yang dipungut dari hutan, laut, sungai yang berada dalam wilayah nagari sebahagian harus diserahkan pada nagari. Dalam adat dikatakan : “karimbo babungo kayu, kalauik babungo karang, ka ladang babungo ampiang”, (kerimba berbunga kayu, kelaut berbunga karang, ke ladang berbunga emping).D.5. Syarat Berdirinya Sebuah NagariPada masa dahulu berdirinya sebuah nagari apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Babalai (mempunyai balairung adat)2. Bamusajik (mempunyai mesjid)3. Balabuah (mempunyai jalan raya)4. Batapian (mempunyai tempat mandi umum)
Jadi dari syarat nagari yang dikemukakan di atas terlihat sebuah nagari itu hendaklah menunjukan masyarakat yang beragama, beradat, mempunyai prinsip musyawarah berperekonomian yang baik. Dengan syarat-syarat nagari ini hendaknya diwujudkan masyarakat yang aman dan sentosa, lahir dan batin. Dalam adat dikatakan “bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak, nagari aman santoso”, (bumi senang padi menjadi, padi masak jagung mengupih, ternak berkembang biak, negeri aman sentosa).
Bila diuraikan lagi persyaratan nagari di atas dapat dikemukakan, mesjid adalah simbol dari agama. Mesjid tempat melakukan ibadah dan juga mesjid tempat bermusyawarah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan agama. Secara tidak langsung dengan adanya mesjid juga menunjukan, bahwa masyarakatnya adalah pemeluk agama islam.
Balai adat sebagai perlambang, bahwa musyawarah merupakan landasan untuk menghadapi dan memecahkan sesuatu permasalahan yang terdapat dalam nagari. Labuah adalah sebagai sarana perhubungan dan ekonomi masyarakat, sedangkan tapian tempat mandi merupakan lambang bahwa masyarakat nagari hendaklah menjaga kebersihan dan kesehatan.D.6. Kebesaran NagariYang menjadi kebesaran nagari adalah sebagai berikut :
Basawah baladangBaitiak baayamBatabek batanam ikanBapandam bapakuburanBakorong bakampuangBadusun batarak
(bersawah berladang, beritik berayam, bertebat tempat memelihara ikan, berpandam berpekuburan, berkorong berkampung, berdusun bertaratak).
Dilihat dari kebesaran nagari tersebut dapatlah disimpulkan, bahwa nagari harus mempunyai sawah ladang sebagai tempat sumber kehidupan masyarakatl. Dalam sebuah nagari juga ada taratak dan dusun, sebagai tempat berladang bagi anak nagari. Taratak dan dusun jauh dari pusat nagari. Taratak merupakan hutan jauah diulangi (hutan jauh diulangi), maksudnya tempat perulangan bagi orang kampung untuk mengolah ladang. Kadang-kadang mereka mendiami taratak, tinggal diperladangannya, dan adakalanya pulang ketempat asal. Dusun dikatakan juga hutan dakek dikendono-I atau (hutan dekat dipelihara). Dusun juga tempat perladangan bagi penduduk kampung. Perladangan itu sudah dikendonoi dan dipelihara baik. Sudah ada orang bertempat tinggal secara menetap.
Untuk kesejahteraan rakyat nagari, penduduknya juga hendaklah memelihara kerbau, kambing, sapi, ayam dan itik. Hal ini mengingatkan kepada masyarakat bahwa mata pencaharian itu jangan semata mengharapkan hasil pertanian saja. Sebuah nagari juga diberi korong dan kampung-kampung dalam hal ini memudahkan lancarnya roda pemerintahan nagari.
Selanjutnya termasuk kebesaran nagari adalah anak kemenakan atau disebut juga adanya rakyat. Anak kemenakan inilah bersama pimpinan yang akan mewujudkan sebauah nagari menjadi besar.D.7. Perhiasan NagariSebuah nagari agar bersemarak secara lahir dan batin mempunyai persyaratan sebagai berikut :
1. Rumah gadang (rumah adat beranjung)2. Lumbuang bapereang (lumbung berukir)3. Ameh perak (emas dan perak)4. Sawah ladang, banda buatan (sawah ladang, bandar buatan)5. Kabau, jawi (kerbau dan sapi)6. Tabek (kolam ikan)
Rumah gadang disamping tempat tinggal tetapi juga membawa semarak atau dapat dijadikan perhiasan oleh sebuah nagari. Bangunannya yang anggun penuh dengan ukiran dan tersusun rapi dan dipagar dengan pohon puding memberi arti tersendiri bagi orang yang memandangnya. Demikian pula lambung berukir atau rangkiang yang berderet di depan rumah gadang juga menambah cahaya nagari.
Sawah ladang bandar buatan juga merupakan perhiasan nagari, karena sawah dibuat babidang di nan data, ladang bajanjang di nan lereang, banda baliku turuik bukik (sawah berbidang di tempat yang datar, ladang berjenjang di tempat yang lereng, bandar berliku menuruti bukit). Secara alamiah telah memberi hiasan kepada sebuah nagari dan secara tersirat memberi hiasan terhadap masyarakatnya yang makmur di bidang perekonomian.
Kerbau dan sapi yang banyak dipelihara oleh anak nagari di padang pengembalaan juga memberikan pemandangan yang romantis. Namun dalam pengertian sebenarnya, kerbau dan sapi sebagai lambang kekayaan masyarakatnnya yang dapat membawa kehidupan rakyat nagari menjadi bersemarak. Demikian pula kolam ikan yang terdapat di tiap-tiap nagari juga merupakan hiasan bagi nagari tersebut, dan dari padanya juga mendatangkan hasil. Sebagai perhiasan nagari kelihatannya merupakan perpaduan antara alam dengan manusia dan budayanya.
D.8. Pagaran NagariAgar sebuah nagari bisa kokoh maka harus di pagar. Yang termasuk pagaran nagari adalah jago, sijanto, mupakai, parik, kawan, luruih, bana (bangun, senjata, mufakat, parit, kawan, lurus, benar). Bila dikelompokkan pula pagaran nagari ini terbagi dua yaitu pagaran yang bersifat kebendaan dan pagaran yang bersifat abstrak.
Senjata dan parit merupakan pagaran yang bersifat kebendaan. Pada masa dahulu untuk mempertahankan nagari dari gangguan luar maka nagari diberi berparit. Tujuannya agar musuh yang datang menjadi tertahan, di samping itu persenjataan juga dipergunakan untuk pertahanan diri.
Selanjutnya yang penting memagari nagari dari ancaman dari dalam nagari sendiri, seperti pelanggaran adat dan penyelewengan terhadap norma-norma adat yang berlaku dan lain-lain. Agar nagari tersebut tetap kokoh maka masyarakat harus jago atau waspada. Segala hal-hal yang mungkin timbul yang sifatnya merusak harus dicegah.
Kemudian setiap menghadapi permasalahan atau mengambil keputusan harus dilaksanakan melalui jalan mufakat. Dengan adanya musyawarah mencari mufakat maka segala pertikaian yang sifatnya memecah kesatuan dapat dihindari. Juga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sifat selalu mencari kawan sangat diutamakan. Harus pandai berkawan sesama anggota masyarakat agar tidak terjadi silang sengketa yang merugikan.
Agar nagari aman sentosa juga sifat lurus dan benar harus dimiliki masyarakatnya. Masyarakatnya diminta untuk menuruti segala sesuatu yang telah digariskan oleh adat dan tidak boleh menyimpang. Bila terjadi penyimpangan tentu akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat itu sendiri, sifat “luruih” juga harus dimiliki oleh seseorang dalam pergaulannya sesama anggota masyarakat.
Yang terakhir bahwa kebenaran harus ditegakkan walaupun yang salah itu keluarga sendiri. Sebagaimana dikatakan tibo dimato indak dipiciangkan, tibo di paruik indak dikampihkan (tiba di mata tidak dipicingkan, tiba diperut tidak dikempiskan). Mempunyai sifat yang benar dalam kehidupan akan menghindarkan diri seseorang dari sifat penipu dan merugikan orang lain. Bagi pemimpin dalam tugasnya supaya bakato bana ma hukum adia (berkata benar menghukum adil).
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pagaran nagari bukanlah terletak dari kekuatan fisik semata, melainkan terletak pula pada pemahaman dan kepatuhan terhadap ajaran adat itu sendiriD.9. Batasan NagariBatas nagari ditentukan oleh batas-batas alam seperti sungai, bukit, hutan dan lain-lain. Rakyat dari sebuah nagari merupakan penduduk yang berada dalam ruang lingkup nagari tersebut dengan batas-batas tertentu. Mengenai batas teritoral nagari ini dikatakan juga dalam adat “sawah dibari bapamatang, ladang babintalak, padang dibari balinggundi, rimbo baanjiluang” (sawah diberi berpematang, ladang berbintalak, pedang diberi linggundi, rimba beranjilu). Bintalak merupakan batas antara ladang seseorang dengan orang lain dan batas ini dengan tumbuh-tumbuhan hidup sebagai pagaran. Linggundi sejenis pohon lontas yang mudah hidup di padang tempat pengembalaan. Anjiluang sejenis kayu hutan yang mudah kelihatan dari jauh pada musim berbunga.
Batas-batas nagari berdasrkan kepada alam yang kemungkinan tidak banyak mengalami perubahan, menghindarkan persengketaan antara satu nagari dengan nagari lainnya. Batas alam seperti ini berupa bukit, sungai, gunung dan lain-lain. Namun demikian kemungkinan adakalanya terjadi perselisihan antara satu nagari dengan nagari lainnya bila batas-batas nagari hanya ditandai dengan pohon-pohon seperti anjiluang yang bisa mati.
Luas wilayah nagari sama dengan tanah ulayat dari suku-suku yang mendirikan nagari ditambah dengan daerah-daerah kantong, yaitu tanh-tanah yang terletak antara masing-masing ulayat suku.
Batas-batas antara satu nagari dengan nagari lainnya, didudukkan secara musyawarah oleh ninik mamak masing-masing pada masa dahulu dengan demikian kemungkinan terjadinya silang sengketa yang akan timbul kecil sekali.D.10. Sistem Pemerintahan NagariUntuk kelancaran pemerintahan nagari mulai dari taratak sampai ke nagari sudah diatur secara bertingkat sedemikian rupa. Dimana taratak dipimpin oleh kepala taratak. Dusun dipimpin oleh kepala dusun. Rumah diberi bertungganai, kaum di kepalai oleh kepala kaum, suku dipimpin oleh penghulu-penghulu suku.
Penghulu-penghulu suku mewakili sukunya masing-masing dalam kerapatan adat nagari, dan mereka inilah yang menggerakkan roda pemerintahan nagari. Segala permasalahan harus “berjenjang naik bertangga turun”. Sebelum sampai kepada pemerintahan nagari harus diselesaikan dari bawah dan bila tidak ada juga penyelesaian baru dibawa ke tingkat kerapatan adat nagari. Demikian pula hasil kerapatan nagari agar sampai kepada anak kemenakan juga melalui tingkatan atau “beratangga turun”. Penghulu-penghulu suku menyampaikan kepada kepala kaum, dan seterusnya kepada tungganai. Barulah dari tungganai diteruskan lagi kepada anak kemenakan.
Sistem pemerintahan yang dipakai oleh masing-masing nagari tergantung pada kelahiran nagari tersebut dan suku yang ada di dalam nagari itu. Dua sistem adat yang dipakai adat pemerintahan nagari koto Piliang atau Bodi Chaniago yang sama-sama berazaskan demokrasi.
E. Undang Undang
E.1. Undang - UndangTujuan adat Minangkabau bermuara kepada cita-cita untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, sebagaimana dikatakan : bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak, antimun mangarang bungo, nagari aman santoso (bumi senang padi menjadi, padi masak jagung meupih ternak berkembang biak, antimun mengarang bunga, nagari aman sentosa).Cita-cita tersebut tidak akan tercapai bila tidak ada norma-norma adat dan undang-undang adaaat yang mengaturnya. Kelihatannya orang tua-tua Minangkabau masa dahulu yang dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang telah menyusun undang-undang adat yang akan dijadikan pedoman serta pengalamannya untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang diinginkan di atas.
Undang-undang yang disusun tersebut memegang peranan penting untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan, keamanan dan ketentraman masyarakat Minangkabau masih kuat dengan adatnya. Barangkali itulah sebabnya sampai saat ini orang Minangkabau masih kuat dengan adatnya lantaran warisan yang diterma dilandasi oleh undang-undang dan peraturan adat yang harus dipedomani, dihayati serta diamalkan. Undang-undang merupakan tali pengikat bagi setiap lembaga yang ada seperti raantau, luhak, nagari, maupun seluruh warga masyarakatnya.
Dengan kata lain undang-undang gunanya untuk mengatur hubungan nagari dengan nagari, luhak dengan luhak, alam dengan rantau, untuk mengatur keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dalam nagari.
Sebagai sendi dari undang-undang adat yaitu : cupak nan duo, kato nan ampek (cupak yang dua, kata yang empat). Cupak yang dua adalah cupak usali (cupak asli) dan cupak buatan. Sedangkan kato nan ampek adalah kato pusako, kato mupakat, kato dahulu dan kato kudian. Kesemua materi di atas akan menjadi pembahasan dalam bahagian bab ini.
E.2. Undang - Undang Nan AmpekUndang-undang yang telah disusun oleh orang tua-tua Minangkabau dahulu telah dikategorikannya atas empat bahagian atau dalam adat dikatakan. Undang-undang nan ampek (undang-undang yang empat). Undang-undang nan ampek ini adalah undang-undang luhak, undang-undang nagari, undang dalam nagari dan undang-undang duo puluah (dua puluh).
a. Undang-Undang Luhak Dan Rantau.
Undang-undang luhak dan rantau mengatur hal-hal yang berkaitan dengan luhak dan rantau, seperti tugas penghulu dan rajo di daerah rantau, undang-undang luhak dan rantau ini dikatakan dalam pantun adatnya yang mengatakan:
Mancampak sambia kahulu,Kanailah pantau dikualo,Dilatak dalam cupak,Dijarang jo sipadeh ;Luah dibari barajo,Tagak indak tasondak,Malenggang indak tapampeh
(mencapak sambil kehulu, dapatlah pantau dikuala, diletakkan dalam cupak, dijerangkan dengan sipedas, luhak diberi penghulu, rantau diberi raja, tegak tidak tersundak, melenggang tidak terpempas).
Pengertiannya di daerah luhak yang mengaturnya adalah penghulu, sedangkan di daerah rantau yang akan ganti penghulu disebut rajo. Kedua kepemimpinan ini yaitu penghulu dan rajo mempunyai wewenang penuh di daerah masing-masing, sebagaimana dikatakan “tagak indak tasondak, malenggang indak tapampeh”.
b. Undang-Undang Nagari
Undang-undang nagari mengatur segala sesuatu mengenai nagari sebagai satu kesatuan masyarakatt hukum adat. Menurut undang-undang mengenai nagari dikemukakan oleh taliban adat sebagai berikut :
Anak gadih mangarek kuku, dikarek jo pisau sirauik, pangarek batuang tuo, batuang tuo elok kalantai, nagari baampek suku, dalam suku babuah paruik, kampuang banantuo, rumah batungganai (anak gadis mengerat kuku, dikerat dengan pisau siraut, peraut betung tua, betung tua untuk baik untuk lantai, negeri berkeempat suku, dalam suku mempunyai perut, kampung bertua, rumah bertungganai). Pada mulanya dengan pengertian sebuah nagari mempunyai sekurang-kurangnya terdiri dari empat suku, tiap suku terdiri pula dari perut-perut atau kaum. Dalam sebuah kampung ada yang dituakan setiap rumah gadang ada mempunyai tungganai (mamak yang dituakan).
M. Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghoeloe dalam bukunya Sejarah Ringkas Minangkabau dengan adatnya, mengatakan, bahwa nagari baru bisa dikatakan sebuah nagari yang syah bila mempunyai tujuh rukun sebagai berikut:
1. Balabuah batapian2. Babalai bamusajik3. Badusun batarak4. Basawah baladang5. Babanda buatan6. Bakabau bajawi, ba tabek ba taman-taman7. Bagalanggang bapamedanan
Bila diperhatikan undang-undang nagari ini lebih menitik beratkan kepada kelembagaan nagari sebagai tertorial yang berupa kampung, taratak, dusun, koto dan tiap-tiapnya ada pimpinan yang mengaturnya untuk memperlancar mekanisme roda pemerintahan secara adat.
c. Undang-Undang Dalam Nagari
Undang-undang dalam nagari mengatur hubungan antara nagari dengan isinya, antara seseorang dengan seseorang, antara seseorang dengan masyarakat dan sebagainya. Undang-undang dalam nagari juga menggariskan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat. Undang-undang dalam nagari ini menjamin keamanan dalam nagari karena orang disuruh untuk berbuat sesuatu, dan jika tidak ditaati juga diancam dengan hukuman. Hukum yang paling berat adalah kehinaan yang ditimpakan terhadap diri seseorang, seperti tidak dibawa sehilir semudik, dikeluarkan dari hubungan kekeluargaan dan lain-lain.
Hak dan kewajiban yang dikemukakan dalam undang-undang dalam nagari ini dikemukakan sebagai berikut:
Salah tariak mangumbalikan, salah cotok malantiang, salah lulua mamuntahkan, salah cancang mambari pampeh, salah bunuah mamabari diat, manyalang maantakan, utang dibaia, piutang ditarimo, baabu bajantiak, kumuah basasah, sasek suruik talangkah kumbali, gawa maubah, cabua dibuang, buruak dipabaiki, lapuak dikajangi usang dipabarui, tangih baantokan, jatuah basambuik, salah kapado tuhan mintak tobat, salah kapado manusia minta maaf, suarang baagiah, sekutu babalah.
d. Undang-Undang Nan Duo Puluah
Undang-undang nan duo puluah (undang-undang yang dua puluh). Yaitu undang-undang yang berhubungan dengan hukm dan penyelesaian hukum. Menegakkan keadilan dan kebenaran serta menjaga ketertiban merupakan syarat yang harus dipertahankan di tengah-tengah masyarakat. Menegakkan ketertiban dan keamanan serta menghukum orang yang berbuat salah adalah merupakan jaminan amannya masyarakat dan lancarnya segala pekerjaan dalam nagari.
Melihat jenis kejahatan maka undang-undang duo puluah dibagi atas dua bahagian. Pertama undang-undang nan salapan dan yang kedua undang-undang na duo baleh.
Yang termasuk undang-undang nan salapan adalah sebagai berikut:
1. Dago dagi mambari malu2. Sumbang salah laku parangai3. Samun saka tagak di bateh4. Umbuak umbai budi marangkak5. Maliang curi taluang diindian6. Tikam bunuah padang badarah7. Sia baka sabatang suluah8. Upeh racun batabuang sayak
Undang-undang nan salapan ini menyatakan kejahatan atau kesalahan besar dan disebut juga “cemo dan bakaadaan” (tuduh yang mempunyai fakta)
1. Dago Dagi Mambari Malu
Dago dagi mambari malu (dago dagi memberi malu), dago merupakan kesalahan yang diperbuat oleh kemenakan kepada mamaknya, sedangkan dagi yakni mamak berbuat salah kepada kemenakannya. Melawan kepada mamak adalah hal yang sangat tercela karena mamak sebagai pimpinan adalah atas pilihan kemenakan-kemenakannya dan didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Oleh karena itu seorang mamak haruslah dihormatinya.
2. Sumbang Salah Laku Parangai
Sumbang salah laku parangai (sumbang salah laku perangai). Sumbang perbuatan atau pergaulan yang salah dipandang mata dan belum dapat dijatuhkan hukuman secara adat. Sebagai contoh sering bertemu kerumah seorang janda yang tidak pada waktunya. Salah adalah perbuatan yang melanggar susila dan dapat dijatuhi hukuman secara adat. Sebagai contohnya “manggungguang mambaok tabang” (menggunggung membawa terbang), maksudnya melarikan isteri orang.
3. Samun Saka Tagak Di Bateh
Samun saka tagak di bateh (samun sakal tegak di batas), samun maksudnya mengambil barang orang lain dengan paksa di tempat yang lengang dan dilakukan di daerah perbatasan. Di daerah perbatasan seperti antara batas luhak dengan rantau. Hal ini sudah diperhitungkan oleh penyamun karena sulit untuk mengusutnya nanti secara hukum.Saka juga menghadang di tempat yang lengang untuk merampas barang orang lain tidak segan-segan melakukan pembunuhan.
4. Umbuak Umbai Budi Marangkak.
Umbuak (umbuk), maksudnya menipu orang lain dengan mulut manis sehingga orang terpedaya. Umbai, maksudnya menipu dengan jalan ancaman. Ada juga pendapat yang mengatakan umbuak umbai ini dengan “kicuah kicang”. (penipuan yang sangat lihai sekali).
5. Maliang Curi Taluang Dindiang
Maliang (maling), mengambil barang orang lain pada malam hari. Sebagai bukti orang maling itu masuk kerumah orang lain taluang dindiang (terluang dinding). Maksudnya ada buktinya dinding yang berlobang atau rusak tempat orang maling itu masuk. Curi yaitu mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuannya pada siang hari.
6. Tikam Bunuah Padang Badarah
Tikam, maksudnya menikam senjata tajam kepada orang lain sampai luka. Sebagai buktinya bahwa dia telah melakukan penikaman, senjata yang dipergunakannya berdarah. Bunuah (bunuh), melenyapkan nyawa orang lain dengan bukti mayat terbujur.
7. Sia Baka Sabatang Suluah
Sia (siar) maksudnya menyulutkan api kepada sesuatu barang tetapi tidak sampai menghanguskan. Baka (bakar), maksudnya menyulutkan api sampai menghanguskan, seperti rumah menjadi abu. Sebagai buktinya ada puntung suluh yang terdapat di sekitar tempat tersebut.
8. Upeh (racun)
Upeh (upas), maksudnya ramuan yang dijadikan racun dan ramuan ini dapat mematikan. Racun sejenis tuba yang dapat membunuh orang dengan seketika. Lengkapnya dikatakan upeh racun batabuang sayak (upas racun bertabung sayak). Tabung sayak sebagai alat bukti yang dipergunakan untuk menyimpan upas dan racun tadi. Sebagai pembuktian pada masa dahulu sisa makanan diberikan kepada hewan dengan sayak (tempurung) yang dipergunakan untuk meletakkan racun tersebut.
Undang-undang nan duo baleh merupakan bagian dari undang-undang nan duo puluah. Yang termasuk undang-undang nan duo baleh ini adalah sebagai berikut:
Talala takajaTacancang taragehTakacuik tapukua Putuih taliTumbang ciakAnggang lalu ata jatuahBajalan bagageh-gagehPulang pai babasah-basahBajua bamurah-murahPanyakik dibaok langauTabayang tatabuaKacondong mato rang banyak
Undang-undang nan duo baleh ini dibagi pula atas dua bahagian yaitu undang-undang nan anam dahulu dan undang-undang nan anam kudian. Undang-undang nan anam dahulu dikatakan juga “tuduah”. Sangka yang berkeadaan, jatuh kepada bukti yang bersuluah matahari, (bergelenggang mata orang banyak). Sedangkan undang-undang nan anam kemudian dikatakan “cemo” atau syakwasangka, apakah seseorang itu melakukan pekerjaan tersebut atau tidak. Untuk jelasnya akan dibicarakan satu-persatu dari undang-undang nan duo baleh di atas.
1. Talala Takaja
Talala (terlala), maksudnya orang yang tertangkap ketika ingin lari setelah berbuat kesalahan. Takaja (terkejar), maksudnya orang yang melakukan kesalahan seperti mencuri kemudian melarikan diri. Setelah dikejar orang tersebut dapat ditangkap beserta barang buktinya.
2. Tacancang Tarageh
Tacancang (tercencang), maksudnya orang yang melakukan kesalahan mendapat pukulan atau kena senjata tajam dari orang yang menangkapnya. Pukulan dan senjata tajam tadi mempunyai bekas pada tubuh orang yang melakukan kesalahan tersebut. Tarageh, maksudnya si pelaku kejahatan dapat ditangkap dan kepalanya digundul secara terburu buru dan ini dapat dijadikan sebagai satu bukti juga.
3. Talacuik Tapukua
Talacuik (terlecut), maksudnya si tertuduh kena lecut oleh orang yang menangkapnya, dan dapat dibuktikan bekasnya pada badannya. Tapukua (terpukul), maksudnya orang yang berbuat kesalahan kena pukul, dan pukulan ini membekas pada badannya.
4. Putuih Tali
Putuih tali (putus tali), maksudnya keterangan yang diberikan oleh seseorang yang membuat dirinya bebas dari tuduhan. Tetapi setelah disiasati ternyata keterangan yang diberikannya bohong sama sekali dan dia tidak dapat mengelakkan diri.
5. Tumbang Ciak
Tumbang artinya berbunyi keras, dan ciak pengertiannya hiruk pikuk. Pengertiannya ketika kejahatan dilakukan terjadi sesuatu yang menimbulkan bunyi keras. Akibat bunyi keras itu orang terpekik atau bersorak yang menimbulkan hiruk pikuk. Tujuannya agar perbutan si tertuduh diketahui oleh orang banyak.
6. Anggang Lalu Atah Jatuah
Anggang lalu atah jatuah (enggang lalu atah jatuh), arti secara kata-kata ketika burung enggang terbang melewati pohon saat itu buahnya jatuh. Ada pula yang mengatakan “enggang lalu atah jatuah”. Enggang bukan burung melainkan orang sedang mengisi atau mengayak untuk memisahkan atah dengan beras. Saat itu atah dan beras jatuh kebawah pada lobang-lobang kisaian.
Yang kedua belum ada lagi penelitian. Namun demikian keduanya mempunyai pengertian yang sama terhadap suatu peristiwa kejahatan. Maksudnya pada waktu peristiwa itu terjadi, ada orang yang lalu ditempat itu. Secara tidak langsung orang yang lalu itulah yang dituduh melakukan perbuatan tersebut.
7. Bajalan Bagageh-Gageh
Bajalan bagageh-gageh (berjalan bergegas-gegas), meksudnya ada seseorang yang kelihatan oleh orang lain berjalan terburu-buru seperti orang ketakutan di tempat kejahatanter jadi. Orang berprasangka dialah yang melakukan perbuatan tersebut.
8. Pulang Pagi Babasah-Basah
Pulang pagi babasah-basah (pulang pagi berbasah-basah), maksudnya kecurigaan timbul terhadap diri seseorang berkenaan ketika kejadian, orang tersebut keluar atau datang dari tempat tersebut dengan pakaian yang tidak terurus dan tubunya basah atau berlumpur.
9. Bajua Bamurah-Murah
Bajua bamurah-murah (menjual bermurah-murah). Maksudnya kedapatan oleh orang atau diperoleh berita, bahwa orang yang dicurigai menjadi barang dengan harga yang tidak sepantasnya. Akibatnya timbul syakwasangka, orang tersebutlah yang melakukan kejahatan itu.
10. Panyakik Dibaok Langau
Penyakik dibaok langau (penyakit dibawa langau). Maksudnya ketika terjadi suatu peristiwa yang menggemparkan masyarakat, ada orang yang meninggalkan kampung atau nagarinya secara diam-diam. Kecurigaan timbul kalau dihubungkan dengan kelakuannya selama ini.
11. Tabayang Tatabua
Tabayang tatabua (terbayang tertabur), maksudnya ketika peristiwa terjadi orangnya tidak tertangkap. Namun dari kejauahn kelihatan secara samar-samar di tempat yang gelap si pelakunya. Setelah dicocokan degan bentuk, pakaian, dan lain-lain orang amai mencurigainya, bahwa dialah pelakunya.
12. Kacondongan Mato Rang Banyak
Kacondong mato rang banyak (kecenderungan mata orang banyak), maksudnya dalam suatu peristiwa orang banyak cepat memberi tuduhan kepada seseorang, karena selama ini orang yang dicurigai sudah runciang tanduak (runciang tanduk) juga. Dengan pengertian orang yang dicurigai sudah seringkali berbuat kejahatan. Padahal belum tentu dia yang berbuat kejahatan tersebut.E.3. Cupak Nan DuoCupak nan duo (cupak yang dua). Arti cupak dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Minangkabau adalah suatu ukuran yang terbuat dari bambu dan dipergunakan untuk menakar beras. Cupak ini dibuat dari seruas bambu dan tidak bisa lebih dari satu ruas atau dikatakan sepanjang batuang (bambu) : yang dimaksudnya sepanjang ruas dari bambu tersebut.
Untuk keseragaman jumlah isi dari cupak tersebut maka dibuat kesepakatan bersama, bahwa semua cupak harus berisi seberat 12 tahil (satu tahil beratnya 16 emas), satu emas sama dengan 2 ½ gram. Pada saat sekarang tentu ukuran ini tidak dipakai lagi karena sudah ditemui alat ukur yang lain. Cupak yang telah dijadikan ukuran bersama ini dikatakan “cupak usali” atau cupak asli. Berpedoman dari cupak asli ini ada cupak yang lain dibuat orang sebagai ukuran dan disebut sebagai “cupak buatan”. Sesuai dengan falsafah alam takambang jadikan guru, maka arti tersurat dari cupak ini diberi pengertian tersirat yang ada kaitannya dengan adat Minangkabau yang dikenal sampai saat ini dengan “cupak usali dan cupak buatan”.
Cupak sepanjang betung dan adat sepanjang jalan, maksudnya segala sesuatu yang telah digariskan oleh adat menurut alur, dan patut serta mungkin, tidak boleh dikurangi atau dilebihkan, dan harus dituruti. Ibarat cupak hanya menurut ruas betung dan tidak lebih, baik ukuran maupun isinya. Demikian pula yang dimaksud dengan adat sepanjang jalan. Yaitu segala sesuatu hendaklah sepanjang adat yang berlaku dan tidak boleh menyimpang. Jadi pengertian jalan adalah jalan adat, bukanlah tempat lalu.
Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini : jika meninggal Dt. Hitam, maka gelar pusaka dan harta pusakanya jatuh kepada ahli waris atau keturunan Dt. Hitam dalam kaumnya sendiri, dan tidak boleh diwarisi oleh kaum lain. Kalau terjadi di luar itu tidak lagi bercupak sepanjang betung dan beradat sepanjang jalan.
Habis cupak karena pelilisan, habis adat berkelirahan secara arti tersurat, maksudnya mencupaki sesuatu diakhiri dengan melilisnya agar tidak mengurangi atau melebihi. Habis adat berkeliaran, maksudnya ada unsur kompromi satu sama lain sehingga sama-sama senang dan tidak ada yang dirugikan.
Sebagai contoh dapat dikemukakan saebagai berikut: dalam menjemput marapulai bisa terjadi adanya perbedaan dengan syarat-syarat berbeda. Bila dituruti adat masing-masing nagari tidak akan terdapat persesuaian, sebab lain padang, lain belalang, lain lubuk lain ikan, lain nagari lain adatnya. Karena ada kompromi akhirnya terdapat persesuaian tanpa mengurangi makna dari pada menjemput marapulai tadi.
Mengenai arti tersirat dari cupak usali dari cupak buatan dapat dikemukakan beberapa pendapat:
1. D. Djamaludin Sutan Maharajolelo mengatakan :
Adapun yang dikatakan cupak asli, yang betul seumpama sembahyang lima waktu sehari semalam dan diperlukan sembahyang jumat sekali seminggu menurut kitabullah, dengan tidak boleh ditambah dan dikurangi. Cupak buatan itu ialah putusan penghulu-penghulu dalam nagari atau luhak yang ditentukan hingga batasnya (hak), supaya genggam beruntuk duduk berpenghadap.
2. Muhammad Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu mengatakan:
Cupak usali menurut adat dikiaskan kepada ukuran yang telah ditetapkan, tidak boleh dibandingkan lagi dan berlaku selama-lamanya, karena dijadikan teladan “standar” atau “measure” yang akan ditiru atau dipedomani. Yang diaktakan cupak buatan yaitu pencaharian segala penghulu. Urang tuo-tuo dan cadiak pandai dalam nagari dipateri dengan : “tanduak dibanam - darah dikacau, dagiang dilapah, dilicak pinang, ditapuang batu”.
3. Prof. Mr. M. Nasroen
Yang paling umum penafsiran kepada cupak nan duo adalah tafsiran yang dikemukakan oleh M. Nasroen ini. Cupak usali adalah sesuatu yang seharusnya menurut alur dan patut yang kalau tidak dituruti akan terjadilah apa yang menurut fatwa adat “diasak layua dibubui mati” (dipindahkan layu dicabut mati). Demikian menurut cupak usali ialah “gantang nan papek, bungka nan dipiawai, taraju nan indak bapaliang, bajanjang naiak, batanggo turun, nan hitam tahan tapo, namun putuih tahan sasah, baukua banjangkokan, nan babarih nan bapahek, bab batakuak nan batabang”, (gantang yang pepat, bungkai yang piawai, taraju yang tidak berpaling, berjenjang naik berrtangga turun, yang hitam tahan tepa, yang putih tahan cuci, berukur berjangkakan, yang bergaris yang berpahat, yang bertakuk yang ditebang). Cupak buatan ialah sesuatunya atas putusan permufakatan, yang boleh diperlonggar dan diturun dipernaikkan menurut zaman dan keadaan.
Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan mengenai penafsiran cupak nan duo, kelihatan adanya unsur-unsur persamaan dan perbedaan. Kesamaan dalam hakekat tingkatan adanya unsur persamaan dan perbedaan. Kesamaan dalam hakekat tingkatan kekuatan yaitu cupak usali menggariskan bahwa tindakan, perbuatan bagi seorang individu maupun masyarakat tidak boleh menyimpang dengan ketentuan-ketentuan atau norma-norma yang telah diwarisi. Untuk memperkuat ketentuan ini diumpamakan kepada hukum alam, seperti dikatakan nan babarih nan bapahek, nan batakuan nan batabang (yang berbaris yang dipahat yang bertakuk yang ditebang).
Demikian pula pada persamaan penafsiran kepada cupak buatan, yaitu ketentuan-ketentuan dalam adat kemudian di atas kesepakatan penghulu-penghulu yang disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Secara tidak langsung cupak buatan suatu pengakuan, bahwa adat Minangkabau itu tidak statis, malainkan elastis yang dapat menyesuaikan diri dengan zamannya. Perbedaan hanya pada contoh-contoh yang diberikan, ada yang menitik beratkan kepada segi hukum, ada yang berkaitan dengan nilai. Contoh dapat dibuat bermacam-macam tetapi jiwa “cupaknya” satu saja. Yang dimaksud cupak tidak lain ukuran, takaran, ketentuan yang telah digariskan oleh adat.
Kalau dapat dikatakan cupak usali atau cupak buatan mengatur pelaksanaan apa-apa yang telah digariskan baik yang berupa warisan maupun yang diatur kemudian, dan ini tercermin dalam tingkah laku perbuatan masyarakat adat. Bila dikaitkan antara adat nan sabana adat dengan cupak usali adalah, adat nan sabana adat berupa ketentuan, norma yang digali berdasarkan hukum-hukum alam sedang cupak usali merupakan pelaksanaan dari padanya dan tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan.E.4. Kato Nan Ampek
Pengertian kata dalam kato nan ampek (kata yang empat), merupakan arti tersirat. Sedangkan arti sebenarnya tidak lain dari pada norma-norma, peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan yang diungkapkan dalam bentuk ungkapan-ungkapan, mamangan, petitih, petatah, peribahasa dan lain-lain. Kesemuanya itu dijadikan pedoman, dihayati serta diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan urutan sejarah terdapat atau lahirnya kata-kata yang mengandung norma-norma tadi dan bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari maka dalam adat Minangkabau kata tersebut dalam adat adalah sebagai berikut :
1. Kato Pusako
Kato pusako (kata pusaka) itu diwarisi, dengan pengertian segala ketentuan-ketentuan yang telah dituangkan dalam bentuk petatah petitih dan lain-lain merupakan peninggalan-peninggalan nenek moyang orang Minangkabau pada masa dahulu terutama dari tokoh-tokoh adatnya, yaitu Datuak Ketumanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang. Ketentuan-ketentuan yang berupa fatwa-fatwa adalah merupakan kebenaran yang harus dipedomani dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Yang termasuk kata pusaka dapat dikemukakan sebagai berikut:
Nan babarih nan bapahek,Nan baukua nan bajangkoMamahek mahuju barihTantang bana lubang katabuakManabang manuju pangkaMalantiang manuju tangkaiTantang buah kalarehKok manggayuang sabana putuihMalantiang sabana lareh
(yang bergaris yang dipahat, yang berukur yang berjangka, memahat menuju garis, tepat benar lobang yang akan tembus, menebang menuju pangkal, melempar menju tangkai, tepat benara buah akan jatuh, jika menggayung sebenar putus, kala melempar betul-betul jatuh).
Hakekat kato pusako terletak dalam “bakato sapatah sadang”. Dalam kata sepatah, “yang genting putus, yang biang tembus. Pada kata pusaka tidak ada kompromi atau toleransi, tidak ada sanggah banding, tidak ada ulur tarik, tidak ada tolak ansur. Rumah sudah tukang dibunuh, nasi masak periuk pecah”. Dengan pengertian semua apa yang dikemukakan oleh kata pusaka hendaklah dipedomani dan diamalkan secara konsekwen.
2. Kato Mufakat
Kata mufakat merupakan hasil permufakatan melalui musyawarah tentang memecahkan suatu masalah, atau hasil permufakatan itu bisa juga menghasilkan ketentuan-ketentuan yang bermanfaat bagi kehidupan bersama.
Kata mufakat juga memberikan kesempatan, bahwa sesuatunya dapat disesuaikahn dengan situasi, asal ada kemufakatan. Disini juga memperlihatkan bahwa adat Minangkabau itu bukan statis melainkan dinamis sesui dengan zamannya.
Mencari kata mufakat dikatak dalam adat sebagai berikut:
Dicari rundiang nan saiyo,Baiyo-iyo jo adiak,Batido-tido jo kakakBabana-bana jo bundoDibulekkan aia kapambuluahDibulekkan kato jo mufakatBuruak di buang jo etonganElok ditariak jo mufakat
(dicari runding yang seiya, beriya-iya dengan adik, bertidak-tidak dengan kakak, bersungguh-sungguh dengan bunda, dibulatkan air ke pembuluh, dibulatkan kata ke mufakat, buruk dibuang dengan perhitungan, elok ditarik dengan mufakat).
Bila sudah diperoleh kesepakatan barulah dilaksanakan secara konsekwen sebagaimana dikatakan, “kok lah dapek kato sabuah, kok bulek pantang basuduik, kok pipih pantang basandiang, tapauik makanan lantak, takuruang makanan kunci” (bila sudah dapat kata sebuah, bulat tidak bersudut, ceper tidak bersanding, yang terikat makanan lantang, yang terkurung makanan kunci).
Dalam mencari kata mufakat tidak dikenal sistem suara terbanyak. Oleh sebab ada perbedaan pendapat maka persoalannya ditangguhkan terlebih dahulu sehingga yang berbeda pendapat itu dapat lagi berfikir dan biasanya diadakan perembukkan.
3. Kato Dahulu Batapati
Kata dahulu ditepati mempunyai pengertian bahwa segala ketentuan yang telah disepakati, baik keputusan dalam memecahkan sesuatu masalah ataupun norma-norma yang telah disepakati untuk kepentingan hidup bersama tidak boleh menyimpang dari hasil kesepakatan tadi. Kalau terjadi penyimpangan berarti tidak ditepati apa yang telah diputuskan atau diikrarkan tersebut. Ketentuan adatnya mengatakan : “pitaruah indak diunyikan, pasan indak dituruti” (pitaruh tidak tunggui, pesan tidak dituruti).
Contoh dari kata dahulu ditepati seperti janji yang telah dibuat sebelumnya dan janji ini hendaknya ditepati oleh kedua belah pihak dan dalam adat dikatakan “janji harus ditepati, ikrar harus dimuliakan”.
4. Kato Kemudian Kato Bacari
Kata kemudian kata dicari dapat ditafsirkan atas dua pengertian. Dalam pengertian positif dapat diartikan, bahwa adanya pemikiran baru yang lebih baik dari pada yang disepakati sebelumnya dengan alasan pikiran indak sama sekali tumbuah ingatan indak sakali tibo, dengan pengertian ada kesepakatan untuk memperbaiki mengubah segala yang telah diputuskan sebelumnya asal saja ada kesepakatan bersama.
Dalam pengertian negatif yaitu adanya keinginan untuk menolak terhadap apa yang diputuskan tanpa dasar yang kuat, sedangkan sebelumya sudah diterima dan disepakati. Menurut adat orang yang bersikap seperti ini dikatakan : “kok duduaknyo alah bakisah, kok tagaknya lah bapaliang, mancaliak jo suduik mato, bajalan dirusuak labuah”. (jika duduknya sudah berkisar, tegaknya sudah berpaling, melihat dengan sudut mata, berjalan dipinggir jalan).
F. Sistem Kekerabatan
F.1. PengantarSistem kekerabatan pada masyarakat hukum adat Minangkabau oleh para ahli hukum lazim disimpulkan dalam kata-kata rumusan matrilineal, genologis dan tertorial. Pada sistem kekerabatan matrilineal ini garis keturunan ibu dan wanita : dan anak-anaknya hanya mengenal ibu dan saudara-saudara ibunya, ayah dan keluarganya tidak masuk clan anaknya karena ayah termasuk clan ibunya pula. Para ahli antropologi sependapat bahwa garis-garis keturunan matrilineal merupakan yang tertua dari bentuk garis keturunan lainnya. Salah seorang dari ahli tersebut bernama Wilken yang terkenal dengan teori evolusinya. Wilken mengemukakan proses dari garis keturunan ini pada masa pertumbuhannya sebagai berikut:1. Garis keturunan ibu2. Garis keturunan ayah3. Garis keturunan orang tua
Menurut teori evolusi garis keturunan ibulah yang dianggap yang tertua dan kemudian garis keturunan ayah, selanjutnya si anak tidak hanya mengenal garis keturunan ibunya, tetapi juga garis keturunan ayahnya. Alasan yang digunakan oleh penganut teori evolusi ini menitik beratkan terhadap evolusi kehidupan manusia.
Pada masa lalu pergaulan antara laki-laki dan wanita masih bebas artinya belum mengenal norma-norma perkawinan. Untuk memudahkan silsilah seorang anak dengan berdasarkan kelahiran. Berdasarkan alam terkembang menjadi guru dalam kenyaaan yang beranak itu adalah wanita atau betina. Dengan demikian keturunan berdasarkan perempuanlah yang mendapat tempat pertama. Dalam kenyataan sampai saat ini, masyarakat Minangkabau masih bertahan dengan garis keturunan ibu dan tidak mengalami evolusi. Disamping itu garis keturunan ibu di Minangkabau erat kaitannya dengan sistem kewarisan sako dan pusako. Seandainya garis keturunan mengalami perubahan maka akan terjadi sesuatu perubahan dari sendi-sendi adat Minangkabau sendiri. Oleh itu bagi orang Minangkabau garis keturunan bukan hanya sekedar menentukan garis keturunan anak-anaknya melainkan erat sekali hubungannya dengan adatnya.
Sebenarnya garis keturunan yang ditarik dari garis wanita bukan hanya terdapat di Minangkabau saja, melainkan juga di daerah lain pada sejumlah besar suku-suku primitif di Melanesia, Afrika Utara, Afrika Tengah, dan beberapa suku bangsa di India. Malahan ada yang sangat mirip dengan sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau, yaitu suku Babemba di Rodhesia Utara. Raymond Rifth mengemukakan, mengenai ini sebagai berikut:
Seorang laki-laki termasuk marga ibunya, dan kalau dia bicara tentang kampung asalnya, maka dimaksudkannya adalah kampung halaman ibunya dan paman-pamannya dari pihak perempuan dilahirkan. Dia mencari asal usul terutama dari silsilah nenek moyangnya dari pihak perempuan. Bagi seorang laki-laki bangsawan adalah lazim, bahwa nenek moyangnya dari pihak perempuan dapat ditunjukkan sampai keturunan yang ketiga belas, sedangkan nenek moyangnya yang laki-laki hanya sampai dua generasi saja. Pergantian kedudukan juga dilakukan menurut garis silsilah ibu. Jabatan kepala suku juga diturunkan kepada anak laki-laki saudara perempuannya.
Banyak ahli barat menulis tentang Minangkabau yang ada kaitannya dengan sistem kekerabatan Minangkabau. Salah seorang dari para ahli tersebut adalah Bronislaw Malinowsky yang mengemukakan sebagai berikut:
Keturunan dihitung menurut garis ibu
Suku dibentuk menurut garis ibu
Pembalasan dendam merupakan tata kewajiban bagi seluruh suku
Kekuasaan di dalam suku, menurut teori terletak di tangan ibu tetapi jarang dipergunakan.
Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar suku
Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya.
Perkawinan bersifat matrilokal yaitu suami mengunjungi rumah istri
Apa yang dikemukakannya di atas yang tidak ditemui sekarang adalah pembalasan dendam yang merupakan tata kewajiban seluruh suku, mungkin terjadi pada masa dahulu. Dalam membicarakan sistem kekerabatan matirilinel di Minangkabau yang akan dikemukakan pada bab selanjutnya.
F.2. Garis Kekerabatan dan Kelompok-Kelompok MasyarakatGaris keturunan dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi inti dari sistem kekerabatan matrilineal ini adalah “paruik”. Setelah masuk islam di Minangkabau disebut kaum. Kelompok sosial lainnya yang merupakan pecahan dari paruik adalah “jurai”.
Interaksi sosial yang terjadi antara seseorang, atau seseorang dengan kelompoknya, secara umum dapat dilihat pada sebuah kaum. Pada masa dahulu mereka pada mulanya tinggal dalam sebuah rumah gadang. Bahkan pada masa dahulu didiami oleh berpuluh-puluh orang. Ikatan batin sesama anggota kaum besar sekali dan hal ini bukan hanya didasarkan atas pertalian darah saja, tetapi juga di luar faktor tersebut ikut mendukungnya. Secara garis besar faktor-faktor yang mengikat kaum ini adalah sebagai berikut.
1. Orang Sekaum Seketurunan
Walaupun di Minangkabau ada anggapan orang yang sesuku juga bertali darah, namun bila diperhatikan betul asal usul keturunannya agak sulit dibuktikan, lain halnya dengan orang yang sekaum. Walaupun orang yang sekaum itu sudah puluhan orang dan bahkan sampai ratusan, namun untuk membuktikan mereka seketurunan masih bisa dicari. Untuk menguji ranji atau silsilah keturunan mereka. Dari ranji ini dapat dilihat generasi mereka sebelumnya dan sampai sekarang, yang ditarik dari garis keturunan wanita. Faktor keturunan sangat erat hubungannya dengan harta pusaka dari kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum dan juga mengenai sako.
2. Orang Yang Sekaum Sehina Semalu
Anggota yang berbuat melanggar adat akan mencemarkan nama seluruh anggota kaum, yang paling terpukul adalah mamak kaum dan kepala waris yang diangkat sebagai pemimpin kaumnya, karena perasaan sehina semalu-cukup mendalam, maka seluruh anggota selalu mengajak agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan dari anggota kaumnya. Rasa sehina semalu ini adat mengatakan : “malu tak dapek dibagi, suku tak dapek dianjak” (malu tak dapet dibagi suku tidak dapat dianjak). Artinya malu seorang malu bersama. Mamak, atau wanita-wanita yang sudah dewasa selalu mengawasi rumah gadangnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini.
3. Orang Yang Sekaum Sepandan Sepekuburan
Untuk menunjukkan orang yang sekaum maka sebuah kaum mempunyai pandam tempat berkubur khusus bagi anggora kaumnya. Barangkali ada yang perlu untuk dibicarakan berkaitan dengan pandam ini. Di Minangkabau tempat memakamkan mayat terdapat beberapa istilah seperti pandam, pekuburan, ustano dan jirek. Kuburan ini merupakan tempat kuburan umum dan disini tidak berlaku seketurunan dan siapa saja atau mamak mana asalnya tidak jadi soal. Yang disebut juga anak dagang.
“ustano” adalah makam raja-raja dengan keluarganya. Di luar dari itu tidak dibenarkan. Namun dalam kenyataan sehari-hari orang mengacaukan sebutan ustano dengan istana sebagaimana sering kita baca atau dengar. Sedangkan jirek merupakan makam pembesar-pembesar kerajaan pagaruyung dengan keluarganya. Ustano dan jirek ini terdapat di pagaruyung batusangkar. Untuk mengatakan seseorang itu sekaum merupakan orang asal dalam kampung itu, kaum keluarganya dapat menunjukkan pandamnya, di dalam adat dikatakan orang yang sekaum itu sepandam sepekuburan dengan pengertian satu pandam tempat berkubur.
4. Orang Yang Sekaum Seberat Seringan
Orang yang sekaum seberat seringan sesakit sesenang sebagian yang dikemukakan dalam adat “kaba baik baimbauan, kaba buruk bahambauan” (kabar baik dihimbaukan, kabar buruk berhamburan). Artinya bila ada sesuatu yang baik untuk dilaksanakan seperti perkawinan, berdoa dan lain-lain maka kepada sanak saudara hendaklah diberitahukan agar mereka datang untuk menghadiri acara yang akan dilaksanakan. Tetapi sebaliknya semua sanak famili akan berdatangan, jika mendengarkan kabar buruk dari salah seorang anggota keluarganya tanpa dihimbaukan sebagai contohnya seperti ada kematian atau mala petaka lain yang menimpa.
5. Orang Yang Sekaum Seharta Sepusaka
Menurut adat Minangkabau tidak dikenal harta perseorangan, harta merupakan warisan dari anggota kaum secara turun temurun. Harta pusaka yang banyak dari sebuah kaum menunjukkan juga bahwa nenek moyangnya merupakan orang asal di kampung itu sebagai peneruka pertama, dan kaum yang sedikit mempunyai harta pusaka bisa dianggap orang yang datang kemudian. Oleh sebab itu di dalam adat sebuah kaum yang banyak memiliki harta tetapi hasil tembilang emas atau dengan cara membeli, maka statusnya dalam masyarakat adat tidak sama sekali dengan orang yang mempunyai harta pusaka tinggi. Malahan orang yang seperti ini disebut sebagai orang pendatang.
Harta pusaka kaum merupakan kunci yang kokoh sebagai alat pemersatu dan tetap berpegang kepada prinsip “harato salingka kaum, adat salingka nagari” (harta selingkar kaum, adat selingkar nagari).
Selanjutnya garis kekerabatan yang berkaitan dengan kaum ini adalah jurai. Sebuah kaum merupakan kumpulan dari jurai dan tiap jurai tidak sama jumlah anggotanya. Setiap jurai membuat rumah gadang pula, tetapi rumah gadang asal tetap dipelihara bersama sebagai rumah pusaka kaum. Pimpinan tiap jurai ini disebut tungganai atau mamak rumah sebuah anggota jurai, merupakan satu kaum.
Pecahan dari jurai disebut samande (seibu) yaitu ibu dengan anak-anaknya, sedangkan suami atau orang sumando tidak termasuk orang samande. Orang yang samande diberi “ganggam bauntuk, pagang bamasieng”. (genggam yang sudah diperuntukan, dan masing-masing sudah diberi pegengan), artinya masing-masing orang yang semande telah ada bagian harta pusaka milik kaum. Bagi mereka hanya diberi hak untuk memungut hasil dan tidak boleh digadaikan, apalagi untuk menjual bila tidak semufakat anggota kaum.
F.3. PerkawinanDalam adat Minangkabau tidak dibenarkan orang yang sekaum kawin mengawini meskipun mereka sudah berkembang menjadi ratusan orang. Walaupun agama Islam sudah merupakan anutan bagi masyarakat Minangkabau, namun kawin sesama anggota kaum masih dilarang oleh adat, hal ini mengingat keselamatan hubungan sosial dan kerusakan turunan. Demikian pula bila terjadi perkawinan sesama anggota kaum mempunyai akibat terhadap harta pusaka dan sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu sampai sekarang masih tetap kawin dengan orang di luar sukunya (exogami).
Perkawinan merupakan inisiasi kealam baru bagi seorang manusia merupakan perobahan dari tingkat umur, seperti masa bayi ke kanak-kanak, dari kanak-kanak ke alam dewasa dan kemudian ke jenjang perkawinan.
Mengenai perkawinan para ahli antropologi budaya yang menganut teori evolusi seperti Herbert Spencer mengemukakan proses perkawinan itu melalui lima tingkatan. Kelima proses tingkatan itu adalah sebagai berikut:
Promisquithelt : tingkat perkawinan sama dengan alam binatang laki-laki dan perempuan kawin dengan bebas.
Perkawinan gerombolan yaitu perkawinan segolongan orang laki-laki dengan segolongan orang perempuan.
Perkawinan matrilineal yakni perkawinan yang menimbulkan bentuk garis keturunan perempuan.
Perkawinan patrilineal yakni anak-anak yang lahirkan masuk dalam lingkungan keluarga ayahnya.
Perkawinan parental yaitu perkawinan yang memungkinkan anak-anak mengenal kedua orang tuanya.
Bagi masyarakat Minangkabau sampai sekarang belum ada keterangan yang diperoleh bagaimana cara dan prosesnya sebelum agama islam masuk ke Minangkabau. Apakah ada proses perkawinan bebas dan bergerombolan ini dahulunya dan untuk itu tentu perlu penyelidikan dan penelitian khusus.Dari cerita-cerita kaba yang ada di Minangkabau digambarkan bahwa untuk mencari seorang sumando dipanjang gelanggang dan diadakan sayembara. Perkawinan dengan sayembara ini memperlihatkan cara seorang raja atau bangsawan mencari calon menantu. Hal ini tidak sesuai dengan struktur masyarakat Minangkabau yang tidak mengenal adat raja-raja, dan kemungkinan cerita dalam kaba ini merupakan pengaruh dari luar Minangkabau.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan yang berkaitan dengan perkawinan ini adalah sebagai berikut:
1. Inisiatif datang dari pihak keluarga perempuan
Pada masa dahulu bagi seorang mamak merasa malu bila kemenakannya belum juga mendapat jodoh. Sedangkan menurut ukuran sudah sepantasnya untuk kawin, malu bila dikatakan kemenakannya “gadih gadang alun balaki” (gadis besar belum bersuami).
Pada masa dahulu dibenarkan untuk menggadaikan harta pusaka tinggi bila terdapat gadih gadang alun balaki. Segala daya dan upaya dilkukan demi memperoleh jodoh kemenakan. Mencari calon suami dari kemenakan dikatakan juga mencari junjungan, untuk tempat kemenakannya menyadarkan diri. Hal ini juga tidak terlepas dari alam takambang jadi guru. Ibarat kacang panjang membutuhkan junjungan untuk membelitkan dirinya. Lazimnya pada masa dahulu si gadis tidak dinyatakan terlebih dahulu apakah ia mau kawin atau tidak, atau calon suaminya disukai atau tidak.
Hal ini dengan pertimbangan seseorang yang belum kawin masih dianggap belum dewasa. Apalagi pada masa dahulu seorang wanita sudah dicarikan suaminya dalam umur yang relatif muda, seperti umur 13, 14 atau 15. Bila sudah menjanda baru ditanya pendapatnya, karena sudah dianggap matang untuk melakukan pilihan.
Drs. M. Rajab mengenai inisiatif dari seorang mamak untuk mencari jodoh kemenakannya mengemukakan sebagai berikut: “dalam masyarakat Minangkabau pada masa dahulu inisiatif untuk mengawinkan anak kemenakan datang dari pihak keluarga perempuan, sesuai dengan sistim keibuan yang dipakai. Datuk atau mamaknya atau keduanya pada suatu ketika yang baik dan dalam suasana yang tenang dan resmi, mengajak ayah gadis tersebut berunding dan bertanya, apakah sudah terlintas pada pikirannya seorang laki-laki yang layak untuk diminta menjadi menantunya.”
Dapat disimpulkan antara mamak dengan ayah kemenakannya melakukan pendekatan terlebih dahulu. Setelah itu baru dibawa kepada anggota kaum yang pantas untuk berunding atau bermusyawarah bersama-sama. Dalam hal ini urang sumando mengajukan calonnya pula. Setelah dapat kata sepakat barulah diutus utusan untuk menjajaki keluarga laki-laki yang bakal diharapkan menjadi junjungan kemenakannya.
Perkawinan yang dilakukan atas musyawarah seluruh anggota kaum dan antara dua kaum sangat diharapkan dalam adat, karena pada lahirnya bukan hanya mempertemukan seorang gadis dengan seorang laki-laki, melainkan mempertemukan dua keluarga besar. Seandainya terjadi hal yang tidak diingini, seperti pertengkaran suami istri, perceraian dan lain-lain, maka seluruh anggota keluarga merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikannya dan menanggung segala resikonya.
Pada saat sekarang mungkin saja calon suami atau istri datang dari pihak gadis atau laki-laki, namun jalur adat harus dituruti juga. Bawalah permasalahan kepada mamak atau kaum keluarga, sehingga nilai-nilai adat tetap terpelihara. Sangat tercela bila pemuda mencari jodoh sendiri dan melangsungkan perkawinan sendiri tanpa melibatkan masing-masing anggota keluarga.
2. Calon menantu yang diidamkan
Pada umumnya orang Minangkabau pada masa dahulu mencari calon menantu mempunyai ukuran-ukuran tertentu atau syarat-syarat yang mempunyai tata nilai yang berlaku waktu itu. Yang paling disukai adalah urang babangso (orang berbangsa). Orang ini dalam keluarga laki-laki mamaknya pemangku adat atau penghulu yang disegani dalam masyarakat adat. Kalau dapat calon menantu ini pemangku adat yang berpredikat datuk, serta baik budinya. Tujuannya agar keturunannya nanti anak orang terpandang dan soal pekerjaan dan jaminan ekonomi tidak dipermasalahkan. Setelah islam masuk ke Minangkabau calon menantu yang diinginkan adalah orang yang alim serta taat beragama. Kesemuanya itu tidak lain untuk menambah martabat bagi seseorang dan anggota kaum pada umumnya.
Karena adanya perobahan sistim nilai yang terjadi maka saat sekarang kecendrungan untuk mencari calon menantu itu adalah orang yang penuh tanggungjawab dan sudah mempunyai pekerjaan yang tetap, dan tentu saja ketaatannya beragama serta budinya yang baik tetap menjadi ukuran pertimbangan.
Dahulu soal ekonomi dari calon menantu kurang dipertimbangkan bukan berarti pihak suami tidak bertanggungjawab, melainkan pada waktu itu hasil harta pusaka sawah dan ladang memadai. Tentu penduduk belum sebanyak sekarang jika dibandingkan dengan harta pusaka yang ada.
3. Calon menantu cenderung dicari hubungan keluarga terdekat.
Merupakan ciri khas juga pada masa dahulu calon suami atau istri mencari hubungan keluarga terdekat, seperti pulang kebako, atau pulang ke anak mamak. Hal ini lain tidak agar hubungan keluarga itu jangan sampai putus dan berkesinambungan pada generasi selanjutnya. Secara tersirat ada juga dengan alasan agar harta pusaka dapat dimanfaatkan bersama antara anak dan kemenakan. Hubungan perkawinan keluarga terdekat ini dalam adat dikatakan juga “kuah tatumpah kanasi, siriah pulang ka gagangnyo” (kuah tertumpah ke nasi, sirih pulang ke gagangnya).
Malahan pada masa dahulu perkawinan dalam lingkungan sangat diharuskan, dan bila terjadi seorang laki-laki kawin di luar nagarinya akan diberi sangsi dalam pergaulan masyarakat adat. Tujuan lain untuk memperkokoh hubungan kekerabatan sesama warga nagari. Sangat tidak disenangi bila seorang pemuda telah berhasil dalam kehidupannya dengan baik, tahu-tahu dia kawin diluar kampung atau nagarinya, hal ini dikatakan ibarat “mamaga karambia condong” (memagar kelapa condong), buahnyo jatuah kaparak urang (buah jatuh kekebun orang). Keberhasilan seseorang individu dianggap tidak terlepas dari peranan anggota kaum, kampung dan nagari. Oleh sebab itu sudah sepantasnya jangan orang lain yang mendapat untungnya.
4. Setelah perkawinan suami tinggal di rumah isteri
Berkaitan dengan sistim kekerabatan matrilineal, setelah perkawinan si suamilah yang tinggal di rumah istrinya. Dalam istilah antropologi budaya disebut matrilocal. Mengenai tempat tinggal di rumah istrinya, beberapa ahli mempunyai pendapat lain, seperti Firth mengatakan dengan istilah “uxorilocal” dan Mordock mengatakan “duolocal residence”, hal ini dengan alasan karena masing-masing suami istri tetap tinggal dan punya domisili yang sah di dalam kelompok tempat tinggal kelahirannya di garis keturunan masing-masing.
Sayang sekali pendapat di atas tidak menjelaskan pada zaman apa terjadinya hal yang demikian. Pada masa dahulu suami pulang kerumah istrinya pada sore hari dan subuhnya kembali kerumah orang tuanya. Hal ini mungkin terjadi bila terjadi dalam lingkungan daerah yang masih kecil, seperti sekampung, senagari dan asal tidak bersamaan suku. Namun dalam adat Minangkabau tidak mengenal istilah duorocal residence atau dua tempat tinggal bagi seorang suami sebagaimana yang dikatakan oleh ahli tersebut diatas. Sejak dahulu sampai sekarang orang Minangkabau tetap mengatakan bahwa suami tinggal di rumah istri bila berlangsung perkawinan.
5. Tali kekerabatan setelah perkawinan
Sebagai rentetan dari hasil perkawinan menimbulkan tali kerabat - tali kerabat antara keluarga istri dengan keluarga rumah gadang suami dan sebaliknya. Tali kerabat itu seperti tali induak bako anak pisang, tali kerabat sumando dan pasumandan, tali kerabat ipar, bisan dan menantu.
Tali kerabat induak bako anak pisang, yaitu hubungan kekerabatan antara seseorang anak dengan saudara-saudara perempuan bapaknya, atau hubungan seseorang perempuan dengan anak-anak saudara laki-lakinya. Saudara-saudara perempuan dari seorang bapak, adalah induak bako dari anak-anaknya. Sedangkan anak-anak dari seorang bapak merupakan anak pisang dari saudara-saudara perempuan bapaknya. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan bapak adalah “bakonya”.
Tali kekerabatan sumando dan pasumandan. Dengan adanya perkawinan maka terjadi hubungan sumando pasumandan. Bagi seluruh anggota rumah gadang istri, suaminya, menjadi urang sumando (orang semenda) seseorang istri bagi keluarga suaminya menjadi pasumandan.
Sumando berasal dari bahsa sansekerta yaitu “sandra”, sedangkan dalam bahasa Minangkabau menjadi “sando” dengan sisipan “um” menjadi sumando. Persamaan kata sando adalah gadai. Dalam kehidupan sehari-hari ada istilah pagang gadai. Bagi pihak yang menerima jaminan berupa benda harta yang digadaikan disebut sando, sedangkan orang yang memberikan hartanya sebagai jaminan dikatakan menggadaikan. Demikianlah sebagai penerima dari keluarga perempuan terhadap seorang menjadi suami anak kemenakannya dikatakan sebagai sumando. Namun demikian jangan lah diartikan secara negatif seperti terjadinya pegang gadai dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang istri yang menjadi pasumandan dari anggota rumah gadang suaminya di aberperan sebagai komunikator antara suaminya dengan tungganai dan mamak rumah gadangnya. Sedang untuk mengkomunikasikan kepentingan sendiri sebagai istri, biasanya melalui saudara-saudara perempuan suami.
Tali kekerabat ipar, bisan dan menantu. Bagi seorang suami, saudara-saudara perempuan istrinya menjadi bisannya. Sedangkan saudara-saudara laki-laki dari istrinya adalah menjadi iparnya. Sebaliknya, saudara-saudara perempuan suaminya adalah merupakan bisannya, dan saudara laki-laki suaminya menjadi iparnya. Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau menyebut ipar, bisan ini “ipa bisan” dan kadang-kadang disambung saja jadi “pabisan”.
Bagi orang Minangkabau menantu dibedakan atas dua bahagian. Pertama menantu sepanjang syarak. Bagi seorang suami istri dan saudara laki-lakinya. Istri-istri atau suami-suami anaknya merupakan menantu sepanjang syarak. Yang kedua, menantu sepanjang adat, maksudnya bagi seorang mamak beserta istri dan saudara-saudara laki-lakinya, istri atau suami kemenakan merupakan menantu sepanjang adat.
6. Sumando yang diidamkan
Nilai seorang sumando sekaligus, merupakan nilai seorang mamak di luar lingkungan sosial rumah gadang, karena orang sumando tersebut seorang mamak di rumah gadangnya. Sampai sejauh mana tingkah laku seorang sumando itu dalam melakukan perannya, orang Minangkabau mengklasifikasikannya sebagai berikut:
Sumando bapak paja atau sumando ayam gadang (ayam besar). Maksudnya orang sumando hanya pandai beranak saja seperti ayam besar, sedangkan tanggungjawab kepada anak istrinya tidak ada.
Sumando langau hijau (lalat hijau). Penampilan gagah dan meyakinkan tetapi perangai tidak baik. Suka kawin cerai dengan meninggalkan anak. Seperti langau hijau suka hinggap di mana-mana dan kemudian terbang meninggalkan bangan (kotoran).
Sumando kacang miang. Orang sumando kacang miang punya perangai yang suka memecah belahkan kaum keluarga istrinya, seperti “kacang miang” yang membuat orang gatal-gatal.
Sumando lapiak buruak (tikar buruk). Sumando lapiak buruak (tikar buruk) orang sumando seperti ini tidak menjadi perhitungan di tengah-tengah kaum istrinya. Ibarat tikar buruk hanya dipakai kalau betul-betul diperlukan kalau tidak alang kepalang perlu tikar buruk ini tidak dipergunakan.
Sumando kutu dapua. Sumando seperti ini banyak di rumah dari di luar, suka melakukan pekerjaan yang hanya pantas dilakukan oleh wanita, seperti memasak, mencuci piring, menumbuk lada, menggendong anak dan lain-lain.
Sumando niniak mamak. Sumando ninik mamak adalah sumando yang diharapkan oleh keluarga istrinya. Sumando ninik mamak di rumah gadang istrinya dia akan bersikap, nan tahu dikieh kato sampai, mengampuangkan nan taserak, mangamehi nan tacicia. (yang tahu dengan kias kata sampai mengapungkan yang terserak, mengemasi yang tercecer). Maksudnya halus budi bahasanya, suka membantu kaum keluarga istrinya, baik secara moril maupun materil. Demikian pula di rumah gadang kaumnya berfungsi mauleh mano nan putuih, senteng mambilai, kurang manukuak (mangulas mana yang putus, senteng menyambung, kurang menambah). Dengan pengertian dia suka turun tangan dan cepat tanggap menyelesaikan segala persoalan dalam anggota kaumnya.
Dengan adanya pengklasifikasian orang sumando ini bagi orang Minangkabau sendiri, terutama bagi laki-laki akan dapat berfikir jenis manakah yang akan dipakainya, seandainya dia kawin dan menjadi sumando di rumah istrinya.
F.4. Peranan Ibu Dan Bapak dalam KeluargaPerkawinan tidak menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru, sebab suami atau istri tetap menjadi anggota dari garis keturunan masing-masing. Oleh karena itu pengertian keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit yang tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau. Yang dimaksud dengan keluarga dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau, adalah paruik yang terdiri dari individu-individu yang dikemukakan diatas.
Dalam proses sosialisasi seorang individu dalam rumah gadang banyak ditentukan oleh peranan ibu dan mamak. Sedangkan ayahnya lebih berperan di tengah-tengah paruiknya pula.
Pengertian ibu dalam hal ini bukan berarti ibu dari anak-anaknya, melainkan sebagai sebutan dari semua wanita yang sudah berkeluarga dalam sebuah rumah gadang. Sedangkan untuk wanita keseluruhan orang Minangkabau menyebut perempuan. Perempuan berasal dari kata sansekerta yaitu: “empu” yang berarti dihormati. Begitu dihormati perempuan Minangkabau dapat dilihat dimana garis keturunan ditarik dari garis ibu, rumah tempat kediaman diperuntukkan bagi wanita, hasil sawah ladang juga untuk wanita dan lain-lain. Peranan seorang ibu sangat besar sekali, semasa seseorang masih bayi orang yang dikenal pertama kalinya hanya ibunya dan saudaranya seibu. Dia mencintai ibunya sebagai orang yang mengasuh dan memberinya makan. Ia dan ibunya dan saudara-saudaranya merupakan suatu kelompok yang terasing dari orang-orang di luar kelompok. Bila terjadi sesuatu hal terhadap ibunya atau saudara-saudaranya jia akan berrpihak kepadanya.
Setelah mulai besar, maka anggota seluruh rumah gadang adalah keluarga dan merupakan suatu kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama pula terhadap dunia luar yaitu dari orang-orang rumah gadang lainnya.
Setelah menanjak dewasa mulai diadakan pemisahan antara pemuda dan gadis. Bagi anak laki-laki tidak dibenrkan lagi tinggal di rumah gadang, ia dengan teman-teman sebaya tidur di surau atau di rumah pembujangan. Proses sosialisasi selanjutnya banyak diperolehnya di surau ini, karena di surau ini bukan hanya para pemuda dan remaja saja yang tinggal, tetapi juga anggota keluarga laki-laki yang sekaum dengannya dan belum kawin atau menduda dan umumnya sudah dewasa dari mereka. Surau adalah tempat mengaji, tempat belajar adat istiadat dan tempat mendengar kisah-kisah lama bersumber dari tambo alam Minangkabau. Adakalanya sebelum tidur mereka juga belajar pencak silat sebagai ilmu bela diri untuk membekali dirinya, baik untuk di kampung maupun persiapan untuk pergi kerantau nantinya. Proses sosialisasi anak laki-laki menuju remaja dan dewasa banyak ditentukan oleh peranan mamak-mamaknya dalam rumah gadang.
Anak-anak perempuan yang meningkat gadis selalu berada disamping ibunya dan perempuan-perempuan yang sudah dewasa di dalam rumah gadang. Dia diajar masak-memasak membantu ibunya di dapur, mengurus rumah tangga. Disamping itu juga diajar menjahit, menyulam. Semua kepandaian yang diajarkan oleh ibunya untuk mempersiapkan dirinya untuk berumah tangga nantinya.
Dalam sistem keturunan matrilineal, ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama memberi keturunan. Seorang suami di rumah gadang istrinya sebagai seorang sumando. Namun demikian bukanlah berarti laki-laki tersebut hilang kemerdekaannya. Ia tetap merdeka seperti biasa sebelum kawin dan boleh beristri dua, atau tiga lagi dan sampai empat, tanpa dapat dihalangi oleh istrinya. Dia boleh menceraikan istrinya, jika dia atau keluarganya tidak senang dengan kelakuan istrinya. Sebaliknya istri dapat pula meminta cerai dari suaminya jika dia tidak cinta lagi kepada suaminya, atau bilamana pihak keluarganya tidak senang melihat kelakuan menantunya atau kelakuan salah seorang keluarga menantunya.
Bila diperhatikan pula ungkapan-ungkapan adat memperlihatkan, bahwa seorang ayah atau seorang sumando di dalam kaum istrinya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam keluarga istrinya termasuk terhadap anak-anaknya, sebagaimana dikatakan “sedalam-dalam payo, sahinggo dado itiak, saelok-elok urang sumando sahingga pintu biliak” (sedalam-dalam paya, sehingga dada itik, sebaik-baik orang semenda sehingga pintu bilik). Demikian pula dikatakan orang sumando ibarat “abu di ateh tunggua” (abu di atas tunggul). Datang angin berterbangan. Ada beberapa hal yang mendukung mengapa peranan ayah begitu kecil sekali terhadap anak/istri, dan kaum keluarga istrinya waktu itu. Kehidupan waktu itu masih bersifat rural agraris yaitu kehidupan petani sebagai sumber penghidupan. Penduduk yang masih jarang, harta yang masih luas, dan memungkinkan seorang ayah tidak perlu memikirkan kehidupan sosial ekonominya. Disamping itu seorang ayah tidak perlu memikirkan tentang pendidikan anak-anaknya, serta biaya karena sekolah formal waktu itu tidak ada. Secara tradisional seorang anak meniru pekerjaan mamaknya.
Bila mamaknya bertani, maka kemenakannya dibawa pula bertani, jika mamaknya berdagang, maka kemenakannya dibawa pula untuk membantunya. Kawin cerai tidak menjadi persoalan yang penting keturunan dan martabat dari pada ayahnya. Demikian pula anak-anak perempuan pendidikannya hanya terbatas dalam lingkungan rumah gadang saja, dan proses pendidikan lebih banyak diarahkan kepada persiapan untuk menempuh jenjang perkawinan. Disamping itu karena interaksi dengan dunia luar belum ada, sehingga kemungkinan untuk merobah pola struktur yang telah ada sedikit sekali. Barangkali bagi orang Minangkabau sekarang kurang tepat bila memandang masa lalu dengan kaca mata sekarang, karena ruang lingkup waktu dan tempat yang berbeda.
Dalam proses selanjutnya terjadi perobahan peranan ayah terhadap anak dan istrinya karena berbagai faktor sesuai dengan perkembangan sejarah. Munculnya keinginan merantau dari orang Minangkabau, masuknya pengaruh islam dan pendidikan modern telah membawa perubahan-perubahan cara berfikir dalam hidup berkeluarga dan dalam tanggungjawab terhadap anak istrinya.
Bagi yang pergi merantau dia melihat struktur sosial yang berbeda dari masyarakat kampung yang ditinggalkan selama ini. Dan betapa akrabnya hubungan suami istri beserta anak-anaknya yang tinggal dalam satu rumah. Membawa istri kedaerah rantau dan hidup bersama-sama anak-anak merupakan sejarah baru, yang selama ini tidak pernah ditemui. Hidup yang bebas dengan anak-anaknya dalam rumah sendiri telah membawa gema ke kampung halaman. Bila mendapat rezeki di rantau, si ayah membuatkan rumah untuk anak istrinya di kampung untuk membuktikan keberhasilannya di rantau. Rumah yang didirikan walaupun masih ditanah kaum istrinya, tetapi sudah berpisah dari rumah gadang.
Pergeseran peranan mamak kepada ayah dipercepat lagi setelah mantapnya agama islam menjadi anutan masyarakat Minangkabau. Agama islam secara tegas menyatakan, bahwa kepala keluarga adalah ayah. Dalam permulaan abad ke XIX pengaruh barat, terutama melalui jalur pendidikan ikut juga memperkuat kedudukan dan peranan ayah ditengah-tengah anak istrinya. Namun demikian bukan berarti bergesernya sistem kekerabatan matrilineal kepada patrilineal.
Betapa cintanya seorang ayah kepada anaknya, Drs. M. Rajab mengatakan : “dan tidak jarang terjadi seorang ayah, biarpun dia seorang penghulu. Dengan diam-diam memberikan hibah kepada anak-anaknya tanpa diketahui oleh pengawas-pengawas adat lainnya. Dengan berbuat demikian sebenarnya ia melanggar hukum adat yang wajib dibelanya, tetapi karena ia mulai cinta kepada anak-anaknya maka terbuktilah bahwa kecintaan ayah kepada anak mulai bertambah kuat. Barangkali sebagi klimaks pergeseran peranan mamak kepada ayah dengan suatu konsensus yang tidak nyata telah melahirkan talibun adat yang menyatakan:
Kaluak paku kacang balimbiangAmbiak tampuruang lenggang-lenggangkanDibawo nak urang saruasoTanam siriah jo ureknyoAnak dipangku kamanakan dibimbiangUrang kampuang dipatenggangkanTenggang nagari jan binasoTenggan sarato jo adatnyo
(keluk paku kacang belimbing, ambil tempurung lenggang-lenggangkan, dibawa anak ke saruaso, tanam sirih dengan uratnya, anak dipangku kemenakan dibimbing, orang kampung dipatenggangkan, jaga nagari jangan binasa, jaga beserta dengan adatnya).
Dari talibun adat ini secara jelas dikatakan bahwa peranan ayah terhadap anaknya adalah “dipangku” dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa hubungan antara anak dengan ayahnya dekat sekali dan berada pada haribaannya. Sedangkan hubungan anak dan kemenakan adalah “dibimbing”. Secara filosofis pengertian anak dipangku kemenakan dibimbing dapat juga diartikan, bahwa anak yang dipangku lebih dekat dengan harta pencaharian. Sedangkan kemenakan dibimbing yang kakinya berada di tanah sebagai kiasan, bahwa kemenakan sumber kehidupannya masih dapat diharapkan dari tanah. Yaitu harta pusaka.
Disamping itu ayah dan kedudukannya sebagai seorang mamak tetap diharapkan oleh kemenakan sebagai pembimbing sesuatu yang dibutuhkan oleh kemenakannya meskipun tidak sepenuhnya dapat dilakukan seperti kedudukan anak dalam keluarga yang langsung setiap hari dibawah lindungan dan bimbingan orang tuanya. Meskipun kemenakan itu sebenarnya sebagai anak pada orang tuanya akan sama pula keadaannya sebagaimana bapak-bapak yang lain mempertanggungjawabkan anaknya.
Beruntunglah seorang anak di Minangkabau jika seorang bapak yang juga berfungsi sebagai mamak mengamalkan ajaran adat “anak dipangku kamanakan dibimbiang”.
F.5. Mamak Dan KemenakanTali kekerabatan mamak dan kemenakan dapat dibedakan atas empat bahagian. Keempat macam tali kekerabatan mamak dan kemenakan ini adalah sebagai berikut:
1. Kemenakan Bertali Darah
Kemenakan bertali darah, yaitu semua anak dari saudara perempuannya bagi seorang laki-laki yang didasarkan atas hubungan darah menurut garis keibuan.
2. Kemenakan Bertali Adat.
Kemenakan bertali adat, yaitu kedatangan orang lain yang sifatnya “hinggok mancankam tabang manumpu” (hinggap mencengkam terbang menumpu). Hal ini diibaratkan kepada seekor burung, jika ia akan terbang menumpukan kakinya agar ada kekuatan untuk terbang, dan mencengkram kakinya bila akan hinggap kepada dahan atau ranting. Maksudnya orang yang datang kepada sebuah nagari. Di nagari baru ini dia dan keluarganya menepat kepada seorang penghulu. Agar dia diakui sebagai kemenakan haruslah “adat diisi lembaga dituang”. Dengan pengertian dia dan keluarganya mengisi adat yang sudah digariskan. Namun statusnya dalam masyarakat adat dia tidak duduk sama rendah tegak tidak sama tinggi dengan penghulu-penghulu dalam nagari itu.
3. Kemenakan Bertali Air.
Kemenakan bertali air yaitu orang datang yang dijadikan anak kemanakan oleh penghulu pada sebuah nagari. Orang datang ini tidak mengisi adat dan lembaga di tuang.
4. Kemenakan Bertali Ameh.
Kemenakan bertali ameh yaitu orang yang dibeli untuk dijadikan kemenakan oleh penghulu. Kemenakan seperti ini tidak mengisi adat pada penghulu tersebut, dan tidak menuang lembaga pada nagari tersebut. Seorang laki-laki di Minangkabau dalam hubungan tali kekerabatan mamak kemenakan terutama yang bertali darah akan selalu memangku dua fungsi yang bersifat diagonal, yaitu sebagai kemenakan saudara laki-laki ibu dan sebagai mamak dari saudara-saudara perempuan. Hubungan tali kerabat ini diturunkan atau dilanjutkan kebawah melalui garis keturunan perempuan.
Hubungan mamak kemenakan ini diperkembangkan karena keperluan memasyarakatkan anggota-anggota rumah gadang dan menyiapkan serta menumbuhkan calon pemimpin dari lingkungan sosial yang terkecil (parui), kampung sampai kelingkungan sosial yang lebih besar yaitu nagari, agar anggota laki-laki dari lingkungan sosial itu berkemampuan dan berkembang menjalankan fungsi yang digariskan.
Sebagai calon pemimpin kepada kemenakan oleh mamak diturunkan dasar-dasar dan prinsip-prinsip tanggungjawab, meliputi fungsi peranan pemeliharaan dan serta penggunaan unsur potensi manusia atau keturunan, pemeliharaan harta pusaka. Sedangkan keluar berkaitan dengan norma-norma hidup bermasyarakat sebagai anggota kampung dan nagari.
Kemenakan laki-laki dipersiapkan sedemikian rupa oleh mamaknya, agar nantinya salah seorang dari mereka akan menjadi pucuk pimpinan di tengah kaumnya. Sehubungan dengan hal tersebut kepemimpinan seseorang itu sangat ditentukan pembinaan di tengah-tenah kaumnya oleh mamak-mamaknya.
Konsep-konsep dasar tentang pembinaan individu oleh mamak telah diwarisi secara turun temurn, dan karenanya pengetahuan si mamak harus melebihi kemenakannya, sebagaimana dikatakan “indak nan cadiak pado mamak, melawan mamak jo ilmunya, melawan malin jo kajinyo” (tidak ada yang cerdik dari mamak, melawan mamak dengan ilmunya melawan malin dengan kajinya). Dengan arti kata boleh melawan tetapi dengan pengertian positif dan kemenakan seperintah mamak (kemenakan seperintah mamak), maksudnya kemenakan mengikuti apa yang diwariskan oleh mamaknya dari generasi terdahulu, dan sekarang wajib pula bagi kemenakan untuk menerima dan mengamalkannya.
Dalam adat sudah dikiaskan agar dalam membina kemenakan jangan sampai terjadi otoriter dan kesewenangan. Hal ini dikatakan dalam adat “kemenakan manyambah lahia, mamak manyambah batin” (kemenakan menyembah lahir, mamak menyembah batin). Dengan pengertian mamak dalam membimbing kemenakan hendaklah menunjukkan sikap, tingkah laku yang berwibawa dan bukan karena kekuasaannya sebagai seorang mamak. Bimbingan terhadap kemenakan laki-laki sangat penting karena mereka dipersiapkan sebagai pimpinan di tengah kaum keluarganya dan sebagai pewaris sako (gelar kebesaran kaum) yang ada pada kaumnya. Tanpa ada kemenakan laki-laki dikatakan juga ibarat “tabek nan indak barangsang, ijuak nan indak basaga, lurah nan indak babatu” (tebat yang tidak mempunyai ransang, ijuk yang tidak mempunyai saga, lurah yang tidak mempunyai batu), dengan arti kata dari kemenakan laki-laki diharapkan sebagai pagaran dari kaumnya. Bila terjadi silang sengketa antara kelompok masyarakat lainnya pihak laki-laki yang terutama sebagai juru bicara dari kaumnya. Tanpa ada yang laki-laki mungkin orang lain akan bersilantas angan terhadap anggota kaumnya.
Disamping itu bimbingan kepada kemenakan yang perempuan tidak kalah pentingnya, karena dialah sebagai penyambung garis keturunan dan pewaris harta pusaka. Peranan ibu di rumah gadang sangat diutamakan disamping mamak laki-laki yang selalu “siang maliek-liekan, malam mandanga-dangakan, manguruang patang, mangaluakan pagi” (siang melihat-lihatkan, malam mendengar-dengarkan, mengeluarkan pagi mengurung sore), dengan pengertian tidak terlepas dari pengawasannya.
Dengan demikian tali kekerabatan mamak kemenakan merupakan tali yang menunjukkan kepemimpinan dan pewarisan keturunan yang berkesinambungan, yang diturunkan dari nenek kepada mamak, dari mamak kepada kemenakan.
G. Sistem Kepemilikan
G.1. HartaDi Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju penafsirannya kepada harta yang berupa material saja. Harta yang berupa material ini seperti sawah ladang, rumah gadang, emas perak dan lain-lain. Sebenarnya disamping harta yang berupa material ini, ada pula harta yang berupa moril seperti gelar pusaka yang diwarisi secara turun temurun. Orang yang banyak harta material, dikatakan orang berada atau orang kaya. Tetapi menurut pandangan adat, orang berada atau banyak harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka yang turun temurun yang dimilikinya. Dari status adat lebih terpandang orang atau kaum yang banyak memiliki harta pusaka ini, dan tidak karena dibeli. Sampai sekarang khusus mengenai harta pusaka berupa sawah ladang masih ada perbedaan pendapat tentang pembagian jenis harta tersebut.Perbedaan pendapat ini detemui ketika diadakan Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan dari tanggal 21 s/d 25 Juli 1968, dengan titik tolak yang diseminarkan adalah Hukum Tanah dan Hukum Waris. Sebelum seminar yang diadakan di Padang ini sebelumnya juga telah diadakan rapat lengkap adat di Bukittinggi yang permasalahannya juga berkaitan dengan materi seminar diatas. Pada pertemuan adat yang diadakan di Bukittingi telah diputuskan dengan kongkrit, bahwa harta orang Minangkabau itu hanya terbagi atas dua bahagian, yaitu harta Pusaka Tinggi dan harta Pusaka Pencaharian.
Dilain pihak, pendapat ini tidak disetujui, dan mengatakan harta di Minangkabau ada pusaka tinggi, ada pusaka rendah. Pendapat umum lebih cenderung, bahwa harta itu dibedakan atas empat bahagian, keempat pembahagian itu adalah sebagai berikut:
1. Harta Pusaka Tinggi2. Harta Pusaka Rendah3. Harta Pencaharian4. Harta Suarang
Walaupun ada perbedaan pendapat, namun demikian yang berkaitan dengan pusaka tinggi, tidak ada perbesaan pendapat.
1. Harta Pusaka Tinggi
Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Adanya harta pusaka tinggi berkaitan dengan sejarah lahirnya kampuang dan koto yang diikuti dengan membuka sawah ladang sebagai sumber kehidupan. Pembukaan tanah untuk sawah ladang ini sebagai hasil galuah taruko oleh pendiri kampung dan koto. Hasil usaha nenek moyang inilah yang diwarisi oleh generasi sekarang dan paling kurang setelah lima generasi disebut sebagai harta pusaka tinggi.
Harta pusaka tinggi yang berupa material seperti sawah ladang, kebun dan lain-lain disebut juga pusako. Disamping itu ada pula harta pusaka tinggi yang berupa moril yaitu gelar pusaka kaum yang diwarisi secara turun temurun yang disebut dalam adat sako.
Harta pusaka tinggi dikatakan juga pusako basalin (pusaka bersalin), karena persalinan terjadi dari generasi ke generasi selanjutnya.
2. Harta Pusaka Rendah
Mengenai harta pusaka rendah ada perbedaan pendapat dan hal ini bisa mengundang permasalahan dalam pewarisan. H.K. Dt. Gunung Hijau dalam kertas kerjanya waktu Seminar Hukum Adat Minangkabau mengatakan, bahwa pusaka rendah adalah segala harta yang diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri. Harta ini boleh dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan sepakat ahli waris. Pendapat ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak dan diantaranya dari Damsiwar SH., yang mengatakan bahwa yang dimaksud harta pusaka rendah oleh H.K Dt Gunuang Hijau sebenarnya adalah harta pencaharian. Selanjutnya dikatakan bahwa harta pusaka rendah itu merupakan harta tambahan bagi sebuah kaum dan ini diperoleh dengan membuka sawah, ladang atau perladangan baru, tetapi masih di tanah milik kaum. Jadi tanah yang dibuka itu sudah merupakan pusaka tinggi, hanya saja pembukaan sawah ladangnya yang baru.
Pendapat yang kedua terakhir merupakan pendapat yang umum karena dilihat dari sudut harta selingkar kaum. Maksudnya harta tambahan itu seluruh anggota kaum merasa berhak secara bersama.
3. Harta pencaharian
Harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan tembilang emas. Harta pencaharian adalah harta pencaharian suami istri yang diperolehnya selama perkawinan. Harta pencaharian yang diperoleh dengan membeli atau dalam istilah adatnya disebut tembilang emas berupa sawah, ladang, kebun dan lain-lain. Bila terjadi perceraian maka harta pencaharian ini dapat mereka bagi.
4. Harta suarang
Suarang asal katanya “surang” atau “seorang”. Jadi harta suarang adalah harta yang dimiliki oleh seseorang, baik oleh suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan. Setelah terjadi perkawinan status harta ini masih milik masing-masing. Jadi harta suarang ini merupakan harta pembawaan dari suami dan harta istri, dan merupakan harta tepatan. Karena harta ini milik “surang” atau milik pribadi, maka harta itu dapat diberikannya kepada orang lain tanpa terikat kepada suami atau istrinya. Oleh sebab itu dalam adat dikatakan “suarang baragiah, pancaharian dibagi” (suarang dapat diberikan, pencaharian dapat dibagi). Maksudnya milik seorang dapat diberikan kepada siapa saja, tetapi harta pencaharian bisa dibagi bila terjadi perceraian.
G.2. Pewarisan Harta PusakaAda yang perlu untuk dijelaskan yang berkaitan dengan pewarisan ini, yaitu waris, pewaris, warisan dan ahli waris. Waris adalah orang yang menerima pusaka. Pewaris adalah orang yang mewariskan. Warisan adalah benda yang diwariskan: Pusaka peninggalan. Sedangkan ahli waris semua orang yang menjadi waris. Hubungan antara yang mewariskan dengan yang menerima warisan dapat dibedakan atas dua bahagian, yaitu:
1. Waris Nasab atau Waris Pangkat
Waris nasab maksudnya antara si pewaris dengan yang menerima warisan terdapat pertalian darah berdasarkan keturunan ibu. Harta pusaka tinggi yang disebut pusako secara turun temurun yang berhak mewarisi adalah anggota kaum itu sendiri yaitu pihak perempuan. Hal ini sesuai dengan garis keturunan matrilineal.
Mengenai pewarisan gelar pusaka yang disebut sako sepanjang adat tetap berlaku dari mamak kepada kemenakan laki-laki. Dalam kewarisan sako ini dikatakan:
Ramo-ramo sikumbang jatiKatik endah pulanga bakudoPatah tumbuah hilang bagantiPusako lamo baitu pulo
Waris nasab yang berkaitan dengan sako dapat pula dibagi atas dua bahagian yaitu:
a. Warih Nan Salurui (waris yang selurus).
Dalam adat dikatakan saluruih ka ateh, saluruih kabawah nan salingkuang cupak adat, nan sapayuang sapatagak. (selurus keatas selurus kebawah, yang sepayung sepetagak). Artinya keturunan setali darah sehingga delapan kali keturunan atau disebut juga empat keatas, empat kebawah menurut ranji yang benar.
Sebuah contoh, jika anggota kaum sudah berkembang, yang pada mulanya dari tiga orang nenek. Turunan laki-laki dari ketiga nenek ini sama-sama berhak untuk memakai pusaka kaum yang dimiliki. Gelar pusaka kaum tadi tidak boleh pindah atau digantikan kepada lingkungan kaum lainnya, selain dari kaum keluarga ketiga nenek yang sekaum ini dalam adat dikatakan “suku dapek disakoi, pusako dipusakoi” (suku dapat disukui pusaka dapat dipusakai), maksudnya gelar pusaka dapat digantikan dan harta pusaka boleh dipusakai.
b. Warih Nan Kabuliah (waris yang dibenarkan)
Dalam adat dikatakan “jauah dapek ditunjuakkan dakek dapek dikakokkan, satitiak bapantang hilang, sabarih bapantang lupo”, (jauh dapat ditunjukkan, dekat dapat dipegang, setitik berpantang hilang, sebaris berpantang lupa). Maksudnya belahan yang asli dari sebuah kaum yang sampai sekarang masih dapat dicari asal usulnya secara terang. Dalam adat hal seperti ini disebut “gadang nan bapangabuangan, panjang nan bapangarek-an, laweh nan basibiran, anak buah nan bakakambangan”, (besar yang berpengabuan, panjang yang berpengeretan, luas yang bersibiran, anak buah yang berkekembangan).
Sebab contoh sebuah anggota kaum pindah kesebuah nagari yang berdekatan dan kemudian menetap sebagai penduduk di nagari tersebut karena sudah berkembang maka mereka ingin untuk mengangkat gelar kebesaran kaum. Pada kaum yang ditinggalkannya mempunyai gelar pusaka Datuak Marajo. Di tempat baru belahan kaum yang pindah ini dapat pula mengangkat gelar Datuak Marajo.
Sepanjang adat yang dapat memakai gelar pusaka kaum adalah orang yang ada pertalian darah. Kemenakan bertali adat, bertali budi tidak dibenarkan memakai gelar kebesaan kaum karena tidak bertali darah. Adat mengatakan “sako tatap pusako baranjak” (sako tetap, pusaka beranjak), artinya gelar pusaka tidak dapat berpindah dari lingkungan keturunan asli kecuali harta pusaka. Beranjaknya harta pusaka sperti adanya pemindahan hak yang terjadi karena pupus, gadai dan lain-lain. Gelar pusaka kaum tidak dibenarkan dipakai oleh orang di luar kaum, ini dengan alasan bila terjadi akan membawa dampak negatif dari kaum tersebut.
Adat mengatakan dimano batang tagolek, disinan cindawan tumbuah (dimana batang rebah disana cendawan tumbuh). Ketentuan adat ini mempunyai pengertian bila gelar pusaka itu dipakai oleh seseorang, maka menurut adat orang yang memakai gelar pusaka ini akan diikuti kebesarannya oleh harta pusaka yang ada pada kaum itu. Dengan arti kata semua harta pusaka tinggi yang ada pada kaum itu berada di tangannya, dan kaum tadi akan bermamak kepada penghulu baru ini yang tidak seketurunan dengannya. Kalau ini terjadi dikatakan “kalah limau dek banalu” (kalah limau karena benalu).
2. Warih Sabab atau Warih Badan (waris sebab atau waris badan).
Waris “sebab” maksudnya hubungan antara pewaris dengan yang menerima warisan tidaklah karena hubungan darah, tetapi karena sebab. Di dalam adat dikatakan “basiang dinan tumbuah, menimbang dinan ado”, bersiang bila sudah ada yang tumbuh, menimbang bila sudah ada). Waris sebab ini seperti karena bertali adat, berali buat, dan bertali budi. Waris sebab hanya yang menyangkut harta pusaka. Waris sebab ini dibedakan atas tiga bahagian, yaitu:
a. Warih Batali Adat (waris bertali adat).
Waris bertali adat seperti hubungan sesuku. Mungkin terjadi sebuah kaum punah, dengan arti keturunan untuk melanjutkan kaum itu tidak ada lagi menurut garis ke-ibuan, akhirnya harta pusaka dari kaum yang punah tersebut dapat jatuh kepada kaumyang sesuku dengannya di kampung tersebut.
b. Warih Batali Buek (waris bertali buat)
Buek artinya peraturan atau undang-undang. Waris bertali buek maksudnya waris berdasarkan peraturan yaitu peraturan sepanjang yang dibenarkan oleh adat.
Warih batali buek ini berlaku “manitiak mako ditampuang, maleleh mako di palik, sasuai mako takanak, saukua mako manjadi” (menitik maka ditampung, meleleh maka dipalit, sesuai maka dikenakan, seukur maka menjadi). Sebagai contoh seorang bapak yang sudah punah keluarganya maka atas mufakat dengan waris bertali adat si bapak dapat memberikan harta pusaka kepada anaknya, tetapi tidak gelar pusaka dari kaum.
c. Warih Batali Budi (waris bertali budi).
Menjadi waris karena kebaikan budi dari kaum yang didatanginya karena rasa kasihan dan tingakah lakunya yang baik sehingga sudah dianggap anak kemenakan, dia diberi hak atas harta pusaka namun demikian tergantung pada kata mufakat dalam kaum tersebut.
Waris menurut adat Minangkabau tidak ada istilah “putus” karena dalam warisan ini adat menggariskan “adanya” waris yang bertali adat, bertali buek, bertali budi dan hal ini bila ada kesepakatan kaum. Bila kaum itu punah warisan jatuh kepada waris yang bertalian dengan suku dan bila yang sesuku tidak ada pula harta pusaka kaum yang punah itu jatuh pada nagari. Ninik mamak nagarilah yang menentukan. Menurut Doktor Iskandar Kemal SH., bila tidak ada perut yang terdekat, anggota waris yang terakhir dapat menentukan sendiri waris yang terdekat dari orang-orang yang bertali adat untuk melanjutkan hak-hak dari perut itu, sesudah punah sama sekali, baru ditentukan oleh kerapatan adat nagari.G.3. Tanah UlayatTanah ulayat, tanah yang sudah ditentukan pemilik-pemiliknya tetapi belum diusahakan. Untuk jelasnya dapat dikemukakan yang punya tanah ulayat tersebut hanya nagari dan suku dan di luar dari harta pusaka tinggi. Tanah ulayat nagai yaitu tanah yang dimiliki bersama oleh sebuah nagari dan dikuasai secara bersama oleh penghulu-penghulu yang ada dalam nagari tersebut dan pengawasannya diserahkan kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Demikian pula tanah ulayat suku, dikuasai secara bersama oleh suatu suku dan pengawasannya diserahkan kepada kepala suku. Hak ulayat menurut hukum adat adalah hak yang tertinggi. Seseorang yang menguasai bukanlah memiliki hak ulayat, hanya dapat mempunyai hak sementara. Ketentuan-ketentuan mengenai tanah ulayat adalah sebagai berikut:
Memberi hak untuk memungut hasil warga persekutuan atas tanah dan segala yang tumbuh diatas tanah tersebut seperti mengolah tanah, mendirikan tempat pemukiman, menangkap ikan, mengambil kayu perumahan, mengembalakan ternak, mengambil hasil hutan dan lain-lain. Kesemuanya harus setahu atau seizin dari penghulu-penghulu atau yang mengawasi tanah ulayat tersebut.
Hak-hak perseorangan terhadap tanah ulayat dibatasi oleh hak persekutuan. Hak perseorang tetap diawasi dan jangan sampai terjadi pemakaian hak perseorangan terhadap tanah ulayat itu berpindah tangan seperti jual beli.
Persekutuan atau pemegang hak tanah ulayat dapat menunjuk atau menetapkan sebagian dari tanah ulayat untuk kepentingan umum. Untuk kepentingan umum ini seperti untuk lokasi pembangunan mesjid, sekolah, tempat pemakaman umum, lapangan olah raga dan lain-lain.
Tanah ulayat yang dikerjakan diberi jangka waktu. Tanaman muda tidak diadakan pembagian dengan yang punya hak ulayat, sedangkan tanaman keras yang ditanam, seperdua menjadi hak pemilik ulayat, seperdua untuk orang yang mengerjakan. Bila yang diolah tanah ulayat nagari, maka hasilnya nagari akan memanfaatkannya untuk kepentingan nagari. Dulunya untuk mendirikan balairung adat, bangunan mesjid dan lain-lain.
Apabila terjadi delik-delik berat, seperti pembunuhan di tanah ulayat dan yang mati itu bukan anggota warga yang punya ulayat, maka untuk menjaga jangan sampai terjadi permusuhan, yang punya ulayat harus membayar secara adat. Mamangannya mengatakan “luko bataweh, bangkak batambak - tangih bapujuak, ratok bapanyaba”.
Orang yang berasal dari lain nagari dapat memperoleh sebidang tanah pada tanah ulayat dan diperbolehkan manaruko atas dasar persetujuan terlebih dahulu. Walaupun sudah diberi secara adat, tetapi status tanahnya masih menjadi wilayah nagari. Sawah yang ditaruko selama enam musim kesawah boleh dimiliki seluruhnya. Setelah itu hasil tanah ulayat tadi seperduanya harus diserahkan kepada yang punya ulayat.
Pada dasarnya tanah ulayat dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan, terutama untuk kebutuhan ekonominya. Kalau pemakaian tanah ulayat bersifat produktif seperti untuk dijual hasilnya, maka disini berlaku ketentuan adat karimbo babungo kayu, kasawah babungo ampiang, kalauik babungo karang (kerimba berbunga kayu, kesawah berbunga emping, kelaut berbunga karang), dengan arti kata harus dikeluarkan sebahagian hasilnya untuk kepentingan suku dan nagari demi pembangunan nagari.
Sebenarnya tanah ulayat juga merupakan tanah cadangan bagi anak kemenakan, seandainya terjadi pertumbuhan penduduk dari tanah ulayat itulah sumber pendapatan bagi kesejahteraannya dan pembangunan nagari. Bila direnungkan secara mendalam betapa jauhnya pandangan kedepan dari tokoh-tokoh adat Minangkabau pada masa dahulunya.
G.4. Pemindahan HakTerlebih dahulu dikemukakan pengertian pemindahan hak untuk memperjelas permasalahan yang akan dibicarakan. Pemindahan hak maksudnya berpindahnya hak, baik hak memiliki, menguasai maupun memungut hasil, karena terjadinya sesuatu transaksi antara seseorang atau kelompok kepada pihak lain. Pada mulanya pemindahan hak terhadap harta pusaka tinggi tidak tertulis, tetapi sejak dikenal tulis baca dengan aksara arab dan kemudian aksara latin maka pemindahan hak itu sudah dibuat secara tertulis.
Pamindahan hak yang dikenal sampai saat sekarang ini adalah sebagai berikut:
1. Jual Beli
Menurut adat menjual harta pusaka tinggi dilarang apalagi untuk kepentingan pribadi si penjual. Menjual harta pusaka berarti tidak mengingat masa yang akan datang, terutama bagi generasi kaumnya. Adanya suatu anggapan bahwa orang yang menjual harta pusaka yang tidak menurut semestinya hidupnya tidak akan selamat, karena kutukan dari nenek moyang mereka yang sudah bersusah payah mewariskannya.
Namun demikian ditemui juga dewasa ini penjualan harta pusaka dengan berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
Tanah pusaka itu tidak produktif lagi, tidak bisa dijadikan sawah maupun ladang. Lantas dijual dan dipergunakan untuk membangun pabrik perkantoran dan perumahan. Yang penting tentu atas kesepakatan anggota kaum.Tidak ada yang mengurus sehingga terlantar. Ahli waris merantau dan tipis kemungkinan untuk pulang mengurus harta pusaka itu.Harta pusaka dijual dengan tujuan untuk dibelikan uangnya kembali kepada benda yang lain yang lebih produktif, benda itulah yang kemudian berstatus harta pusaka.Kesemuanya itu dapat terjadi bila ada kesepakatan seluruh anggota kaum baik yang dirantau maupun yang dikampung.
2. Gadai
Harta pusaka dapat digadaikan kalau berkaitan dengan kepentingan kaum atau menjaga martabat kaum. Ada ketentuan adat harta pusaka itu digadaikan bila ditemui hal sebagai berikut:
1. Adat tidak berdiri, seperti pengangkatan penghulu2. Rumah gadang ketirisan3. Gadih gadang tidak bersuami4. Mayat terbujur di tengah rumah
Gadai ini dapat dilaksanakan dengan syarat semua anggota ahli waris harta pusaka tersebut sudah sepakat. Jadi untuk menggadaikan harta pusaka syaratnya sangat berat. Dengan digadaikan harta itu dapat ditebus kembali dan tetap menjadi milik ahli warisnya. Gadai tidak tertebus dianggap hina. Disamping itu manggadai biasanya tidak jatuh pada suku lain melainkan kepada kaum “sabarek sapikua” (seberat sepikul) yang bertetangga masih dalam suku itu juga.
Si penggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan luas harta yang digadaikan dan penafsirannya atas persesuaian kedua belah pihak. Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagai sando (sandra), maka boleh ditebusi oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun kesawah tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi uang atau emas tadi.
Berkaitan dengan pegang gadai ini, perlu juga disimak bunyi pasal 7-UU 56 Prp th 1960 (undang-undang pokok agraria-UUPA) yang berbunyi:“barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen”.
Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam hal pegang gadai. Pada umumnya yang memegang gadai adalah orang yang kekurangan tanah. Seandainya dibelakukan UUPA itu tentu saja uang si pemegang tidak kembali sedangkan dia kekurangan pula dalam segi harta, tentu saja hal ini tidak adil. Oleh karena itu pegang gadai di Minangkabau masih tetap seperti semula dan masih berlangsung secara azaz kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan suatu upaya pertolongan darurat yang berfungsi sosial.
3. Hibah
Disamping pegang gadai, yang dibolehkan juga oleh adat adalah hibah. Hibah berasal dari bahasa arab “hibbah” yang artinya pemberian, misalnya pemberian seorang ayah kepada anak berupa harta pusaka. Pemberian ini timbul karena alasan kasih sayang dan tanggung jawab kepada anaknya. Ada tiga macam hibah dalam adat yaitu:
1. Hibah Laleh
Hibah laleh adalah pemberian dari seorang ayah kepada anaknya untuk selama-lamanya. Dalam adat pemberian seperti ini dikatakan “salamo dunia takambang, salamo gagak hitam, salamo aia ilia”, (selama dunia terkembang, selama gagak hitam, selama air hilir). Yang menjadi syaratnya adalah sepakat waris kaum yang bertali darah. Bila habis yang bertali darah harus sepakat waris yang bertali adat. Hibah laleh ini jarang terjadi karena tidak mungkin waris yang dikatakan di atas habis sama sekali. Kalau terjadi juga tidaklah dihibahkan seluruhnya, paling kurang sebagian kecil dari harta keseluruhan. Inipun tergantung kepada persetujuan bersama. Adat mengatakan “hibah basitahu-tahu, gadai bapamacik, jua bapalalu”, (hibah saling mengetahui, gadai berpegangan, jual berpelalu).
2. Hibah Bakeh, (hibah bekas)
Adalah pemberian harta dari ayah kepada anak. Hibah bakeh ini sifatnya terbatas yaitu selama anak hidup. Bila ada anaknya tiga orang tidak jadi soal, yang pokok bila anak-anaknya ini telah meninggal, maka harta yang dihibahkan kembali kepada kaum ayahnya. Di dalam adat hibah bakeh ini dikatakan “kabau mati kubangan tingga, pusako kanan punyo”, (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).
3. Hibah Pampeh
Hibah pampeh atau hibah pampas yaitu pemberian harta dari ayah kepada anaknya caranya yang berbeda karena kasih sayang kepada anak, si ayah mengatakan kepada anggota kaumnya, bahwa selama ini ia telah menggunakan uang anak-anaknya itu untuk biaya hidup dan biaya karena sakit-sakitan. Untuk itu buat sementara sawah sekian piring dibuat dan diambil hasilnya oleh anak-anaknya. Sawah itu jatuh kembali kepada ayahnya bila kaum ayahnya punya kesanggupan untuk mengganti uang anaknya yang terpakai. Hibah pampeh ini hanyalah merupakan pampasan dan hanya sebagai siasat dari sang ayah untuk membantu anak-anaknya (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).Muncul istilah hibah bukan berarti pemberian seorang kepada orang lain, seperti dari ayah kepada anak tidak dikenal sebelum masuknya islam ke Minangkabau. Sebelumnya dalam adat istilah pemberian berupa hibah ini adalah “agiah laleh” (agiah lalu), agiah bakeh, dan agiah pampeh.
4. Wakaf
Wakaf adalah suatu hukum islam yang berlaku terhadap harta benda yang telah diikrarkan oleh pewakaf, yaitu orang yang berwakaf kepada nadzir (orang yang menerima dan mengurus wakaf).
Kata wakaf berasal dari bahasa arab yang berarti terhenti dari peredaran, atau menahan harta yang sumber atau aslinya tidak boleh diganggu gugat, dan membuat harta itu berguna untuk kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, terhadap harta benda yang telah diwakafkan tidak boleh diambil kembali oleh pihak yang berwakaf atau ahli warisnya dan tidak boleh pula dianggap milik sendiri oleh pihak yang mengurusnya.
Wakaf yang berupa tanah di Minangkabau sering dipergunakan untuk kepentingan sosial seperti untuk pendirian surau, mesjid, panti asuhan, sekolah dan lain-lain. (Kesepakatan kaum dalam mewakafkan harta pusaka adalah syarat utama yang perlu dicapai).
J. Nilai Dasar Adat Minangkabau
J.1. Nilai - Nilai Dasar Adat MinangkabauDalam pembicaraan sehari-hari sering kita dengar kata-kata perubahan nilai, pergeseran nilai, krisis nilai dan lain-lain. Namun bila kita ditanya apa yang dimaksud dengan nilai, maka kita sukar untuk mengidentifikasikannya. Hal ini mungkin disebabkan nilai tersebut merupakan bagian yang abstrak dari kebudayaan.
Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi, explisit atau implisit yang menjadi milik khusus seorang atau ciri khusus suatu kesatuan sosial (masyarakat) menyangkut sesuatu yang diingini bersama (karena berharga) yang mempengaruhi pemilihan sebagai cara, alat dan tujuan sebuah tindakan.
Dalam proses penilaian selalu dilihat adanya penetapan nilai, pemilihan dan tindakan. Pada konsep nilai tersembunyi bahwa pemilihan nilai tersebut merupakan suatu ukuran atau standar yang memiliki kelestarian yang secara umum digunakan untuk mengorganisasikan sistem tingkah laku.
Kumpulan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat dalam suatu sistem budaya bangsa, yaitu suatu rangkaian konsepsi abstrak yang hidup dianggap penting dan berharga, turut serta apa yang dianggap remeh dan tak berharga dalam hidup. Dengan demikian sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup sekaligus berfungsi sebagai suatu sistem tata kelakuan. Sistem ini memberikan arah atau orentasi pada anggota-anggota masyarakat.
Orientasi nilai bersifat kompleks, tetapi jelas memberikan prinsip yang bersifat analitik, yaitu yang bersifat pengetahuan, perasaan, kemauan yang memberikan tata (orde) dan arah kepada arus pemikiran dan tindakan anggota-anggota suatu masyarakat, manakala prinsip-prinsip tersebut dihubungkan dengan pemecahan masalah-masalah kehidupan yang umum bagi semua manusia. Prinsip-prinsip ini beragam-beragam, tetapi keragaman tersebut bersifat hanya membedakan tingkat bagian-bagian dari semua elemen-elemen yang universal dari kebudayaan umat manusia.
Nilai-nilai dasar yang universal tersebut adalah masalah hidup, yang menentukan orientasi nilai budaya suatu maysarakat, yang terdiri dari hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat kehidupan manusia dalam ruang waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam dan hakekat hubungan manusia dengan manusia.
Variasi lain adalah perbedaan-perbedaan dalam kesadaran individu akan orientasi nilai itu, yang berada dalam kelanjutan, mulai yang bersifat implisit (khusus) sampai kepada explisit (umum). Setiap kebudayaan tersebut mempunyai pandangan terhadap kehidupan atau memberikan suatu nilai tertentu terhadap kehidupan itu, apakah hidup tersebut suatu yang beik, suatu yang buruk, atau suatu yang harus diperbaiki. Demikian pula ada penilaian terhadap pekerjaan. Apakah kerja tersebut untuk hidup, untuk kedudukan atau untuk menambah kerja. Pandangan terhadap waktu, akan menentukan penilaian suatu masyarakat dalam penggunaan waktu, akan menentukan penilaian suatu masyarakat dalam penggunaan waktu. Juga orientasi waktu tersebut akan sangat menentukan berbagai pola tingkah laku. Pertanyaan yang daat diajukan adalah sebagai berikut : “apakah suatu masyarakat sangat menghargai masa lalu, masa sekarang atau masa depan ?”. Sedangkan pandangan yang menyangkut hubungan manusia dengan alam, pilihan nilai yang dominan akan berkisar di sekitar pertanyaan : “apakah orang harus tunduk kepada alam, mencari keselarasan dengan alam, atau menundukkan alam ?”. Unsur universal yang terakhir adalah menyangkut hubungan sesama manusia. Pertanyaan : “apakah suatu masyarakat menganut pandangan, bahwa ada hirarki di antara sesama anggota, ataukan pandangan saling tergantung sesamanya, ataukan menilai tinggi ketidak ketergantungan ?”.
Jawaban nilai mana yang dominan dalam kebudayaan suatu masyarakat akan menentukan orientasi nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tersebut. Nilai yang dominan tersebut akan dirumuskan dalam norma-norma yang akan menuntun anggota-anggota suatu masyarakat dalam berfikir, yang selanjutnya menentukan perilaku anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula nilai yang dominan tersegbut akan dapat pula menentukan sikap-sikap anggota suatu masyarakat terhadap lingkungan kehidupan yang menjurus kepada pola prilaku tertentu.
Dalam hubungan kepribadian suatu masyarakat, nilai yang dominan akan disampaikan lewat media pendidikan kemasyarakatan yang bersifat non formal, sehingga menghasilkan anggota-anggota masyarakat dengan kepribadian yang relatif hampir bersamaan. Sebagaimana yang telah dikemukakan, yatiu hal yang menyangkut hubungan kebudayaan dan nilai-nilai, merupakan salah satu cara pengenalan dan klasifikasi nilai sosial budaya. Klasifikasi nilai lain, mungkin banyak sekali. Spranggers mengemukakan pembagian nilai yang dominan yang dianut suatu masyarakat dibagi berdasarkan atas nilai teoritis, nilai ekonomi, dan nilai agama.
Untuk mengetahui dan memahami nilai-nilai dasar adat Minangkabau berbagai cara dapat dilakukan, antara lain dengan mempelajari tentang masyarakat dan lingkungan atau dengan mempelajari perilaku mereka. Terlebih dahulu mereka mempelajari kata-kata (kato), dari sini akan dapat diungkapkan nilai-nilai dasar dan norma-norma yang menjadi penuntun orang Minangkabau berfikir dan bertingkah laku. Dengan kata lain perkataan pola berfikir dan prilaku orang Minangkabau, ditentukan oleh “kato” sebagai nilai dasar norma-norma yang menjadi pegangan hidup mereka, katakanlah falsafah hidup, yang menyangkut makna hidup, makna waktu, makna alam bagi kehidupan, makna kerja bagi kehidupan dan makna individu dalam hubungan kemasyarakatan.
Bertitik tolak dari pemikiran di atas, kata-kata (kato) seperti yang terkandung dan terungkap dalam prinsip-prinsip dasar atau rumusan-rumusan kebenaran, pepatah, petitih, pituah, mamangan dan lain-lain ekspedisi simbolik tentang diri mereka dalam hubungan dengan alam, dengan lingkungan sosial budaya, merupakan media yang dapat dipakai dalam mengetahui dan memahami nilai-nilai yang dominan yang dianut mereka. Dikatakan “manusia tahan kato (kias) binatang tahan palu (cambuk).
Sesuai dengan tahap perkembangan masyarakat Minangkabau, sewaktu merintis menyusun adat, mereka mengambil kenyataan yang ada pada alam sebagai sumber analogi bagi nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur kehidupan mereka. Mereka mengungkapkan hal ini dalam perumusan yang dianggap mereka sebagai kebenaran “alam takambang jadi guru” (alam terkembang jadi guru). Hukum alam menjadi sumber inspirasi yang dijadikan pedoman untuk merumuskan nilai-nilai dasar bagi norma-norma yang menuntun mereka dalam berfikir dan berbuat.
Disamping belajar dari alam, pengalaman hidup yang dapat dijadikan pula pegangan, bahwa manusia harus belajar dari pengalamannya. Belajar dari alam dan pengalaman merupakan orientasi berfikir yang dominan dalam masyarakat Minangkabau. Hal ini dengan tegas dicontohkan mereka dalam ungkapan adat yang mendasarkan pandangan kepada alam “patah tumbuah hilang baganti” (patah tumbuh hilang berganti).
Selanjutnay dikatakan pula “maambiak contoh ka nan sudah, maambiak tuah ka nan manang” (mengambil contoh kepada yang sudah, mengambil tuah kepada yang menang). Mereka menafsirkan dan melihat yang ada dalam alam ini mempunyai tujuan dan makna hidup, kerja, waktu dan kehidupan sesamanya. Semuanya itu diungkapkan dalam bentuk nilai-nilai yang dominan yang menjadi pegangan dan pedoman bagi masyarakat Minangkabau. Sekarang akan kita lihat nilai-nilai dasar yang fundamental dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
J.2. Pandangan Terhadap HidupTujuan hidup bagi orang Minangkabau, adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka orang Minangkabau mengatakan, bahwa “hiduik bajaso, mati bapusako” (hidup berjasa, mati berpusaka). Jadi orang Minangkabau memberikan arti dan harga yang tinggi terhadap hidup. Untuk analogi terhadap alam, maka peribahasa yang dikemukakan adalah :
Gajah mati meninggalkan gadiangHarimau mati maninggakan balangManusia mati meninggalkan jaso
(gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan jasa).
Dengan pengertian, bahwa orang Minangkabau itu hidupnya jangan seperti hidup hewan yang tidak memikirkan generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan setelah mati. Karena itu orang Minangkabau bekerja keras untuk dapat meninggalkan, mempusakakan sesuatu bagi anak kemenakan, dan masyarakatnya.
Mempusakakan bukan maksudnya hanya dibidang materi saja, tetapi juga nilai-nilai adatnya. Oleh karena itu semasa hidup bukan hanya kuat menunjuk mengajari anak kemenakan sesuai dengan norma adat yang berlaku. Dengan demikian diharapkan kesinambungan dari adat yang diwarisi sebagai pusaka yang diturunkan secara turun temurun. Ungkapan adat juga mengatakan “pulai batinkek nalek meninggalkan rueh jo buku, manusia batingkek turun maninggakan namo jo pusako” (pulai bertingkat baik meningalkan ruas dan buku, manusia bertingkat turun meninggalkan nama dan pusaka).
Struktur sosial Minangkabau memberi tanggungjawab yang berat kepada orang laki-laki Minangkabau, sehingga mendorong lebih lanjut untuk berusaha memenuhi tuntutan agar berjasa kepada kerabat dan kampung halamannya.
Kedatangan agama islam yang mengemukakan manusia itu makhluk tuhan dan dijadikan khalifah dimuka bumi untuk menjadi lebih dahulu memberikan makna dan nilai yang tinggi terhadap hidup. Dengan kata lain agama telah memperkokoh pandangan terhadap hidup yang telah dipunyai oleh adat sebelumnya. Nilai hidup yang lebih baik dan tinggi ini telah menjadi pendorong bagi orang Minangkabau untuk selalu berusaha, berprestasi, dinamis dan kreatif.
J.3. Pandangan Terhadap KerjaSejalan dengan makna hidup bagi orang minangkabau, yaitu berjasa kepada kerabat dan masyarakatnya, kerja merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja merupakan keharusan. Kerjalah yang sangat membuka orang sanggup meninggalkan pusaka bagi anak kemenakan. Dengan hasil kerja dapat dihindarkan ” hilang rano dek penyakik, hilang bangso tak barameh ” (hilang warna karena penyakit, hilang bangsa karena tidak beremas). Artinya harga diri seseorang akan hilang karena kemiskinan, oleh sebab itu bekerja keras salah satu cara untuk menghindarkannya.
Juga dikemukakan oleh adat ” ameh pandindiang malu, kain pandindiang miang ” (emas pendinding malu, kain pendinding maian). Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan, sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya atau keluarganya. Banyaknya seremonial adat seperti perkawinan dan lain-lain membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan. Orang minangkabau disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh fatwa adat sebagai berikut :
Kayu hutan bukan andalehElok dibuek ka lamari tahan hujan barani bapanehBaitu urang mancari rasaki
(kayu hutan bukan andalas, elok dibuat untuk lemari, tahan hujan berani berpanas, begitu orang mencari rezeki)
Dari etos kerja ini, anak-anak muda yang punya tanggung jawab di kampung disuruh merantau. Mereka pergi merantau untuk mencari apa-apa yang mungkin dapat disumbangkan kepada kerabat di kampung, baik materi maupun ilmu. Misi budaya ini telah menyebabkan orang minangkabau terkenal dirantau sebagai makhluk ekonomi yang ulet.
Menghadapi masa tua harus mempersiapkan diri ketika muda, jangan disia-siakan waktu untuk bekerja. Dan berusaha agar di masa tua tidak kecewa dalam hidup. Peribahasanya mengatakan : “waktu ado jan dimakan, lah abih baru dimakan” (waktu ada jangan dimakan, sudah habis baru dimakan). Arti dari peribahasa ini adalah ketika ada tenaga dan masih muda bekerjalah dankumpulkanlah harta sebanyak mungkin, tetapi jangan lupa menyisakan untuk masa tua. Bila tiada maksudnya tiada tenaga lagi atau sudah tua, maka baru hasil simpanan dan usaha semasa muda dinikmati.
J.4. Pandangan Terhadap WaktuDalam kehidupan sehari-hari sering kali kita mendengan “waktu adalah uang atau waktu sangat berharga”. Mungkin ungkapan ini diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu “time is money”.
Sebenarnya bagi orang Minangkabau waktu berharga ini bukanlah soal baru, malahan sudah merupakan pandangan hidup orang Minangkabau. Orang Minangkabau harus memikirkan masa depannya dan apa yang akan ditinggalkannya sesudah mati. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan waktu untuk maksud yang bermakna, sebagamana dikatakan “duduak marawik ranjau, tagak maninjau jarah” (duduk merawit ranjau, berdiri meninjau jarah). Ungkapan ini mengumpamakan kepada seorang prajurit, bila dia duduk diisi waktunya dengan meraut ranjau yang akan dipasang menghadapi musuh, bila berdiri hendaklah meninjau jarah (meninjau jauh ke daerah yang luas sehingga bisa melihat musuh yang tiba-tiba dapat saja menyerang).
Tidak disukai oleh adat, bagi orang yang tidak menentu dan selalu dalam keraguan, hal ini dikatakan dalam ungkapannya “duduak sarupo urang kamanjua, tagak sarupo urang kamambali” (duduk seperti orang yang akan menjual, berdiri seperti orang yang akan membeli).
Waktu yang terbuang percuma saja juga tidak diingini, sebagaimana dikatakan “siang ba habih hari, malam ba habih minyak” (siang berhabis hari, malam berhabis minyak). Dimensi waktu, masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang merupakan ruang waktu yang harus menjadi perhatian bagi orang Minangkabau. Maliek contoh ka nan sudah (melihat contoh kepada masa lalu) merupakan keharusan. Bila masa lalu tidak menggembirakan dia akan berusaha memperbaikinya. Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarah merupakan manifestasi untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya pada masa sekarang.
Mambangkik batang tarandam (membangkit batang terendam), merupakan refleksi dari masa lalu sebagai pedoman untuk berbuat pada masa sekarang. Sedangkan mengingat masa depan adat menfatwakan “bakulimek sabalun habih, sadiokan payuang sabalum hujan” (berhemat sebelum habis, sediakan payung sebelum hujan). Kehati-hatian untuk menghadapi masa depan juga adat menginginkan sebagaimana yang dikatakan :
Hari paneh kok tak balinduangHari hujan kok tak bataduahHari kalam kok tak basuluahJalan langang kok tak bakawan
(hari panas jika tidak berlindung, hari hujan jika tidak berteduh, hari kelam jika tidak bersuluh, jalan lengang jika tidak berteman).
Perspektif masa depan yang tinggi bagi orang Minangkabau juga terlihat dengan kuatnya mereka memelihara sistem pemilikan komunal mereka. Dengan cara memelihara tanah komunal, warih di jawek, pusako ditolong (waris diterima, pusaka ditolong) mengungkapkan nilai dasar yang menekankan identitas Minangkabau.J.5. Hakekat Pandangan Terhadap AlamOrang Minangkabau menjadikan alam sebagai guru, sebagaimana yang dikatakan dalam mamangan adatnya sebagai berikut:
Panakiek pisau sirawikAmbiak galah batang lintabuangSalodang ambiak kanyiruSatitiak jadikan lauikSakapa jadikan gunuangAlam takambang jadi guru
(panakik pisau seraut, ambil galah batang lintabung, silodang jadikan nyiru, setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung, alam terkembang jadikan guru).
Alam Minangkabau yang indah, bergunung-gunung, berlembah, berlaut dan berdanau, kaya dengan flora dan fauna telah memberi inspirasi kepada masyarakatnya. Mamangan, petatah, petitih, ungkapan-ungkapan adatnya tidak terlepas dari pada alam.
Alam mempunyai kedudukan dan pengaruh penting dalam adat Minangkabau, ternyata dari fatwa adat sendiri yang menyatakan bahwa alam hendaklah dijadikan guru, seperti dikatakan, bahwa adat itu adalah:
Sakali aia gadangSalaki tapian barubahNamun aia kailia juo sakali gadang bagantiSakali peraturan barubahNamun adat baitu juo
(sekali air besar, sekali tepian berubah, namun air ke hilir juga, sekali besar berganti, sekali peraturan berubah, namun adat begitu juga).
Menurut pandangan hidup orang Minangkabau ada unsur-unsur adat yang bersifat tetap ada yang bisa berubah. Yang tetap itu biasa dikatakan “nan indak lapuak dek hujan, nan indak lakan di paneh”, (yang tidak lapuk karena hujan, yang tidak lekang karena panas).
Unsur-unsur itulah yang dalam klasifikasi adat termasuk “adat nan sabana adat” (adat yang sebenar adat), sedangkan yang lainnya tergolong “adat nan teradat, adat nan diadatkan dan adat istiadat” yang dapat dirubah.
Yang dimaksud dengan adat nan sabana adat yang tidak lapuk karena hujan, dan tak lekang karena panas sebenarnya disebut cupak usali, yaitu ketentuan-ketentuan alam atau hukum alam, atau kebenarannya yang datang dari Allah SWT. Oleh karena itu adat Minangkabau falsafahnya berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan dalam alam, maka adat Minangkabau itu akan tetap ada selama alam ini ada.
J.6. Pandangan Terhadap SesamaDalam hidup bermasyarakat, orang Minangkabau menjunjung tinggi nilai egaliter atau kebersamaan. Nilai ini dinyatakan mereka dengan ungkapan “duduak samo randah, tagak samo tinggi” (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi).
Dalam kegiatan yang menyangkut kepentingan umum sifat komunal dan kolektif mereka sangat menonjol. Mereka sangat menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Hasil permufakatan merupakan otoritas yang tertinggi. Hal ini dinyatakan oleh orang Minangkabau dengan ungkapan :
Kamanakan barajo ka mamakMamak barajo ka panghuluPanghulu barajo ka mufakatMufakat barajo ka aluaAlua barajo ka patuik jo mungkinPatuik jo mungkin barajo kanan banaBana badiri sandirinyo (itulah nan manjadi rajo)
(kemenakan baraja kepada mamak, mamak baraja ke penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, mufakat beraja kepada alur, alur beraja kepada patut dan mungkin, patut dan mungkin beraja kepada yang benar, yang benar itulah yang menjadi raja).
Kekuasaan yang tertinggi (otoritas) menurut orang Minangkabau bersifat abstrak, yaitu nan bana (kebenaran). Kebenaran tersebut harus dicari melalui musyawarah yang dibimbing oleh alur, patut dan mungkin. Penggunaan akal sangat diperlukan oleh orang Minangkabau dan sangat menilai tinggii manusia yang menggunakan akal. Nilai-nilai yang dibawa oleh islam mengutamakan akal bagi orang muslim, dan islam melengkapi penggunaan akal dengan bimbingan iman. Dengan sumber nilai yang bersifat manusiawi disempurnakan dengan nilai yang diturunkan dalam wahyu, lebih menyempurnakan kehidupan bermasyarakat orang Minangkabau.
Orang Minangkabau mengakui hirarki, yaitu ada rakyat dan ada pemimpin. Namun pemimpin dalam konsepsi mereka adalah orang yang dipilih dalam kerabat mereka, yaitu yang terbaik dari segi kualifikasi yang ditentukan oleh adat. Dalam hal ini mereka yaitu yang terbaik dari segi kualifikasi yang ditentukan oleh adat. Dalam hal ini mereka mempersonifikasikan pemimpin dalam pribadi dan kualifikasi seorang penghulu (syarat-syarat penghulu). Dengan demikian pada hakekatnya sumber kekuasaan penghulu itu adalah rakyatnya (kemenakannya).
Dalam ungkapan adat dikatakan “tumbuahnyo ditanam, gadangnyo dilambuak”, (tumbuhnya ditanam, besarnya dilambuk). Karena sumber kekuasaan dari bawah, maka diingatkan “ingek-ingek urang di ateh, nan dibawah kok maimpok” (ingat-ingat orang di atas, yang dibawah kalau menimpa). Dengan arti kata karena pemimpinm itu dipilih oleh anak kemenakan, maka yang diangkat jadi pemimpin iitu jangan sampai tidak memperhatikan kemenakannya, sebab kalau tidak demikian kepemimpinannya bisa dicabut kembali.
Menurut adat pandangan terhadap seorang diri pribadi terhadap yang lainnya hendaklah sama walaupun seseorang itu mempunyai fungsi dan peranan yang saling berbeda. Walaupun berbeda namun saling membutuhkan dan saling dibutuhkan sehingga terdapat kebersamaan. Dikatakan dalam mamangan ” nan buto pahambuih lasuang, nan binguang ka disuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang”, (yang buta penghembus lesung, yang tuli pelepas bedil, yang lumpuh penunggu rumah, yang kuat pembawa beban, yang bingung akan disuruh-suruh, yang cerdik lawan berunding). Hanya saja fungsi dan peranan seseorang itu berbeda dengan yang lain, tetapi sebagai manusia setiap orang itu hendaklah dihagai karena semuanya saling isi mengisi. Saling menghargai agar terdapat keharmonisan dalam pergaulan, adat menggariskan “nan tuo dihormati, samo gadang baok bakawan, nan ketek disayangi” (yang tua dihormati, sama besar bawa berkawan dan yang kecil disayangi). Ketika agama islam masuk konsep pandangan terhadap sesama ini dipertegas lagi.
Nilai egaliter yang dijunjung tinggi oleh orang Minangkabau mendorong mereka untuk mempunyai harga diri yang tinggi. Nilai kolektif yang didasarkan pada struktur sosial matrilineal yang menekankan tanggungjawab yang luas seperti dari kaum sampai kemasyarakat nagari, menyebabkan seseorang merasa malu kalau tidak berhasil menyumbangkan sesuatu kepada kerabat dan masyarakat nagarinya. Interaksi antara harga diri dan tuntutan sosial ini telah menyebabkan orang Minangkabau untuk selalu bersifat dinamis.
K. Elok Nagari Dek Pangulu
K.1. Elok Nagari Dek PenghuluPenghulu telah didirikan semenjak dari nagari asal Pariangan Padang Panjang. Dalam pemerintahan Kerajaan Pasumayam Koto Batu yang dipimpin oleh Sri Maharaja Diraja, telah didirikan dua orang penghulu pertama di Pariangan Padang Panjang, beliau itu adalah : Datuk Bandaro Kayo di Pariangan dan Datuk. Maharajo Basa di Padang Panjang.Begitulah selanjutnya sampai ke Kerajaan Dusun Tuo, Kerajaan Sungai Tarab (Bungo Satangkai), Kerajaan Bukit Batu Patah, dan Kerajaan Pagaruyung, begitu pula di luhak yang baru didirikan, maka dibesarkanlah penghulu di tiap-tiap nagari yang bru ditempati itu.
Penghulu-penghulu itulah yang akan memimpin anak nagari dalam segala seluk-beluk kehidupan mereka, penghulu itulah yang akan ” pa-i dahulu, pulang kudian “, penghulu itulah ” nan maelo parang jo barani, maelo karajo jo usaho, elo sarato tumpia, suruah sarato pa-i “. elok nagari dek panghulu, maksudnya adalah bahwa penghulu-penghulu itulah yang memimpin segala pekerjaan yang baik-baik dalam nagari.
Nagari terdiri dari labuah, tapian, balai dan musajik. Elok labuah dek batampuah, elok tapian dek rang mudo, elok balai dihiasi, elok musajik dek tuanku. Walaupun telah dibagi-bagi demikian rupa tentangan elok labuah, elok tapian, elok balai dan elok musajik kepada masing-masing fungsional di nagari, tetapi di atas itu semua penghululah yang memimpin semua pekerjaan untuk eloknya segala sarana nagari tersebut. Bahkan tidak itu saja, malainkan berbagai kebaikan dalam perilaku, budi pekerti, sopan santun dalam pergaulan bermasyarakat, penghululah yang sebagai pelopor untuk menegakkannya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki nagari dengan masyarakatnya peranan penghulu adalah sangat penting sekali. Kembali sekali lagi setelah penghulu-penghulu dahulu membuka nagari, maka untuk menyelamatkan nagari inipun, penghulu sekarang harus berada digaris depan sebagai pelopor.
K.2. Sistem Kepemimpinan Setelah IslamBila orang menyebut kepemimpinan Minangkabau, maka fikirannya akan tertuju bahwa kepemimpinan masyarakat Minangkabau didasarkan kepada sistem tungku tigo sajarangan (tungku tiga sejarangan). Tungku tiga sejarangan ini adalah sebagai berikut :
Kepemimpinan ninik mamak
Kepemimpinan alim ulama
Kepemimpinan cerdik pandai
Ketiga bentuk kepemimpinan ini lahir dan ada, tidak terlepas dari perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau sendiri. Mulanya hanya ada kepemimpinan di bidang adat saja, namun kemudian setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau dan akhirnya agama Islam ikut memberi corak terhadap pandangan hidup orang Minangkabau. Dengan kedatangan pengaruh agama Islam lahirlah pimpinan di bidang keagamaan yang disebut alim ulama. Baik karena kenyataan maupun karena diakui, alim ulama diikut sertakan memimpin kesatuan-kesatuan sosial masyarakat di dalam adat. Unsur pimpinan yang ketiga adalah cerdik pandai. Orang cerdik pandai sama lahirnya dengan kepemimpinan ninik mamak dalam arti menjadi penghulu kepala kaum. Orang-orang yang pintar dari sebuah kaum banyak jumlahnya. Pintar dalam pengetahuan adat dan pengetahuan umum lainnya. Mereka inilah yang digolongkan kepada golongan cerdik pandai walaupun merreka tidak pernah menempuh pendidikan sekolah. Dengan kata lain kepemimpinan cerdik pandai ini sudah ada sebelumnya, dan tidak benar kalau dikatakan kepemimpinan cerdik pandai muncul setelah adanya pendidikan formal seperti sekarang.
Ketiga corak kepemimpinan tadi mempunyai perbedaan terutama sekali statusnya dalam masyarakat adat. Kepemimpinan ninik mamak merupakan kepemimpinan tradisional, dia sesuai dengan pola yang telah digariskan oleh adat. Kepemimpinan secara berkesinambungan, dengan arti kata “patah tumbuah hilang baganti” dalam kaum masing-masing, suku dan nagari. Seseorang tidak akan dapat berfungsi sebagai ninik mamak dalam masyarakat adat, seandainya dalam kaum keluarga sendiri tidak mempunyai gelar kebesaran kaum yang diwarisinya.
Kepemimpinan alim ulama dan cerdik pandai dapat diperoleh oleh siapa saja tanpa membedakan asal usul dan keturunan. Kepemimpinan dan kharisma seorang alim ulama dan cerdik pandai tidak terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu, dan malahan peranannya jauh di luar masyarakat nagarinya. Stratifikasi secara tegas terhadap tiga corak kepemimpinan tersebut sulit dibedakan lantaran ketiga corak kepemimpinan tersebut bisa terdapat pada diri seseorang. Betapa banyaknya sekarang ninik mamak yang juga cerdik pandai serta sebagai alim ulama.
Ketiga sistem kepemimpinan tadi dalam masyarakat minankabau disebut “tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin”. Ketiga unsur kepemimpinan ini saling melengkapi dan menguatkan. Tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin juga merupakan filosofi dalam kepemimpinan masyarakat Minangkabau. Ketiga unsur kepemimpinan ini berat sama dipikul, ringan sama dijinjing dalam membina dan memimpin anak kemenakan semenjak dahulu di Minangkabau.
K.3. Tingkat - Tingkat KepemimpinanDalam membicarakan tingkat-tingkat kepemimpinan ini tercakup dua hal yang mendasar, yaitu siapa yang dipimpin dan siapa yang memimpin. Pengertian yang dipimpin dalam adat Minangkabau tidak lain adalah anak kemenakan sendiri dan di sini dapat diterjemahkan sebagai rakyat, sedangkan pemimpin adalah ninik mamak atau orang yang berfungsi sebagai pimpinan yang telah digariskan oleh adat.Untuk membicarakan tingkat-tingkat kepemimpinan ini baik juga dipedomani talibun adat yang mengatakan :
Rang gadih mangarek kukuPangarek pisau sirauikParuik batuang tuonyoBatuang tuo elok ka lantainagari ba ampek sukudalam suku babuah paruikkampuang banan tuorumah batunganai
(anak gadis memotong kuku, dikerat dengan pisau siraut, pisau siraut peraut betung tua, betung tua baik untuk lantai, nagari mempunyai empat suku, dalam suku berbuah perut, kampung bertua, rumah bertungganai).
Dari talibun adat di atas yang akan dikemukakan adalah tungganai, suku dan nagari, sedangkan kampung tanpa dikaitkan kesalah satu suku tertentu dan hanyalah mengandung arti teritorial semata-mata.
Paruik (perut)
Paruik, tiap suku berbuah paruik dan orang separuik bertali darah. Dahulu orang yang separuik tinggal dalam satu rumah yang disebut dengan rumah gadang. Sebagai pemimpin dari peruik adalah kepala paruik atau disebut juga tungganai. Kepala peruik adalah laki-laki yang tertua dalam paruik tersebut atau laki-laki lain yang dipilih menurut adat yang berlaku. Biasanya kepala paruik inilah yang memakai gelar kebesaran paruik atau sebagai seorang penghulu yang bergelar datuk. Kedatangan pengaruh islam kemudian istilah paruik ini lebih dikenal dengan sebutan kaum. Kepala paruik ini lebih dikatakan sebagai kepala kaum. Pada dewasa ini yang umum dipakai adalah kaum. Kepala kaum orang yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting oleh anggota kaum. Persoalan yang ada dalam kaum maupun antara kaum dengan kaum yang lain menjadi tanggungjawab kepala kaum untuk menyelesaikannya bersama-sama dengan anggota kaum lainnya. Pengawasan terhadap harta pusaka tinggi sebagai milik kaum merupakan tugas dari pada kepala kaum dan hal ini sesuai dengan ketentuan adat yang mengatakan “warih dijawek, pusako ditolong”. Menggadai atau menjual harta pusaka harus sepakat anggota kaum dan ketegasan dari kepala kaum dalam mengambil sesuatu keputusan sangat diperlukan sekali dalam permusyawaratan. Orang yang sekaum terdiri pula dari ibu-ibu dengan anak-anaknya yang merupakan samande. Orang yang samande memperoleh bagian dari harta pusaka tinggi milik kaum. Harta yang dimilikinya ini merupakan “ganggam bauntuak, pagang bamasiang”. Kepadanya hanya diberi hak untuk memungut hasil, sedangkan hak milik masih tetap atas nama kaum. Harta yang ganggam bauntuak ni jika digadaikan harus mendapat persetujuan dari kepala kaum dan anggota kaum yang lainnya. Apabila sebuah kaum telah berkembang, maka bagian-bagiannya disebut jurai. Jurai-jurai ini turun dari rumah itu diawasi oleh mamak rumahnya. Mamak rumah ini disebut pula tungganai menurut kebiasaan dalam satu-satu nagari. Jurai-jurai yang ada masih tetap dalam satu kesatuan kaum dan sebagai pimpinannya tetap kepala kaum.
2. Suku
Suku, merupakan unit yang mendasar dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Berdasarkan sejarah orang Minangkabau pada mulanya mengenal empat buah suku yaitu koto, piliang, bodi, dan chaniago. Berdasarkan penyelidikan L. C. Westenenk dari empat suku ini telah menjadi 96 suku yang berbeda-beda yang tersebar di seluruh nagari di Minangkabau. Walaupun sudah banyak pecahan suku namun tetap masuk kepada suku asal, yaitu kepada koto piliang dan bodi chaniago. Di nagari yang mempunyai sistem adat koto piliang kepala-kepala suku dipilih menurut sistem keturunan langsung. Sedangkan di nagari-nagari yang memakai sistem adat bodi chaniago kepala suku di pilih secara demokratis. Penghulu-penghulu suku koto piliang dipimpin oleh seorang penghulu pucuak dan sifatnya turun-temurun. Sedangkan pada bodi chaniago di kepalai oleh penghulu andiko atas pilihan bersama secara demokratis, dengan mengindahkan “ketentuan gadang balega”. Penghulu-penghulu suku yang dipimpin oleh penghulu pucuak atau penghulu andiko mempunyai tanggungjawab keluar dan kedalam terhadap segala permasalahan yang ada dalam sukunya. Bila terjadi persengketaan antara kaum dengan kaum atau antara suku dengan suku lainnya maka penghulu-penghlu yang sepesukuan turun tangan untuk menyelesaikannya. Demikian pula bila ada permasalahan yang ada permasalah yang patut untuk dibawa ketingkat nagari, maka sebagai juru bicaranya adalah kepala suku yaitu penghulu pucuak atau penghulu andiko sesuai dengan sistem adat yang dipakainya. Membawa permasalahan dari tingkat terbawah ketingkat nagari haruslah berjenjang naik, sedangkan dari tingkat nagari segala yang harus disampaikan kebawah hendaklah bertangga turun. Kepemimpinan dalam suku harus menanamkan rasa kesatuan dan persatuan, mereka harus sehina semalu sebagaimana yang dikatakan ” malu nan indak dapek dibagi, suku tak dapek dianjak “, karena orang sesuku seketurunan, maka dalam soal perkawinan dahulunya dilarang orang kawin sesuku dan bahkan sampai sekarang hal ini pada banyak nagari masih dipegang teguh. Dahulu orang sepesukuan tinggal dalam daerah yang sama, sehingga ada kampung caniago, kampung jambak yang maksudnya orang yang tinggal di kampung tersebut bersuku chaniago atau suku jambak. Penduduk suku mempunyai daerah yang disebut ulayat suku. Ulayat suku meliputi daerah yang telah didiami dan diolah oleh anggota suku ditambah dengan daerah yang belum diolah seperti hutan, bukit dan lain-lain. Ulayat suku yang belum diolah hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan anggota suku. Untuk mengambil kayu bangunan atau hasil lainnya yang berada pada ulayat suku harus setahu penghulu-penghulu suku.
3. Nagari
Nagari, organisasi politik dan sosial yang tertinggi adalah nagari. Pemerintahan nagari dijalankan oleh sebuah majelis ninik mamak pemangku adat. Mereka bermusyawarah dalam sebuah penghulu yang disebut rapek nagari atau kerapatan adat. Keanggotaan dari kerapatan adat pada sebuah nagari ditentukan oleh adat yang dipakai pada nagari tersebut. Majelis ninik mamak yang duduk sebagai pemimpin nagari punya kekuasaan di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hukum adat tidak mengenal pemisahan kekuasaan. Segala persoalan-persoalan yang tidak putus dari tingkat paruik dan suku akan dibawa kekerapatan ninik mamak nagari. Majelis ninik mamak nagari juga bertanggungjawab terhadap kekayaan nagari yang berupa tanah atau hal ulayat nagari.
Dari uraian di atas kelihatan suatu strata kepemimpinan menurut adat yang kita ambil dalam lingkup nagari sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat. Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan, yang memegang peranan dalam kepemimpinan secara adat yang berjenjang naik bertangga turun adalah mamak rumah atau tungganai dengan harta ganggam bauntuak, mamak kepala kaum dengan harta pusaka tinggi kaum, kerapatan ninik mamak yang sesuku dengna harta ulayat suku, majelis kerapatan ninik mamak nagari dengan harta ulayat nagari. Jadi jelas kepemimpinan itu diikuti dengan kekayaannya yang merupakan hak dan tanggungjawab juga.K.4. Penghulu Dalam masyarakat adat minangkabau penghulu merupakan sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuk. Mengangkat kebesaran adat dikatakan mengangkat datuk, melainkan mengangkat penghulu. Istilah penghulu berasal dari kata “hulu”, artinya kepala. Yang dimaksud kepala di sini adalah pimpinan. Jadi pengertian penghulu adalah sama dengan pimpinan. Dengan demikian seorang penghulu bisa pula tidak seorang datuk tetapi dia pemimpin.
Sebagai pimpinan penghulu bertanggungjawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku dan nagarinya. Penghulu bertanggungjawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat dan hal ini dikatakan kewajiban penghulu ” kusuik manyalasai, karuah mampajaniah “. Kedudukan penghulu tidak sama dengan kedudukan dan fungsi seorang feodal, penghulu tidak dipusakai oleh anaknya seperti dalam masyarakat feodal, melainkan oleh kemenakannya yang bertali darah.
Drs. M. D. Mansoer mengatakan : Seorang penghulu adalah ninggrat jabatan, dengan hak-hak istimewa (prerogatives) yang melekat pada gelar pusaka yang dipakainya sebagai penghulu. Yang diturunkan kepada kemenakan separuik, sekaum atau sepesukuannya dan dipilih sebagai penggantiannya, ialah fungsi “ninggrat jabatan dengan hak-hak prerogatives yang inhaerent” pada jabatannya.
Sebagai penghulu ia disebut “datuk”, baik ia sebagai penghulu paruik maupun sebagai panghulu suku. Menurut adat bodi caniago seluruh penghulu sama dan sederajat kedudukannya, semua dinamakan penghulu andiko. Andiko berasal dari kata sansekerta yaitu “andika” yang berarti memerintah. Penghulu seandiko artinya setiap penghulu mempunyai wewenang dan memerintah di dalam sukunya, sampai ke dalam nagari masing-masing.
Menurut Prof. M. Nasroen, penghulu itu digadangkan makonyo gadang, sebagaimana dikatakan :
Tumbuahnyo di tanamTingginya dianjuangGadangnyo diamba
Maksudnya jabatan penghulu itu diperolah oleh seseorang karena diangkat oleh anggota kaumnya sendiri. Tingginya dianjung, besarnya dipelihara dengan pengertian sebelum dia diangkat dan memegang jabatan penghulu dia sudah besar dan tinggi juga di dalam kaumnya. Karena kelebihannya ini pilihan jatuh kepada dia atau dikatakan juga “tinggi menyentak rueh”.
Penghulu sebagai pemimpin haruslah baalam leba, badado lapang, dengan pengertian haruslah berjiwa besar dan berpandangan luas dalam menyelesaikan suatu masalah haruslah punya prinsip ” tak ada kusuik nan indak salasai, karuah nan indak kajaniah “. Dalam mencari penyelesaian harus bijaksana dan di umpamakan seperti menarik rambut dalam tepung ” tapuang indak taserak, rambuik indak putuih “.
Seorang penghulu diibaratkan ” aie janiah, sayak nan landai, bak kayu di tangah padang, ureknyo tampek baselo, batangnya tampak basanda, dahannya tampek bagantuang, buahnya ka dimakan, daunnyo tampek balinduang “, (air yang jenih sayak yang landai, seperti kayu di tengah padang, uratnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, buahnya untuk dimakan, daunnya tempat berlindung).
Kesimpulan yang dapat diambil, bahwa penghulu sebagai pemimpin, kedudukan dan peranannya sangat besar sekali di tengah-tengah masyarakat. Penghulu dikatakan juga tiang nagari, kuat penghulu maka kuat pulalah nagari dan juga dikatakan elok nagari dek panghulu, elok tapian dek rang mudo.
Dalam memimpin sukunya, penghulu suku dibantu oleh tiga orang pembantu yaitu manti, malin dan dubalang. Manti urusan administrasi, malin urusannya menyangkut bidang keagamaan, dan dubalang dikatakan urang ampek jinih. Menurut Prof. M. Nasroen tugas dari urang nan ampek jinih adalah :” penghulu itu adalah sebagai bumi, di atas mana sesuatunya berdiri. Manti adalah sebagai angin yang menyampaikan sesuatunya, malin adalah ibarat air yang menghanyutkan yang kotor. Dubalang adalah sebagai api yang membakar segala kejahatan dan bertindak dengan keras “.
Tiap jenis berperanan menurut bidang masing-masing, seperti dikatakan penghulu taguah di adat, manti taguah di buek, malin taguah di agamo, dubalang taguah di nagari, kato pangulu manyalasai, kato manti kato panghubuang, kato malin kato hakikat, kato dubalang kato mandareh.
Syarat-syarat menjadi penghulu
Karena seorang penghulu adalah sebagai pemimpin dalam masyarakat, mulai dari tingkat kaum, suku dan nagari, maka ketentuan untuk menjadi seorang penghulu telah digariskan oleh adat sebagai berikut:
Laki-laki
Baik zatnya maksudnya berasal dari orang keturunan yang baik-baik.
Kaya dalam arti kaya akal, budi dan pengetahuan dalam bidang adat.
Baligh berakal maksudnya dewasa dan berpendirian teguh serta tegas dalam tiap-tiap tindakan.
Adil, maksudnya menempatkan sesuatu pada tempatnya, dikatakan manganti samo barek, tibo dimato indak dipiciangkan, tibo diparuik indak dikampihkan (menimbang sama berat, tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan).
Arif bijaksana artinya mempunyai perasaan halus, paham akan yang tersirat, pikiran tajam dan cendikia, menurut petatah adat:
tahu di bayang kato sampaitahu di ranggeh ka malintiangtahu di tunggua ka manaruangtakilek ikan dalam aialah tantu jantan batinonyokilek baliuang alah ka kakikilek camin alah ka muko
Siddiq, maksudnya benar penghulu itu, tiadalah akan merobah dia akan suatu kebenaran.
Tabligh maksudnya menyampaikan sesuatu yang baik kepada umum.
Amanah maksudnya dipercaya, tiadalah merobahi penghulu itu akan suatu kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Fatanah, maksudnya seorang penghulu haruslah cerdik cendikia dan tiadalah dia dungu dan bebal.
Pemurah artinya pemurah pada nasehat, murah pada melarang mudharat.
Tulus dan sabar artinya beralam luas berpadang lapang.
Prosedur pengangkatan penghuluSeseorang itu diangkat menjadi penghulu memakai gelar pusaka kaumnya yang telah diwariskan secara turun temurun merupakan hasil mufakat kaum. Musyawarah serta mufakat anggota kaum merupakan hasil yang prinsip, sebab kalau tidak demikian maka kebesaran kaum tersebut akan tetap terbenam, atau dilipat. Seringkali terjadi hal yang demikian, karena tiak ada kesatuan pendapat terutama anggota-anggota keluarga dalam jurai-jurai pada kaum tersebut.
Hal ni sangat merugikan kaum tersebut. Patah tumbuh hilang berganti merupakan isyarat kepada orang minangkabau agar yang patah cepat ditumbuhkan, yang hilang itu cepat dicarikan gantinya.
Bila sudah diperdapat kebulatan suara anggota kaum, maka dibawalah hasil kesepakatan kaum ini ke kerapatan ninik mamak yang sesuku. Seandainya ninik mamak yang sesuku telah menyepakatinya pula maka dibawa ke sidang kerapatan nagari, yang juru bicaranya datuk sesuku dari kaum tadi. Kerapatan nagari sifatnya menerima apa yang telah disepakati calon penghulu yang diajukan oleh kaum dan sukunya. Kerapatan nagari harus mengetahui semua calon penghulu baru ini nantinya akan dibawa sehilir semudik dalam urusan nagarinya, sebab penghulu baru ini nantinya akan dibawa sehilir semudik dalam urusan nagari. Prosedur pengangkatan penghulu tiap-tiap nagari bisa saja berbeda sesuai dengan adat salingka nagari, harato salingla kaum, namun prosedur berjenjang naik sampai ketingkat nagari tidak bisa diabaikan karena adat mengatakan maangkek panghulu sakato nagari, maangkek rajo sakato alam.
Malewakan penghuluMalewakan penghlu maksudnya menyampaikan kepada masyarakat ramai mengenai diri seorang yang memakai gelar kebesaran kaumnya. Untuk itu diadakan alek penghulu. Acara pengangkatan penghulu dan peresmiannya merupakan acara adat terbesar di minangkabau. Besarnya acara ini tergantung pada kemampuan keluarga kaum yang mengadakan acara tersebut. Pada helat upacara pengangkatan penghulu ini disembelih kerbau. Anak nagari dan penghulu-penghulu dalam nagari diundang pada hari peresmian ini. Upacara peresmian ini adakalanya sampai berhari-hari dan ini tergantung kepada kemampuan kaum keluarga yang mengadakan acara tersebut.
Daging kerbau yang dimasak sebagai lauk pauk tidak memakai bumbu masakan biasa tetapi khusus masakan untuk pengangkatan penghulu. Ada yang menyebutnya gulai anyang, dan beberapa nagari ada yang menyebutnya gulai kancah, gulai sirah, gulai balado dan lain-lain, namun kesemuanya tanpa santan.
Makna tersirat dari kerbau yang disembelih ini adalah ” tanduak ditanam, dagiang dilapah, kuah dikacau “. Tanduk ditanam punya makna agar penghulu yang diangkat ini membuang sifat-sifat yang buruk yang mungkin melukai orang lain. Daging dilapah maknanya sari daging dimakan dan tulangnya dibuang. Hal ini berarti, bahwa dalam diri seseorang penghlu harus ada sifat-sifat yang baik dan membuang sifat-sifat yang buruk. Kuah dikacau mengibaratkan agar penghulu itu pandai mempergunakan sesuatunya menurut sifat dan keadaannya. Gulai kerbau yang dimasak tidak pakai santan mengibaratkan, indak lamak karano santan, indak kuniang karano kunik, artinya seorang penghulu itu kebesarannya bukan lantaran orang lain, melainkan besarnya itu lantaran dari dirinya sendiri.
Jenis pengangkatan penghulujenis pengangkatan penghulu ini timbul, karena adanya perbedaan pelaksanaan, cara memperoleh dari siapa dan oleh siapa kesemuanya ini melahirkan jenis-jenis pengangkatan penghulu.
Beberapa jenis pengangkatan penghluu yang telah dikumpulkan, adalah sebagai berikut :
Mati batungkek budi mati bertongkat budi, maksudnya bila seseorang penghulu meninggal dunia, maka pada hari itu juga dicarikan gantinya. Setelah pemakaman dilewakan di makam tersebut siapa yang akan menggantikan penghulu yang meninggal tersebut. Cara seperti ini juga diaktakan melewakan di tanah tasirah. Syaratnya sekata kaum, dan disetujui oleh penghulu-penghulu suku dan nagari.
Hiduk bakarilahan ada ketentuan dalam adat, bahwa gelar pusaka itu dapat digantikan atau diserahkan kepada kemenakan selagi penghulu tersebut masih hidup. Hal ini bisa terjadi bila penghulu itu sudah tua sehingga tidak dapat lagi menjalankan tugasnya. Dalam adat dikatakan “kok lurahlah dalam, bukiklah tinggi, jalan tak tatampuah, alek tak taturuik”dalam pelaksananaanya harus menurut prosedur yang berlaku dan adat setempat, jadi bukan selesai pada kaum saja. Pengangkatan penghulu hidup berkelirahan hanya terdapat dalam sistem adat bodi chaniago, sedangkan pada adat koto piliang pengganti penghlu bisa dilakukan bila seseorang penghulu itu sudah meninggal dunia “samati kuciang, sahilang ngeong”.
Gadang menyimpang hal ini dapat terjadi bila jumlah anggota keluarga dalam sebuah kaum sudah sedemikian besarnya. Untuk kelancaran urusan anak kemenakan, maka diangkat seorang penghulu yang gelarnya hampir serupa dengan gelar yang asli, jika gelar pusakanya datuk bandaro, maka gelar yang baru datuk bandaro kayo. Kedudukan kedua datuk ini semula tidak sama, karena yang baru diangkat ini khusus dalam urusan dalam kaumnya sendiri, sedangkan urusan ke luar tetap datuk yang pertama. Namun lama kelamaan mereka semakin menggalang kebersamaan dan pada akhirnya mereka “duduk sama rendah, tegak sam tinggi”.
Mangguntiang siba baju bila anak kemenakan yang asalnya inggok mancakam, tabang manumpu telah berkembang dan sudah mungkin mengatur kaumnya sendiri, maka kaumnya dapat diberi gelar pusaka suku oleh kaum yang menjadi tepatannya. Pengangkatan dan pemberian gelar ini bila gelar pusaka di tempat asalnya tidak diketahui lagi, dan sepakat kaum yang ditepati, suku dan nagari. Namun prosedur sepanjang adat tetap berlaku.
Pantangan (larangan) penghulu,
penghulu sebagai pemangku adat nan didahulukan salangkah, nan ditinggikan sarantiang mempunyai pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukannya sebagai penghlulu. Pantangan ini gunanya untuk menjaga martabat dan wibawa penghulu itu di tengah-tengah anak kemenakan.Pantangan-pantangan penghulu tersebut adalah sebagai berikut :
Marah, penghulu harus bersifat sabar, sebab dalam kehidupan sehari-hari anak kemenakan banyak tingkahnya yang tidak sesuai dengan ajararan adat dan moral. Dalam menghadapi hal-hal yang tidak baik ini, seorang penghulu harus bijaksana dan pandai membawakan diri, seperti dikatakan juga harimau dalam paruik, kabiang juo nan dikaluakan (harimau dalam perut, kambing juga yang dikeluarkan). Seorang penghulu harus menjauhi sifat-sifat yang suka menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan sifat-sifat yang suka menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan baju untuk menentang seseorang berkelahi. Biasanya seorang penghulu yang bijaksana kalau ada hal-hal yang membuatnya marah akan menyerahkan perseolannya pada dubalang.
Berlari-lari, walaupun bagaimana terburu-burunya seorang penghulu karena sesuatu hal, baginya terlarang untuk berlari-lari, apalagi berlari kencang. Berlari-lari membuat dirinya seperti kanak-kanak. Seorang penghulu dapat menyuruh anak kemenakannya kalau ada yang perlu untuk dituruti dengan segera.
Menjinjing dan membawa beban, menjinjing dan memikul beban tidak pada tempatnya bagi seorang penghulu. Kalau ini terjadi akan hilang wibawa penghulu tersebut karena dia mempunyai anak kemenakan ayang dapat membantunya.
Memanjat-manjat, pantangan bagi seorang penghulu memanjat pohon, apalagi pohon kelapa, wibawanya akan hilang apabila hal ini dia lakukan.
Hak dan kewajiban penghulu sebagai seorang penghulu tidaklah hanya dibebani dengan kewajiban-kewajiban saja, tetapi juga mempunyai hak di tengah-tengah suku dan nagarinya.Hak penghulu tersebut adalah sebagai berikut:
Memutuskan sesuatu permasalahan secara tegas dan tepat. Di tengah-tengah kaumnya seorang penghulu berhak untuk mengambil suatu keputusan yang tegas dan tepat mengenai sesuatu permasalahan, tetapi tidak ditinggalkan unsur-unsur musyawarah dengan seluruh anggota kaum. Dia tidak ragu-ragu bertindak dan mengatur sesuatu yang bertujuan baik untuk kepentingan kaum. Seorang penghulu tidak membeo saja apa yang diingini oleh anggota kaumnya. Kelebihannya sebagai seorang pemimpin harus ditunjunkkannya dalam sikap dan tindakannya.
Memperoleh sawah kagadangan. Karena tugas penghulu tersebut cukup sibuk, baik urusan kedalam maupun keluar yang menyangkut dengan kaumny, sudah jelas dia tidak mempunyai waktu lagi untuk mencari nafkah, maka penghulu mempunyai hak untuk mendapatkan sawah kagadangan (sawah kebesaran) milik kaumnya. Hasil sawah kagadangan ini diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menetapkan hak dan kewajiban kemenakan. Dalam kerapatan suku dan nagari seorang penghulu mempunyai hak suara untuk menyampaikan sesuatu berupa usul dan pendapat demi kepentingan suku, nagari dan anak kemenakan pada umumnya. Seseorang penghulu secara mufakat dan bersama-sama pada tingkat nagari, untuk menetapkan atau memutuskan sesuatu yang akan diberlakukan pada anak kemenakannya.
Memperoleh hasil ulayat. Penghulu pada suku dan nagari juga mempunyai hak untuk mendapatkan hasil dari ulayat suku dan nagari, seagaimana diaktakan : karimbo babungo kayu, kasawah babungo ampieng, kalauik babungo karang (kerimba berbunga kayu, kesawah berbunga emping, kelaut berbunga karang).
Disamping hak, penghulu mempunyai pula kewajiban-kewajiban yang telah digariskan oleh adat. Ada empat kewajiban yang dimiliki oleh penghulu dalam memimpin anak kemenakan. Keempat kewajiban itu adalah sebagai berikut:
Menuruik alue nan lurus (menurut alur yang lurus), yang dikatakan menurut alur yang lurus, yaitu tiap-tiap sesuatu yang akan dilaksanakan oleh penghulu hendaklah menurut garis-garis kebenaran yang telah digariskan oleh adat. Penghulu berkewajiban untuk tidak menyimpang dari kebenaran tersebut dan kebenaran itu dapat dibuktikannya, seperti ungkapan adat mengatakan “luruih manahan tiliak, balabeh manahan cubo, ameh batuah manahan uji”. Alur yang lurus ini dapat pula dibedakan atas dua bahagian, yaitu alur adat dan alur pusaka. Alur adat yaitu peraturan-peraturan di dalam adat minangkabau yang asalnya peraturan tersebut disusun dengan kata mufakat oleh penghulu-penghulu atau ninik mamak dalam satu nagari. Sedangkan alur pusaka artinya semua peraturan-peraturan yang telah ada dan diterima dari nenek moyang dt. Ketumanggungan dan dt. Perpatih nan sabatang. Alur pusaka ini di dalam adat dikatakan “hutang babaia, piutang batarimo. Salah batimbang, mati bakubua”.
Manampuah jalan nan pasa (menempuh jalan yang pasar), yang dikatakan manampuah jalan nan pasa yaitu peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Seorang penghulu hendaklah meletakkan atau melaksanakan apa yang telah digariskan oleh adat dan tidak boleh menyimpang dari yang telah digariskan adat, yaitu balimbago, bacupak, dan bagantang (berlembaga, bercupak, dan bergantang).
Mamaliharo harato jo pusako (memelihara harta pusaka), penghulu berkewajiban harta pusaka, seperti dikatakan warih dijawek, pusako ditolong. Harta pusaka merupakan kawasan tempat anak kemenakan berketurunan mencari kehidupan, tempat beribadah dan berkubur. Harta pusaka yang dipelihara seperti pandam perkuburan, sawah ladang, labuh tapian, korong dengan kampung, rumah tangga, balai dan mesjid. Harta pusaka yang berupa adat istiadat yang telah diwarisi turun-temurun dari nenek moyang juga dipelihara dan ditolong untuk dilanjutkan pada generasi selanjutnya.
Mamaliharo anak kemenakan (memelihara anak dan kemenakan). Penghulu berkewajiban memelihara anak kemenakan “siang mancaliak-caliakkan, malam mandanga-dangakan, barubah basapo, batuka baanjak, hilang bacari, luluih basalami”
Dalam hal-hal yang umum penghulu juga mempunyai kewajiban yang sama terhadap anak-kemenakan penghulu lainnya, jika mereka bersalah perlu di tegur dengan batas-batas tertentu adanya.
Tambo Minangkabau
Alam MinangkabauDitulis oleh Ibrahim Dt. Sangguno Dirajo
Dewasa ini sangat minim sekali informasi mengenai adat yang kita dapati, seringkali kita mendengar Tambo alam Minangkabau, tapi kita tidak seperti apa isi tambo itu sebenaAmrnya. Begitu juga dengan adat Minangkabau seperti apa adat tersebut. Mulai dari tulisan ini kami dari admin akan memuat tulisan dari Ibrahim Dt. Sangguno Dirajo dalam bukunya Curaian Adat Minangkabau. Serta ucapan terimakasih kepada penerbit Kristal Multimedia Bukittinggi yang telah berkenan memberi ijin untuk menyadur isi buku tersebut.Sedikit tentang penulis Ibrahim dilahirkan di sungayang Sumatera Barat pada tahun 1858. Pendidikan dimulai di Sekolah Government di Batusangkar, tamat tahun 1868. Pada tahun 1870 beliau menjadi juru tulis Tuanku Titah di Sungai Tarab. Tuangku ini ahli dibidang adat Minangkabau. Maka saat itu beliau tertarik dan memperdalam pengetahuan dibidang Adat Minangkabau sehingga beliau diangkat menjadi Penghulu Andiko pada tahun 1913 dengan gelar datuak Sangguno Dirajo.
I. Pulau AndalasMenurut bunyi Tambo Alam Minangkabau, adapun orang yang pertama datang mendiami pulau andalas adalah ninik kita Sri Maharaja Diraja namanya. Beliau datang datang kemari dari tanah besar Voor Indie, tanah Rum kata orang tua tua, dan beliau kesini bersama dengan ke enambelas orang laki laki perempuan dari kasta Cateri. Selain itu dibawanya juga Kucing Hitam, Harimau Campo, Kambing Hutan dan Anjing Muk Alam.Dikatakan Kucing Hitam, Harimau Campo dan lain lainnya itu, sekali kali bukanlah bangsa binatang, tetapi manusia biasa juga. Mereka dijuluki dengan nama nama seperti itu sesuai dengan tingkah laku dan perangai mereka. Semuanya perempuan dan dipelihara oleh ninik Maharaja diraja seperti memelihara anaknya sendiri.Ninik Sri Maharaja Diraja berlayar dari tanah besar itu dengan sebuah perahu kayu jati. Mula mula mereka berlayar melalui pulau Jawa yang saat itu belum terlihat tanah pulau Jawa itu. Yang tampak hanya puncak gunung Serang dan dipulau itu perahu beliau tertumpuk batu karang sehingga mengalami kerusakan dan tidak bisamelanjutkan perjalanan. Pada saat itu menitahlah ninik Sri Maharaja Diraja kepada mereka yang berada diatas kapal itu “Barangsiapa yang dapat memperbaiki kapal ini seperti sediakala, akan hamba ambil sebagai menantu”Mendengar titah itu beb erapa cerdik pandai segera berunding, mencari akal agar dapat memperbaiki perahu itu. Maka dengan karunia Allah, maka lima orang tukang segera bekerja dan kapal itu dapat diperbaiki kembali. Sri Maharaja merasa senang dan suka hati serta memuji kepandaian para tukang tersebut.Kemudian perjalanan dilanjutkan sampai pada suatu kektika mereka melihat sebuah gosong tersembunyi di dalam laut. Tergilang gilang kelihatan dari jauh kira kira sebesar telur ayam, hilang timbuldilamun ombak.Setelah sampai disitu kiranya ada tanah lebar dengan datarannya, berlabuhlah ninik Sri Maharaja Diraja diatas gosong itu. Gosong itu adalah puncak gunung merapi yang sekarang ini. Disanalah berdiam ninik Sri Maharaja Diraja bersama dengan para pengikutnya. Itulah ninik kita yang mula mula mendiami pulau Andalas ini, hingga menjadi juga oleh yang tua tua dengan memakai pantun ibarat :
Dimana mulanya terbti pelitaDibalik tanglun nan berapiDimana mulanya ninik kitaIalah di puncak gunung Merapi
Kata orang yang menceritakan, takkala ninik Sri Maharaja Diraja berada di puncak gunung Merapi itu beliau berdo’ a supaya disusutkan air laut.Dengan karunia Tuhan air laut semakin hari semakin susut juga dan bertambah lebar tanah daratan sehingga nyatalah tempat tempat itu adanya diatas gunung yang sangat besar.Kata sahibulhikayat, takkala beliau masih berdiam dipuncak gunung itu, dengan takdir Tuhan orang orang yang bernama Kucing hitam, Harimau campo, Kambing hutan dan Anjing Muk Alam masing masing melahirkan seorang anak perempuan. Begitu pula istri Ninik Sri Maharaja Diraja melahirkan seorang anak perempuan pula. Sekalian semua anak itu dipelihara oleh ninik Sri Maharaja Diraja dengan kasih sayang yang tiada dibedakan. Kemudian kelak setelah anak anak itu besar, mereka dinikahkan dengan 5 tukang yang memperbaiki kapal tadi.
II. Galundi Nan Bersela dan Guguk AmpangSetelah beberapa lama mereka berdiam dipuncak gunung itu, air laut sudah berangsur susut juga dan bertambah besar juga tanah daratan, maka sekalian orang itu berpindah kesebuah lekung dipinggang gunung Merapi itu.Oleh Sri Maharaja Diraja tempat itu diberi nama Labuhan Sitembaga. Disitulah pada masa dahulu ada Sirengkak nan Berdengkang. Disitu pulauntuk pertama kalinya orang menggali sumur untuk tempat mandi dan tempat mengambil air minum, karena disekitar tidak ada air tawar, yang ada hanya air laut.Selanjutnya mereka membuat sepiring sawah bernama sawah setampang benih. Disebut setampang benih karena dengan padi yang setampang itu sudah mencukupiuntuk makan orang disaat itu, karena mereka belumbanyak. Padi itu pula menjadi asal padi yang ada sekarang. Sepanjang cerita orang tua tua.Lama kelamaan tumbuh pula Galundi nan Bersela, air laut bertambah susut juga dan daratan bertambah luas, maka Cateri Bilang Pandai mencari tanah yang lebih baik untuk mereka huni.Ditemukan sebuah guguk disebelah kanan dari Galundi nan Bersela tadi, dan sekalian orang yang berada di Galundi berpindah ke ketempat baru itu. Tempat itu diberi nama oleh ninik Sri Maharaja Diraja serta Cateri Bilang Pandai dengan nama Guguk Ampang.
III. Nagari Pariangan dan Padang PanjangTidak berapa lama antaranya, orang orang yang menetap di Guguk Ampang berpindah pula dengan membuat setumpak tanah yang datar di baruh Guguk Ampang itu.Tanah disini lebih baik daripada tanah di Ampang Gadang. Mereka pun berbondong bondong membuat tempat tinggal ditempat yang baru ini dan oleh ninik Sri Maharaja Diraja beserta Cateri Bilang Pandai tempat ini diberi nama Perhurungan. Guguk Ampang tadi pada saat ini bernama kampung Guguk Atas. Lama kelamaan orangpun bertambah kembang juga, dan kampung Perhurungan bertambah maju. Orang semakin hari semakin riang pula.Atas prakasa ninik Sri Maharaja Diraja beserta cerdik pandai masa itu, dibuat semacam permainan anak negeri seperti Pencak Silat, Tari Payung dan bermacam peralatan untuk gung dan talempong, gendang, serunai rabab, kecapi dan lain lain sehingga menjadikan orang bertambah riang juga disetiap waktu.Suasana masyarakat yang selalu dalam keadaan riang itu, menimbulkan keinginan dari ninik Sri Maharaja Diraja dan Cateri Bilang Pandai untuk menganti nama kampung menjadi Pariangan.Kemudian karena bertambah kembang juga, seorang hulubalang ninik Sri Maharaja Diraja pergi membuat tempat tinggal dekat sebuah batu besar disuatu tanah disebelah kanan pariangan. Karena tempat itu baik pula, berdatangan orang pariangan membuat tempat tinggal disitu.Lama kelamaan tempat itu menjadi sebuah kampung yang ramai pula. Oleh Cateri Bilang Pandai kampung itu diberi nama Padang Panjang. Sebab yang pertama sekali menemukan daerah itu adalah hulubalang yang menyandang gelar Pedang nan Panjang. Kampung Pariangan dan Padang Panjang semakin hari semakin ramai, dan kedua kampung ini dibawah hukum ninik Sri Maharaja Diraja.Pada suatu hari bermusyawarahlah segala isi kampung Pariangan dan Padang Panjang untuk mendirikan sebuah Balairung tempat raja duduk menghukum (memerintah) beserta orang besar lainnya Datuk Suri Diraja, Cateri Bilang Pandai yang bernama Indra Jati. Balairung itu didirikan didalam kampung Pariangan, dihiasi dengan lapik lalang.Ruangan hanya sebuah saja sehingga sampai saat ini disebut orang Balai Saruang. Disitulah tempat ninik Sri Maharaja Diraja dan orang orang besarnya menghukumwaktu itu.
IV. Penghulu PertamaLama pula antaranya orangpun bertambah ramai pula. Pada suatu hari bermusyawarah pula ninik Sri Maharaja Diraja dengan Datuk Suri Diraja dan Cateri Bilang Pandai, serta segala orang banyak dari kampung Pariangan dan Padang Panjang di Balai Saruang tadi.Musyawarah itu adalah untuk memilih orang yang akan menjadi yang memerintah dan menghukum dibawah raja.Adapun orang yang akan ditanam jadi ketua adalah orang yang akan menjadi penghulu orang banyak itu, dengan fungsi antara lain :
Kusuk yang akan menyelesaikanKeruh yang akan menjernihkanSesat yang akan menghimbauTerluncur yang akan menghelakan
Itulah orang yang akan memimpin orang banyak, dibawah ninik Sri Maharaja Diraja.Didalam permusyawaratan itu dicapai kata sepakat yakni akan menanam dua orang ketua, seorang di Pariangan dan seorang di Padang Panjang. Hasil kesepakatan itu dikembalikanke kepada ninik Sri Maharaja diraja dan beliau menyetujui.Pada kesempatan itu Datuk Suri Diraja bertitah “Berbahagialah kamu sekalian, telah sama sama sepakat untuk menanam dua orang ketua yang akan menjadi penghulu oleh kamu sekalian. Apa nama pangilan dan apa nama pangkatnya bagi keduanya ?”Mendengar titah Datuk Suri Diraja itu, tidak ada yang dapat menjawab sebab belum ada kata mupakat tentang itu. Sekalian orang banyak itu memohon kepada ninik Sri Maharaja Diraja untuk kembali bermusyawarah untuk menetapkan apa nama panggilan dan pangkat bagi keduanya tadi.Tetapi setelah beberapa saat lamanya mereka duduk timbang menimbang, hasilnya nihil sama sekali. Akhirnya sekalian orang banyak itu memulangkan kata kepada ninik Sri Maharaja Diraja.“Telah puas kami bersama sama mencari nama pangkat dan nama pangilan bagi ketua kami, namun tidak dapat oleh kami, melainkan sebuah kata ketua saja. Oleh sebab itu kami serahkan saja kepada Tuanku semua, apa yang baik bagi Tuanku, kami akan menurut saja.”Setelah itu bertitahlah ninik Sri Maharaja Diraja kepada sekalian orang banyak itu : “Adapun orang akan kita jadikan ketua itu tentulah akan dipilih dari kita yang hadir disini, yaitu orang yang lebih pandai dan baik tingkah lakunya. Sebab orang itu, pergi tempat kita bertanya, pulang tempat kita beberita. Orang itulah yang akan memelihara buruk baiknya kita sekalian, tempat kita mengadukan segala hal yang baik dan buruk.Orang itu yang akan menimbang mudharat danmanfaat diatas kita sekalian serta menghukum barang sesuatunya buruk dan baik.Oleh sebab itu sepanjang pendapat hamba, patutlah kita muliakan benar orang itu dengan semulia mulianya daripada kita yang banyak ini. Kita tuakan orang itu dengan kata mupakat bersama dan tuanya kita samakan dengan orangtua ninik mamak kita yaitu ‘datuk’ namanya. Dengan demikian kepadanya kita panggil Datuk meskipun umurnya lebih muda daripada kita.Kita wajib menghormatinya, apa titahnya kita junjung, apa perintahnya kita turut, agar sentosa kita dari marabahaya selama hidup didunia ini. Jikalau kita tidak bertindak dan tiada turut menurut, niscaya tiadalah kita mendapat keselamatan”Mendengar penitahan ninik Sri Maharaja Diraja itu, senanglah hati sekalian orang banyak itu. Panggilan Datuk sampai sekarang tidak berubah. Itulah asal mulanya maka segala penghulu itu dipanggil Datuk dan disebut orang juga ninik mamak, ninik daripada mamaknya orang banyak. Setelah putus kata mupakat, diadakan helat jamu di kampung Pariangan dan Padang Panjang.Pada masa itu ditetapkan kedua penghulu tadi seorang di Pariangan bergelar Datuk Bandaharo Kayo dan seorang lagi di Padang Panjang bergelar Datuk Maharaja Besar. Itulah penghulu pertama yang ada dipulau andalas ini, yang disebut juga pulau Perca.Adapun Datuk Suri Diraja bukanlah penghulu yang diangkat orang, beliau diberi nama seperti itu hanya karena beliau berkarib dengan raja. Beliau dipanggil datuk karena tuanya saja, dan lagi beliau adalah orang cerdik pandai, lubuk akal lautan budi, tempat orang berguru dan bertanya pada waktu itu di Pariangan Padang Panjang, serta menjadi guru oleh ninik Sri Maharaja Diraja.Dengan bertambah ramainya orang di Pariangan dan Padang Panjang, oleh ninik Sri Maharaja Diraja dengan mupakat segala isi kampung diberi nama Nagari Parangan Padang Panjang. Sampai saat ini nama itu tidak pernah dirubah orang dan itulah nagari tertua di pulau Andalas ini.Dari pernikahan ninik Sri Maharaja Diraja dengan adik datuk Suri Diraja yang bernama Tuan Putri Indah Jalia, lahirlah seorang yang bernama Sutan Paduka Besar.
V. Sungai Tarab Nagari TuaSeiring dengan perkembangan waktu, masyarakat di Nagari Pariangan bertambah ramai juga, sedang nagari itu tidak begitu luas sehingga sudah penuh sesak oleh orang banyak. Maka bermusyawarahlah ninik Sri Maharaja Diraja dengan segala orang besarnya untuk memindahkan sebagian orang kedaerah baru.Setelah bulat mupakat, mendakilah ninik Sri Maharaja Diraja ke puncak gunung merapi hendak melihat dimana tanah yang baik dan subur akan tempat memindahkan orang orang itu. Setibanya beliau dipuncak gunung merapi, memandanglah beliau kesegala arah. Pandang jauh dilayangkan pandangan dekat di tukikkan.Kelihatan oleh beliau setumpuk tanah tanah gosong yang ditumbuhi rimba di baruh gunung kearah selatan yang kelihatannya tanahnya berpasir. Gosong gosong itu adalah puncak puncak bukit yang tersembur dari permukaan laut waktu itu.Setelah itu beliau kembali turun, dan bersama sama dengan Cateri Bilang Pandai beliau pergi melihat tanah itudengan berlayar. Pelayaran beliau itu hanya menepi gunung merapi saja dan akhirnya beliau sampai ditepi pantai, lalu berlabuh dan langsung memeriksa tanah tadi.Didapati oleh beliau tanah itu lebih luas dari Pariangan Padang Panjang dan nampaknya lebih baik dan lebuh subur.Disebelah mudik tanah itu ada pula sebidang padang pasi yang amat luas yang sangat baik untuk tempat orang bermain dan bergembira.Setelah ada keyakinan bagi ninik Sri Maharaja Diraja dan Cateri Bilang Pandai, lalu keduanya kembali ke Pariangan Padang Panjang untuk menjeput orang orang yang akan mendiami tempat tersebut.Beliau membawa tujuh karib bai’id beliau laki laki dan perempuan, begitupun Cateri bilang pandai membawa pula enam belas orang, yaitu delapan pasang suami istri.Setelah mereka tiba ditanah tadi, mereka mulai membuka ladang, berladang mencencang melateh, membuat teratak ditempat itu. Lama kelamaan teratak menjadi sebuah dusun bernama dusun Gantang Tolan dan dusun Binuang Sati.Kemudian dusun itu bertambah lama bertambah ramai pula. Maka dibuat orang pula dipinggir dusun itu sebuah koto tempat berkampung, berumah tangga. Dari koto itulah orang orang berulang ulang keladangnya yang didusun tadi.Semakin lama didalam koto tadi orang semakin bertambah ramai juga, lalu koto itupun dijadikan nagari, diberi nama nagari Bunga Setangkai. Kenapa bunga setangkai, sebab sewaktu ninik Sri Maharaja Diraja sampai disitu beliau mendapatkan setangkai bunga yang sangat harum baunya, dan dibawah bunga itu ada pula sebuah batu luas dan datar. Panjangnya tujuh tapak ninik Sri Maharaja Diraja, batu itu diberi nama oleh beliau “Batu Tujuh Tapak” Sampai sekarang batu itu masih ada didalam nagari Bunga Setangkai.Adapun padang pasir yang di mudik nagari Bunga Setangkai, lama-kelamaan ditumbuhi oleh kayu-kayuan, sehingga kemudian menjadi rimba yang berkampung kampung. Pada akhirnya daerah itu menjadi koto, lalu menjadi nangari yang diberi nama Pasia Laweh, takluk kepada nagari Bunga Setangkai.Didalam nagari Bunga Setangkai dibuat orang sebuah balairung tempat ninik Sri Maharaja Diraja dan Cateri Bilang Pandai menghukum. Dekat balairung itulah ninik Sri Maharaja Diraja membuat istana tempatdiam.Kemudian keluarlah sebuah mata air dibawah sebuah pohon yang bernama tarab dihalaman istana ninik Sri Maharaja Diraja. Air yang keluar sangat jernih dansejuk serta besar sehingga menjadi suatu anak sungai, oleh sebab itu Cateri Bilang Pandai memberi nama Sungai Tarab.Karena Sungai itu sangat termasyhur nama Bunga Setangkai dilupakan orang sehingga nagari itu berubah nama jadi nagari Sungai Tarab.Didalam nagari Sungai Tarab ditanam orang delapan orang penghulu yang diambil dari dalam kaum orang yang delapan pasang, yang mula mula mencencang melateh nagari tersebut. Penghulu yang delapan itu memerintah orang dalam nagari Sungai Tarab dan menguasai masing masing kaumnya. Penhulu itu bernama “Datuk nan Delapan Batur” Yakni delapan batu kedudukan dahulu.Kemudian setiap penghulu itu membuat pula sebuah balairung sehingga disebut orang pula delapan balai kedudukan Datuk Nan Delapan Batu.Delapan balai kemudian menajdi delapan suku yang terbagi atas 2 kampung. Satu kampung di mudik (Sungai Tarab) dengan lima balai dan satu lagi di hilir dengan 3 balai sehingga kampung ini disebut TigaBatur.Setelah berkoto, bernagari dan berpenghulu yang akan memelihara orang didalam Sungai Tarab, ninik Sri Maharaja diraja merasa senang sekali dan beliau beserta Cateri Bilang Pandai kembali lagi ke Pariangan Padang Panjang.Meninggalnya Ninik Sri Maharaja DirajaNinik Sri Maharaja Diraja meninggal di Pariangan Padang Panjang, yaitu beberapa lalu kemudian setelah beliau kembali dari Sungai Tarab. Sepeninggal beliau jabatan raja di pariangan Padang Panjang tidak ada karena beliau tidak mempunyai waris. Posisi beliau dijabat oleh karib beliau yang ada di Sungai Tarab. Adapun yang memerintah di Pariangan Padang Panjang sepeninggal ninik Sri Maharaja Diraja adalah Datuk Bandaharo Kayo, Datuk Maharaja Besar, Datuk Suri Diraja, Cateri Bilang Pandai dan Cateri Rino Sudah. Sedangkan yang memerintah di Sungai Tarab dipegang oleh Datuk Delapan Batur, dibantu oleh Cateri Bilang Pandai mewakili karib ninik Sri Maharaja yang belom dewasa.Tuan Putri JamilanSetelah beberapa lama ninik Sri Maharaja Diraja meninggal dunia, Tuan Putri Indah Jalia janda beliau kawin dengan Indra Jati yang bergelar Cateri Bilang Pandai.Dari perkawinan itu beliau berputra enam orang, dua orang laki laki, pertama bernama Sutan Balun dan yang kedua bernama Sikalab Dunia dan empat orang perempuan bernama: Putri Reno Sudi, Putri Reno Mandi, Putri Reno Judah dan si bungsu Puteri Jamilan. Tuan Putri Jamilan ini kawin dengan karib ninik Sri Maharaja Diraja yang menjadi raja di Sungai Tarab itu.
VI. Datuk Katumanggungan, Datuk Perpatih nan Sabatang, dan Datuk Sri Maharaja Nan Banaga Naga.Menurut bunyi Tambo Alam Minangkabau dan curaian orang tua tua, setelah dewasa anak ninik Sri Maharaja Diraja yang bernama Sutan Paduka Besar dan anak anak Cateri Bilang Pandai bernama Sutan Balun dan Sikalab Dunia, atas kesepakatan anak nagari Pariangan Padang Panjang dan anak nagari Sungai Tarab, diangkat menjadi penghulu.Sutan Paduka Besar bergelar datuak Katumanggungan, Sutan Balun bergelar Datuak Parapatiah Nan Sabatang, dan Sikalab Dunia bergelar Datuak Sri Maharaja nan Banaga naga.Beliau beliau itulah penghulu ninik kita, yang sangat cerdik pandai, lubuk akal lautan budi, lagi keramat ketiganya. Meliau bertiga menata adat lembaga untuk kita orang Alam Minangkabau.Kata ahli adat, setelah Sutan Balun diangkat jadi penghulu, beliau pergi berlayar keluar Pariangan Padang Panjang, hendak pergi tamasya ke pulau Langgapuri(Serindip Cylon).Dalam perjalanan kembali pulang, ditengah lautan beliau mendapat sebatang kayu yang berisi lengkap didalamnya segala perkakas untuk pertukangan seperti kapak, lading, pahat dan perpatih. Oleh sebab itu dia digelari Datuk Perpatih Nan sabatang Kayu, kemudian ditetapkan dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang saja.Adapun kayu yang berisi alat perkakas ditemukannya itu berasal dari peninggalan nabi Nuh. Perkakas itu diletakkan orang dalam lobang sebuah pohon kayu dan hanyut ke laut.Dengan karunia Allah kayu itulah yang didapatkan oleh Datuk Parapatiah Nan Sabatang. Benar atau tidaknya cerita ini wallahu ‘alam.Diceritakan kembali, sesudah ninik yang bertigaitu diangkat orang jadi penghulu, semenjak itulah beliau berusaha mencari ikhtiar memperbaiki nagari dan memperluas jajahan di tanah Alam Minangkabau serta berusaha membuat bermacam macam aturan adat lembaga yang akan dipakai orang didalam Nagari yang telah beliau dirikan itu, untuk penjaga kesentosaan dan keselamatan orang yang berada didalam nangari.Adat lembaga yang beliau tinggalkan menjadi pegangan bagi masyarakat Minangkabau sampai sekarang, adat lembaga itu amat baik dan sempurna aturannya, tidak dapat disanggah oleh jauhari pun, mempunyai akal budi yang sempurna. Bila ada orang yang merubah atau merusak warisan beliau itu, tak dapat tidak pastilah mendatangkan kesusahan dan kerugian besar bagi dirinya serta bagi segala orang di dalam nagari sampai kepada anak cucunya.
VII. Nagari Limo KaumKata ahli adat, pada suatu ketika ninik Parapatiah nan Sabatang bersama lima pasang suami istri berlayar keluar dari nagari Pariangan Padang Panjang menuju tanah lapang yang ditumbuhi rimba berkampung kampung. Di situ kelima pasang tadi mencencang melateh membuat ladang dan dusun tua. Disitu ninik Parapatiah Nan Sabatang membuat rumah dibawah kayu bodi nago taram, kemudian dibuatnya pula sebuah balai di dusun tua itu yang berparit dan berpagar batu.Sebab itu balai tadi dinamakan balai batu, lalu dibuat pula sebuah kubu dibaruh dusun tua tadi, yang dinamai kubu raja.Lama kelamaan berkembang pula orang yang lima pasang tadi. Karena orang sudah ramai dibuat pula lima buah kampung seedaran dusun tadi, yang bernama kampung Balai Batu, Kampung Kubu Rajo, Kampung Belah Labuh, Kampung Dusun Tua(Kota Gadis) dan Kampung Kampai (Piliang). Kelima kampung ini akhirnya dinamakan Kampung Lima Kaum.Kemudian menyusul pula dua belas pasang suami istri dari Pariangan Padang Panjang yang dipimpin oleh seorang Penghulu yang bergelar Datuk Tan Tejo Maharaja Nan Gadang. Penghulung badanya besar dan panjang kira kira sepuluh hasta panjangnya.Sampai sekarang masih ada kubur beliau di kampung Pariangan, yang dikenal juga dengan kubur Datuk Tan Tejo Gurahana.Mereka sampai di nagari yang bernama Jambu sekarang ini dan tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke nagari Limo Kaum karena tidak ada jalan kesana. Lalu berkata Datuk Tan Tejo kepada orang yang dibawanya itu, katanya : “Kaniaklah (Kemarilah) kita berbalik” lalu surutlah mereka kembali sampai kesebuah dusun yang mereka beri nama Keniak.Rupanya yang dimaksud dengan “ka niak” oleh datuk Tan Tejo tadi adalah kampung tabek sekarang ini. Disitu mereka berladang dan membuat taratak. Datuk Tan Tejo membuat sebuat tebat besar, lalu dibuat orang pula setumpak sawah dekat tebatnya itu dan di mudik sawah itu dibuat pula sebuah taratak, lama kelamaan taratak menjadi dusun dan dusun menjadi kampung pula, yang bernama kampung sawah tanah. Akhirnya kedua belas pasang itu terbagi dua. Sebagian tinggal bersama beliau dikampung Tebat dan sebagian lagi menetao dikampung Sawah Tangah.Lama kelamaan berkembang pula orang dikampung Tabek dan kampungSawah Tangah itu. Datuk Tan Tejo mendirikan sebuah balai dikampung Tabek yang tonggaknya dari teras jilatang dan parannya dari akar lundang, sedang tabudnya dibuat dari batang pulut pulut, yang digetang dengan jangat tuma dan gendangnya dari padang seliguri.Itulah keganjilan yang dibuat oleh Datuk Tan Tejo Maharaja Nan Gadang. Sampai kini tonggak jilatang dan gendang saliguri masih ada dikampung Tabek dan kampung Sawah Tangah. Selanjutnya karena telah berkembang kampung Tabek dan kampung Sawah Tangah dijadikan orang menjadi sebuah nagari yang bernama Nagari Tabek Sawah Tangah.Oleh karena Nagari Tabek Sawah Tangah itu menjadi ramai dan sesak pula, mamak pecahan orang orang yang dua belas tadi pergi berladang merambah rimba kecil di kepala dusun tua tempat ninik Parapatiah Nan Sabatang tadi, tempat itu dinamai orang Parambahan.Dari parambahan itu dibuat sebuah labuh arah ke kubu raja, tetapi mereka tidak berhasil karena karena terlalu susah, jalan mendaki dan menurun serta berbelok belok. Dan labuh itu diberi nama Taratak labuh.Karena telah menjadi ramai pulang orang di taratak labuh, Parambahan dan Tabek Sawah Tangah merekapun semakin berkembang dantelah menbuat 12 koto disekitar nagari limo kaum. Kedua belas koto itu menurut penitahan ninik Parapatiah Nan Sabatang, yaitu :
1. Labuah2. Parambahan3. Silebuk4. Ampalu5. cubadak6. Sianyang7. Rambatan8. Padang Magek9. Ngungun10. Panti11. Pabaluran12. Sawah jauh
Lama kelamaan koto nan duabelas ini ramai pula. Oleh ninik Parapatiah nan Sabatang ke dua belas koto ini sampai ke Tabek Tangah sawah dijadikan satu dengan orang yang berada di Limo Kaum dengan nama Limo Kaum dua Belas Koto. Kemudian dipecah lagi menjadi Limo Kaum Dua Belas Koto dan Sembilam Koto Didalam.Adapun koto yang sembilan itu ialah dua-dua satu bilang : Tabek Bata dan Sela Goanda; Beringin dan Koto baranjak; Lantai Batu dan Bukit Gombak; Sungai Tanjung dan Barulak serta Raja Dani.Oleh Ninik Parapatiah Nan Sabatang masyarakat nagari Lima Kaum yang Dua Belas Koto itu sampai ke Tabek Sawah Tangah diberi pula satu pucuk pimpinan yaitu Penghulu dengan gelar Datuk Bendahara Kuning, berkedudukan di kubu raja Lima Kaum.Setelah teratur nagari Limo Kaum Dua Belas Koto itu, maka senanglah Hati Ninik Parapatiah nan Sabatang dan beliau kembali ke Pariangan Padang Panjang.
VIII. NAGARI SUNGAYANGKata orang yang menceritakan, tidak berapa lama kemudian ninik Parapatiah nan Sabatang berlayar pula membawa tujuh pasang suami istri. Mereka sampai pada suatu tanah menanjung kedalam sungai. Karena tanah itu baik dan subur, mereka menetap disana dan berladang membuat taratak. Tempat itu beliau beri nama Pangkal Bumi.Kemudian menyusul pula duapuluh tiga pasang suami istri dari Pariangan Padang Panjang yang ingin mencari penghidupan disana karena di Pariangan sudah penuh sesak.Mereka menetap di daerah antara Pangkalan Bumi dan Sungai Tarap. Mereka bersama sama dengan yang tujuh pasang suami istri berladang dan membuat taratak.Tempat mereka menambatkan perahu atau (jung) nya, dinamakan “Tembatan Ajung”, lalu disingkat menjadi tabek Ajung. Sedangkan Pangkal bumi berubah nama jadi Ujung Tanah.Lama kelamanaan berkembang pula orang orang yang di Taratak dan di lading padi tadi, taratak itu menjadi dusun yang ramai, lalu dibuat orang dua buah koto dipinggir taratak itu, yang bernama Tanjung dan Sungai Mangiang, sebab mata air yang mengalir disana kerapkali jadi mangiang (pelangi) dan dari kedua koto itulah orang pulang pergi ke taratak dan ladangnya masing masing. Hingga kini disitu masih adatempat yang bernama taratak dan lading.Kemudian sesuai dengan perkembangan manusia, koto itu dijadikan orang nagari, oleh ninik Parapatiah Nan Sabatang nagari itu diberi namaTanjung Sungayang Nan Batujuah., karena yang menetap di Nagari itu adalah orang yang dua puluh tiga pasang ditambah tujuh pasang tadi.Keturunan mereka sampai kini masih ada di nagari itu. Itulah orang yang berhutan tinggi dan berhutan rendah dan mereka ada berpangkat sepanjang adat di dalam Nagari itu.Kata ahli adat, sesudah sumur digali nagari nagaridicecak dalam nagari Sungai Tarab, Lima Kaum dan Tanjung Sungayang, dan di setiap nagari itu orang sudah begitu ramai, maka bermupakatlah Datuk Katumanggugan, Datuk Parapatiah Nan Sabatang, Datuk Ssri Maharaja nan banaga naga hendak mencari tanah yang baik untuk memindahkan orang nagari tersebut. Setelah putus mupakat, beliau bertiga berlayar bertiga menjalani teluk dan rantau.Setelah tampak tanah tanah yang dianggap baik ketiganya kembali lagi. Lalu dengan tiga buah perahu, setiap perahu memuat lima puluh orang laki laki dan perempuan, mereka menuju ketempat tempat yang sudah dilihat tadi. Disetiap tempat itu beliau tempatkan sepasang, lima pasang, ada yang enam dan delapan pasang tergantung dengan besar kecilnya tanah yang akan didiami itu.Lama kelamaan orang orang itupun berkembang pula dan tempat orang orang itu dari taratak menjadi dusun, dusun menjadi koto, dan kemudian menjadi nagari. Demikianlah caranya ninik moyang kita dalam memperluas daerahnya di pulau perca ini.Oleh karena asal orang orang itu dari nagari Sungai Tarab, Lima Kaum, Tanjung Sungayang dalam Tambo Alam Minangkabau nagari yang tiga ini disebut nagari tertua di alam Minangkabau ini.Setelah selesai menempatkan orang orang didaerah yang baru itu, maka kembalilah ketiga ninik tadi ke Pariangan Padang Panjang. Mereka mulai bekerja membuat ketetapan hukum yang akan dipakai disetiap nagari yang baru tadi.Setelah itu mereka memohon kepada bapak beliau yang bernama Indra Jati bergelar Cateri Bilang Pandai untuk pergi memeriksa keadaan orang orang di nagari yang baru itu dan sekaligus menetapkan penghulunya masing masing.Permintaan anak anaknya dipenuhi oleh Cateri Bilang Pandai. Berangkatlah beliau ke nagari nagari yang baru itu dan disetiap nagari diangkat seorang penghulu untuk setiap kaumnya.Penghulu inilah “kusut yang akan menyelesaikan, keruh yang akan menjernihkan” serta memelihara orang orang itu dari hal hal yang buruk dan baik dengan mendirikan pusaka Alam Minangkabau.Barangsiapa yang diangkat menjadi penghulu diwajibkan terlebih dahulu mengisi adat menuai lembaga kepada segala orang yang ada didalam nagari itulah yang mengendangkan jadi penghulu.Begitu juga barang siapa yang akan menjadi raja, wajib pula mengisi adat menuang lembaga kepada isi alam takluk jajahannya, memberi makan-minuman orang orang yang datang diwaktu raja dinobatkan serta memotong kerbau dan sapi seberapa cukupnya. Selain itu raja itu wajib mengeluarkan emas nan sesukat seulang aling, nan sekundi kundi, sepating setali bajak namanya sebagai pengisi adat kepada penghulu dan orang orang yang patut. Sebab orang orang itulah yang merajakannya.Karena banyaknya penghulu yang diangkat, banyak pula gelar penghulu ditiap tiap suku atau nagari, namun gelar itu tidak boleh sama. Kalau ada yang sama itu namanya sudah dibelah (dipecah)
IX. Luhak nan Tigo, Laras Nan DuoPada suatu ketika ninik yang bertiga ini naik pula ke puncak gunung merapi. Disana beliau menemukan tiga buah akar yang berjurai jurai. Sejurai menghadap kearah timur, Sejurai jatuh kebarat dan sejurai lagi jatuh ke utara. Maka memandanglah beliau kearah timur nampak rimba berkampung kampung.Ditepi rimba itu sudah diisi oleh orang, begitu juga ketika beliau memandang kearah barat dan utara, banyak pula tanah yang sudah dihuni orang. Sedangkan disebelah selatan kelihatan puncak puncak gunung yang tersembur dari dalam laut.Maka mupakatlah ketiga ninik itu untuk turun melihat tanah dan keadaan orang yang sudah didiami itu. Ninik Katumangguangan berjalan ke arah barat, Ninik Parapatiah Nan Sabatang berjalan kearah timur, dan Ninik Sri Maharaja berjalan kearah utara.Sekembalinya dari nagari nagari itu beliau kembali lagi dan bertemu di Pariangan Padang Panjang lalu ninik bertiga menceritakan pengamatan yang sudah dilakukan di daerah itu.Diceritakan oleh Ninik Parapatiah Nan Sabatang tanah berbukit bukit dan berlurah lurah, airnya jernih ikannya jinak dan buminya dingin.Diceritakan pula oleh ninik Katumanggungan tanah yang disebelah barat gunung merapi airnya keruh ikannya liar, buminya hangat dan orangnya keras hati, suka bermusuh musuhan dan selalu berkelahi pada masing masing kaum.Oleh ninik Sri Maharaja Nan Banaga Naga diceritakan bahwa bahwa tanah sebelah utara gunung airnya manis ikannya jinak, buminya tawar dan dulu orang yang ditempatkan sebanyak lima puluh orang telah berkurang lima pasang, hilang dipadang ribu ribu tampa tahu kemana perginyaorang itu.Kemudian bermupakatlah ninik yang bertiga menceritakan itu kepada mamaknya datuk Suri diraja. Oleh datuk Suri diraja diberi nama :-Luhak Tanah Datar untuk tanah yang sebelah timur gunung merapi yaitu tanah yang dijalani ninik Parapatiah nan Sabatang.-Luhak Agam untuk daerah yang dijalani oleh ninik Katamanggungan.-Luhak Limapuluh untuk daerah yang dijalani oleh ninik Sri Maharaja nan Banaga Naga.Itulah asalnya maka alam Minangkabau ini terbagi atas tiga luhak. Masing masing luhak ini diperintah oleh ninik yang bertiga tadi. Selanjutnya oleh datuk Datuk Katamanggungan dan Datuk Parapatiah Nan Sabatang ketiga luhak dibagi jadi dua kelarasan, yaitu:-Laras Koto Piliang, Pemerintahan Datuk Katumanggungan-Laras Bodi Caniago, Pemerintahan Datuk Parapatiah nan Sabatang.Nagari nagari yang masuk kedalam laras koto Piliang adalah : Tanjung Gadang Mudik sampai Laut nan Sedidih, gunung merapi hilir, keliling gunung semuanya, sedangkan yang masuk bodi caniago adalah daerah Mudik hingga Padang Tarab Hilir.Meskipun sudah dibagi, disetiap nagari itu selalu menyela orang yang dua kelarasan itu tetapi yang paling banyak adalah kelarasan koto piliang.Perbedaan jumlah pengikut ini mengakibatkan terjadinya perselisihan antara datu Katumanggungan dan datuk Parapatiah nan Sabatang. Perselisihan kedua orang besar itu tidak dapat didamaikan oleh isi Alam Minangkabau karena keduanya sama sama keras.Selanjutnya terjadilah peperangan yang akhirnya dimenangkan oleh laras koto piliang karena jumlah mereka lebih banyak dibandingkan pengikut kelarasan bodi caniago.Pada masa itu berdirilah pusaka perang, siapa yang kalah harus mengisi penampun abu, bila tidak ada yang menang atau seri hanya berjabat tangan.Dengan kalahnya laras Bodi Chaniago, maka ia mengisi penampun abu kepada laras Koto Piliang dibayar dengan enam ekor kuda oleh datuk datuk lima kaum dua belas koto dan tiga ekor kuda putih dari datuk nagari nan tiga, yaitu oleh datuk Nagari Tanjung Sungayang dan Tanjung Gadang, semua kuda diberi bertali cindai, dibawa kedelapan batur yakni nagari Sungai Tarab.Menurut cerita orang tua, kekalahan laras Bodi Chaniago membuat datuk Parapatiah Nan Sabatang merasa sakit hati. Beliau berniat hendak membunuh datuk Katumangguangan.Pada suatu malam beliau menjarah ke dalam nagari Sungai Tarab mencari Datuk Katumangguangan namum tidak bertemu. Dengan perasaan marah dan kecewa itu maka ditikamnya lah satu batu besar dikampung Kurimbang Batu Halang dengan kerisnya yang bernama Ganja Erak sehingga batu itu tembus.Lalu dihentakkan lagi dengan tongkat besinya sehingga tembus pula. Batu yang ditikam itu sampai kini masih terdapat di tepi sawah di Ulak Kampung Budi yang tidak seberapa jauh dari Kampung Kurimbang Batu Halang. Begitu juga dengan batu yang ditikam di Lima Kaum sampai sekarang masih ada dikampung Balai Batu. Kedua batu dinamakan orang Batu Batikam.Nagari Pariangan Padang Panjang tidak termasuk kepada nagari yang dibagi menjadi dua kelarasan. Sebab nagari itu adalah nagari tertua dalam Alam Minangkabau. Sehingga masyarakat disana mempunyai satu kelarasan yang diberi nama oleh ninik yang berdua Laras Nan Panjang.Nagari yang termasuk kedalam laras Nan Panjang adalah sehiliran batang Bengkawas sampai ke Guguk sikaladi Hilir, terus ke bukit tembesi bertupang mudik. Oleh orang orang tua laras Nan Panjang itu disebutkan :
Pisang sikelat-kelat hutanPisang tembatu bergetahKoto piliang dia bukanBodi Chaniago dia entah
Setelah Datuk Katumangguangan memenangkan peperangan itu, beliau memberi nama nagari Lima Kaum dua belas koto itu dengan nama Gadjah Gadang Patah Gadingnya, dan nagari Tanjuang Sungayang beliau namakan Tanjung Sungayang nan bertujuh.Nagari tempat beliau menetap diberi nama Sungai Tarab Darussalam. Pemberian nama nama baru itu sangat menyakitkan hati Datuk Parapatiah Nan Sabatang. Begitulah yang dicceritakan oleh orang orang tua, benar tidaknya wallahu’alam.Permupakatan antara Datuk Katumangguangan, datuak Parapatiah nan Sabatang dan Datuk Sri Maharaja nan Banaga naga tentang menetapkan hukum setta cupak gantang yang akan dipakai dalam luhak nan tiga laras nan dua adalah sebagai berikut :Cupak yang dipakai gantang yang dipicahan kepada setiap luhak di dalam laras nan dua adalah cupak yang dua belas tail isisnya, dan gantang yang kurang dua puluh lima tail genap isinya, serta emas yang enam belas emas berat timbangannya, yang se emas empat kupang, sekupang enam kundi merah, hitam bagian tampuknya. Setali tiga uang, yang seuang satu kundi, yang seteang setenganh kundi, itulah yang dipalut kata mupakat ninik yang bertiga tadi.Meskipun sudah ada kesepakatan selalu ada perbedaan pendapat diantara ninik yang bertiga itu. Misalanya menurut pendapat datuak Katumangguangan setias orang yang terpidana wajib bersumpah baginya.Namum oleh datuk Parapatiah nan sabatang sumpah itu tidaklah perlu, karena semua itu adalah anak cucu kita juga. Oleh datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga perbedaan itu tidak satupun disetujui maka pada waktu itu tidak tercapai kata sepakat.Dengan takdir Allah, maka keluarlah seekor ular dari laut. Ular itu menangkap salah seorang anak datuk Katumangguangan dan dibawanya ke banir kayu jati. Maka gemparlah orang pada masa itu, ninik yang bertiga kehilangan akal karena anak telah di lilit ular.Bertanya Datuk Katumangguangan kepada ninik yang berdua “apa akal kita untuk mengambil anak itu ?”Menyahut Datuk Parapatiah Nan Sabatang”Habis budi hamba melihat anak kita itu, jika dibunuh ular itu maka niscaya matilah anak kita. Berkatalah datu Sri Maharaja nan Banaga Naga: “Menurut pendapat hamba, kita ambil ranting jawi-jawi, kita lontarkan kepada banir kayu itu, supaya ular itu lari.”Maka dibuat orang lah sebagaimana yang dikatakan Datuk Sri Maharaja nan Banaga naga itu, lalu ranting jawi jawi itu dilontarkan orang sekuat kuatnya kepada banir kayu tempat ular tadi. Ular itu terkejut lalu lari meninggalkan anak Datuk Katumangguangan dengan tiada kurang satu apapun.Dengan kejadian itu Datuk Katumangguangan dan Datuk Parapatiah nan Sabatang bertambah segan kepada datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga karena ketajaman akalnya.Ular yang dipalut tidak matiPamalu tiada patahTanah yang dipalu tiada lembang.Datuk yang berdua menyadari akibat yang timbul apabila mereka terus berbantah bantahan, karena selalu berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum yang akan dipakai dalam masyarakat.Mereka sepakat bahwa hukum itu harus di uji dan dibanding, setiap tandingannya dipakai pada tempatnya masing masing.Adapun hukum yang akan dipakai di luhak nan tiga, laras nan dua terus ke Batang Rantau, ada tiga perkara :1. Hukum kitabullah2. Hukum ijtihat3. hukum serta saksiSetelah putus mupakat itu, maka menghadaplah ninik yang bertiga itu kepada Daulat yang dipertuan Agung ninik Sri Maharaja diraja untuk menyatakan hukum itu. Sebelum hukum itu diberlakukan ketiga ninik diminta untuk bersumpah bahwa hukum itu akan dipakai terus turun temurun dan tidak boleh diubah ubah selamanya.Setelah itu berjalanlah Daulat yang dipertuan Agung keluhak dan laras, kesetiap nagari untuk memasyarakatkan hukum yang sudah ditetapkan itu. Ditanam kayu nan sabatang disetiap nagari untuk tempat mempertaruhkan hukum yang adil, syarak yang dilazimkan dan adat yang kawi.Yang dimaksud kayu nan sabatang itu adalah orang orang sebagai penghulu atau kadhi atau orang orang besar yang akan menghukum didalam tiap tiap nagari, sebagai wakil raja bila raja berhalangan, atau sebagai raja apabila dinagari itu tidak ada raja.Dengan demikian penghulu yang dijadikan pucuk atau kepala suku, kepala payung dan kadhi didalam suatu nangari, bukan saja sebagai kepala kaumnya masing masing, tetapi berfungsi juga sebagai raja yang akan memegang kata, memegang hukum yang sudah ditetapkan oleh kerapatan penghulu penghulu
X. Pulau Perca disebut Alam Minangkabau.Kata ahli adat setelah Datuk Katumangguangan dan datuak Parapatiah nan Sabatang mendirikan luhak nan tiga dan membagi laras nan dua yaitu koto Piliang dan Bodi Chaniago.Kira kira 5 tahun kemudian, datanglah seorang nakhoda dari laut membawa seekor kerbau panjang tanduk serta runcing. Ia menetap di bukit Gombak dan memandikan kerbaunya disungai emas. Perahu nakhoda itu ditambatkan di kaki bukit Patah.Sewaktu bertemu dengan kedua ninik Datuk Katumangguangan dan Datuk Parapatiah nan Sabatang, ia menantang beliau untuk bertaruh mengadu kerbau, jikalau kalah kerbau kami, miliki oleh datuk segala isi perahu kami.Tantangan nakhoda itu diterima oleh ninik yang berdua orang besar besar: “Baiklah, tetapi beri janji kami selama tujuh hari.”Dalam tujuh hari bemupakatlah isi luhak nan tiga laras nan dua, lalu dicari se ekor anak kerbau yang sedang kuat menyusu. Dibuat orang topang besi bercabang sembilan dan runcing ujungnya. Besi serampang itu bernama minang.Setelah sampai tujuh hari, maka semalam-malam hari yang ketujuh anak kerbau tidak dicampur dengan induknya. Setelah hari pagi, tupang besi tadi dipasang di mulut anak kerbau tadi, lalu dibawa ketengah medan yang sudah dihiasi sebagai tempat pertarungan kedua kedua kerbau itu yakni di balai Sidusun. Semua orang laki perempuan tumpah ruah ke medan itu, begitu juga segala isi perahu dan nakhoda tadi keluar membawa kerbau besarnya itu.Setelah tiba ditengah medan itu, kedua kerbau itu dilepas orang. Sebentar itu juga anak kerbau yang sudah kelaparan berlari kekerbau besaryang dikiranya sebagai induknya untuk menyusu.Sekali saja anak kerbau itu menyusu, maka larilah kerbau besar itu, keluar perutnya berjurai jurai, lalu matilah kerbau itu.Melihat kerbaunya sudah mati, nakhoda tadi pergi ke laut dan pulang ke negerinya. Mungkin karena sangat malunya, sangkar ayam tertinggal ditepi sungai, dekat medan mengadu kerbau tadi. Ditempat itu sekarang ada sebuah kampung bernama kampung “Sangkayan”, yang asalnya dari sangkar ayam nakhoda itu.Sesudah mengadu kerbau itu bermupakatlah segala orang luhak nan tiga laras nan dua memberi nama pulau perca ini dengan nama alam Minangkabau, sampai sekarang tidak berubah rubah.
Cateri Reno sudah, menerka kayu tataran naga pihak.Menurut bunyi Tambo alam minangkabau, tidak berapa lama setelah mengadu kerbau tadi nakhoda itu kembali lagi dengan membawa kayu tataran naga pihak, dimana ujung dan pangkalnya sama besar, sulit ditebak mana ujung mana pangkalnya.Dia pun menetapkan bukit gombak, lalu ia masuk kedalam nagari Lima Kaum dan bertemu dengan datu Suri Diraja.Ia mengajak datuk Suri di Raja berteka teki dengan taruhan limapuluh kati emas. Oleh datuk Suri diraja teka teki itu diterima dengan syarat harus dilaksanakan ditengah medan.Lalu datuk Suri Diraja menghimpun segala orang yang patut patut, ia pun berkata ” Timbang olehmu akan kayu itu ditengahnya. Mana yang berat itulah pangkalnya dan yang ringan itulah ujungnya”.Setelah sampai waktunya, maka berdatanganlah segala orang besar besar dan patut patut ke medan yang baik itu, yaitu Dusun Tua namanya. Begitu juga segala isi nagari laki laki perempuan datang bersama sama ke medan itu. Setelah cukup semuanya, bertanya Cateri Reno kepada nakhoda itu :“Apa maksud tuan datang kemari ?”Sahut nakhoda itu :“Kami sengaja datang kemari karena kami dengar disini banyak orang cerdik pandai. Segala orang itulah yang hendak kami jelang. Jika Datuk suka, cobalah datuk terka akan kayu kami ini, mana ujung dan mana pangkalnya.” Sambil mengeluarkan kayu yangia bawa.“Apabila terterka oleh kami, apa yang akan menjadi hukumnya?” tanya Cateri Reno.Dijawab oleh nakhoda “Miliki oleh Datuk segala isi perahu kami.”Setelah taruhan ditampin, maka kayu tataran naga pihak itu diambil oleh Cateri Reno sudah. Tepat ditengah tengah kayu itu di ikatnya dengan tali yang halus dan kuat. Setelah itu ujung tali pengikat itu diangkatnya keatas, kelihatan oleh orang banyak kayu itu berat sebelah. Lalu diterkalah oleh Cateri Reno menunjukkan kepada nakhoda itu, katanya “yang berat itu adalah pangkalnya dan yang ringan adalh ujung kayu itu.”Nakhoda itu sangat malu atas kekalahannya ini ditinggalkan segala taruhan tadi dan iapun kembali kelaut pulang ke negerinya. Sungai Mas tempat ia menambatkan perahunya diberi nama Kepala Padang Ganting.Sepeninggal nakhoda tadi, taruhan tadi dibagi oleh orang luhak nan tiga laras nan dua, sebagian kepariangan Padang Panjang, dan sebagian lagi dibagi tiga, sebagian tinggal di lima kaum, sebagian di Sungai Tarab dan sebagian lagi untuk Tanjung Sungayang.
Cateri Reno Sudah Menerka Dua Ekor Burung Yang SerupaTidak puas dengan kekalahannya itu, nakhoda kapal balik lagi ke pulau perca dengan membawa dua ekor burung, satu jantan dan lainnya betina. Kedua ekor itu sama rupa bulunya, sama besarnya dan bunyinya pun serupa.Nakhoda menetap di nagari Tanjung Sungayang dan perahunya ditanbatkannya di Pangkal Bumi disitu pula bertemu kembali dengan Cateri Reno Sudah. Pada kesempatan itu ia kembali mengajak berteka teki.Cateri Reno Sudah menanyakan apa lagi yang akan diterkanya, dan dijawab oleh nakhoda itu yaitu menerka kedua ekor burung yang dibawanya.Ada dua ekor burung yang sama rupa dan bangunnya. Terkalah oleh Datuk mana yang jantan dan mana yang betina.”Menyahut Cateri Reno Sudah : “Kalau begitu kata tuan , teka teki ini kami terima, tetapi harus dilakukan ditengah medan agar dapat disaksikan oleh orang banyak.Syarat itu diterima oleh nakhoda tadi dan merekapun menetapkan perjanjian kapan teka teki itu dilaksanakan. Sementara itu pergilah orang besar besar dan patut patut menghadap kepada Datuk Suri Diraja dan menceritakan hal itu. Datuk Suri Diraja berkata :” Beri makan kedua burung itu pada satu tempat, mana yang cepat makannya dan kuat, tandanya burung jantan, sedangkan yang lemah adalah burung betina.”Setelah tiba waktunya, maka berhinpunlah segala orang di medan yang sudah dihiasi yaitu balai gadang namanya terletak diantara Tanjung dan Sungayang. Setelah itu bertanya lagi Cateri Reno Sudah kepada Nakhoda tadi: Apakah kehendak tuan datang ke negeri kami ini?”Sahut nakhoda itu: Saya membawa dua ekor burung, cobalah terka oleh datuk mana yang burung jantan mana yang betina”Setelah itu Cateri Reno Sudah mengambil kedua burung itu, lalu diberinya makan pada suatu tempat yang sempit.Kedua burung itupun berebut makan sampai berdesak desakan, edar mengedar dan tendang menendang. Tidak lama setelah itu terlihat salah satu keletihan, dan oleh Cateri Reno Sudah ditunjuknya sebagai burung betina dan yang masih kuat ditunjuk sebagai burung Jantan.Maka kalahlah nakhoda itu sehingga tiada termakan nasi olehnya, setelah itudiambilnya kedua burung tadi, lalu dikurungnya dan dibawanya kembali ke dalam perahunya. Dari sana ia bertolak dan perahu itu ditinggalkan ditepi bukit, dan dia dengan segala anak buahnya pergi menuju ke kampung Minangkabau yaitu kekaki bukit batu patah.Disana mereka bersumpah untuk tidak kembali lagi ke pulau perca ini, karena orang disini banyak yang pintar cerdik pandai. Setelah itu ia pulang kenegerinya dan tidak pernah muncul lagi ke alam Minangkabau.
XI. Adityawarman Datang ke Pulau PercaMenurut kata ahli adat, pada masa itu datang orang berlayar dari laut menepat ke nagari Pariangan Padang Panjang, lalu ke galundi nan bersela sela dan bertemu dengan datuk yang bertiga yakni Datuk Katumangguangan, datuak Parapatiah nan Sabatang dan Datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga. Orang yang datang itu dimuliakan oleh datuk yang bertiga itu dengan patutnya.Mereka datang beramai ramai dalam satu kapal lengkap dengan hamba sahayanya (bangsa sekawak), yang menjadi orangsuruhan oleh kepala kapal itu, bernama Adityawarman bergelar Sri Paduka Berhala.Disaat itu timbul perbantahan diantara ninik yang bertiga mengenai Adityawarman. Datuak Katumangguangan mengatakan bahwa dia adalah Raja, sedangkan menurut Datuk Parapatiah nan Sabatang orang itu bukan raja melainkan manti saja, dan menurut Datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga orang itu hanya seorang utusan raja.Akhirnya datuk yang berdua menurut kepada apa yang dikatakan Datuk Katumangguangan karena beliau berniat akan mengambil orang itu sebagai semendanya, akan suami dari adiknya yang bernama Tuan Putri Reno Mandi.Rencana Datuk Katumangguangan itu diterima oleh Adityawarman, hingga bulatlah perundingan masa itu dikawinkanlah Adityawarman dengan Tuan Putri Reno Mandi menurut sepanjang adat yang patut.Semenjak itu Adityawarman yang bergelar Sri PadukaBerhala itu dianggap oleh orang Pariangan Padang Panjang seperti rajanya. Sungguhpun ia datang dari tanah jawa, tetapi asal usulnya ia datang dari hindustan, keturunan raja juga. Dia dan teman temannya itu berdiam di Pariangan Padang Panjang menurut adat lembaga orang dalam nagari itu, menetap selamanya sebagai bumi putera disana.Kelak anak cucu Adityawarman yang menjawat waris Datuk Katumangguangan, Datuk Parapatiah nan Sabatang, Datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga dan Datuk Suri Diraja.Menurut Tambo adat alam Minangkabau, asal orang Minangkabau yang telah berkembang biak diseluruh pulau andalas (tanah Alam Minangkabau) itu ialah :Pertama sekali yang datang adalah Ninik Sri Maharaja Diraja, dengan menbawa orang Kasta Cateri menepat diatas puncak gunung merapi, semasa alun baralun bumi akan bersentak turun. Langit akan bersentak naik. Pada masa baru laut semata mata tanah pulau andalas ini, yang ada baru puncak gunung merapi yang ada tanah daratannya. Keturunan bangsa Cateri ini yang terbilang cerdik pandai. Mereka suka berkelompok sesama kasta Cateri.Selanjutnya datang bangsa Hindustan yang datang bersama Adityawarman. Kesukaannya berkumpul sehindu hindu atau sesama bangsa hindustan saja. Termasuk juga bangsa sekawak yang ikut dengan rombongan Adityawarman, yang menjadi orang hamba sahaya. Bangsa sekawak ini semenjak datang jadi hamba sahaya orang turun temurun yang disebut juga budak, atau istilah adatnya kemenakan bawah lutut dari tuannya.Mereka dapat diperjual belikan, dijadikan hadiah dan persembahan kepada orang besar besar, untuk pembayar hutang.Dikatakan bangsa kasta Cateri tadi adalah asal raja raja dan orang cerdik pandai, dan orang orang bangsa hindustan itu bangsa penghulu besar batuah di dalam tiap tiap nagari. Pada saat itu kedua keturunan itu tidak dapat lagi dibedakan karena sudah lama bercampur baur menjadi satu.Kedua keturunan ini sudah tarik menarik, semenda menyemenda dan sama sama berpenghulu kedua belah pihak, yang adatnya tiada berkurang sedikit juga.Kedua bangsa itulah yang dikatakan orang baik turun temurun diseluruh minagkabau ini, yang teratur adat lembaganya oleh ninik yang bertiga.
XII. Amanat Ninik Yang BertigaAmanat Datuk Suri DirajaBerkata Datuk Suri Diraja kepada segenap pwnghulu dan orang orang patut di Pariangan Padang PanjangDengarlah ibarat kata hamba oleh segala penghulu dan orang yang mempunyai bicara:
Sutan Kayo di Koto alamKayu mati diperumahannyaJika engkau kaya didalam alamAkan mati juga kesudahannyaBerbuak kayu di Koto AlamBuahnya tindih bertindihJika engkau bertuah didalam alamHanya tuah itu silih bergantiKayu Pantai di Koto AlamPantainya sandi basandiJika engkau pandai didalam alamPatah tumbuh hilang berganti.
Pikirkanlah sungguh sungguh oleh segala yang mempunyai bicara akan ibarat kata hamba itu.Selanjutnya disaat Datuk Suri Diraja akan meninggal beliau berkata kepada segala raja raja dan segala penghulu dari laras koto piliang dan laras bodi chaniago :“Adapun kita segala yang disungkup langit, yang ditanahi bumi lalu ke mekah dan medinah sekalian, sedikitpun tiada yang lebih dan kurangnya. Jika dikatakan lebih ada kekurangannya, dikatakan kurang ada kelebihannya, dikatakan tinggi ada rendahnya dikatakan rendah ada tingginya.Jika dikatakan raja lebih tinggi dan orang besar besar itu ada kelebihannya, terlalu rendah pada bathinnya karena barang siapa yang hendak menjadi raja atau orang besar besar itu, hanya mengisi adat menuang lembaga kepada alam, kepada setiap luhak atau laras atau nagari, itulah rendahnya. Oleh sebab itu janganlah engkau berdengki dengkian, karena malu belum dibagi oleh ninik Datuk Katumangguangan dan Datuk Parapatiah nan Sabatang.Meskipunsawah ladang, emas perak, segala ternak dan pakaian juga dibagi, demikian pula didalam laras Koto Piliang dan Bodi chaniago, jika tanah sudah berkabung, padi sudah bergantang, jarum sudah terbentuk seorang, hanya malu yang belum dibagi.Oleh sebab itu janganlah engkau bercerai berai sepeninggal kami. Payung yang mempunyai kerajaan adalah Datuk Katumangguangan. Jika berang laras Bodi Caniago kepada larasnya, mengadunya ke laras Koto Piliang, begitu pula sebaliknya, itulah sumpah ninik moyang berdua, yang tiada lapuk oleh hujan tiada lekang oleh panas, digali dalam digantung tinggi, itulah mulanya jadi persemandanan laras Koto Piliang dan laras Bodi chaniago.Bagi laras Bodi Chaniago, penghulunya oleh yang sekata, tuahnya karena mupakat, celakanya oleh bersilang, apabiladapat kerja semupakat, jadilah barang kerjanya, barang ke mana mana, maksudnyapun sampai.Adapun laras Koto Piliang orang beraja: apabila hendak menyusun larasnya berkirim surat kepada Datuk Pamuncak Alam di Sungai Tarab, Datuk Indomo di Saruaso dan tuan Khadi di Padang Ganting diatas daulat yang dipertuan. Maka barang apa apa kerjanya pun jadi berkat pekerjaannya.
Pamuncak alam di Sungai TarabPayung panji di SaruasoSuluah bendang di Padang GantingCermin cina di Singkarak SaningbakarHarimau Campo di BatipuahTangkai alam di Pariangan Padang PanjangPasak kungkung di Sungai JambuRaja besar di Bukit Batu Patah
Jika berkata dengan orang yang tahu, lebih bak santan dengan tanguli, dan berkata dengan orang yang tidak tahu, lebih bak antan pencungkil duri. Oleh sebab itu baik baiklah engkau mencari salak silik, baik baiklah engkau mencari kata pusaka, supaya selamat kamu dialam ini.
Amanat datuak KatumangguanganDisampaikan saat beliau akan meninggal dunia didepan segala penghulu dan orang orang besar dalam laras Koto Piliang:
Sekali kali hindarkan perceraian dengan orang laras bodi Chaniago, karena merekalah yang mengisi cukai adat lembaga kepada kita. Merekalah yang mendirikan kerajaan kita, dan kalau dihiasinya akan tempat kita duduk. Payung ubur ubur itu milik orang laras Bodi chaniago, maka dari itu janganlah kamu bercerai sepeninggal kami berdua.
baik baiklah engkau memelihara isi alam, isi nagari, segala anak kemenakan, pikir benar sungguh sungguh supaya kalian jangan kena sumpah ninik moyang.
berbuatlah seperti lauttiada penuh oleh air, seperti bumi tiada penuh oleh tumbuh tumbuhan. Apabila kalian jadi penghulu dalam laras Koto Piliang janganlah memakan menghabiskan, jangan menebang merebahkan, jangan mencencang memutuskan, karena bicara tiada sekali dapat.
Jadikan nabi Allah jadi suri teladan. Kasih kalian kepada isi alam sebagai kasih nabi kepada umatnya. Hati adalah palinggam Allah, teraju palinggam mata, sebab itu peliharalah lidahmu dengan baik, begitu pula kaki dan mulutmu. Jika tertarung panyambahan badan tanggungannya, mulut emas padahannya, tertarung kaki inai padahannya.
Memutih padi orangdi Kamang, melekang panas sehari, berbelok belok alang samat, ranting berbelok kepangkalnya.
berdentung gegar dilaut, merentang rupanya kilat, kalang kambut rupanya langit, berputar rupanya angin timur.
pikir jualah sungguh sungguh, lemak liuk kayu akar kelimpang, itulah patut bicara.”Datuk Katumangguangan meninggal di koto Ranah yakni di Kampung Minangkabau sampai sekarang kuburan beliau masih ada disana dikenal dengan kubur yang dipertuan yang bersusu empat.
anat Datuak Parapatiah Nan SabatangPesan ini disampaikan kepada penghulu yang berempat dan yang berlima sekota, serta orang orang cerdik pandai dan orang orang bertuah dalam laras Bodi Caniago, beliau berkata:“Rasanya umurnya hamba tidak akan lama lagi, hamba hendak pergi ke Solok Selayo, entah kembali entah tidak, oleh sebab itu hendaklah pegang pitaruh hamba oleh segala penghulu dan orang cerdik pandai :Pertama hendaklah kalian kasih kepada nagari, kepada isi nagari, kepada orang orang kaya, kepada orang orang bertuan, kepada tukang, kepadan segala penghulu, kepada orang yang mempunyai bicara meskipun ia kanak kanak sekalipun.Apabila dia mempunyai bicara, ikuti olehmu karena ia itulah tangkai nagari dan tangkai alam janganlah kalian ubahi sepeninggal hamba supaya selamat apa apa yang kalian kerjakan.Malu orang kepada kalian yang mempunyai bicara ada enam perkara :
1. Kuat melawan kepada yang benar.2. Kuat membelanjakan kepada segala yang baik.3. Memperbaiki parit pagar keliling nagari4. Kuat mengusahakan pekerjaan5. Tahu kepada yang benar6. Kuat menyelesaikan yang kusut dalam nagari dantahu dengan basa basi.
Apabila terpakai niscaya jadilah kalian panglimabesar dalam nagari, menjadi ikutan segala isi alam dan luhak, dan kalian lah penghulu pilihan dalam alam ini.Kata empat yang dipakai :
1. Janganlah berdengki dengkian2. Jangan hina menghinakan3. Jangan bertolong tolongan kepada maksiat4. Jangan menghasut orang dalam nagari untuk berkelahi.
Jagalah dua belas perkara yang akan dipakai :
1. Kuat memberi makan isi nagari2. Benci kepada segala kejahatan3. Banyak harta4. Banyak ilmu pengetahuan yang baik5. Berhati baik kepada orang banyak6. Giat berusaha7. menerima umpat puji dengan lapang dada8. Kasih sayang kepada orang teraniaya9. Pandai berbicara10. Pasihat lidah11. Tahu kepada yang benar12. Ingat ingat pada kata kias
Setelah beramanat itu Datruak Parapatiah Nan Sabatang berjalan ke negeri Malaka, berdiam dinegeri Sembilan dan beliau meninggal di Negeri Sembilan itu. Sepanjang cerita orang kuburan beliau masih ada disana yang oleh orang Negeri Sembilan dinamakan Kuburan Patih.Masyarakat di negeri sembilan itu beradat seperti kita orang alam Minangkabau juga, berpusaka kepada kemenangan menurut aturan Ninik Parapatiah nan Sabatang.
Disadur oleh : Dewis NatraSumber : Buku Curaian Adat MinangkabauPenerbit : Kristal Multimedia Bukittinggi
Rumah Gadang
Rumah Gadang Oleh Zulfikri, Rangkayo Mulie
Rumah Gadang Minangkabau merupakan rumah tradisional hasil kebudaya an suatu suku bangsa yang hidup di daerah Bukit Barisan di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera bagian tengah. Sebagaimana halnya rumah di daerah katulistiwa, rumah gadang dibangun di atas tiang (panggung), mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupakan arsitektur yang khas yang membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di daerah garis katulistiwa itu.Sebagai suatu kreatifitas kebudayaan suku bangsa, ia dinyatakan dengan rasa bangga, dengan bahasa yang liris, serta metafora yang indah dan kaya. Juga ia diucapkan dengan gaya yang beralun pada pidato dalam situasi yang tepat.
Bunyinya ialah sebagai berikut :
Rumah gadang sambilan ruang,salanja kudo balari, sapakiak budak maimbau,sajariah kubin malayang.Gonjongnyo rabuang mambasuik,antiang-antiangnyo disemba alang.
Parabuangnyo si ula gerang,batatah timah putiah,barasuak tareh limpato,Cucurannyo alang babega,saga tasusun bak bada mudiak.
Parannyo si ula gerang batata aia ameh,salo-manyalo aia perak.Jariaunyo puyuah balari,indah sungguah dipandang mato,tagamba dalam sanubari.
Dindiang ari dilanja paneh.Tiang panjang si maharajo lelo,tiang pangiriang mantari dalapan,tiang dalapan, tiang tapi panagua jamu,tiang dalam puti bakabuang.
Ukiran tonggak jadi ukuran,batatah aia ameh,disapuah jo tanah kawi,kamilau mato mamandang.
dama tirih bintang kemarau.Batu tala pakan camin talayang. cibuak mariau baru sudah.Pananjua parian bapantua.
Halaman kasiak tabantang,pasia lumek bagai ditintiang.Pakarangan bapaga hiduik,pudiang ameh paga lua,pudiang perak paga dalam,batang kamuniang pautan kudo,Lasuangnyo batu balariak,alunyo linpato bulek,limau manih sandarannyo.
Gadih manumbuak jolong gadang,ayam mancangkua jolong turun,lah kanyang baru disiuahkan,Jo panggalan sirantiah dolai,ujuangnyo dibari bajambua suto.
Ado pulo bakolam ikan,aianyo bagai mato kuciang,lumpua tido lumuikpun tido,ikan sapek babayangan,ikan gariang jinak-jinak,ikan puyu barandai ameh.
Rangkiangnyo tujuah sajaja,di tangah si tinjau lauik, panjapuik dagang lalu,paninjau pancalang masuak,di kanan si bayau bayau,lumbuang makan patang pagi,di kiri si tangguang lapa,tampek si miskin salang tenggang,panolong urang kampuangdi musim lapa gantuang tungku,lumbuang Kaciak salo nanyalo,tampek manyimpan padi abuan.
Maksudnya :
Rumah gadang sembilan ruang,selanjar kuda berlari,sepekik budak menghimbau,sepuas limpato makan,sejerih kubin melayang.Gonjongnya rebung membersit,anting-anting disambar elang.
Perabungnya si ular gerang,bertatah timah putih,berasuk teras limpato.Cucurannya elang berbegar,sagar tersusun bagai badar mudik.
Parannya bak si bianglala,bertatah air emas,sela-menyela air perak.Jeriaunya puyuh berlari,indah sungguh dipandang mata,tergambar dalam sanubari.
Dinding ari dilanjar panas.Tiang panjang si maharajalela,tiang pengiring menteri delapan,tiang tepi penegur tamu,tiang dalam putri berkabung.
Ukiran tonggak jadi ukuran,bertatah air emas,disepuh dengan tanah kawi,kemilau mata memandang.
Damar tiris bintang kemarau.Batu telapakan cermin terlayang,Cibuk meriau baru sudah,penanjur perian ber pantul.
Halaman kersik terbentang,pasir lumat bagai ditinting.Pekarangan berpagar hidup,puding emas pagar luar,puding merah pagar dalam.Pohon kemuning pautan kuda.Lesungnya batu berlari,alunya limpato bulat.Limau manis sandarannya.
Gadis menumbuk jolong gadang,ayam mencangkur jolong turun,sudah kenyang baru dihalaukan,dengan galah sirantih dolai,ujungnya diberi berjambul sutera.
Ada pula kolam ikan,airnya bagai mata kucing,berlumpur tidak berlumut pun tidak,ikan sepat berlayangan,ikan garing jinak-jinak,ikan puyu beradai emas.
Rangkiangnya tujuh sejajar,di tengah sitinjau laut,penjemput dagang lalu,peninjau pencalang masuk,di kanan si bayau-bayau,lumbung makan petang pagi,di kiri si tanggung lapar,tempat si miskin selang tenggang,penolong orang kampung,di musim lapar gantung tungku,lumbung kecil sela-menyela,tempat menyimpan padi abuan.
Arsitektur
Masyarakat Minangkabau sebagai suku bangsa yang nenganut falsafah “alam takambang jadi guru”, mereka menyelaraskan kehidupan pada susunan alam yang harmonis tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang mereka sebut “bakarano bakajadian” (bersebab dan berakibat) yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan. Buah karyanya yang menumental seperti rumah gadang itu pun mengandung rumusan falsafah itu. Bentuk dasarnya, rumah gadang itu persegi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah Iandai seperti badan kapal. Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang membesar ke atas (trapesium terbalik) sisinya melengkung kedalam atau rendah di bagian tengah, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang juga sisi segi tiga itu melengkung ke arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup mereka. Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah gadangnya kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga pula. Jadi, garis alam Bukit Barisan dan garis rumah gadang merupakan garis-garis yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara estetika. Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya. Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin. Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.
Ragam Rumah Gadang
Rumah gadang mempunyai nama yang beraneka ragam menurut bentuk, ukuran, serta gaya kelarasan dan gaya luhak. Menurut bentuknya, ia lazim pula disebut rumah adat, rumah gonjong atau rumah bagonjong (rumah bergonjong), karena bentuk atapnya yang bergonjong runcing menjulang. Jika menurut ukurannya, ia tergantung pada jumlah lanjarnya. Lanjar ialah ruas dari depan ke belakang. Sedangkan ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang. Rumah yang berlanjar dua dinamakan lipek pandan (lipat pandan). Umumnya lipek pandan memakai dua gonjong. Rumah yang berlanjar tiga disebut balah bubuang (belah bubung). Atapnya bergonjong empat. Sedangkan yang berlanjar empat disebut gajah maharam (gajah terbenam). Lazimnya gajah maharam memakai gonjong enam atau lebih.Menurut gaya kelarasan, rumah gadang aliran Koto Piliang disebut sitinjau lauik. Kedua ujung rumah diberi beranjung, yakni sebuah ruangan kecil yang lantainya lebih tinggi. Karena beranjung itu, ia disebut juga rumah baanjuang (rumah barpanggung). Sedangkan rumah dan aliran Bodi Caniago lazimnya disebut rumah gadang. Bangunannya tidak beranjung atau berserambi sebagai mana rumah dan aliran Koto Piliang, seperti halnya yang terdapat di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto. Bodicaniago Surambi papek (Ragam Luhak Agam) Bodicaniago Rajo Babandiang (Ragam Luhak Limo Puluah Koto) Koto Piliang Sitingjau Lauik (Ragam Luhak Tanah Datar)Rumah kaum yang tidak termasuk aliran keduanya, seperti yang tertera dalam kisah Tambo bahwa ada kaum yang tidak di bawah pimpinan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang, yakni daRI aliran Datuk Nan Sakelap Dunia di wilayah Lima Kaum, memakai hukumnya sendiri.
Kedudukan kaum ini seperti diungkapkan pantun sebagai berikut :
Pisang si kalek-kalek utan,Pisang tambatu nan bagatah.Koto Piliang inyo bukan,Bodi Caniago inyo antah.
Maksudnya :
Pisang si kalek-kalek hutan,Pisang tambatu yang bergetah,Koto Piliang mereka bukanBodi Caniago mereka antah.
Rumah gadang kaum inii menurut tipe rumah gadang Koto Piliang, yaitu memakai anjung pada kedua ujung rumahnya. Sedangkan sistem pemerintahannya menurut aliran Bodi Caniago. Rumah gadang dari tuan gadang di Batipuh yang bergelar Harimau Campo Koto Piliang yang bertugas sebagai panglima, disebut rumah batingkok (rumah bertingkap). Tingkapnya terletak di tengah puncak atap. Mungkin tingkap itu digunakan sebagai tempat mengintip agar panglima dapat menyiapkan kewaspadaannya. Rumah Batingkok (Bertingkat) yang pernah ada di Baso pada abad yang laluRumah di daerah Cupak dan Salayo, di Luhak Kubuang Tigo Baleh yang merupakan wilayah kekuasaan raja, disebut rumah basurambi (rumah berserambi). Bagian depannya diberi serambi sebagai tempat penghulu menerima tamu yang berurusan dengannya.
Jika menurut gaya luhak, tiap luhak mempunyai gaya dengan namanya yang tersendiri. Rumah gadang Luhak Tanah Datar dinamakan gajah maharam karena besarnya. Sedangkan modelnya rumah baanjuang karena luhak itu menganut aliran Kelarasan Koto Piliang. Rumah gadang Luhak Agam dinamakan surambi papek (serambi pepat) yang bentuknya bagai dipepat pada kedua belah ujungnya. Sedangkan rumah gadang Luhak Lima Puluh Koto dinamakan rajo babandiang (raja berbanding) yang bentuknya seperti rumah Luhak Tanah Datar yang tidak beranjung).
Pada umumnya rumah gadang itu mempunyai satu tangga, yang terletak di bagian depan. Letak tangga rumah gadang rajo babandiang dari Luhak Lima Puluah Koto di belakang. Letak tangga rumah gadang surambi papek dari Luhak Agam di depan sebelah kiri antara dapur dan rumah. Rumah gadang si tinjau lauik atau rumah baanjuang dan tipe Koto Piiang mempunyai tangga di depan dan di belakang yang letaknya di tengah. Rumah gadang yang dibangun baru melazimkan letak tangganya di depan dan di bagian tengah.
Dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding. Tangga rumah gadang rajo babandiang terletak antara bagian dapur dan rumah. Dapur rumah gadang surambi papek, dibangun terpisah oleh suatu jalan untuk keluar masuk melalui tangga rumah.
Fungsi Rumah Gadang
Rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar, melainkan karena fungsinya. Dalam nyanyian atau pidato dilukiskan juga fungsi rumah gadang yang antara lain sebagai berikut.
Rumah gadang basa batuah,Tiang banamo kato hakikaik,Pintunyo basamo dalia kiasannya,Banduanyo sambah-manyambah,Bajanjang naiak batanggo turun,Dindiangnyo panutuik malu,Biliaknyo aluang bunian.Maksudnya :
Rumah gadang besar bertuah,Tiangnya bernama kata hakikat,Pintunya bernama dalil kiasan,Bendulnya sembah-menyembah,Berjenjang naik, bertangga turun,Dindingnya penutup malu,Biliknya alung bunian.
Selain sebagai tempat kediaman keluarga, fungsi rumah gadang juga sebagai lambang kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara. Bahkan juga sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.
Sebagai tempat tinggal bersama, rumah gadang mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Setiap perempuan yang bersuami memperoleh sebuah kamar. Perempuan yang termuda memperoleh kamar yang terujung. Pada gilirannya ia akan berpindah ke tengah jika seorang gadis memperoleh suami pula. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Sedangkan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing. Penempatan pasangan suami istri baru di kamar yang terujung, ialah agar suasana mereka tidak terganggu kesibukan dalam rumah. Demikian pula menempatkan perempuan tua dan anak-anak pada suatu kamar dekat dapur ialah karena keadaan fisiknya yang memerlukan untuk turun naik rumah pada malam hari.
Sebagai tempat bermufakatan, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama.
Sebagai tempat melaksanakan upacara, rumah gadang menjadi penting dalam meletakkan tingkat martabat mereka pada tempat yang semestinya. Di sanalah dilakukan penobatan penghulu. Di sanalah tempat pusat perjamuan penting untuk berbagai keperluan dalam menghadapi orang lain dan tempat penghulu menanti tamu-tamu yang mereka hormati.
Sebagai tempat merawat keluarga, rumah gadang berperan pula sebagai rumah sakit setiap laki-laki yang menjadi keluarga mereka. Seorang laki-laki yang diperkirakan ajalnya akan sampai akan dibawa ke rumah gadang atau ke rumah tempat ia dilahirkan. Dan rumah itulah ia akan dilepas ke pandam pekuburan bila ia meninggal. Hal ini akan menjadi sangat berfaedah, apabila laki-laki itu mempunyai istri lebih dari seorang, sehingga terhindarlah perseng ketaan antara istri-istrinya.
Umumnya rumah gadang didiami nenek, ibu, dan anak-anak perempuan. Bila rumah itu telah sempit, rumah lain akan dibangun di sebelahnya. Andai kata rumah yang akan dibangun itu bukan rumah gadang, maka lokasinya di tempat yang lain yang tidak sederetan dengan rumah gadang.
Fungsi Bagian Rumah
Rumah gadang terbagi atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus. Seluruh bagian dalam merupakan ruangan lepas, terkecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga, dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Lanjar yang terletak pada bagian dinding sebelah belakang biasa digunakan untuk kamar-kamar. Jumlah kamar tergantung pada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Kamar itu umumnya kecil, sekadar berisi sebuah tempat tidur, lemari atau peti dan sedikit ruangan untuk bergerak. Kamar memang digunakan untuk tidur dan berganti pakaian saja. Kamar itu tidak mungkin dapat digunakan untuk keperluan lain, karena keperluan lain harus menggunakan ruang atau tempat yang terbuka. Atau dapat diartikan bahwa dalam kehidupan yang komunalistis tidak ada suatu tempat untuk menyendiri yang memberikan kesempatan pengembangan kehidupan yang individual. Kamar untuk para gadis ialah pada ujung bagian kanan, jika orang menghadap ke bagian belakang. Kamar yang di ujung kiri, biasanya digunakan pengantin baru atau pasangan suami istri yang paling muda. Meletakkan mereka di sana agar mereka bisa terhindar dari hingar-bingar kesibukan dalam rumah. Kalau rumah mempunyai anjung, maka anjung sebelah kanan merupakan kamar para gadis. Sedangkan anjung sebelah kiri digunakan sebagai tempat kehormatan bagi penghulu pada waktu dilangsungkan berbagai upacara. Pada waktu sehari-harii anjung bagian kin itu digunakan untuk meletakkan peti-peti penyimpanan barang berharga milik kaum.
Lanjar kedua merupakan bagian yang digunakan sebagai tempat khusus penghuni kamar. Misalnya, tempat mereka makan dan menanti tamu masing masing. Luasnya seluas lanjar dan satu ruang yang berada tepat di hadapan kamar mereka.
Lanjar ketiga merupakan lanjar tengah pada rumah berlanjar empat dan merupakan lanjar tepi pada rumah belanjar tiga. Sebagai lanjar tengah, ia digunakan untuk tempat menanti tamu penghuni kamar masing-masing yang berada di ruang itu. Kalau tamu itu dijamu makan, di sanalah mereka ditempatkan. Tamu akan makan bersama dengan penghuni kamar serta ditemani seorang dua perempuan tua yang memimpin rumah tangga itu. Perempuan lain yang menjadi ahli rumah tidak ikut makan. Mereka hanya duduk-duduk di lanjar kedua menemani dengan senda gurau. Kalau di antara tamu itu ada laki-laki, maka mereka didudukkan di sebelah bagian dinding depannya, di sebelah bagian ujung rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemani nya berada di bagian pangkal rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemaninya berada di bagian pangkal rumah. Pengertian ujung rumah di sini ialah kedua ujung rumah. Pangkal rumah ialah di bagian tengah, sesuai dengan letak tiang tua, yang lazimnya menupakan tiang yang paling tengah.
Lanjar tepi, yaitu yang terletak di bagian depan dinding depan, merupakan lanjar terhormat yang lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan.
Ruang rumah gadang pada umumnya terdiri dari tiga sampai sebelas lanjar. Fungsinya selain untuk menentukan kamar tidur dengan wilayahnya juga sebagai pembagi atas tiga bagian, yakni bagian tengah, bagian kiri, dan bagian kanan, apabila rumah gadang itu mempunyai tangga di tengah, baik yang terletak di belakang maupun di depan. Bagian tengah digunakan untuk tempat jalan dari depan ke belakang. Bagian sebelah kiri atau kanan digunakan sebagai tempat duduk dan makan, baik pada waktu sehari-hari maupun pada waktu diadakan perjamuan atau bertamu. Ruang rumah gadang surambi papek yang tangganya di sebuah sisi rumah terbagi dua, yakni ruang ujung atau ruang di ujung dan ruang pangka atau ruang di pangka (pangka = pangkal). Dalam bertamu atau perjamuan, ruang di ujung tempat tamu, sedangkan ruang di pangkal tempat ahli rumah beserta kerabatnya yang menjadi si pangkal (tuan rumah).
Kolong rumah gadang sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian dan atau juga tempat perempuan bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.
Tata Hidup dan Pergaulan dalam Rumah Gadang
Rumah gadang sangat dimuliakan, bahkan dipandang suci. Oleh karena itu, orang yang mendiaminya mempunyai darah turunan yang murni dan kaum yang bermartabat. Stelsel matrilineal yang dianut memberi cukup peluang bagi penyegaran darah turunan ahli rumah bersangkutan, yakni memberi kemungkinan bagi pihak perempuan untuk memprakarsai suatu perkawinan dengan cara meminang seorang laki-laki pilihan. Laki-laki pilihan ditentukan kekayaannya, ilmunya dan atau jabatannya. Oleh karena jabatan penghulu itu sangat terbatas dan ditentukan dengan cara “patah tumbuh, hilang berganti”, maka orang lain akan lebih menumpu ke arah memperoleh ilmu atau kekayaan.
Sebagai perbendaharaan kaum yang dimuliakan dan dipandang suci, maka setiap orang yang naik ke rumah gadang akan mencuci kakinya lebih dahulu di bawah tangga. Di situ disediakan sebuah batu ceper yang lebar yang disebut batu telapakan, sebuah tempat air yang juga dan batu yang disebut cibuk meriau, serta sebuah timba air dari kayu yang bernama taring berpanto.
Perempuan yang datang bertamu akan berseru di halaman menanyakan apakah ada orang di rumah. Kalau yang datang laki-laki, ia akan mendeham lebih dahulu di halaman sampai ada sahutan dan atas rumah. Laki-laki yang boleh datang ke rumah itu bukanlah orang lain. Mereka adalah ahli rumah itu sendiri, mungkin mamak rumah, mungkin orang semenda, atau laki-laki yang lahir di rumah itu sendiri yang tempat tinggalnya di rumah lain. Jika yang datang bertamu itu tungganai, ia didudukkan di lanjar terdepan pada ruang sebelah ujung di hadapan kamar gadis-gadis. Kalau yang datang itu ipar atau besan, mereka ditempatkan di lanjar terdepan tepat di hadapan kamar istri laki-laki yang menjadi kerabat tamu itu. Kalau yang datang itu ipar atau besan dari perkawinan kaum laki-laki di rumah itu, tempatnya pada ruang di hadapan kamar para gadis di bagian lanjar tengah. Waktu makan, ahli rumah itu tidak serentak. Perempuan yang tidak bersuami makan di ruangan dekat dapur. Perempuan yang bersuami makan bersama suami masing-masing di ruang yang tepat di hadapan kamarnya sendiri. Kalau banyak orang semenda di atas rumah, maka mereka akan makan di kamar masing-masing. Makan bersama bagi ahli rumah itu hanya bisa terjadi pada waktu kenduri yang diadakan di rumah itu.
Kalau ada ipar atau besan yang datang bertamu, mereka akan selalu diberi makan. Waktu makan para tamu tidaklah ditentukan. Pokoknya semua tamu harus diberi makan sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Yang menemani tamu pada waktu makan ialah kepala rumah tangga, yaitu perempuan yang dituakan di rumah itu. Perempuan yang menjadi istri saudara atau anak laki-laki tamu itu bertugas melayani. Sedangkan perempuan perempuan lain hanya duduk menemani tamu yang sedang makan itu. Mereka duduk pada lanjar bagian dinding kamar.
Para tamu datang pada waktu tertentu, lazimnya pada hari baik bulan baik, umpamanya pada hari yang dimuliakan seperti hari-hari besar Islam atau dalam hal urusan perkawinan. Kaum keluarga sendiri yang datang untuk mengikuti permufakatan tentang berbagai hal tidak diberi makan. Hanya sekadar minum dengan kue kecil. Bertamu di luar hal itu dinamakan bertandang sekadar untuk berbincang-bincang melepas rindu antara orang bersaudara atau bersahabat.
Orang laki-laki yang ingin membicarakan suatu hal dengan ahli rumah yang laki-laki, seperti semenda atau mamak rumah itu, tidak lazim melakukannya dalam rumah gadang. Pertemuan antara laki-laki tempatnya di mesjid atau surau, di pemedanan atau gelanggang, di balai atau di kedai. Adalah janggal kalau tamu laki-laki dibawa berbincang-bincang di rumah kediaman sendiri.
Tata Cara Mendirikan Rumah Gadang
Sebagai milik bersama, rumah gadang dibangun di atas tanah kaum cara bergotong-royong sesama mereka serta dibantu kaum yang lain. Ketentuan adat menetapkan bahwa rumah gadang yang bergonjong empat dan selebihnya hanya boleh didirikan pada perkampungan yang berstatus nagari atau koto. Di perkampungan yang lebih kecil, seperti dusun atau lainnya, hanya boleh didirikan rumah yang bergonjong dua. Di teratak tidak boleh didirikan rumah yang bergonjong.
Himpunan orang sekaum yang lebih kecil dan suku, seperti kaum sepayung, kaum seperut, atau kaum seindu, dapat pula mendirikan rumah gadang masing-masing.
Pendirian rumah gadang itu dimulai dengan permufakatan orang yang sekaum. Dalam mufakat itu dikajilah patut tidaknya maksud itu dilaksanakan, jika dilihat dari kepentingan mereka dan ketentuan adat. Juga dikaji letak yang tepat serta ukurannya serta kapan dimulai mengerjakannya. Hasil mufakat itu disampaikan kepada penghulu suku. Kemudian penghulu suku inilah yang menyampaikan rencana mendirikan rumah gadang itu kepada penghulu suku yang lain.
Semua bahan yang diperlukan, seperti kayu dan ijuk untuk atap, diambil dari tanah ulayat kaum oleh ahlinya. Setelah kayu itu ditebang dan dipotong menurut ukurannya, lalu seluruh anggota kaum secara beramai-ramai membawanya ke tempat rumah gadang itu akan didirikan. Orang-orang dari kaum dan suku lain akan ikut membantu sambil membawa alat bunyi-bunyian untuk memenahkan suasana. Sedangkan kaum perempuan membawa makanan. Peristiwa ini disebut acara maelo kayu (menghela kayu).
Pekerjaan mengumpulkan bahan akan memakan waktu yang lama. Kayu untuk tiang dan untuk balok yang melintang terlebih dahulu direndam ke dalam lunau atau lumpur yang airnya terus berganti agar kayu itu awet dan tahan rayap. Demikian pula bambu dan ruyung yang akan digunakan. Sedangkan papan dikeringkan tanpa kena sinar matahari.
Bila bahan sudah cukup tersedia, dimulailah mancatak tunggak tuo, yaitu perkerjaan yang pertama membuat tiang utama. Kenduri pun diadakan pula khusus untuk hal ini. Sejak itu mulailah para ahli bekerja menurut kemampuan masing-masing. Tukang yang dikatakan sebagai ahli ialah tukang yang dapat memanfaatkan sifat bahan yang tersedia menurut kondisinya, Indak tukang mambuang kayu (tidak tukang membuang kayu), kata pituah mereka. Sebab, setiap kayu ada manfaatnya dan dapat digunakan secara tepat, seperti ungkapan berikut ini.
Nan kuaik ka jadi tonggak,Nan luruih jadikan balabeh,Nan bungkuak ambiak ka bajak,Nan lantiak jadi bubuangan,Nan satampok ka papan tuai,Panarahan ka jadi kayu api,Abunyo ambiak ka pupuak.
Maksudnya :
Yang kukuh akan jadi tonggak,Yang lurus jadikan penggaris,Yang bungkuk gunakan untuk bajak,Yang lentik dijadikan bubungan,Yang setapak jadikan papan tuas,Penarahannya akan jadi kayu api,Abunya gunakan untuk pupuk.
Selanjutnya pada setiap pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga, seperti ketika batagak tunggak (menegakkan tiang), yaitu pekerjaan mendirikan seluruh tiang dan merangkulnnya dengan balok-balok yang tersedia, diadakan pula kenduri dengan maimbau (memanggil) semua orang yang patut diundang. Demikian pula pada waktu manaikkan kudo-kudo (menaikkan kuda-kuda) kenduri pun diadakan lagi dengan maksud yang sama.
Apabila rumah itu selesai diadakan lagi perjamuan manaiki rumah (menaiki rumah) dengan menjamu semua orang yang telah ikut membantu selama ini. Pada waktu perjamuan ini semua tamu tidak membawa apa pun karena perjamuan merupakan suatu upacara syukuran dan terima kasih kepada semua orang.
Ukiran
Semua dinding rumah gadang dari papan, terkecuali dinding bagian belakang dibuat dari bambu. Papan dinding dipasang vertikal. Pada pintu dan jendela serta pada setiap persambungan papan pada paran dan bendul terdapat papan bingkai yang lurus dan juga berelung. Semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding penuh ukiran. Ada kalanya tiang yang tegak di tengah diberi juga sebaris ukiran pada pinggangnya.
Sesuai dengan ajaran falsafah Minangkabau yang bersumber dari alam terkembang, sifat ukiran nonfiguratif, tidak melukiskan lambang-lambang atau simbol-simbol. Pada dasarnya ukiran itu merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis nielingkar atau persegi. Motifnya tumbuhan merambat yang disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akar itu berbentuk Iingkaran. Akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan, dan juga sambung-menyambung. Cabang atau ranting akar itu berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Ada keluk yang searah di samping ada yang berlawanan. Seluruh bidang diisi dengan daun, bunga, dan buah.
OIeh karena rambatan akar itu bervariasi banyak, maka masing-masing diberi nama. Pemberian nama itu tergantung pada garis yang dominan pada ukiran itu. Pada dasarnya nama yang diberikan ialah seperti berikut.
1. Lingkaran yang berjajar dinamakan ula gerang karena lingkaran itu menimbulkan asosiasi pada bentuk ular yang sedang melingkar.
2. Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena bentuknya yang berseluk atau berhubungan satu sama lain.
3. Lingkaran yang berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak (tangguk) atau jarek (jerat) karena menyerupai jalinan benang pada alat penangkap hewan.
4. Lingkaran yang sambung-bersambung dinamakan aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar ganda yang paralel dinamakan kambang (kembang = mekar).
5. Lingkaran bercabang atau beranting yang terputus dinamakan kaluak (keluk).
6. Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat). Ukuran atau bentuk tingkatan lingkaran itu sama atau tidak sama.
Dari motif pokok itu dapat dibuat berbagai variasi antara lain ialah seperti berikut.
1. Mengkombinasikannya motif segi empat.2. Menyusun dalam kombinasi rangkap.3. Memperbesar atau mempertebal bagian-bagian hingga lebih menonjol dari yang lain4. Memutar atau membalikkan komposisi.
Di samping motif akar dengan berbagai pola itu, ada lagi motif akar yang tidak memakai pola. Ukirannya mengisi seluruh bidang yang salah satu bagian sisinya bergaris relung.Motif lainnya ialah motif geometri bersegi tiga, empat, dan genjang. Motif ini dapat dicampur dengan motif akar, juga bidangnya dapat diisi ukiran atau dihias ukiran pada bagian luarnya.
Motif daun, bunga, atau buah dapat juga diukir tersendiri, secara benjajaran.Ada kalanya dihubungkan oleh akar yang halus, disusun berlapis dua, atau berselang-seling berlawanan arah, atau berselang-seling dengan motif lainnya.
Oleh karena banyak variasi dan kombinasi, serta banyak pula komposisinya yang saling berbeda maka masing-masing diberi nama yang berfungsi sebagai kode untuk membedakan yang satu dengan yang lain.
Nama bagi motif daun, bunga, dan buah boleh dikatakan semua menggunakan nama daun, bunga, dan buah yang dipakai sebagai model ukiran, seperti daun sirih, sakek (anggrek), kacang, dan bodi. Dalam hal bunga ialah cengkih, mentimun, lada, kundur, kapeh. Dalam hal buah ialah manggis, keladi, rumbia, rambai. Ada kalanya hiasan ukiran pengganti bunga atau buah itu dipakai motif dan benda perhiasan lainnya, seperti manik, jambul, mahkota, tirai-tirai, bintang; dan kipas. Ada kalanya pula motif daun dinama dengan nama hewan, seperti itik, tetadu, kumbang, dan bada (ikan).
Nama ukiran geometri bersegitiga pada umumnya disebut dengan pucuk rebung atau si tinjau lauik. Nama pucuk rebung diambil karena pucuk rebung memang runcing seperti segitiga dan si tinjau laut mengingatkan pada atap rumah gadang dengan nama yang sama jika dilihat dari samping. Ukiran segi empat dinamakan siku. Ukiran segi empat genjang dinamakan sayat gelamai karena bentuknya seperti potongan gelamai yang disayat genjang.
Nama yang diberikan pada ukiran yang bermotif akar disesuaikan dengan polanya. Setiap nama umumnya terdiri dari dua kata, seperti akar cina (akar terikat), akar berpilin, akar berayun, akar segagang, akar dua gagang. Akar dua gagang lazim pula disebut kembang manis. Akar yang berjalin dinamakan seperti alat penangkap hewan, yakni seperti jala terkakar (terhampar), jerat terkakar atau tangguk terkakar. Akar yang saling berkaitan dinamakan seluk laka karena bentuknya sebagai laka yang berupa alat untuk tempat belanga yang berisi masakan.
Nama ukiran yang dibuat bervanasi dengan berbagai kombinasi dan perubahan komposisi dan penonjolan bagian-bagiannya umumnya memakai nama hewan, seperti tupai, kucing, harimau, kuda, ular dan rama-rama. Nama hewan itu Iazimnya ditambah dengan suatu kata yang melukiskan keadaan, seperti rama-rama bertangkap, kucing tidur, kijang balari, gajah badorong, kelelawar bergayut.
Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding rumah gadang. Pada papan yang tersusun secara vertikal, motif yang digunakan ialah ukiran akar. Pada papan yang dipasang secara horisontal, digunakan ukiran geometris. Pada bingkai pintu, jendela, dan pelapis sambungan antara tiang dan bendul serta paran, dipakai ukiran yang bermotif lepas. Sedangkan pada bidang yang salah satu sisinya berelung, dipakai motif ukiran akar bebas. Ada kalanya dipakai motif kumbang, mahkota, dan lain lainnya sebagai hiasan pusat.
Pemberian nama tampaknya tidak mempunyai pola yang jelas. Umpamanya, motif yang sama tetapi berbeda jenis ukiran yang mengisi bidangnya akan memperoleh nama yang tidak ada hubungannya sama sekali, seperti antara singo mandongkak (singa mendongkak) dan pisang sasikek (pisang sesisir). Ukiran yang bernama kaluak paku (keluk pakis) jika disalin melalui lantunan kaca akan berubah namanya menjadi kijang balari. Demikian pula ukiran yang bernama ramo-ramo (rama-rama) jika disalin melalui lantunan kaca namanya berubah menjadi tangguak lamah (tangguk lemah).
Rangkiang Setiap rumah gadang mempunyai rangkiang, yang ditegakkan di halaman depan. Rangkiang ialah bangunan tempat menyimpan padi milik kaum. Ada empat macam jenisnya dengan fungsi dan bentuknya yang berbeda. Jumlah rangkiang yang tertegak di halaman memberikan tanda keadaan penghidupan kaum. Bentuk rangkiang sesuai dengan gaya bangunan rumah gadang. Atapnya bergonjong dan dibuat dari ijuk. Tiang penyangganya sama tinggi dengan tiang rumah gadang. Pintunya kecil dan terletak pada bagian atas dan salah satu dinding singkok (singkap), yaitu bagian segi tiga lotengnya. Tangga bambu untuk menaiki Rangkiang dapat dipindah-pindahkan untuk keperluan lain dan bila tidak digunakan disimpan di bawah kolong rumah gadang.
Keempat jenis Rangkiang itu ialah:
1. Si tinjau lauik (si tinjau taut), yaitu tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk membeli barang atau keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri. Tipenya lebih langsing dan yang lain, berdiri di atas empat tiang. Letaknya di tengah di antara rangkiang yang lain.
2. Si bayau-bayau, yaitu tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk makan sehari-hari. Tipenya gemuk dan berdiri di atas enam tiangnya. Letaknya di sebelah kanan.
3. Si tangguang lapa (si tanggung lapar), yaitu tempat menyimpan padi cadangan yang akan digunakan pada musim paceklik. Tipenya bersegi dan berdiri di atas empat tiangnya.
4. Rangkiang Kaciak (rangkiang kecil), yaitu tempat menyimpan padi abuan yang akan digunakan untuk benih dan biaya mengerjakan sawah pada musim berikutnya. Atapnya tidak bergonjong dan bangunannya lebih kecil dan rendah. Ada kalanya bentuknya bundar. Balairung dan Masjid
Balairung ialah bangunan yang digunakan sebagai tempat para penghulu mengadakan rapat tentang urusan pemerintah nagari dan menyidangkan perkara atau pengadilan. Bentuknya sama dengan rumah gadang, yaitu diba ngun di atas tiang dengan atap yang bergonjong-gonjong, tetapi kolongnya lebih rendah dan kolong rumah gadang. Tidak berdaun pintu dan berdaun jendela. Ada kalanya balairung itu tidak berdinding sama sekali, sehingga penghulu yang mengadakan rapat dapat diikuti oleh umum seluas-luasnya. Balairung (Balai Adat) Dari Kelarasan Koto Piliang yang terdapat di Batipuh, beberapa Km dari Padang Panjang
Seperti dalam hal rumah gadang, maka kedua kelarasan yang berbeda aliran itu mempunyai perbedaan pula dalam bentuk balairung masing-masing. Balai rung kelarasan Koto Piliang mempunyai anjung pada kedua ujungnya dengan Iantai yang lebih tinggi. Lantai yang lebih tinggi digunakan sebagai tempat penghulu pucuk. Anjungnya ditempati raja atau wakilnya. Pada masa dahulu, lantai di tengah balairung itu diputus, agar kendaraan raja dapat langsung memasuki ruangan. Lantai yang terputus di tengah itu disebut lebuh gajah. Sedangkan balairung kelarasan Bodi Caniago tidak mempunyai anjung dan lantainya rata dan ujung ke ujung.Balairung dari aliran ketiga, seperti yang terdapat di Nagari tabek, Pariangan, yang dianggap sebagai balairung yang tertua, merupakan tipe lain. Balairung ini diberi labuah gajah, tetapi tidak mempunyai anjung. Bangunannya rendah dan tanpa dinding sama sekali, sehingga setiap orang dapat melihat permufakatan yang diadakan di atasnya.Tipe lain dan balairung itu ialah yang terdapat di Nagari Sulit Air. Pada halaman depan diberi parit, sehingga setiap orang yang akan masuk ke balai rung harus melompat lebih dahulu. Pintu balairung diletakkan pada lantai dengan tangganya di kolong, sehingga setiap orang yang akan naik ke balairung itu harus membungkuk di bawah Iantai.Balairung hanya boleh didirikan di perkampungan yang berstatus nagari. Balainya pada nagari yang penduduknya terdiri dan penganut kedua aliran kelarasan, bentuknya seperti balairung Koto Piliang, tetapi dalam persidangan yang diadakan di sana lantai yang bertingkat tidak dipakai. Ini merupakan suatu sikap toleransi yang disebutkan dengan kata “habis adat oleh kerelaan”. Mesjid Bodi Chaniago Mesjid KotopiliangApabila balairung digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, maka masjid merupakan pusat kegiatan kerohanian dan ibadah. Masjid hanya boleh didirikan di nagari dan koto. Bentuk bangunannya selaras dengan rumah gadang, yakni dindingnya mengembang ke atas dalam bentuk yang bersegi empat yang sama panjang sisinya. Atapnya lancip menjulang tinggi dalam tiga tingkat. Di samping masjid, juga didapati pula semacam bangunan yang dinamakan surau. Jika masjid adalah milik nagari, maka surau adalah milik kaum. Surau digunakan juga sebagai asrama kaum laki-laki, duda, dan bujangan. Di surau itulah tiap kaum memberikan pendidikan ilmu pengetahuan kepada anak-anak muda.
Perkawinan
UPACARA ADAT PERNIKAHAN DAERAH MINANGKABAUSumber : NAZIL BASIR & ELLY KASIMJl. Jl. Beton No.68. Kmp. Ambon Kel. Kayu Putih Jakarta Timur.
Tel. 4716318 / 4890725 Fax. 4528403
Daerah minangkabau yang terletak disebelah barat pulau sumatera, dengan mayoritas penduduknya muslim memiliki upacara adat pernikahan yang sangat beragam antara satu luhak adat dengan luhak adat lainnya. Namun adanya kesepakatan antara satu luhak adat dengan luhak adat lainnya untuk saling menerima tatacara pernikahan yang mereka anggap baik dan menarik untuk dilaksanakan.
Proses upacara perkawinan adat istiadat minangkabau dapat dibuat menjadi suatu urutan sebagai berikut :
I. Maresek / penjajakanII. Maminang / batimbang tandoIII. Minta izin / Mahanta SiriahIV. Babako / BabakiV. Malam BainaiVI. Manjapuik MarapulaiVII. Pemberian GelarVIII. Penyambutan di rumah anak daro I. Maresek
Awal dari sebuah perkawinan jika menjadi urusan keluarga, bermula dari penjajakan. Di Minangkabau sendiri kegiatan ini di sebut dengan berbagai istilah. Ada yang menyebut maresek, ada yang mengatakan marisiak, ada juga yang menyebut marosok sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Tapi tujuan dan artinya sama yaitu melakukan penjajakan pertama.Tata cara pelaksanaannya berbeda-beda di Sumatera Barat. Ada nagari-nagari di mana perempuan yang datang dahulu melamar. Tapi ada juga nagari-nagari di mana pihak laki-laki yang melakukan pelamaran. Namun sesuai dengan system kekerabatan matrilineal yang berlaku di Minankabau, maka yang umum melakukan lamaran ini adalah pihak keluarga perempuan.Pelaksanaan penjajakan tidak perlu ayah-ibu atau mamak-mamak langsung dari si anak gadis yang akan di carikan jodoh itu yang datang. Biasanya perempuan-perempuan yang sudah berpengalaman untuk urusan-urusan semacam itu yang di utus terlebih dahulu. Tujuannya adalah mengajuk-ajuk apa pemuda yang dituju telah ada niat untuk dikawinkan dan kalau sudah berniat apakah ada kemungkinan kalau dijodohkan dengan anak gadis si A yang juga sudah berniat untuk berumah tangga.Jika mamak atau ayah bundanya nampak memberikan respon yang baik, maka angin baik ini segera di sampaikan kembali oleh si telangkai tadi kepada mamak dan ayah bunda pihak si gadis.Urusan resek-maresek ini tidak hanya berlaku dalam tradisi lama, tetapi juga berlaku sampai sekarang baik bagi keluarga yang masih berada di Sumatera Barat, maupun bagi mereka yang sudah bermukim di rantau-rantau.Terutama tentu saja bagi keluarga-keluarga yang keputusan-keputusan penting masih tergantung kepada orang-orang tua mereka. Untuk kasus-kasus yang semacam ini, tentang siapa yang harus terlebih dahulu melakukan penjajakan, tidaklah merupakan masalah. Karena di sini berlaku hokum sesuai dengan pepatah petitih :
Sia marunduk sia bungkuakSia malompek sia patahArtinya siapa yang berkehendak,tentulah dia yang harus mengalah
Seringkali resek-maresek ini tidak selesai satu kali, tapi bisa berlanjut dalam beberapa kali perundingan. Dan jika semuanya telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakan masing-masing dan segala persyaratan untuk itupun telah di setujui oleh pihak keluarga laki-laki dengan telangki yang, maka barulah selanjutnya di tentukan untuk mengadakan pertemuan secara lebih resmi oleh keluarga kedua belah pihak. Acara inilah yang di sebut acara maminang. II. Maminang/Batimbang TandoPada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan dijodohkan itu dengan dipimpin oleh mamak mamaknya datang bersama-sama kerumah keluarga calon muda yang dituju. Lazimnya untuk acara pertemuan resmi pertama ini diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang wanita yang patut-patut dari keluarganya. Dan biasanya rombongan yang datang juga telah membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih berkata-kata, jika sekiranya si mamak sendiri bukan orang ahli untuk itu.Untuk menghindarkan hal-hal yang dapt menjadi penghalang bagi kelancaran pertemuan kedua keluarga untuk pertama kali ini, lazimnya si telangkai yang marisiak, sebelumnya telah membicarakan dan mencari kesepakatan dengan keluarga pihak pria mengenai materi apa saja yang akan di bicarakan pada acara maminang itu. Apakah setelah meminang dan pinangan di terima lalu langsung di lakukaan acara batuka tando atau batimbang tando ?Batuka tando secara harfiah artinya adalah bertukar tanda. Kedua belah pihak keluarga yang telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakannya itu, saling memberikan tanda sebagai ikatan sesuai dengan hokum perjanjian pertunangan menurut adat Minagkabau yang berbunyi ;Btampuak lah buliah dijinjing,.Batali lah buliah diirik.Artinya kalau tanda telah dipertukarkan dalan satu acara resmi oleh keluarga belah pihak, maka bukan saja antar kedua anak muda tersebut telah ada keterikatan dan pengesahan masyarakatan sebagai dua orang yang telah bertunangan, tetapi juga antar kedua keluarga pun telah terikatan untuk saling mengisi adat dan terikat untuk tidak dapat memutuskan secara sepihak perjanjian yang telah disepakati itu.Barang-barang yang dibawaBarang-barang yang dibawa waktu meminang, yang utama adalah sirih pinang lengkap. Apakah di susun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak menjadi soal. Yang penting sirih lengkap harus ada. Tidaklah di sebut beradat sebuah acara, kalau tidak ada sirih pinang lengkap harus ada. Tidaklah di sebut beradat sebuah acara, kalau tidak ada sirih diketengahkan.Pada daun sirih yang dikunyah menimbulkan dua rasa di lidah, yaitu pahit dan manis, terkandung symbol-simbol tentang harapan dan kearifan manusia akan kekurangan-kekurangan mereka. Lazim saja selama pertemuan itu terjadi kekhilafan-kekhilafan baik dalam tindak-tanduk maupun dalam perkataan, maka dengan menyuguhkan sirih di awal pertemuan, maka segala yang janggal itu tidak akan jadi gunjingan. Sebagaimana dalam pasambahan siriah disebutkan :
Kok siriah lah kami makanManik lah lakek di ujuang lidahPahik lah luluih karangkuanganJika sirih sudah kami makanYang manis lekat di ujung lidahYang pahit lolos ke kerongkongan.
Artinya orang tidak lagi mengigat-mengigat segala yang jelek, hanya yang manis saja pada pertemuan itu yang akan melekat dalam kenangannya.Kalau disepakati sebelumnya bahwa pada acara maminang tersebut sekaligus juga akan dilangsungkan acara batuka tando atau batimbang tando maka benda yang akan dipertukarkan sebagai tanda itu juga dibawa dalam wadh yang sudah dihias. Yang dijadikan sebagai tanda untuk dipertukarkan lazimnya adalah benda-benda pusaka, sepertikeris, atau kain adat yang mengandung nilai sejarah bagi keluarga.Karena nilai sejarahnya inilah maka barang -barang yang dijadikan sebagai tanda itu sangat berharga bagi keluarga yang bersangkutan dan karena itu pula maka setelah nanti akad nikah dilangsungkan, masing-masing tanda ini harus di kembalikan lagi dalam suatu acara resmi oleh kedua belah pihak.
Urutan AcaraPembicaran dalam acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak atau wakil dari pihak keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak keluarga pemuda. . Bertolak dari penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya ada empat hal secara simultan yang dapat dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak saat itu.Namun menurut yang lazim di kampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu yang direkayasa oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini akan berlangsung berkali-kali sebelum urutan ketentuan di atas dapat dilaksanakan. Karena pihak keluarga pemuda pasti tidak dapat memberikan jawaban lagsung pada pertemuan pertama itu. Orang tuanya atau ninik mamaknya akan meminta waktu dengan keluarga-keluarganya yang patut-patut lainnya. Paling -paling pada pertemuan tersebut, pihak keluarga pemuda menentukan waktu kapan mereka memberikan jawaban atas lamaran itu.Acara maminang yang berlangsung di kota-kota umumnya sudah dibuat dengan scenario yang praktis berdasqrkan persetujuan kedua keluarga, sehingga urutan-urutan seperti kami cantukan diatas dapat dilaksanan secara simultan dan diselasaikan dalam satu kali pertemuan.Tata CaraSetelah rombongan keluarga pihak wanita dipersilakan naik ke atas rumah dan didududkan di sekitar seprai yang telah ditata dengan makanan-makanan kecil, maka mamak atau jurubicara dari pihak keluarga wanita yang datang yang kan memulai pembicaraan menurut tata adat sopan santun Minang yang disebut pasambahan.Sambah yang dilakukan dengan mengakat kedua telapak tangn dihadpan wajah ini, harus ditujukan kepada ninik mamak atau orang yang memang sudah ditentukan oleh keluarga pihak pria yang telah ditunjuk untuk itu.Yang menjadi inti pembicaraan pertama ialah pasambahan siriah, di mana jurubicara pihak keluarga yang datang menyuguhkan sirih lengkap yang dibawahnya untuk dicicipi oleh semua yang patut -patut dalam keluarga pihak laki-laki. Sirih yang disuguhkan itu juga tidak harus dimakan; dengan memegang atau mengupil secuil daun sirih itu saja juga sudah dianggap sah.Setelah itu barulah juru bicara pihak yang datang menanyakan apakah mereka sudah boleh menyampaikan maksud dan tujuan dari kedatangan mereka itu.Lazimnya menurut adat, permintaan dari yang datang ini tidak langsung dipenuhi oleh keluarga yang menunggu.Bagaimanapun sesuai dengan basa-basi, sebelum pembicaraan dimulai, pihak tuan rumah ingin menyuguhkan makanan dan minuman yang telah terhidang sebagai pelepas lelah bagi tamu-tamunya. Dalam hal ini berlaku hokum pepatah petitih adat yang mengatakan :
Jikok manggolek dinan dataJikok barudiang sudah makanJikalau berbaring di tempat yang rataKalau berunding sesuadh makan
Selesa makan dan minum, juru bicara keluarga yang datang akan mengulangi lagi permintaannya apakah sudah dibolehkan menyampaikan maksud kedatangan mereka.Jika lamaran telah diterima, maka dilangsungkanlah acara batuka tando. Tanda dari pihak keluarga perempuan yang meminang diserahkan olek ninik mamaknya kepada ninik mamak keluarga pria. Dan dari ninik mamak ini baru diteruskan kepada ibu dari calon mempelai wanita. Begitu pula sebaliknya.1. Melamar : Menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak kelurga si gadis kepada pihak keluarga si pemuda.2. Batuka tando : Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing3. Baretong : Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam penjumpatan calon pengantin pria waktu akan dinikahkan.4. Manakuak Hari : Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan
Bila seorang pemuda telah ditentukan jodoh dan hari perkawinannya, maka kewajiban yang pertama menurut adat yang terpikul langsung ke diri orang yang bersangkutan, ialah memberitahu dan mohon restu kepada mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara ayahnya ; kepada kakak-kakanya yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang dihormati dalam kelurganya.Acara ini pada beberapa daerah di Sumatera barat di sebut minta izin.Bagi calon pengantin wanita, kewajiban ini tidaklah terpikul langsung kepada calon anak daro, tetapi dilaksanakan oleh kaum keluarganya yang wanita yang telah berkeluarga , acara ini disebut mahanta siriah. Atau menghantar sirih.Tata caraPada hari yang telah ditentukan calon mempelai pria dengan membawa seorang kawan ( biasanya teman dekatnya yang telah atau baru berkeluarga) pergi mendatangi langsung rumah isteri dari keluarga-keluarga yang patut dihormati.Kemudian menjelaskan segala rencana perhelatan yang akan diadakan oleh orang tuanya.Lalu minta izin (mohon doa) restu dan kalu perlu minta petunjuk dan sifat yang diperlukan dalam rencana perkawinan.Terakhir tentu memohon kehadiran orang bersangkutan serta seluruh keluarganya pada hari-hari perhelatan tersebut.Tata busanaUntuk melaksanakan acara ini calon pengantin pria diharuskan untuk mengenakan busana khusus. Ada dua pilihan untuk itu yang lazim berlaku sampai sekarang di beberapa daerah di Sumatera Barat :1. Mengenakan celana batik dengan baju ganting cina berkopiah hitam dan menyandang kain sarung pelekat (atau sarung bugis )2. Mengenakan celana batik degan kemeja putih yang diluarnya dilapisi dengan jas, kerah kemeja ke luar menjepit leher jas. Tetap memakai kopiah dengan kain sarung pelekat yang disandang di bahu atau dilingkarkan di leher.Dahulu si calon mempelai pria juga di haruskan untuk membawa salapah (semacam tempat untuk rokok daun nipah dengan tembakaunya) sekarang ditukar dengan rokok biasa. Sebab tujuan membawa barang tersebut hanyalah sebagai suguhan pertama sebelum membuka kata .Bagi keluarga calon pengantin wanita yang bertugas melaksanakan acara ini yang disebut mahanta siriah, yaitu peralatan yang dibawa sesuai dengan namanya yaitu seperangkat daun sirih lengkap bersadah pinang yang telah tersusun rapi baik di letakkan diatas carano maupun di dalam kampia (tas yang terbuat dari daun pandan). Sebelum maksud kedatangan disampaikan maka sirih ini terlebih dahulu yang disuguhkan kepada orang yang didatangi.
IV. Babako -BabakiPelaksanaan acara ini dalam rentetan tata cara perkawinan menurut adat Minangkabau memang dilaksanakan oleh pihak bako. Yang disebut bako, ialah seluruh keluarga dari pihak ayah. Sedangkan pihak bako ini menyebut anak-anak yang dilahirkan oleh keluarga mereka yang laki-laki dengan isterinya dari suku yang lain dengan sebutan anak pusako. Tetapi ada juga beberapa nagari yang menyebutnya dengan istilah anak pisang atau anak ujung emas.Dalam sisitim kekerabatab matrilineal di Minangkabau, pihak keluarga bapak tidaklah begitu banyak terlibat dan berperan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakasanakan dalam lingkungan keluarga anak pusakonya. Menurut ketentuan ketentuan adat setidaknya ada empat peristiwa dalam kehidupan seorang anak pusako dimana pihak bako ikut berkewajiban untuk mengisi adat atau melaksanakan acaranya secara khusus.Empat peristiwa tersebut ialah :1. Waktu melaksanakan acara turun mandi atau memotong rambut anak pusako beberapa waktu setelah dilahirkan.2. Waktu perkawinannya.3. Waktu pengangkatannya jadi penghulu (kalau dia laki-laki)4. Waktu kematiannya.Khusus pada waktu perkawianan anak pusako, keterlibatan pihak bako ini terungkap dalam acara adat yang disebut babako-babaki. Dalam acara itu, sejumlah keluarga ayah secara khusus mengisi adat dengan datang berombongan kerumah calon mempelai wanita dengan membawa berbagai macam antaran.Hakikat dari acara ini ialah bahwa pada peristiwa penting semacam itu, pihak keluarga ayah ingin memperlihatkan kasih sayangnya kepad anak pusako mereka dan merasa harus ikut memikul beban sesuai dengan kemampuan mereka.Karena itulah dalam acara ini rombongan pihak bako waktu datang kerumah anak pusakonya membawa berbagai macam antaran.Acara ini dilaksanakan beberapa hari sebelum acara akad nikah dilangsungkan. Untuk efisiensi waktu dan biaya terutama di kota-kota besar, acara babako-babaki ini sekarang sering distalikan pelaksanaannya dengan acara malam bainai.Sore harinya pihak bako datang dantetap tinggal di rumah anak pusakonya itu untuk dapat mengikuti acara bainai yang akan dilang-sungkan malam harinya.Tata caraMenurut tradisi di kampung, gadis anak pusako yang akan kawin biasanya dijemput dulu oleh bakonya dan dibawa kerumah keluarga ayahnya itu. Calon anak daro ini akan bermalam semalam di rumah bakonya, dan pada kesempatan itu yang tua-tua akan memberikan petuah dan nasehat yang berguna bagi si calon pengantin sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan berumah tangga nanti.Arak-arakan bako mengahantar anak pusako ini diiringkan oleh para ninik mamak dan ibu-ibu yang menjunjung berbagai macam antaran dan sering pula dimeriahkan dengan iringan pemain-pemain musik tradisional yang ditabuh sepanjang jalan.Keluarga ibu juga mempersiapkan penyabutab kedatngan rombongan bako ini dengan tidak kalah meriahnya. Mulai dari penyambutan dihalaman dengan tari gelombang sampai kepada penyediaan hidangan-hidangan di atas rumahBarang yang dibawa bako1. Sirih lengkap dalam carano (sebagai kepla adat )2. Nasi kuning singggang ayam (sebagai makanan adat)3. Perangkat busana. Bisa berupa bahan pakaian atau baju yang telah dijahit,selimut dan lain-lain.4. Perangkat perhiasan emas5. Perangkat bahan mentah yang diperlukan di dapur untuk persiapan perhelatan, seperti beras, kelapa binatang-binatang ternak yang hidup, seperti ayam kambing atau kerbau.6. Perangkat makanan yang telah jadi, baik berupa lauk pauk maupun kue-kue besar atau kecil.Menurut tradisi di kampung dulu, bawaan pihak bako ini juga dilengkapi dengan berbagai macam bibit tumbuh-tumbuhan yang selain mengandung arti simbolik juga dapat dipergunakan oleh calon anak daro dan suaminya sebagai modal untuk membina perekomonian rumah tangganya nanti.Lazim juga dibeberapa daerah di Minangkabau, air harum racikan dari haruman tujuh macam bunga dengan sitawa sidingin dan tumbukan daun inai yang akan dipergunakan dalam acara mandi-mandi dan bainai, langsungkan disiapkan dan ikuti dibawa dalam arak-arakan keluarga bako ini.
V. Malam BainaiBainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pegantin wanita. Bisa dilakukan oleh siapa saja. Mandi-mandi dilaksanakan oleh perempuan-perempuan tua, maka acara Bainai bisa oleh yang muda-muda pria dan wanita. Jumlahnya juga harus ganjil, 7 atau 9 orang.Tumbukan halus daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku.Filosofinya : Melindugi si calon pengantin wanita dari segala kejadian yang dapat mengganggu lancarnya perjalanan acara-acara yang akan dilaksanakan, baik yang didatangkan oleh manusia yang dengki maupun oleh setan-setan.Ada kepercayaan orang-orang tua tempo dulu, keinginan-keinginan jahat dari seseorang dapat dimasukan melalui ujung-ujung jari. Karena itu ujung-ujung jari harus dilindungi dengan warna merah. Tapi lepas dari itu, pekerjaan memerahkan kuku bagi wanita sekarang ternyata juga merupakan bagian dari element kecantikan.Lazimnya dan seterusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum besok paginya calon anak daro melangsungkan akad nikah.Tujuan :1. Untuk membersihkan dan mensucikan si Calon Pengantin secara lahiriah dan badaniah. Serta untuk melakukan berbagai usaha agar si calon Pengantin nampak lebih cantik dan cemerlang selam pesta-pesta perkawinannya.2. Untuk memberi kesempatan seluruh keluarga terdekat berkumpul menunjukan kasih saying dan memberikan doa restunya kepada si Calon Pengantin .Tata cara1. Babako-Babaki :Keluarga pihak ayah yang dalam sistim kekerabatan Matrilinial Minang disebut Bako yang berperan penting dalam acara ini. Mereka datang lebih awal membawa segala perlengkapn yang diperlukan untuk acara serta sekalian membawa barang-barang bawaan pemberian pihak Bako untuk si Calon Anak daro. Penyerahan segala barang-barang bawaan bako ini kepada pihak keluarga pengantin wanita dilakukan secara resmi.Filosofinya : Ringan sama dijinjing-Berat sama dipikul.2. Sitawa Sidingin :Jika semua keluarga terdekat telah hadir termasuk juga keluarga-keluarga terdekat Calon Pengantin Pria, maka dilangsungkan acara mandi-mandi secara simbolis dengan memercikkan air dengan ramuan 7 kembang. Air ini dipercikan kecuali oleh Ayah Bundanya juga oleh perempuan-perempuan tua atau sudah berkeluarga dilingkungan kelurga Bako- keluarga Ayah-Ibu dan keluarga Calon Besan. Jumlahnya harus ganjil-7 atau 9 orang.Si calon Pengantin wanita didudukan pada satu tempat khusus dengan dipayungi dengan paying kuning oleh seorang dari saudara-saudara kandungnya yang laki-laki.Filosofinya : kehormatan dan keselamatan seorang wanita berada dibawah lindungan saudaranya yang laki-laki yang dalam struktur kekeluargaan Minang akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan nanti.Selain itu 2 orang Wanita saudara-saudara ibunya akan mendampingi dengan memegang kain Simpai .Filosofinya : Keluarga-keluarga wanita dari pihak ibu ikut bertanggung jawab melindungi ponakan-ponakannya yang wanita dari segala aib dan gunjingan orang.3. Manapak Jajakan kunigan :Di beberapa nagari di Sumatera Barat acara malam bainai ini sering juga diawali lebih dahulu dengan acara mandi-mandi yang akan dilaksanakan khusus oleh wanita-wanita di siang hari atau sore harinya.Maksudnya kira-kira sama dengan siraman dalam tradisi Jawa..Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai tujuan dan makna sebagai berikut :1. Untuk mengungkapkan kasih saying keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan masa remajanya.2. Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina kehidupan baru berumah tangga.3. Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara yang sacral, yaitu akad nikah,4. Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.Acara mandi-mandi secara simbolik ini harus diawali oleh ibunya dan diakhiri oleh Ayahnya. Setelah itu kedua ibu-Bapak menggandeng puterinya dengan penuh kasih saying secara pelan-pelan membawa menapak di atas kain jajakan kuning yang terentang antara tempat acara mandi-mandi dengan pelaminan dimana acara Bainai yang dilaksanakan.Filosofinya : Bimbingan terakhir dari seorang ayah dan ibu yang telah membesarkan puterinya dengan penuh kehormatan, karena setelah menikah maka yang akan membimbingnya lagi adalah suaminya.Demikianlah seluruh rangkaian acara malam bainai dan upacara ini seluruhnya dipandu oleh 2 orang wanita yang dalam istilah Minang disebut UCI-UCI.
VI. Manjapuik MarapulaiDiselenggarakan pada waktu menjemput calon mempelai pria ke rumah orang tuanya untuk dibawa kerumah calon pengantin wanita.Hal-hal lain di luar ini, itu tergantung kepada adat istiadat daerah masing-masing yang berbeda-beda, serta perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Umpamanya untuk daerah pesisir Sumatera Barat seperti padang Pariaman, berlaku ketentuan untuk membawa payung kuning tujuh tungketan, tombak jingo janggi, pedang (kalau si calon pengantin prianya bergelar Marah, Sidi dan Bagindo ).Tujuan dari manjapuik marapulai ini untuk menghormati calon menantu dan calon besan sesuai dengan adat Minang yang mengkategorikan mereka dalam keluarga yang harus diperlakukan secara lebih khusus dengan aturan ” Ereng-Gendeng” - “Kato Malereng- Datang bajapuik-Tibo basonsong.Tata Caranya :1. manjapuik :Keluarga-keluarga terdekat pihak calon pengantin wanita termasuk menantu-menantu berpasangan suami isteri (minimal 5 pasangan ) dengan dipimpin seorang Ninik Mamak yang ahli berpetatah petitih sambil membawa 2 orang Pasundan berangkat menurut waktu yang telah ditentukan menuju rumah calon mempelai pria..Secara umum menurut ketentuan adat yang lazim, dalam menjemput calon pengantin pria ini pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa tiga bawaan wajib, yaitu :Pertama : Sirih lengkap dalam cerana menandakan datangnya secra beradat.Kedua : Pakaian pengantin lengkap dari tutup kepala sampai ke alas kaki yang akan dipakai oleh calon pengantin pria.Ketiga : Nasi kuning singgang ayam dan lauk-pauk yang telah dimasak serta makanan dan kue-kue lainnya sebagai buah tangan.2. Sambah Manyambah :Setalah sampai di rumah calon mempelai pria dan telah dipersilakan duduk diatas rumah ninik mamak juru bicara calon mempelai wanita membuka kata dengan mempersembahkan sirih kepada keluarga yang patut-patut diatas rumah itu terlebih dahulu. Kemudian baru menyampaikan maksud kedatangan yang ditujukan kepada wakil-ninik mamak calon mempelai pria yang telah ditujuk untuk itu. Pengutaran maksud dan jawabannya dilakukan dengan pepatah petitih Minang. Inilah yang disebut acara : “Sambah menyambah”.Filosofinya : Untuk sebuah acara yang sacral semacam perkawinan tentulah diperlukan pembicaraan dan sikap yang lebih tertib dan sopan santun seremonial dibandingkan dengan pembicaraan-pembicaraan keseharian.3. Mananyokan gala :Pada kesempatan tersebut selain dari mengutarakan maksud kedatangan dan basa-basi lainnya yang penting lagi kalau calon menantu tersebut juga berasal dari minang maka waktu itu juga dengan sambah manyambah langsung ditanyakan siapa gelar yang telah diberikan oleh ninik mamak kaum kepada anak kemenakan mereka yang akan dikawinkan itu. Tapi kalau calon menatu tersebut bukan orang Minang, maka acara pemberian gelar diberikan oleh keluarga Ayah calon anak daro selesai acara akad nikah.Filosofihnya : Untuk semenda-semenda dari Minang di sebut “Ketek banamo-Gadang bagala ” Sedangkan untuk semenda-semenda diluar Minang, disebut : Inggok mancangkam Tambang basitumpu.4. Tari Galombang & Carano.Jika acara di rumah calon mempelai pria telah selesai si calon telah didandani lalu diiringkan bersama-sama menuju rumah Calon mempelai wanita. Disini dilakukan penyambutan Adat sebagai berikut :w Payung KuningSeturunnya dari mobil calon mempelai pria harus segera disambut dengan memayunginya dengan payung kuning.Filosofinya : Calon pengantin pada hari perkawinanya. Ditinggikan sarantiang didahulukan salangkah artinya harus diperlakukan sebagai orang penting dengan segala atributnya.w Tari GalombangLalu disambut oleh pemuda-pemuda dalam lingkungan kampung si Calon anak Daro dengan Tri Galombang.Filosofinya : Tibo basongsong - dan keselamatan orang datang harus dijaga oleh pemuda-pemuda tsb yang dalam pola kekerabatan di Minang disebut “Parik Paga dalam Nagari”. Merekalah yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban kampung halamannya termasuk menjaga keselamatn tamu-tamu yang datang.w Persembahan CaranoPenyambutan yang dilakukan dijalan raya dimuka rumah calon mempelai wanita ini dilanjutkan lagi dengan Tari Carano oleh sejumlah Dara-dara minang yang disebut Limpapeh Rumah Nan Gadang. Mereka mempersembahkan sirih lengkap dalam Carano Adat kepada Orang tua dan ninik mamak keluarga Calon mempelai pria dan terakhir kepada si calon sendiri.Filosofihnya : tagak Adat - tagak Carano. Sirih lengkap dalam wadahnya yang disuguhkan kepada orang-orang yang dihormati itu berarti acara dilaksanakan secara ber-adat.w Pasambahan Manyarahkan Anak kamananSelesai penyambutan dengan tari-tarian ini, maka dipintu ke pekarangan rumah calon mempelai wanita dilangsungkan lagi acara sambah-manyambah antara 2 ninik mamak yang telah ditunjuk untuk mewakil kedua keluarga itu. Persembahan dengan pepatah petitih minang ini bertujuan pokok dimana pihak keluarga calon pengantin pria menitipkan anak kemenakannya untuk dikawinkan dan mohon untuk dapat diterima diperlakukan pula sebagai anak kemenakan kandung sendiri dalam keluarga calon mempelai wanita.Filosifnya ; tatungkuik samo makan tanah-talilantang samo minum ambun. Artinya perlakukan calon menantu itu sebagai anak kemenakan sendiri. Sakit sama merasakan sakit-senang sama menikamati kesenangan.w Manapak Kain Jajaka PutihMenapak kedalam pekarangan sebelum masuk kedalam rumah, dilakukan lagi penyambutan adat oleh perempuan- perempuan tua dilingkungan keluarga calon mempelai wanita. Mereka juga memegang wadah yang berisi beras kuning untuk ditaburkan kepada calon mempelai pria. Ini bermakna doa restu dari seluruh keluarga yang menunggu bagi calon menantu mereka. Setelah itu secara simbolik dituangkanlah beberapa tetes air kesepatu calon menantu untuk selanjutnya dikembangkan kain jajakan putih yang terbentang dari tempat tsb sampai ke tempat dimana acaraakad nikah akan dilangsungkan. Kain jajakan putih ini hanya boleh diinjak dan dilalui oleh Si calon Pengatin.Filosofihnya : Perkawinan harus dilakukan hanya dengan niat yang suci dan hati yang bersih sesuci yang datang , sesuci itu pula hati yang menerima.
VII. Pemberian GelarSesuatu yang sangat khas Minangkabau ilah bahwa setiap laki-laki yang telah dianggap dewasa harus mempunyai gelar. Ukuran dewasa seorang laki-laki ditentukan apabila ia telah berumah tangga. Oleh karena itulah untuk setiap pemuda Minang, pada hari perkawinannya ia harus diberi gelar pusaka kaumnya.Penyembutan gelar seorang menantu, walaupun dengan kata-kata Tan saja untuk Sutan atau kuto saja untuk Sutan Mangkuto, telah mengungkapkan adanya sikap untuk menghormati sang menantu atau semendanya itu dan telah terbiasa memanggil nama.Setiap kelompok orang seperut yang disebut satu suku didalam sistim kekerabatan Miangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada kemenakan-kemenakannya yang laki-laki. Gelar inilah yang diberikan sambut bersambut kepada pemuda-pemuda sepersukuan yang akan berumah tangga. Pada umumnya gelar untuk pemuda-pemuda yang baru kawin ini diawali dengan Sutan. Ada ketentuan adat yang tersendiri dalam menempatkan orang semenda dan menantu-menantu dari suku lain ini didalam struktur kekerabatan Minangkabau. Bagaimanapun para orang semenda ini, jika telah beristerikan perempuan Minang, maka mereka itu oleh pihak keluarga mempelai wanita ditegakkan sama tinggi dan kedudukan sama rendah dengan menantu dan orang semendanya yang lain.
Bila akad nikah dilangsungkan dirumah calon mempelai wanita, bukan di masjid, maka acara penyambutan kedatangan calon mempelai pria dengan rombongannya dihalaman rumah calon pengantin wanita akan menjadi peristiwa besar . Acara ini disebut sebagai acara baralek gadang dengan menegakkan marawa-marawa Minang sepanjang jalan sekitar rumah.Tata caraAda empat tata cara menurut adat istiadat Minang yang dapat dilakukan oleh pihak keluarga calon mempelai wanita dalam menyambut kedatangan calon mempelai pria yang dilangsungkan pada empat titik tempat yang berbeda pula dihalaman rumahnya.Pertama, memayungi segea calon mempelai pria dengan paying kuning tepat pada waktu kedatangannya pada titik yang telah ditentukan di jalan raya di depan rumah. Atau kalau rombongan datang dengan mobil, pada titik tempat calon mempelai pria ditentukan untuk turun dari mobilnya dan akan melanjutkan perjalanan menuju rumah dalam arak-arakan berjalan kaki.Kedua, penyambutan dengan tari gelombang Adat timbal balik oleh pemuda-pemuda yang disebut parik paga dalam nagari dengan memberiakan penghormatan pertama dan menjaga kiri kanan jalan yang akan dilewati oleh rombongan.Pada satu titik di pertengahan jalan kedua barisan gelombang ini kan bersobok dan pimpinannya masing-masing akan melakukan sedikit persilatan. Kemudian acara dilanjutkan dengan barisan dara-dara limpapeh rumah nan gadang yang menyonsong mempersembahkan sirih lengkap dalam carano adat bertutup dalamak secara timbal balik dalam gerakan menyilang antara yang datang dan yang menanti.Ketiga, sambah-menyambah antar jurubicara pihak tuan rumah dengan jurubicara rombongan calon mempelai pria yang dilangsungkan tepat di depan pintu gerbang sebelum masuk ke pekarangan rumah calon mempelai wanita. Menurut adanya sambah-manyambah di luar rumah ini diawali oleh jurubicara pihak calon pengantin wanita sebagai sapaan kehormatan atas datangnya tamu-tamu kerumah mereka.Keempat, penyambutan oleh perempuan-perempuan tua tepat pada titik sebelum calon mempelai pria memasuki pintu utama rumah. Perempuan-perempuan inilah menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning sambil berpantung dan kemudian setelah mempersilahkan naik manapiak bandua maningkek janjang, mencuci kaki calon menantunya dengan menuangkan sedikit air ke ujung sepatu calon mempelai pria.Tata BusanaDua orang yang jadi jurubicara untuk sambah menyambah boleh berpakaian yang sama dengan keluarga.Yaitu pakai sarung dan berkemeja dilapisi jas di luarnya, yang penting kepalanya harus tertutup dengan kopiah hitam. Boleh juga dikenakan busana model engku damang atau yang sekarang juga sering disebut sebagai jas dubes. Atau kalau dia hanya memakai kemeja dan pantaloon biasa maka di lehernya harus dikalungkan kain pelekat yang kedua ujungnya terjuntai ke dada. Sedangkan kepala harus memakai kopiah.
ACARA ADAT SESUDAH AKAD NIKAH1. Sambah Bakti :Selesai acara akad nikah secara Islam maka dilanjutkan lagi dengan beberapa acara adat. Yang pertama kedua pengantin yang sudah syah menjadi suami isteri itu wajib melakukan Sembah bakti kepada Ayah Bunda dan ayah ibu mertua masing-masing dan terhadap nenek kakek dari kedua belah pihak.Filosofinya : Sejak detik itu kekempat orang tua dan nenek kakek masing-masing telah berstatus sama sebagai Ayah Bunda dan nenek kakek mereka berdua untuk juga diberikan perhatian dan kasih saying yang tidak berbeda.2. Mamasang CincinSecara bersilang oleh Ibuda masing-masing dilakukan pemasangan cincin kawin kepada masing-masing menantunya dijari manis kanan.Filosofinya : Basuluah bulan matoari-bagalanggang mato urang banyak. Batampuak bullah dijinjiang - batali buliah diirik. Artinya : Dengan disaksikan orang banyak mereka telah dinyatakan sayah terikat sebagai suami isteri.3. Malewakan gala.Kalau untuk menantu yang berasal dari Minang, gelar adat yang yang diberikan oleh kaumnya disampaikan secara resmi dalam kesempatan ini langsung oleh ninik mamak atau yang mewakili keluarga pengantin pria. Untuk menantu yang bukan berasal dari Minang. Gelar ini disebutkan secara resmi oleh wakil keluarga Ayah bpengantin Pria.Filosofinya : Seorang semenda harus lah dihormati oleh keluarga pengantin Wanita dan tidaklah layak untuk memanggilnya hanya dengan menyebut namanya saja. Itu dapat dilakukan terhdap anak-anak kecil, sedangkan pemuda yang sudah kawin menurut tata tertib adat disebut sudah “gadang” sudah bisa dibawa berunding. “Ketek banamo-Gadang bagala”. Dan gelar ini juga harus disebutkan secara resmi ditengah-tengah orang ramai. Inilah yang disebut acara “Malewakan gala Marapulai”.4. Balatuang kaniang.Dengan disaksikan orang banyak kedua kening pengantin itu dipersentuhkan.Filosofinya : Mereka sudah syah menjadi Muhrim. Dan persentuhan kulit tidak lagi membatalkan uduk mereka.5. Mangaruak nasi kuning.Kedua pengantin saling berebutan mengambil daging ayam yang tersembunyi didalam tumpukan nasi kuning. Dan bagian apa dari daging ayam itu yang mereka dapat bersama-sama dipertontonkan kepada tamu-tamu.Maknanya : Menurut kepercayaan orang-orang tua dulu bagian-bagian apa dari daging ayam itu yang terpegang oleh masing-masing pengantin bisa meramalkan tentang posisi masing-masing nanti didalam mengelola kehidupan rumah tangga mereka.Acara ini dilanjutkan dengan acara saling suap menyuapkan makanan tersebut. Terlebih dahulu si suami mengambil sejemput besar nasi kuning itu dan menyerahkan kepada si isteri. Si Isteri hanya memakannya secuwil saja dan menyimpan sisanya.Filosofinya : Si Isteri didalam berumah tangga harus bisa berhemat dan tidak menghabiskan begitu saja semua rejeki yang diberikan oleh suaminya.6. Bamain Coki.Kedua suami baru itu dituntun untuk bermain coki, sejenis permainan semacam catur. Tapi sekarang memang banyak dipergunakan adalah papan catur itu sendiri.Filosofinya : Suami Isteri dalam kehidupan berumah tangga harus bisa mengatur taktik dan strategi , bukan untuk saling mengalahkan tetapi yang penting bisa saling mengikuti pola main masing-masing demi untuk kebahagian dan kelanggengan perkawinan.Manjalang/ Mahanta NasiSesuai acara akad nikah yang dilanjutkan dengan basadiang di rumah kediaman mempelai wanita, maka sebuah acara lagi yang dikategorikan sebagai perhelatan besar dalam tata cara adat istiadat perkawinan di Minangkabau, ialah acara manjalang..Tujuannya dan maksudnya , yaitu kewajiban untuk mengisi adat setelah akad nikah dari pihak keluarga mempelai wanita kepada keluarga mempelai pria.Sesuai dengan judulnya mahanta nasi maka rombongan keluarga mempelai wanita yang datang kerumah ayah ibu mempelai pria wanita yang datang kerumah ayah ibu mempelai pria ini memang diharuskan untuk membawa berbagai macam makanan.Semua bawaan ini ditata diatas diulang-ulang tinggi yang tertutup kain dalamak dan dibawa dengan dijunjung diatas kepla dalam barisan oleh wanita-wanita yang berpakaian adat. Prosesi inilah yang disebut dengan istilah manjujuang jamba.Arak-arakan manjalang atau mahanta nasi dari rumah mempelai wanita ke rumah orang tua mempelai pria ini selain diikuti oleh wanita-wanita yang berpakaian adat atau berbaju kurung , juga diikuti oleh para ninik mamak yang mengenakan lengkap busana-busana adat sesuai dengan fungsinyadi dalam kaum. Adalah kewajiban adat bagi ayah ibu pengantin pria setelah acara selesai, sebelum tamu-tamu pulang, untuk mengisi beberapa wadah bekas pembawaan makanan keluarga pengantin wanita yang telah kosong.PelaminanSecara kasat mata siapapun dapat melihat adanya pengaruh-pengaruh kebudayaan India dan kebudayaan India dan kebudayaan Cina pada corak dan motif ornamen-ornamen kain sulamannya. Hal ini lebih ditegaskan lagi, jika kita mengetahui bahwa benang emas yang dipergunakan untuk menyulam kain-kain adat Minang juga disebut benang macao.Umpamanya untuk keturunan puti-puti kelambu yang dipergunakan harus berlapis tujuh. Dan semakin banyak banta gadang yang dipasang berarti semakin tinggi pula derajat orang yang dikawinkan, dan lain-lain sebagainya.Sebagaimana kita menjaga identitas produk-produk kebudayaan Minang lainnya, maka untuk pelaminan pun ada hal-hal yang ensensial yang tidak boleh kita buang dan kta tinggalkan. Hal-hal yang ensensial yang memberi cirri Minang pada pelaminan itu ialah :1. bahan-bahan yang dipergunakan baik untuk tabia maupun yang lain-lainnya ialah kain-kain bersulam benang emas atau perak dengan motif ukiran Minang.2. Harus mempunyai banta-banta gadang.3. Ada tirai (langik-langik) diatas tempat bersandingnya yang menggantungkan mainan angkin dan karamalai.4. Ada lalansia, kulumbu balapih dan banta-banta kopek pada bilik utamannya.5. Mempunyai galuangan dan kain jalin dengan butun-butun pengapit biliknya.Hiasan Kepala Anak DaroSuntiang GadangBentuk hiasan kepala pengantin Wanita Minang yang dipakai secara umum sekarang, namanya suntiang gadang, berasal dari daerah Padang/Pariaman. Kata gadang berarti besar. Ini untuk membedakan, karena ada juga suntiang ketek (kecil) yang biasa dipakai oleh pendamping-pendamping pengantin yang disebut pasundan.Penyusunan kembang-kembang sunting ini diatas kepala pengantin wanita mengikuti deret ganjil. Paling tinggi sebelas tingkat, dan paling rendah tujuh tingkat. Sedangkan sunting untuk para pasundan, dimulai dari deret lima sampai tiga.Ada empat jenis nama kembang goyang yang disusun susun diatas kepala untuk membentuk sunting Minang tersebut. Lapisan-lapisan paling bawah dinamakan bungo arunai yang deretan terdiri dari tiga sampai lima lapis. Kemudian deretan bungo gadang yang deretannya terdiri dari tiga sampai lima lapis lagi. Dan yang paling diatas ialah deretan kambang goyang. Sedangkan bagian-bagian yang jatuh ke arah pipi kiri dan kanan, disebut kote-kote.Busana Pengantin MinangBentuk utama dari busana tradisional wanita Minang adalah baju kurung.Empat macam baju kurung.1. Pertama, baju kurung batabueHiasan bunga-bunganya yang terbuat dari lempengan-lempengan loyang kecil berwarna emas dijahitkan bertabur di sekitar baju. Motif lempengan itu bermacam-macam. Ada yang berbentuk bunga, kupu-kupu atau wajik-wajik dan lain-lain sebagainya dalam ukuran kecil.2. Kedua, baju kurung balapakDibuat dari kain songket tenunan benang katun dengan benang emas atau perak.3. Ketiga, baju kurung basulamHiasan bunga-bunganya disulamkan kekain dengan mempergunakan benang-benang warna warni. Model sulaman ini sering juga disebut sulaman kepala peniti.4. keempat, baju kurung batarawang.Hiasan bunga-bung di buat dengan mencongkel atau melobangi bagian-bagian tertentu dari kain yang akan dijadikan baju.Sedangkan pengantin Pria, mengenakan baju model roki sebutan untuk jas dan celananya. Karena baju jas itu terbuka maka untuk penutupdada dipakai rompi dengan ikatan tali ke punggung. Sedangkan pinggang memakai kain samping dari bahan songket balapak.Yang umum dipakai sekarang oleh pengantin Pria Minang adalah tutup kepala berbentuk saluak. Karena itu disebut saluak marapulai.Tari GalombangTarian yang dipergunakan untuk menyambut pengantin yang sesuai dengan adat istiadat Minang ialah tari galombang.Dua macam galombangPola galombang adat timbal balik . Jika perhelatan mereka langsungkan dirumah-rumah dengan pekarangan yang luas atau kalau jalan raya di depan rumah mereka dapat ditutupi dari lalu lintas kendaraan lain selama berlangsungnya upacara acara tersebut.Pola Galombang sapihak biasanya untuk pesta-pesta yang diadakan di gedung-gedung, maka maka dalam penyambutan datangnya pengantin dan keluarga lazimnya dinanti dengan barisan satu arah .Ada empat macam lagu tradisional yang lazim dipergunakan untuk mengiringi tari galombang dan persembahan sirih ini.
- Lagu talempong Tupai baguluik untuk mengiringi gerakan maju penari-penari galombang.- Lagu saluang lubuak sao untuk mengiringi gerak maju dara-dara yang membawa carano.- Lagu bansi Palayaran untuk mengiringi tarian dara-dara yang membawa mempersembahkan sirih pada tamu-tamu.- Lagu talempong si kambang manih untuk mengiringi tarian gembira ketika penari-penari galombang dan persembahan sirih mengelu-elukan kedatangan pengantin di akhir penyambutan.
Pepatah, Petitih, Mamang, Bidal, Pantu, Gurindam
BIDANG SOSIAL BUDAYAIdrus Hakimy Dt Rajo Panghulu
1. Anak nalayan mambaok cangkua, mananam ubi ditanah darek. Baban sakoyan dapek dipikua, budi saketek taraso barek.Beban yang berat dapat dipikul, tetapi budi sedikit terasa berat
Anak ikan dimakan ikan, gadang ditabek anak tenggiri. Ameh bukan perakpun bukan, budi saketek rang haragoiHubungan yang erat sesama manusia bukan karena emas dan perak, tetapi lebih diikat budi yang baik.
Anjalai tumbuah dimunggu, sugi sugi dirumpun padi. Supayo pandai rajin baguru, supayo tinggi naikan budi.Pengetahuan hanya didapat dengan berguru, kemulian hanya didapat dengan budi yang tinggi
Alu tataruang patah tigo, samuik tapijak indak mati.Sifat seseorang yang tegas bertindak atas kebenaran dengan penuh bijaksana
Tarandam randam indak basah, tarapuang apuang indak hanjuik.Suatu persoalan yang tidak didudukan dan pelaksanaannya dilalaikan.
Anjuik labu dek manyauak, hilang kabau dek kubalo.Karena mengutamakan suatu urusan yang kurang penting hingga yang lebihpenting tertinggal karenanya.
Anguak anggak geleng amuah, unjuak nan tidak babarikan.Sifat seseorang yang tidak suka berterus terang dan tidak suka ketegasandalam sesuatu.
Alua samo dituruik, limbago samo dituang.Seorang yang mentaati perbuatan bersama dan dipatuhi bersama.
Alang tukang binaso kayu, alang cadiak binaso Adat, alang arih binaso tubuah.Seseorang yang pengetahuannya tidak lengkap serta keahliannya tidak cukupdalam mengerjakan sesuatu.
Alat baaluah jo bapatuik makanan banang siku-siku, kato nan bana takbaturuik ingiran bathin nan baliku.Seseorang yang tidak mau dibawa kejalan yang benar menandakan mentalnyatelah rusak
Alah bauriah bak sipasin, kok bakiek alah bajajak, habih tahun bagantimusim sandi Adat jangan dianjakWalaupun tahun silih berganti musim selalu beredar, tetapi pegangan hidupjangan dilepas.
Adat biaso kito pakai, limbago nan samo dituang, nan elok samo dipakainan buruak samo dibuang.Yang baik sama dipakai, yang buruk sama ditinggalkan.
Anak-anak kato manggaduah, sabab manuruik sakandak hati, kabuik taranghujanlah taduah, nan hilang patuik dicari.Sekarang suasana telah baik, keadaan telah pulih, sudah waktunyamenyempurnakan kehidupan.
Anggang nan datang dari lauik, tabang sarato jo mangkuto, dek baik budinan manyam buik, pumpun kuku patah pauahnyo.Seseorang yang disambut dengan budi yang baik dan tingkah laku yang sopan,musuh sekalipun tidak akan menjadi ganas.
Anjalai pamaga koto, tumbuah sarumpun jo ligundi, kalau pandai bakatokato, umpamo santan jo tangguli.Seseorang yang pandai menyampaikan sesuatu dengan perkataan yang baik, akan enak didengar dan menarik orang yang dihadapi.
Atah taserak dinan kalam, intan tasisiah dalam lunau, inyo tabanguleklah tingga, nak umpamo langgau hijau.Seseorang yang menceraikan istrinya yang sedang hamil, adalah perbuatantidak baik.
Aia diminum raso duri, nasi dimakan raso sakam.Seseorang yang sedang menanggung penderitaan bathin.
Adaik rang mudo manangguang rindu, adaik tuo manahan ragam.Sudah lumrah seorang pemuda mempunyai suatu idaman, dan lumrah seorang yang telah tua menahan banyak karena umurnya.
Alah limau dek mindalu, hilang pusako dek pancarian.Kebudayaan asli suatu bangsa dikalahkan oleh kebudayaan lain.
Adat dipakai baru, jikok kain dipakai usang.Adat Minang Kabau kalau selalu diamalkan dia merupakan ajaran yang bisaberguna sepanjang zaman.=B=
Basuluah mato hari, bagalanggang mato rang banyak.Suatu persoalan yang sudah diketahui oleh umum didalam suatu masyarakat.
Baribu nan tidak lipuah, jajak nan indak hilang.Satu ajaran yang tetap berkesan, yang diterima turun temurun.
Bariak tando tak dalam, bakucak tando tak panuah.Seseorang yang mengaku dirinya pandai, tetapi yang kejadiannya sebaliknya.
Bajalan paliharolah kaki, bakato paliharolah lidah.Hati-hatilah dalam berjalan begitu juga dalam melihat, sehingga tidak menyakiti orang lain.
Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang.Setiap pekerjaan yang dikerjakan secara bersama.
Baguru kapadang data, dapek ruso baling kaki, baguru kapalang aja, nanbak bungo kambang tak jadi.Suatu pengetahuan yang tanggung dipelajari tidak lengkap dan cukup, kurangbisa dimamfaatkan.
Bakato bak balalai gajah, babicaro bak katiak ula.Suatu pembicaraan yang tidak jelas ujung pangkalnya.
Bapikia kapalang aka, ba ulemu kapalang paham.Seseorang yang mengerjakan sesuatu tanpa berpengetahuan tentang apa yangdikerjakannya.
Bak kayu lungga panggabek, bak batang dikabek ciek.Suatu masyarakat yang berpecah belah, dan sulit untuk disusun dan diperbaiki.
Batolan mangko bajalan, mufakat mangko bakato.Dalam masyarakat jangan mengasingkan diri, dan bertindak tanpa mufakat.
Bak kancah laweh arang, bapaham tabuang saruweh.Seseorang yang besar bicaranya, dan tidak bisa merahasiakan yang patutdirahasiakan.
Bak balam talampau jinak, gilo ma-angguak-anguak tabuang aia, gilomancotok kili-kili.Seseorang yang sifatnya terlalu cepat mempercayai orang lain, tanpamengetahui sifat orang lain tersebut.
Bakarih sikato muno,patah lai basimpai alun ratak sabuah jadi tuah,jikok dibukak pusako lamo, dibangkik tareh nan tarandam lah banyak ragi nan barubah.Karena banyaknya yang mempengaruhi kebudayaan kita yang datang dari luar,kemurnian kebudayaan Adat istiadat mulai kabur dari masyarakat.
Batang aua paantak tungku, pangkanyo sarang sisan, ligundi disawahladang sariak indak babungolai. Mauleh jokok mambuku, mambuhua kalau manggasan, kalau budi kelihatan dek urang, hiduik nan indak baguno lai.Seseorang dalam masyarakat yang telah kehilangan kepercayaan, karenatindakannya yang kurang teliti dalam suatu hal. Sehingga kehilangankepercayaan terhadap dirinya.
Basasok bajarami, bapandam pakuburan, soko pusako kalau tadalami,mambayang cahayo diinggiran.Kalau ajaran adat dapat didalami dan difahami, serta diamalkan olehmasyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi tinggi mutunya
Basasok bajarami, bapandam pakuburan.Adalah syarat mutlak bagi satu negri di Minang Kabau
Bapuntuang suluah sia, baka upeh racun sayak batabuang, paluak pangku Adat nan kaka, kalanggik tuah malambuang.Kalau ajaran Adat Minang Kabau benar-benar dapat diamalkan oleh anggotamasyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang tinggiperadabannya dan kuat persatuannya.
Bajalan batolan, bakato baiyo, baiak runding jo mufakat. Turuikpanggaja urang tuo, supayo badan nak salamaik.Hormati dan turuti nasehat Ibu Bapak dan orang yang lebih tua umurnya darikamu, Insya ALLAH hidupmu akan selamat.
Barakyat dulu mangko barajo, jikok panghulu bakamanakan. Kalau duduakjo nan tuo pandai nan usah dipanggakkan.Sewaktu duduk bersama orang tua, baiak orang tua umurnya dari kita,janganlah membanggakan kepandaian kita sendiri.
Bakato bapikiri dulu, ingek-ingek sabalun kanai, samantang kito urangnan tahu, ulemu padi nan kadipakai.Seseorang yang pandai dalam hidup bergaul, dia selalu umpama padi berisi,makin berisi makin tunduk, bukan membanggakan kepandaian.
Banyak diliek jauah bajalan, lamo hiduik banyak diraso. Kalau kitodalam parsidangan marah jo duko usah dipakai.Didalam duduk rapat dalam suatu persidangan, tidak boleh berhati murung, dantidak boleh bersifat marah.
Biopari kato ibarat, bijaksano taratik sopan, pacik pitaruah buhuaarek, itu nan ijan dilupokan.Nasehat yang baik jangan dilupakan, pegang erat-erat untuk diamalkan.
Barieh balabiah limo puluah, nan warieh bajawek juo, kaganti camingujalo tubuah, paukua baying-bayang maso.Ajaran Adat kalau didalami dia akan dapat menjadi ukuran kemajuan zamandibidang moral manusia.
Baitu barieh balabiahnyo, dari luhak maso dahulu, kok tidak disigidipanyato, lipuah lah jajak nan dahulu.Tentang Adat Minamg Kabau sebagai kebudayaan daerah kalau tidak dibina dandikembangkan, maka hilanglah kebudayaan yang asli di Minang Kabau, karenadi- pengaruhi kebudayaan asing.
Buruak muko camin dibalah.Seseorang yang membuat kesalahan karena kebodohannya, tetapi yangdisalahkannya orang lain atau peraturan.
Banggieh dimancik, rangkiang disaliangkan.Marah kepada satu orang tetapi semua orang yang dimusuhi.
Barajo Buo Sumpu Kuduih tigo jo rajo Pagaruyuang, Ibu jo bapak pangkanyo manjadi anak rang bautang.Kesalahan seorang anak, akan banyak tergantung kepda didikan kedua ibubapaknya.
Bak cando caciang kapanehan, umpamo lipeh tapanggang.Seseorang yang tidak mempunyai sifat ketenangan, tetapi selalu keluh kesahdan terburu buru.
Bak lonjak labu dibanam,umpamo kacang diabuih ciek.Seseorang yang mempunyai sifat angkuh dan sombong, sedang dia sendiri tidaktahu ukurannya dirinya.
Bak ayam manampak alang, umpamo kuciang dibaokkan lidieh.Seseorang yang sangat dalam ketakutan, sehingga kehidupannya kucar kacir.
Bak caro tontoang diladang, umpamo pahek ditokok juo barunyo makan,urang-urang ditanggah sawah digoyang dulu baru manggariek.Seseorang yang tidak tahu kepada tugas dan kewajibannya sehingga selalumenunggu perintah dari atasan, tidak mempunyai inisiatif dalam kehidupan.
Bak sibisu barasian, takana lai takatokan indak.Seseorang yang tidak sanggup menyebut dan mengemukakan kebenaran, karena mempunyai keragu-raguan dalam pengetahuan yang dimiliki.
Bak baruak dipataruahkan, bak cando kakuang dipapikekkan.Seseorang hidup berputus asa, selalu menunggu uluran tangan orang lain,tidak mau berusaha dan banyak duduk bermenung.
Bak manjamua ateh jarami, jariah abieh jaso tak ado.Pekerjaan yang dikerjakan tanpa perhitungan, sehingga menjadi rugi dan siasia.
Bak balaki tukang ameh, mananti laki pai maling.Menunggu suatu yang sulit untuk dicapai, karena kurang tepatnya perhitungandan ha- rapan yang tak kunjung tercapai.
Baulemu kapalang aja, bakapandaian sabatang rokok.Seseorang yang tidak lengkap pengetahuan dalam mengerjakan sesuatu, ataukurang pengetahuannya.
Bunyi kecek marandang kacang, bunyi muluik mambaka buluah.Seseorang yang besar bicara tetapi tidak ada memberi hasil.
Baguno lidah tak batulang, kato gadang timbangan kurang.Pembicaraan yang dikeluarkan secra angkuh dan sombong, tidak memikirkanorang lain akan tersinggung.
Bak bunyi aguang tatunkuik, samangaik layua kalinduangan.Seseorang yang tidak bisa bicara karena banyak takut dan ragu dalampendirian.
Bak itiak tanggah galanggang, cando kabau takajuik diaguang.Seseorang yang sangat tercegang dan takjub dengan sesuatu, sehingga tidaksadarkan diri sebagai seorang manusia.
Bungkuak saruweh tak takadang, sangik hiduang tagang kaluan.Seseorang yang tidak mau menerima nasehat dan pendapat orang lain, walaupun dia dipihak yang tidak benar sekalipun.
Bumi sampik alam tak sunyi, dio manjadi upeh racun.Biasanya orang yang disebut dalam no.61 diatas menyusah dan menjadi batu penarung.
Bak umpamo gatah caia, bak cando pimpiang dilereng, iko elok etankatuju.Sifat seorang laki-laki atau perempuan yang tidak mempunyai pendirian danketetapan hati dalam segala hal.
Basikelah anggan kanai, basisuruak jikok kanai, tasindoroang nyatokanai.Sifat yang harus dihindarkan, seorang yang tidak mau bertanggung jawab atassegala perbuatannya.
Budi nan tidak katinjauan, paham nan tidak kamaliangan.Seseorang yang tidak mau kelihatan budi, dan selalu hati-hati dalam berbuatbertindak dalam pergaulan.
Bak basanggai diabu dingin, bak batanak ditungku duo.Suatu pekerjaan yang sia-sia dan kurang mempunyai perhitungan.
Bak taratik rang sembahyang, masuak sarato tahu, kalua sarato takuik.Seseorang yang mengerjakan sesuatu dengan penuh ketelitian dan menguasai segala persoalannya.
Bak galagak gulai kincuang, bak honjak galanggang tingga.Seseorang yang berlagak pandai dalam sesuatu, tetapi yang sebenarnya kosongbelaka.
Bak ayam lapeh malam, bak kambiang diparancahkan.Seorang yang kehilangan pedoman hidup serta pegangan, berputus asa dalamsesuatu.
Bak balam talampau jinak, gilo maangguak tabuang aia, gilo mancotokkili kili.Seseorang yang mudah dipuji sehingga kalau telah dipuji bisa terbuka segalarahasia.
Bagai kabau jalang kareh hiduang, parunnyuik pambulang tali, tak tantudima kandang nyo.Seseorang yang keras kepala tak mau menerima nasehat orang lain, sedangkandia sendiri tak memahami tentang sesuatu.
Bak umpamo badak jantan, kuliek surieh jangek lah luko, namun lenggokbaitu juo.Seorang yang tidak tahu diri, sudah tua disangka muda, ingin kembali carayang muda.
Bak ma eto kain saruang, bak etong kasiak dipantai.Suatu persoalan yang tidak berujung berpangkal dan tidak ada keputusannyadalam masyarakat.
Barundiang siang caliak-caliak, mangecek malam agak-agakBerbicaralah dengan penuh hati-hati dan jangan menyinggung orang lain.
Bak manungkuih tulang didaun taleh, bak manyuruakan durian masak.Suatu perbuatan jahat walaupun bagaimana dia pandai menyembunyikannya,lambat laun akan diketahui orang lain juga.
Bilalang indak manjadi alang, picak-picak indak jadi kuro-kuro. Walaudisapuah ameh lancuan, Kilek loyang kan tampak juo.Setiap penipuan yang dilakukan dan ditutup dengan kebaikan, dia akankelihatan juga kemudian.
Bak mandapek durian runtuah, bak mandapek kijang patah.Seseorang yang mendapat keuntungan dengan tiba-tiba, yang tidak dikira padamulanya.
Bagai sipontong dapek cicin, bak mancik jatuah kabareh.Nikmat yang diperdapat sedang orang yang bersangkutan lupa dari mana asalmula- nya,dan menjadikan dia lupa diri.
Bak kabau dicucuak hiduang umpamo langgau di ikua gajah.Seseorang yang selalu menurut kemauaan orang lain, tanpa mengeluarkanpendapat hatinya.
Bak mamaga karambia condong, bak ayam baranak itiak.Pengetahuan seseorang yang tidak dapat dimamfaatkan dan berfaedah bagidirinya, tetapi menguntungkan kepada orang lain.
Bak mangantang anak ayam, umpamo basukek baluik hiduik.Suatu masyarakat karena kurang keahlian sulit untuk disusun dan dikoordinir.
Bak mahambek aia hilia, bak manahan gunuang runtuah.Mengerjakan suatu pekerjaan berat yang harus dikerjakan bersama, dikerjakansendirian, dan tidak mempunyai keahlian pula tentang itu.
Bak mancari jajak dalam aia, bak mancari pinjaik dalam lunau.Mencari sesuatu yang mustahil didapat, walaupun sesuatu itu ada.
Bak manatiang minyak panuah, bak mahelo rambuik dalam tapuang.Suatu pekerjaan yang dikerjakan dengan hati-hati dan teliti, karenamemikirkan akibatnya.
Bak aia didaun kaladi, bak talua diujuang tanduak.Sesuatu yang sulit menjaganya dalam pergaulan, kalau hilang atau jatuhhilang semua harapan, seperti kehilang budi dari seseorang.
Bak manggadangkan anak ula, umpamo mamaliharo anak harimau.Seseorang yang didik dari kecil dengan ilmu pengetahuan, tetapi kelaksetelah dia besar dibalas dengan perbuatan yang jahat.
Bak aia jatuah ka kasiak, bak batu jatuah ka lubuak.Sesuatu persoalan yang diajukan, tetapi dilupakan buat selamnya, yangseharusnya perlu lu ditekel dengan segera.
Bak bagantuang di aka lapuak, bak bapijak didahan mati.Seseorang yang mengantungkan nasib pada orang yang sangat lemah ekonomi dan pemikirannya.
Bak ayam indak ba induak, umpamo siriah indak ba junjuang.Suatu masyarakat atau anak-anak yang tidak ada yang akan memimpin ataumemeli-haranya.
Bak malapehkan anjiang tasapik, bak mangadangkan anak harimau.Seseorang yang ditolong dengan perbuatan baik diwaktu dia dalam kesempitantetapi setelah dia terlepas dari kesulitan, dia balas dengan kejahatan.
Bak api didalam sakam, aia tanang mahannyuik kan.Seseorang yang mempunyai dendam diluar tidak kelihatan, tetapi setelahterjadi kejahatan saja baru diketahui.
Bak tapijak dibaro angek, bak cando lipeh tapanggang.Seseorang yang sifatnya tergesa-gesa, berbuat tanpa memikirkan akibat.
Bak maungkik batu dibancah, bak manjujuang kabau sikua.Suatu pekerjaan yang sukar dikerjakan, dan kalau dikerjakan menjadi sia-sia,bahkan menimbulkan kesulitan.
Baban barek singguluang batu, kayu tapikua dipangkanyoSuatu pekerjaan yang dikerjakan tetapi tidak ada keuntungan materil yangdiharapkan (social)
Bak kudo palajang bukik, umpamo gajah paangkuik lado.Suatu pekerjaan bersamasalah seorang dari orang yang berjasa dalam pekerjaanitu tidak diberi penghargaan sewajarnya.
Bak banang dilando ayam, bak bumi diguncang gampo.Suatu kerusuhan dan kekacauan yang timbul dalam suatu masyarakat yang sulituntuk diatasi.
Bak baluik di gutiak ikua, bak kambiang tamakan ulek.Seseorang yang mempunyai sifat dan tingkah laku yang kurang sopan dan tidakmemperdulikan orang lain yang tersinggung karena perbuatannya.
Babana ka ampu kaki, ba utak ka pangka langan.Seseorang yang mudah tersinggung dan mudah berkelahi karena hal kecil.
Baumpamo batuang tak bamiyang, bak bungo tak baduri.Seseorang yang tidak mempunyai sifat malu dalam hidup, baik laki 2 danperempuan
100. Basilek dipangka padang, bagaluik diujuang karieh, kato salalubaumpamo, rundiang salalu bamisalan.Pepatah, petitih, mamang, bidal, pantun dan gurindam Adat Minang Kabau,selalu mempunyai arti yang tersurat dan tersirat ( berkias )
101. Bakato sapatah dipikiri, bajalan salangkah madok suruik.Setiap yang akan dikatakan hendaklah dipikirkan lebih dahulu, sehinggaperkataan itu tidak menyinggung orang lain.
102. Bajalan paliharolah kaki, maliek paliharolah mato.Menurut adat berjalan dan melihat, bahkan setiap gerak dan perilakuhendaklah di- awasi, jangan sampai merussak perasaan orang lain.
103. Bukik putuih rimbo kaluang, dirandang jaguang dihanggusi. Hukum putuih badan tabuang, dipandang gunuang ditangisi.Seseorang yang berpantun diwaktu dia akan menjalani hukuman karena melawan penjajah Belanda.
=C=
104. Camin nan tidak namuah kabua, palito nan tidak kunjuang padam.Ajaran Adat/Syarak di Minangkabau bagaimanapun tetap dicintai dan dihormati oleh masyarakatnya
105. Cadiak jan bambuang kawan, gapuak nan usah mambuang lamak, tukang nan tidak mambuang kayu.Dalam pergaulan hendaklah bisa mempergunakan semua orang, jangan denganjalan bertindak sendiri, walaupun cukup mempunyai kecerdasan.
106. Condong jan kamari rabah, luruih manantang barieh Adat.Didalam pergaulan hendaklah mempunyai pendirian yang kokoh, dan selaludijalan yang benar.
107. Cupak basitalago panuah, undang maisi kandak, bak kain pambaluik tubuah, paralu dipakai tak buliah tidak.Adat dan Syarak di Minangkabau adalah dua ajaran yang mutlak dipakai dandiamalkan.
108. Capek kaki ringan tangan, capek kaki indak panaruang, ringan tanganbukan pamacah.Sifat pemuda-pemudi yang terpuji dan dikehendaki oleh Adat dan agama diMinang kabau. Yakni tangkas dan kesatria tetapi tidak melampaui kesopanan.
109. Cadiak malam biguang siang, gilo maukia kayu tagak.Seseorang yang panjang angan-angan, tetapi satupun tak dapat dikerjakannya,rencana tinggal rencana, mempunyai sifat pemalas.
110. Cancang tadadek jadi ukia, kuah talenggang ateh nasi.Suatu pekerjaan yang tidak terduga salah melaksanakannya, tetapi karenakeahliannya dapat menjadi baik.
111. Cinto banyak parisau ragu, budi manunggu di ulemu, paham babisiakdidalam bathin.Sifat seseorang yang selalu mengelamun, tetapi tak berani melahirkan maksudhati.
112. Caliak anak pandang minantu, mato nan condoang ka nan elok.Seorang ibu/bapak hendaklah mencari menantunya yang sesuai dengan anaknya.
113. Calak-calak ganti asah, pananti tukang manjalang datang, panunggu dukun manjalang tibo.Seseorang yang dapat bertindak sementara tenaga yang diharapkan dan ditunggu datang, (memberikan pertolongan pertama)
114. Cabua samo dibuang, usua samo dipamain.Setiap kita harus menjauhi perbuatan cabul, dan selalulah mempergunakaninformasi dengan sebaik-baiknya.
=D=
115. Dek ribuik rabahlah padi, dicupak datuak tumangguang, hiduik kalau tidak babudi, duduak tagak kamari tangguang.Seseorang yang tidak berbudi pekerti yang baik maka hidupnya dalammasyarakat serba susah dan sukar mendapat teman.
116. Dicancang pua manggarik andilau.Seorang membikin malu semua keluarga merasa malu.
117. Dimudiak tubo dilapeh, dihilia lukah mananti, ditanggah jalo takambang, dilua parangkok makan.Suatu pekerjaan dalam masyarakat, atau suatu persoalan yang tidak dapatmengelak- kan diri dari padanya.
118. Dek ketek taanjo-anjo, lah gadang tabao-bao, lah tuo tarubah tido,sampai mati manjadi paranggai.Setiap pekerjaan yang dibiasakan mengerjakannya semenjak kecil baik atauburuk, sukar untuk merobahnya, bahkan sampai mati tetap akan merupakanpakaian.
119. Dimano kain kabaju, diguntiang indaklah sadang, lah takanak mangkodiungkai, di- mano nagari namuah maju, Adat sajati nanlah hilang, dahan jo rantiang nan dipakai.Kamajuan suatu negri di Minangkabau, tidak akan dapat dicapaidengan baik,kalau kiranya ajaran Adat diamalkan tidak sepenuh hati, atau tinggal sebutan.
120. Dalam aia buliah diajuak, dalam hati siapo tahu.Manusia bisa mengetahui yang lahir, yang bathinnya dalam hati manusia hanya Tuhan yang mengetahuinya.
121. Dimano bumi dipijak, disinan langik dijunjuang, dimano sumua dikalidisinan aia disauak, dimano nagari diunyi disinan Adat dipakai.Ajaran Adat Minangkabau dapat diamalkan dimana saja, asal pandaimenyesuaikan diri dengan masyarakat yang kita gauli.
122. Darah samo dikacau, dagiang samo dilapah, tanduak samo ditanam.Meresmikan penggangkatan atau penobatan suatu jabatan didalam Adat sepertimelantik penghulu.
123. Dihannyuik ka aia dareh, dibuang katah lakang.Membuang segala sifat-sifat yang jelek dan meninggalkan segala perbuatanyang ter- cela, tidak ingin mengulang kembali.
124. Dibaok ribuik dibaok angin, dibaok pikek dibaok langgau, muluik jo hati kok balain pantangan Adat Minangkabau.Lain dimulut lain dihati, tidak sesuai kata dengan perbuatan adalah larangandalam Adat Minangkabau.
125. Dikaji Adat nan ampek, itu pusako tanah Minang. Nak tuah cari sapakaik, nak cilako bueklah silang.Bersatu teguh dan kuat, bercerai dan berpecah belah adalah kelemahan dankehancuran.
126. Ditiliak duduak hukum Adat, ateh bainah nan duo baleh. Sarintiakkudarat jo iradat, dikurasai soko mangko nyo jaleh.Untuk memahami dan mendalami ajaran Adat dan filsafatnya perlu menghendaki ketekunnan dan mau memahami arti yang tersirat.
127. Diatua cupak nan duo, dikaji kato nan ampek, dalam tambolah tasuo,paham disinan mangko dapek.Kalu untuk mendalami ajaran Adat dan filsafatnya jangan hanya sekedarmenangapi arti lahir kata, tetapi perlu dipahami arti yang tersirat dibelakangnya.
128. Dibilang kato nan ampek, partamo kato pusako, sanang hati santosotampek, disinan ado raso mardeka.Kemerdekaan itu baru dapat dirasakan hasilnya apabila pembangunan dibidangkesejahteraan hidup dan tempat kediaman telah cukup dan selesai.
129. Dubalang kato mandareh, pagawai kato basipaik, antaro masin jo padeh, disinan raso mangkonyo dapek.Setelah dibandingkan ajaran Adat Minangkabau dengan Adat Adat lain, makadisana baru jelas nilainya yang baik.
130. Dek rajin pandai nan datang, dek malu buruak tasuo, hari pagi manantipatang, insyaflah diri dengan tubuah.Ingatlah didalam hidup, muda akan menjadi tua, tua akan kembali kepadaasalnya yakni kembali kepada tanah.
131. Deta batiak basaluak timbo, pakaian bangsawan rang di Minang. Dekcadiak niniak nan baduo, dituka bantuak deta datang.Kebijaksanaan yang baik yang dapat diamalkan dalam pergaulan hidup, menjamin hubungan baik sesama angota masyarakat yang datang dan yang menanti.
132. Dibukak buhua deta datuak, disamek kain saluak timbo. Kok gapuak lamak tak dibu-ang, dek pandai alam santoso.Kebijaksanaan dalam pergaulan, pandai menyesuikan diri menimbulkan hubungan yang harmonis sesama anggota masyarakat.
133. Dibaliak pandakian ado panurunan, dibaliak panurunan ado pandakian.Dibalik kesusahan ada kemudahan, dibalik penderitaan ada kesenangan.
134. Ditiliak barieh jo balabeh, jo papatah pakaian rang panghulu. Supayobudi samo marateh, nak tantu ruweh jo buku.Kalau budi diamalkan dalam pergaulan, dapat menentukan seseorang baik danburuk.
135. Didalam luhak nan tigo, untuak padoman dalam hiduik, kato kiasandidalamnyo, indaklah paham kok indak dirunuik.Ajaran Adat Minangkabau banyak mengandung kiasan dan perumpamaan, tidaklah dapat dipahami kalau tidak benar didalami.
136. Dimaso tuo mangucambah, bukanlah tuo manyularo, sungguah kasumba alah merah tibo disago nan nyato bana.Tentang sumber pepatah budi merah sago jadi pilihan, walaupun ada yang merah selain dari sago.
137. Dimano asa titiak palito, dibaliak telong nan batali, dari mano asaniniak moyang kito iyo dilereang gunuang marapi.Orang Minang asal mula keturunannya ialah dilereng gunung merapi Pariangan Padang Panjang.
138. Diagak mangko diagiah, dibaliak mangko dibalah.Setiap pekerjaan yang akan dikerjakan hendaklah dipikirkan semasak-masaknya,dan buatlah rencana kerja.E=
139. Elok baso tak katuju, baik baso tak manantu.Seseorang yang kurang perhitungan dalam pergaulan terlalu royal dengankawan.
140. Elok diambiak jo etongan, buruak dibuang jo mufakaik.Didalam Adat setiap yang tidak baik, dibuang baik-baik dengan perhitungandan musyawarah, begitupun yang baik perlu diambil dengan mufakat.
141. Elok sairiang jo juru mudi, elok saiyo jo sakato, kok pandai bamainbudi, nan lia jinak malakok.Kalau pergaulan dilengkapi dengan budi yang baik dan tinggi, segalakesukaran dapat diatasi.
142. Elok nan tidak mangalua, gadang nan indak mangatanggah.Seseorang yang tidak berani mengeluarkan pendapatnya dalam pergaulan.
143. Elok bak karabang talua itiak, eloknyo tabuang juo, indak babaliak naiklai.Orang pandai dan cerdik, tetapi tidak mempergunakan kepandaiannya dankecerdasan untuk kepentingan orang banyak.
144. Elok tungkuih tak barisi, gadak agak tak manyampai.Seseorang yang lagaknya seperti orang pandai terlalu jelimet tetapi tidakberhasil.
145. Elok nagari dek panghulu, elok tapian dek nan mudo, elok masajik dektuanku, elok rumah dek bundo kanduang.Baik suatu negari karena pimpinannya, begitupun Masjid, tepian karena pemuda pemudi yang tinggi budinya.
=F=
146. Faham insyaf faham nan haniang, faham sangko didoroang hati.Keinsyafan yang sungguh datang dari hati akan menimbulkan kecintaan untukberbuat kebaikan.
147. Faham sak barisi antah, faham waham bambao lalai.Keragu-raguan karena kurang keinsyafan, ia akan membawa kepada kelalaiandalam suatu pekerjaan yang dilaksanakan.
148. Faham yakin ulemu tatap, ujuik satu pangang bunta.Keyakinnan akan membawa ketetapan hati, dan tekun menghadapi sesuatupekerjaan.
149. Faham arieh balawan banyak, faham cadiak maangan urang.Mempunyai faham yang terlalu arief menimbulkan sak wasangka, dan cerdik yang tidak dengan pengetahuan akan selalu merugikan diri sendiri.
150. Faham waham mambao lalai, faham mati mangunyah bangkai.Ragu membawa kelalaian, cemburu buta merugikan diri sendiri.=G=
151. Gadang ombak caliak kapasianyo, gadang kayu caliak kapangkanyo.Menilai seseorang jangan dari pakaiannya, tetapi nilailah daripengetahuannya dan budi pekertinya.
152. Gadang buayo dimuaro, gadang garundang dikubangan.Seseorang akan berkuasa dalam lingkungan dan bidangnya masing-masing.
153. Gadang sendok tak mambao, gadang suok tak manganyang, gadang antak indak lalu.Orang yang besar bicara takabur dan sombong, biasanya tidak sebesar apa yangdi- bicarakannya yang dapat dibuatnya.
154. Gadang tungkuih tak barisi, gadang galogok tak bamalu.Seseorang yang berlagak sombong dan angkuh biasanya dia kurang mempunyairasa malu.
155. Galogok kuciang kanaiak, bak mancik palajang atah.Seseorang yang senantiasa tergesa-gesa dalam setiap pekerjaan, tetapihasilnya sangat mengecewakan.
156. Gadang tungkuih tak barisi, tungkuih elok pangabek kurang.Seseorang yang bertampang pandai dan pintar, tetapi sebenarnya isi kosongdari segala-galanya
157. Gadanglah aia banda baru, nampak nan dari mandi angin. Elok nan usang dipabaru, pado mancari ka nan lain.Dari pada mencari sesuatu yang baru, lebih baik memelihara dan memperbaikiyang telah ada.
158. Gadiang tak ado nan tak ratak, tak ado mingkudu nan tak bagatah.Sifat tersalah dan lupa itu adalah sifat bagi manusia, kecuali yang qadimhanya sifat ALLAH.
159. Gadang jan malendo, panjang jan malindih.Kalau menjadi orang yang memegang kekuasaan jangan berbuat sekehendak hati.
160. Gadang kayu gadang bahan, ketek kayu ketek bahannyo.Berbuatlah dalam masyarakat, baik berkorban dan bekerja sesuai dengankemampuan kita masing-masing.
161. Gadang agiah baonggok, ketek agiah bacacah.Setiap pembahagian dalam bersama hendaklah disesuaikan dengan hasi yangdiperoleh.
162. Gayuang basambuik, kato bioso bajawab, himbau basahuti.Kebaikan orang lain hendaklah dibalas dengan kebaikan dengan ikhlas danjujur.
163. Gabak dihulu tando kahujan, cewang dilangiek tando kapaneh.Ada suatu alamat dan tanda-tanda menunjukkan mara bahaya akan datang, atau kerusuhan akan terjadi.
164. Garuih tak namuah hilang walau nan luko lah sambuah bana.Suatu kejahatan yang dibuat seseorang yang sulit dilupakan oleh orangbanyak.
165. Geleang kapalo bak sipatuang inggok, lonjak bak labu dibanam.Seseorang yang talen dan gagah yang dibuat-buat karena sombong danangkuhnya.
166. Gadang maimpok, panjang malindieh, laweh nak manyawok.Sifat seseorang berkuasa yang ingin memperbudak orang lain dalam segala hal.
167. Guruah patuih panubo limbek, pandan tajamua disubarang, tujuah ratuih carikan ubek badan batamu mangkonyo sanang.Seseorang yang sakit karena cinta dan rindu kepada sesuatu atau kepadaseseorang, dia akan sembuh kapan dapat bertemu atau tercapai yangdicintainya.
168. Gadih panagak ateh janjang, gadih pancaliak bayang-bayang.Larangan bagi seorang anak gadis di Minangkabau.
169. Galundi disawah ladang, sarik indak babungo lai, budi kalau nampak dek urang, hiduik indak baguno lai.Baik laki-laki atau perempuan kalau budi telah kelihatan dalam pergaulan,sulit untuk dipercaya buat selama-lamanya.
170. Gilo dimabuak bayang-bayang, gilo maukia kayu tagak.Seseorang yang selalu hidup dalam khayalan tetapi tak mau berusaha.
171. Galang dicinto galang buliah, niaik sampai cinto basuo.Seseorang yang memperoleh nikmat yang selama ini menjadi idamannya.=H=
172. Habih sandiang dek bagesoh, habih miyang dek bagisia.Pergaulan bebas antara muda dan mudi, akan menghilangkan rasa malu antaradua insan yang berlainan jenis.
173. Habih bisa dek biaso, habih gali dek galitik.Pekerjaan yang dilarang oleh adat dan syarak akan merupakan kebiasaanmengerjakannya, kalau rasa malu telah hilang dari diri seseorang.
174. Hati gajah samo dilapah, hati tunggau samo dicacah.Rasa social dalam hidup bergaul, harus melaksanakan pembahagian keuntungan dengan adil melihat kepada keuntungan yang diperoleh sesuai dengan usaha masing masing.
175. Hawa nan pantang karandahan, nafasu nan pantang kakurangan.Nafsu itu seperti lautan tak penuh karena air dan sampah.
176. Hanyuik sarantau sagan badayuang, karano tidak mambao galah. Kanan jo kiri tak malenggong, mudharat mamfaat tak takana.Seseorang dalam pekerjaannya tidak memikirkan kerugian dan kesakitan oranglain.
177. Hati ibo mambao jauah, sayang dikampuang ditinggakan, hati lukomangkonyo sambuah, tacapai niaik jo tujuan.Seseorang yang rajin berusaha untuk mencapai cita-citanya, dia belum merasapuas kalau belum dapat dicapainya.
178. Hujan batu dikampuang kito, hujan ameh dikampuang urang, walau bak mano misikin misikin awak, bacinto juo badan nak pulang.Kecintaan seseorang kepada kampung halaman tumpah darahnya, walau senang badan dirantau orang namun kampung teringat juga
179. Harok diburuang tabang, punai ditangan dilapehkan.Seseorang yang mengharapkan sesuatu yang belum tentu didapatnya, tetapi diatelah membuang apa yang dimilikinya.
180. Hari sahari diparampek, hari samalam dipatigo.Seseorang yang pandai mempergunakan waktu dalam hidupnya.
181. Hutang lansai dek babaia, ketek utang dek angsuran.Hutang wajib dibayar, dan dia akan bertambah kecil kalau tetap diangsurmembayar.
182. Hulu baiak pandai batenggang, hulu malang salah galogok.Seseorang akan bahagia kalau pandai bertengang dalam hidup, tetapi bahayamudah terjadi kalau tidak mempunyai perhitungan.
183. Haniang saribu aka, pikia palito hati.Seseorang yang tenang dalam menghadapi kesulitan akan mudah mengatasikesulitan karena pikiran itu pelita hati.
184. Hukum jatuah sangketo sudah, dandam habih kasumat putuih.Terciptanya perdamaian dalam masyarakat.
185. Habih dayo badan talatak, habih paham aka baranti.Berusahalah sejauh kemampuan yang ada pada kita dalam masyarakat.
186. Hilang raso jo pareso, habih malo jo sopan, hewan babantuak manusia.Kalau raso pareso telah lenyap dari seseorang, walaupun hilang sendirinya,bukan disebut manusia lagi, tetapi hewan yang berbentuk manusia.
187. Hari baiak dibuang-buang, hari buruak dipagunokan.Seseorang yang senang tiasa membuang waktu yang baik, dan memakai waktu yang banyak untuk hura hura.=I=
188. Iduik batampek, mati bakubua, kuburan hiduik dirumah tanggo, kuburan mati ditanggah padang.Seseorang harus mempunyai tempat kediaman, dan kalu mati perlu dikuburkan.
189. Inggok mancakam batang, tabang manumpu dahan.Perpindahan masyarakat dari suatu negeri kenegeri lain, diperlukanpenyesuaian diri dengan masyarakat yang ditempati.
190. Ingek-ingek sabalun kanai, bakulimek sabalun habih.Dalam bergaul perlu ada kehati-hatian jangan sampai berbuat kesalahan.
191. Iman nan tak buliah ratak, kamudi nan tidak buliah patah.Ke-Imanan harus dijaga jangan sampai tergelincir, dan kemudian harus dijagajangan sampai patah, karena kedua-duanya menjadikan karam seseorang dalamkehidupan dan kehilangan pedoman.
192. Isi kulik umpamo lahia, gangam arek pagangan taguah.Sesuaikanlah kata dengan perbuatan, dan itulah yang harus diamalkan didalam hidup.
193. Indomo di Saruaso, Datuak Mangkudun di Sumaniak, sabab anak jatuah binaso, ibu bapak nan kurang cadiak.Kemelaratan dan kesesatan seorang anak adalah disebabkan kelalaian keduaorang ibu bapaknya.
194. Ilang tak tantu rimbonyo, hanyuik tak tantu muaronyo.Sesuatu persoalan yang tidak tentu penyelesaiannya dan hilang begitu saja.=J=
195. Jalan dialiah dek rak lalu, cupak dipapek dek rang manggaleh.Secara tidak disadari kebudayaan asli kita dipenggaruhi oleh kebudayaan danadat istiadat asing.
196. Janji biaso mungkia, titian biaso lapuak.Peringatan agar jangan mudah berjanji dengan seseorang, hendaklah dikuatkankata-kata Insya Allah.
197. Jan dicampuakan durian jo antimun, jan dipadakekkan api jo rabuak.Selalulah hati-hati terhadap pergaulan muda mudi, karena pergaulan bebasakan mengakibatkan rusaknya moral antara keduanya.
198. Jan taruah bak katidiang, jan baserak bak anjalai.Setiap yang akan dikatakan hendaklah dipikirkan terlebih dahulu, karenalidah tidak bertulang, membicarakan orang lain.
199. Jauah nan buliah ditunjuakkan, dakek nan buliah dikakokkan.Sesuatu bukti dan keterangan yang dapat dikemukakan dan ditunjukkan dengan nyata.
200. Jalan pasa nan kadituruik, labuah goloang nan kaditampuah.Selalulah kita berbuat dan bertindak atas kebenaran dan menurutundang-undang yang berlaku.
201. Jatuah mumbang jatuah kalapo, jatuah bairiang kaduonyo. Rusak adaikhancua pusako habih kabudayaan nan usali.Kalau tidak hati-hati dan tidak dibina dan dikembangkan kebudayaan asli(Adat Minagkabau) hancurlah kebudayaan asli kita.
202. Jikok panghulu bakamanakan, maanjuang maninggikan. Pandai nan usah dilagakkan manjadi takabua kasudahannyo.Pengetahuan dan kepintaran jangan dibanggakan karena mengakibat hati menjadi takbur jadinya.
203. Jauah cinto mancinto, dakek jalang manjalang.Rasa kekeluargaan yang tak kunjung habis, walau jauh dimata tapi dekatdihati.
204. Jangek suriah kuliklah luko, namun lenggok baitu juo.Seseorang yang tidak tahu diri walaupun dia telah jatuh hina karenaperbuatannya, tetapi dia tetap membanggakan diri.
205. Jan disangko murah batimbakau, maracik maampai pulo, jan disangko murah pai marantau, basakik marasai pulo.Hidup dirantau orang tidaklah semudah hidup dikampung halaman tempat kitadilahirkan, karena jauh handai tolan.
206. Jauah bajalan banyak diliek, lamo hiduik banyak diraso.Jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak pengalaman.=K=
207. Kuaik rumah karano sandi, rusak sandi rumah binaso, Kuat bangso karano budi, Rusak budi hancualah bangso.Ketinggi suatu bangsa akan ditentukan oleh kepribadian bangsa itu sendiri.Kalau budi bangsanya telah hancur, akibat kehancuran bangsa itu sendiri.
208. Kilek baliuang lah ka kaki, kilek camin lah ka muko.Suatu perbuatan dan perkataan yang telah difahami maksud dan tujuannya.
209. Kalau hari lah paneh lah lupo kacang jo kuliknyoMelupakan jasa baik orang lain yang pernah menolong kita, Tetapi kapan kitatelah mendapat kesenangan atau yang dicitakan melupakannya.
210. Kalau karuah aia di hulu sampai ka muaro karuah juo.Pada umumnya keturunan menentukan corak dan kelakuan yang pernah dimiliki oleh ibu bapaknya.
211. Kalau kuriak induaknyo rintiak anaknyo.Ibu bapak yang baik akan melahirkan anak-anak yang baik pula dan sebaliknya.
212. Kasingka talalu ampang, kapitungguah talampau unjua.Seseorang yang memiliki pengetahuan serba tanggung sehingga tidak dapatdimam- faatkannya.
213. Kato iduik banyawa iduik, kato mati bapambunuahan.Suatu keterangan yang diberikan ternyata ada kebenarannya, dan suatuketerangan yang tidak terbukti kebenarannya.
214. Kuaik katam karano tumpu, kuaik sapik karano takan.Suatu pekerjaan atau kewajiban yang dikerjakan karena terpaksa, bukan karenakesadaran.
215. Ka bukik samo mandaki kalurah samo manurun.Suatu pekerjaan yang dikerjakan secara bersama dan didorong oleh kesadaran.
216. Kasuri tuladan kain, kacupak tuladan batuang.Suatu pekerjaan begitupun tingkah laku dan peranggai yang dapat dicontoholeh orang lain.
217. Kacak langan lah bak langan, kacak batih lah bak batih.Seseorang yang baru saja mendapatkan suatu nikmat tetapi senantiasadipergunakan dengan hati bangga dan sombong.
218. Kalau tasungkuik pado nan tinggi, jikok basanda pado nan gadang.Sesuatu perbuatan hendaklah dilandaskan kepada Agama, Adat dan Undang-Undang Pemerintah.
219. Kato panghulu manyalasai, mandareh kato dubalang. Adaik kok kurangtakurasai, dunia manjadi takupalang.Ajaran Adat Minangkabau yang sejati kalau tidak diamalkan olehmasyarakatnya, hilanglah budi didalam diri.
220. Kalau dek pandang sapinteh lalu, banyak pahamnyo tagaliciak, pandai tak rago dek ba guru, salam tak sampai pado kasiah.Ajaran Adat tidak dapat dipahami, apalagi untuk diamalkan kalau sekiranyahanya dengan mendengar pepatah petitih, tampa mendalaminya.
221. Katiko taimpik nak diateh, katiko takuruang nak dilua, bajalan baduonak ditangah bajalan surang nak dahulu.Pepatah ini mengandung arti: bagaimana sulitnya memimpin masyarakat yangjiwa-nya sangat kritis dan koreksi.
222. Kahilia jalan ka Padang, ka mudiak jalan ka Ulakan, kok musuah indakdihadang, tasuo nan indak ba ilakkan.Tidak mau bermusuhan dalam hidup bermasyarakat tetapi kalua datang dengantiba-tiba tidak pula dielakkan.
223. Kahilia jalan ka Sumani, sasimpang jalan ka Singkarak, saukua mangkomanjadi, sasuai mangko takanak.Sesuatu hendaklah dengan musyawarah untuk mufakat. Satu pendapat dan satu tujuan.
224. Kaduo kato mufakat, sakato urang kasadonyo, elok sapahan sahakikat,santoso kito salamonyo.Satu pendapat dan satu gerak, satu tujuan akan melahirkan kesentosaan dankebahagiaan dalam masyarakat.
225. Kaampek kato kamudian, patuik bana kato dicari, taruah naraco jokatian, paniliak langgam nan tadiri.Didalam diri manusia yang berpengetahuan dan diamalkannya, ada neraca yang menentukan baik dan buruk.
226. Kato rajo kato basahajo, kato titah kato balimpahan, dari duo capailahtigo, jangan sakali disudahi.Setiap manusia perlu mempunyai cita-cita yang tinggi dan mulia, tetapi harusdicapai dengan cara ber angsur-angsur.
227. Kato panghulu manyalasai, kato alim kato hakikat, talamun patuik kitokakeh, lahia jo bathin nak saikek.Perlu penggalian adat dan agama Islam secara mendalam , sehingga lahir danbathin dapat sesuai.
228. Kato bapak kato panggaja, kato kalipah dari mamak, mujua indak dapek kito kaja, malang tak dapek kito tulak.Keuntungan tak dapat dikejar-kejar, begitupun mara bahaya dan musibah tidakkuasa manusia menolaknya.
229. Kato guru kato batuah, kato saudaro paringatan, kuncilah bathin jantaruah, budi nan jan sampai nampak.Keteguhan bathin menyimpan rahasia seseorang, menjadikan orang yang teguhini mulia budinya.
230. Kato parampuan kato manuruik, mangambiak hati suami, labiahkan rusuah jo takuik, jarek sarupo jo jarami.Rusuh hati jangan kelihatan, takut paham tergadai, hati-hati dalam berbicarakarena banyak musuh dalam selimut.
231. Kato adaik pahamnyo aman, malangkapi rukun dengan syarat, kalau elok pegang padoman, santoso dunia jo akhirat.Ajaran adat dan agama Islam kalau benar-benar diamalkan, menjaminkeselamatan dunia akhirat.
232. Koroang kampuang didalam jurai, baitu limbago sajak dahulu, dunialah lamo inyo pakai, raso pareso nyolah tahu.Orang yang tua harus dihormati, karena ketuaannya dia telah banyak merasakan pahit manis dalam kehidupan.
233. Kalau adaik dalam nagari, bulek sagiliang picak satapiak, sabareksaringan kasadonyo Urang mulia dalam nagari, muluik manih basonyo baiak, sakati limo nilai haragonyo.Kemuliaan dalam pandangan adat terletak pada budi baik dan indah bahasanyaseseorang.
234. Karano indak mambao galah, mananti takadia kasamonyo, mudarat mufaat tak dikana, alamaik binaso kasudahannyo.Senantiasalah kita dalam hidup bergaul memikirkan mudarat dan mamfaat, agar sentosa hidup bersama. Kalau tidak dipikirkan alamat hidup akan sengsara.
235. Kato manti kato bahubuang, kato dubalang kato mandareh. Jauhari pandai manyam- buang, nan singkek buliah diuleh.Orang jauhari bijaksana pandai mencari jalan keluar dalam suatu kesulitanyang datang secara tiba-tiba.
236. Kiniko coraklah barubah, alam mardeka lah tabantang, sadang manggali kasajarah usahokan galian dek basamo.Kemerdekaan telah tercapai, kita harus menggali sejarah kebudayaan bangsasecara bersama.
237. Kok alah sampai di hulu, balunlah pulo sacukuiknyo. Dek kokoh niniaknan dahulu kunci nan limo pambukaknyo.Nenek moyang di Minangkabau pemikirannya jauh memandang kedepan untuk masa anak cucu, dengan mempergunakan panca indra yang lima.
238. Kito di alam Minangkabau lah patuik tasintak pulo, katiko baluntalampau elok diru- nuik sitambo lamo.Sudah masanya sekarang kita mengali dan mengembangkan adat Minangkabausebagai rangkaian dari kebudayaan nasional.
239. Kauak indak sahabih gauang, awai indak sahabih raso, paham pahamnyo nan tak lansuang, batuka tujuan mukasuiknyo.Adat Minangkabau selama ini tidak pernah mendapat pengalian dan pembinaan, akibatnya banyak orang salah pengertian tentang tujuan adat itu.
240. Kalau pai tampak pungguang, jikok babaliak tampak muko.Kalau pergi hendaklah memberi tahu, jika kembali hendaklah memberi khabar.
241. Kalau indak pandai bakato-kato, bak alu pancukia duri, kalau pandaibakato-kato bak santan jo tangguli.Seseorang yang tak pandai berbicara secara baik, sama dengan alu pencongkelduri tetapi kalau pandai umpama santai dengan tengguli.
242. Kato papatah caro Minang, patitiah luhak nan tigo. Nan turun dariParpatiah nan sabatang, manjadi kato pusako.Ajaran adat Minangkabau yang disusun oleh Dt. Parpatih nan Sabatang,merupakan ajaran yang dapat mengikuti perkembangan zaman.
243. Kito nan bukan cadiak pandai, ulemu di Tuhan tasimpannyo. Kok senteang batolong bilai tandonyo kito samo sabanso.Kalau dijumpai kekilafan dan kesalahan tolong maaf dan betulkan, karenakhilaf itu sifat manusia, tandanya kita orang satu bangsa.
244. Kito nan bukan cadiak pandai, hanyo manjawek pituah dari guru. Pituah guru nan di- pakai, nak jadi paham jo ukuran.Nasehat guru dan pelajaran yang diajarkannya kepada murid, adalah menjadipedoman dalam kehidupan.
245. Kalau ketek dibari namo, urang gadang dibari gala, nak tapek adaik jolimbago, faham adaik nak nyato bana.Kalau dapat mendalami ajaran adat kita akan mendapatkan mutiara yangberharga didalamnya yang berguna untuk hidup bergaul dalam masyarakat.
246. Kaluah kasah papek nan ampek, sarato anggota katujuahnyo, panca indra mananggu- angkan, batang tubuah marasokan.Sesuatu perbuatan tanpa pemikiran dan pertimbangan akan menimbulkanpenyiksaan terhadap bathin kita sendiri.
247. Kalau balaia banakodoh, jikok bajalan jo nan tuo.Mengerjakan suatu pekerjaan hendaklah dengan yang ahlinya, memasuki suatunegeri hendaklah dengan orang yang mengetahuinya.
248. Kuaik dari paga basi, kokoh nan dari paga tembok.Pagar yang paling kokoh ialah pagar sesuatu dengan budi yang baik.
249. Kato sapatah dipikiri, bajalan salangkah madok suruik.Pikirkanlah semasak-masaknya apa yang akan kita sampaikan kepada orang lainsehingga tidak menyinggung perasaannya.
250. Karantau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, dirumah baguno balun.Pergilah merantau kenegeri orang, cari ilmu pengetahuan, serta cari matapenghidupan, untuk kemudian dibawa dan dikembangkan dikampung halaman.
251. Kasiah sayang dapek dicari, tampek hati jarang basuo.Untuk mencari istri paling mudah, yang sulit mencari istri untuk menjaditeman sehidup semati.
252. Kalauik riak maampeh, kapulau riak mamutuih, kalau mangauik iyo bana kameh, kalau mancancang iyo bana putuih.Setiap pekerjaan yang kita kerjakan, begitupun pengetahuan yang kitapelajari jangan patah ditengah.
253. Kalau tali kaia panjang sajangka, lauik dalam usah didugo.Kalau pengetahuan baru seujung kuku jangan dicoba mengurus pekerjaan yangsulit.
254. Kulik maia ditimpo bathin, bathin ditimpo galo-galo, dalam lahia ado ba bathin, dalam bathin bahakikat pulo.Ajaran adat Minangkabau bukan sekedar lahiriyah, tetapi banyak mengandungarti dan makna yang tersirat, yang menuju kepada mental manusia.
255. Kacimpuang pamenan mandi, rasian pamenan lalok.Mimpi itu kebanyakan sesuatu yang terangan-angan diwaktu bangun. =L=
256. Lain geleang panokok asiang kacundang sapik.Gelagat seseorang atau suasana yang menunjukkan tanda-tanda akan terjadisesuatu yang tak diingini.
257. Lah samak jalan kapintu, lah tarang jalan kadapua.Seorang suami yang tidak kenal lagi pada tugasnya sebagai mamak darikemenakan, tetapi semata tahu kepada si istri saja.
258. Limpato batang sitawa, digulai cubadak mudo, lah biaso kito tasalah,karano pangana indak sakali tibo.Kekilafan dan kesalahan adalah sifat seorang manusia, karena pemikirannyatidak secara serentak.
259. Lauik gadang kalau dihadang, sadiokan sampan jo pandayuang.Hiduik didunia mangupalang, sagalo karajo kamari cangguang.
260. Limpapeh rumah nan gadang, umbun puruik pegangan kunci.Kaum wanita di Minangkabau adalah merupakan tiang kokoh diatas rumah tangga dan nageri, dan kunci tentang kebaikan dan keburukan suatu negeri.
261. Lauik banyak nan sati, rantau banyak nan batuah.Kalau pergi berjalan kerantau orang hendaklah pandai menyesuaikan diri dalampergaulan.
262. Lah bacampua lamak jo galeme, indak babedo sadah jo tapuang.Dalam suatu masyarakat tidak ada lagi batas-batas dalam pergaulan menurutnorma adat dan agama.
263. Lahia jo bathin saukuran, isi kulik umpamo lahia.Seseorang yang baik dan jujur sesuai kata dan perbuatannya.
264. Labuah luruih jalannyo pasa jan manyipang suok jo kida.Sudah aturan dan undang-undang dan sudah cukup norma adat dan agama, jangan menyimpang dari itu.=M=
265. Mumbang jatuah kalapo jatuah, indak babedo kaduonyo.Setiap yang bernyawa akan menemui ajalnya baik tua ataupun muda, kecil danbesar.
266. Malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio.Setiap pekerjaan hendaklah pertengahan, jangan berlebih-lebihan, begitupundalam tingkah dan laku.
267. Mukasuik hati mamaluak gunuang, apo dayo tangan indak sampai.Seseorang yang mempunyai cita-cita tinggi, tetapi tidak ada kemampuan untukmencapainya.
268. Mancabiak baju didado, manapuak aia didulang.Seseorang yang berbicara tetapi tidak disadarinya bahwa dia telah memberimalu diri dan keluarganya sendiri.
269. Malakak kuciang didapua, manahan jarek dipintu.Perbuatan seseorang yang tidak baik yang dilakukan kepada keluarga sendiri.
270. Mancari dama ka bawah rumah, mamapeh dalam balanggo.Mencari keuntungan kedalam lingkungan anak kemenakan sendiri.
271. Mairikkan galah jo kaki, manjulaikan aka bakeh bagayuik, malabiahkanlantai bakeh bapinjak.Seseorang yang ingin menjadikan orang lain tersalah, dengan jalan anjurandan petunjuknya.
272. Mandapek samo balabo, kahilangan samo barugi.Rasa social dan kerja sama yang baik yang harus diamalkan dalam pergaulan.
273. Manyauak di ilia-ilia, bakato dibawah-bawah.Bergaul dalam masyarakat, begitupun dirantau orang hendaklah merendahkandiri.
274. Mancaliak jo suduik mato, bajalan di rusuak labuah.Seseorang yang telah merasa malu, karena perbuatan yang tidak benar telahdiketahui orang.
275. Mancaliak tuah ka nan manang, maliek contoh ka nan sudah, manuladan ka nan baik.Selalulah kita melihat hasil yang baik dan dapat pula kita laksanakan, yakniyang telah positif baik.
276. Mamakai hereang jo gendeang, mamakai raso jo pareso.Seseorang yang memakai perasaan malu dan mempunyai kesopanan yang baik.
277. Muluik manih talempong kato, baso baiak gulo dibibia.Seseorang yang berbicara dengan lemah lembut dan baik susunan bahasanya.
278. Maliang cilok taluang dinding, tikam bunuah padang badarah. Ibo di adat katagiliang turuikkan putaran roda.Kebudayaan asli jangan sampai hilang, sesuaikan diri dan aturan adat beradatserta istiadat dengan kemajuan.
279. Malu batanyo sasek dijalan, sagan bagalah hanyuik sarantau.Seseorang yang tidak mau bertanya tentang suatu pekerjaan yang tidak/belumdike Karena ajaran adat itu pada umumnya berkiasan, tidak mudah dipahamitanpa diketahuinya akan mengalami kesulitan.
280. Minangkabau dahulunyo, Adaiknyo tuah disakato, kalau dipandangkato-kato, dipahamkan makonyo nyato. dida lami sungguh-sungguh.
281. Maniah nan jan lakeh di raguak, pahik nan jan lakeh di luahkan.Sesuatu pelajaran dan pengetahuan dari orang lain pikirkan dahulusemasak-masaknya, benar atau tidaknya.
282. Mati harimau tingga balang, mati gajah tingga gadiang.Manusia mati hendaknya meninggalkan jasa yang baik untuk anak dan keluraga seta masyarakat.
283. Mati samuik karano manisan, jatuah kabau dek lalang mudo.Biasanya manusia itu banyak terpedaya oleh mulut manis dan budi bahasa yang baik.
284. Marangkuah tungua ka dado, maraiah suatu ka diri.Setiap suatu yang dirasakan oleh orang lain hendak dapat dirasakan oleh kitasendiri
285. Mampahujankan tabuang garam, mampaliakkan rumah indak basasak.Seseorang yang membukakan aibnya sendiri kepada oaring lain.
286. Manjujuang balacan dikapalo, mangali-gali najih dilubang.Seseorang yang senang membukankan aib orang lain.
287. Managakkan banang basah, manaiakkan banda sundai.Seseorang yang menolong orang lain, sedang orang lain itu dipihak yang tidakbenar.
288. Musang babulu ayam, musuah dalam salimuikSeseorang yang berpurak menolong dan berpihak kepada kita, tetapi diasebenarnya ingin mengetahui pendirian kita dan musuh kita.
289. Manusia manahan kieh, binatang Manahan palu.Manusia yang sempurna selalu mengetahui kata-kata kiasan di Minangkabau.
290. Murah kato takatokan, sulik kato jo timbangan.Berbicara sangat mudah, tetapi sulit memelihara perkataan yang akanmenyinggung perasaan orang lain.
291. Marabah sadundun dengan balam, sikok barulang pai mandi, sambahsadundun jo salam, kato harok dibinisi.Biasanya dalam pergaulan hidup, Tanya diberi kata berjawab, gayungbersambut.=N=
292. Nan kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago, nan baiak iyo budi, nan indah iyo lah baso.Yang paling berharga dalam kehidupan bergaul adalah budi pekerti yang baik,serta sopan santun.
293. Nak urang koto hilalang, nak lalu kapakan baso, malu jo sopan kok nyohilang, habih lah raso jo pareso.Kalau sifat malu telah hilang dalam diri seseorang, hilang segala perasaansopan santun.
294. Nan bungkuak dimakan saruang, nan bengkok dimakan tali.Setiap sifat dan tindak tanduk yang tidak jujur dan benar, akan senantiasaada ganjarannya (hukum karma)
295. Nan luruih katangkai sapu, nan bungkuak katangkai bajak, satampokkapapan tuai, nan ketek kapasak suntiang, panarahan kakayu api, abunyo kapupuak padi.Didalam ajaran adat tidak ada bahan yang tidak berguna, tidak ada orang yangtidak dapat dimamfaatkan.
296. Nan buto pahambuih lasuang, nan pakak pamasang badia, nan lumpuah pahunyi rumah, nan patah pangajuik ayam, nan bingguang kadisuruah-suruah, nan cadiak bao baiyo, nan kayo bakeh batenggang.Semua orang dapat dimamfaatkan, mulia hina, kaya dan miskin, sempurna,cacat, pandai dan bodoh. Sistim yang terdapat dalam adat Minangkabau.
297. Nan condoang makanan tungkek, nan lamah makanan tueh.Dalam adat manusia lemah harus dibimbing dan dibantu, lebih-lebih kaumwanita, yang qudrat hayatinya lemah dari kaum lelaki.
298. Nan landai batitih, nan condong baraiah, nan lamah baindiak.Dilarang didalam adat orang yang memperlakukan si lemah semau-maunya.
299. Nak mulia tapek-i janji, nak taguah paham dikunci.Kalau ingin jadi orang yang dimuliakan selalu tepati janji, dan tidak sukamembuka rahasia.
300. Nak tinggi naiak kan budi, nak haluih baso jo basi.Kalau ditinggikan orang dalam masyarakat peliharalah budi, dan pakailah basabasi.
301. Nan salajang kudo balari, nan sahentak kuciang malompek.Panjang rumah adat yang menjadi kebanggaan masyarakatnya.
302. Nan basasok bajarami, nan bapandan bapakuburan, soko pusako kalautadalami, mambayang cahayo di-inggiran.Mendalami ajaran adat Minang dan filsafatnya serta dapat diamalkan dalampergaulan akan menggangkat martabat kemanusianya.
303. Nan tuo dihormati, nan ketek di sayangi, samo gadang baok bakawan.Selalulah menghormati orang tua, lebih-lebih ibu dan bapak dan orang tuaumurnya dari kita, sayangi anak-anak, hormat menghormat sama sebaya.
304. Nan suku babuah paruik, korong kampuang didalam jurai, dek urang tuo lah lamo hiduik, dunialah lamo inyo pakai.Menghormati orang tua dari kita umurnya, bukan tergantung kepada ilmu dankepandaiannya saja, tetapi karena ketuaannya.
305. Nagari bapaga undang, kampuang bapaga buek, tiokmlasuang ba ayamgadang, salah tampuah buliah diambok.Patuhilah norma-norma yang berlaku didalam masyarakat, karena setiapmasyarakat mempunyai normanya sendiri-sendiri.
306. Niniak moyang di duo koto, mambuek barih jo balabeh, Bulek dek tuah lah sakato, nak tantu hinggo jo bateh.Patuhilah keputusan bersama yang telah dibuat oleh pemuka kita, olehmasyarakat dan sipembuat peraturan sendiri.
307. Nan barek samo dipikua, nan ringan samo dijinjiang.Didalam adat selalu dianjurkan agar setiap pekerjaan yang baik dikerjakansecara bersama.
308. Nan sakik iyolah kato, nan padiah iyolah rundiang. Dek tajam nampak nan luko, dek kato hati taguntiang.Perkataan yang menyakiti lebih berbahaya dari pisau yang tajam.
309. Nan sakik iyo lah kato, nan malu iyolah tampak.Kata-kata yang berbisa, sama dengan rasa seseorang yang tahu harga dirinyamendapat malu.
310. Nan mudo biaso bimbang, manaruah rambang jo ragu, kalau batimbo ameh datang, lungga lah ganggam nan dahulu.Meniru-niru kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian kita, akanmenghilangkan kemurnian kebudayaan sendiri dan kehilangan pegangan.
311. Nan dikatokan kato pusako, iyolah kato undang-undang. Dek lamo taknamuah lupo manjadi padoman pagi jo patang.Bagi orang Minang yang memahami ajaran yang terkandung didalam adatnya,tidak bisa diabaikan dan dilupakan, bahkan menjadi pegangan dan pedomandalam hidup.
312. Nak elok lapangkan hati, nak haluih baso jo basi.Agar menjadi orang baik dan disegani selalulah bersifat sabar, dan baik budibahasa.
313. Nak luruih rantangkan tali, luruih bana dipacik sungguah.Selalulah bersifat lurus dan tulus ikhlas dalam pergaulan, yakni selalubersifat benar dan jujur.
314. Naiaklah dari janjang, turunlah dari tango.Selalulah berbuat sesuai aturan dan undang-undang yang berlaku, menurut adat dan agama Islam serta pemerintah.
315. Nanang saribu aka, haniang ulu bicaro, pikia palito hati, dek saba banamandatang.Ketenangan dalam berpikir, menimbulkan aspirasi yang baik, dan kesabaranmendatangkan kebenaran.
316. Nak tahu digadang kayu caliak kapangkanyo, nak tahu digadang ombak caliak kapasianyo.Kalau ingin menilai kebesaran atau kebaikan seseorang bergaullah dengan dia.
317. Nan bak mananti aia ilia, nan bak manutuik manggih langkeh.Seseorang yang mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin dapat diperolehnya.
318. Nan bak banang dilando ayam, nan bak bumi diguncang gampo.Suatu musibah yang datang menimpa dengan tiba-tiba, yang tidak diduga samasekali sehingga timbul kekacauan dan kepanikan.
319. Nan elok dek awak katuju dek urang, sakik dek awak sakik dek urang.Berbuatlah dalam segala perbuatan gerak dan perilaku yang disenangi olehorang banyak.
320. Nan mudo pambimbiang dunia, nan capek kaki ringan tangan, acang-acang dalam nagari.Pemuda harapan bangsa ditangan pemuda terletak maju mundurnya bangsa dimasa depan.
321. Nak jan jauah panggang dari api, latakkan sasuatu ditampeknyo.Agar suatu tindakkan dalam masyarakat tepat pada sasarannya maka serahkanlah sesuatu kepada ahlinya.
322. Nan tahu dikayu tinggi alang, nan tahu diposo-poso ayam, nan tahudikili-kili banting.Yang mengetahui diseluk beluk dan sifat masyarakat suatu negeri adalah paracende- kiawan negeri tersebut.=O=
323. Ombak barayun manuju pantai, riak nyato manuju tapi. Indak guno jadirang pandai, kalau baulemu indak babudi.Tak ada arti menjadi seorang pandai kalau tidak mempunyai budi pekerti,karena hancur masyarakat karena kepandaiannya.
324. Ombak ditantang manuju pulau, laia dikambang manantang angin.Untuk mencapai suatu tujuan dan cita-cita senantiasa mengalami cobaan danrintangan
325. Olok-olok mambao sansai, garah-garah jadi binaso.Perbuatan dan tingkah laku yang tidak pada tempatnya, akan membawa akibatyang merugikan.
326. Olak olai rang basiang, sorak sorai rang karimbo.Suatu kebiasaan diwaktu beramai-ramai bekerja, timbul kelakar dan gembira,untuk kegairahan dalam bekerja.=P=
327. Pulau pandan jauah ditangah, dibaliak pulau angso duo, hancua badandikanduang tanah, budi baiak dikana juo.Budi bukan hanya diingat sampai mati tetapi akan diperhitungkan dan diingatdibalik lahad.
328. Pisang ameh baok balaia, masak sabuah didalam peti, hutang ameh dapek dibaia, hutang budi dibao mati.Hutang emas dan perak dapat dibayar tetapi hutang budi dibawa mati.
329. Pucuak pauah sadang tajelo, panjuluak buah ligundi, nak jauah silangsangketo, pahaluih baso jo basi.Agar terjauh dari silang sengketa dalam pergaulan perbaikilah budi danbahasa, pakai sifat sopan dan santun.
330. Pado pai suruik nan labiah, samuik tapijak indak mati, alu tataruangpatah tigo.Kata kiasan terhadap pemuda pumudi Minang yang mempunyai ketenangan tetapi tegas dan bijaksana tentang ketangkasannya dan tinggi budinya.
331. Padi disisiak jo hilalang, tapuang dicampua jo sadah.Perbuatan kebaikan dicampur dengan perbuatan kejahatan.
332. Padi ditanam padi tumbuah, lalang ditanam lalang tumbuah.Kebaikan yang diperbuat oleh seseorang akan berbalas dengan kebaikan, begitujuga sebaliknya.
333. Padi dikabek jo daunnyo, batang ditungkek jo dahannyo.Kebijaksanaan yang dipakai oleh seseorang didalam memimpin anak kemenakan, untuk menggongkosinya dicari suatu usaha.
334. Papek dilua runciang didalam, talunjuak luruih kalingkiang bakaiek.Sifat yang sangat tercela, mulut manis tetapi hati jahat, dan berbisa.
335. Pikia palito hati, tanang hulu bicaro.Pikiran yang mempunyai pertimbangan adalah penangkal lampu yang menerangi bagi hati, dan ketenangan akan mengeluarkan bicara yang berguna.
336. Pilin kacang nak mamanjek, pilin jariang nak barisi.Seseorang yang berusaha dengan cara yang tidak benar untuk mendapatkansesuatu.
337. Panjeklah batang tinggi-tinggi, basuo pucuak silaronyo, kalilah urekdalam-dalam basuo urek tunggang jo isinyo.Seseorang yang benar-benar mendalami ajaran adat Minangkabau, denganmenelaah kalimat demi kalimat dari filsafatnya, dia akan peroleh mutiaraberharga untuk kehidupan.
338. Putiah manahan sasah, hitam manahan tapo.Yang dikatakan kebenaran boleh tahan uji, asal orang yang waras semuamengatakan benar.
339. Padang gantiang baranah-ranah, kahilia jalan kapianggu, sasimpang jalan kasikabu Duduak samo randah tagak samo tinggi dalam adat Minangkabau.Didalam ajaran adat manusia tidak berkasta, tetapi yang membedakan budi danjabatan yang dipilih bersama.
340. Pulai batingkek naiak, maninggakan ruweh jo buku, manusia batingkekturun, maninggakan barih jo balabehSetiap pribadi menurut ajaran adat Minangkabau haruslah berusahameninggalkan jasa yang baik terhadap anak cucu dan masyarakat.
341. Partamo banamo Minang, Minangkabau namo kaduo, nan kayo mandi baranang, nan bansaik bandi batimbo.Didalam menghadapi kerja bersama haruslah ikut serta setiap orang menurutkemampuannya masing-masing untuk pengorbanan
342. Partamo cupak usali, kaduo cupak buatan. Kalau dulu disasali manjadituah panda- patan.Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.
343. Patah de mamapek, maja de mangilia, dek harum talalu angik.Sesuatu pekerjaan yang dikerjakan, atau pengajaran terhadap seseorangterlalu melampaui batas hingga tidak mencapai hasil yang diharapkan.
344. Pucuak dicinto ulam tibo, sumua dikali aia dapek.Seseorang yang mencinta sesuatu yang dirindukan tiba-tiba datang dengansegera.
345. Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak kaniru, satitiak jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang alam takambang jadi guru.Adat Minangkabau dipelajari oleh nenek moyang dahulunya, dari ketentuan alam terkembang jadi guru.
346. Partamo lareh nan tinggi, kaduo lareh nan bunta, kalau tak pandai kitomambimbiang indak katantu sah jo bata.Bagi seorang bapak/mamak di Minangkabau kalau tidak memberikan bimbingansungguh-sungguh terhadap anak kemenakan, tidaklah diketahuinya sah danbatal.
347. Pandai mangulai ambuang-ambuang, bak umpamo gulai kincuang, baunnyo maimbau imbau, tapi rasonyo amba sajo.Seseorang yang senantiasa berjanji muluk, tetapi sekalipun tidak terpenuhi.
348. Pangka kusuik ujuang bakaruik, ikua kupiak kapalo randah.Seseorang yang selalu bersifat ragu dan engan karena kurang pengetahuan danpengecut.
349. Pandai batanam tabu dibibia, pandai baminyak aia.Orang yang selalu bermulut manis, tetapi di hatinya bersarang dengki dankianat.
350. Pusek jalo kumpulan ikan, pucuak usah tarateh, urek ijan taganjak.Pimpinan seperti ibu dan bapak, guru, merupakan tumpukan dari segala contohbaik dan buruk bagi anak-anaknya.
351. Pasa jalan dek batampuah, lanca kaji dek ba ulang.Pengetahuan didapat dengan dipelajari, untuk lebih praktis harus diamalkandalam kehidupan.
352. Pandai karano batanyo, tahu karano baguru.Pengetahuan diperdapat karena belajar, pendidikan dan banyak bertanya kepadaorang yang tahu.
353. Panjang namuah dikarek senteng namuah dibilai, singkek namuah diuleh, kurang namuah ditukuak.Sebaik-baik manusia mau menerima nasehat dari pada orang lain dan menggakui kelemahannya.=R=
354. Rarak kalikih dek minalu, tumbuah sarumpun jo kayu kalek. Kok habih raso jo malu bak kayu lungga pangabek.Kalau rasa malu telah hilang dari manusia, maka manusia itu sulit untukdiarahkan kepada kebaikan, dan sulit untuk menyusun masyarakat.
355. Ratak indak mambao caro, rannyuak nan indak mambao hilang.Persengketaan dalam rumah tangga dan keluarga, jangan mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan.
356. Rumah tampak jalan indak tantu, angan lalu faham tatumbuak.Seseorang yang ingin mendapatkan sesuatu, tetapi tidak mendapat jalan danpengetahuan untuk mencapainya.
357. Raso aia kapamatang, raso minyak kakuali, nan bakabek rasan tali, nanbabungkuih rasan daun.Seseorang yang mempunyai hubungan kekeluargaan, sedarah, sekampung,senagari, senegara, dia akan selalu berpihak dalam pembelaan keluarga.
358. Rumah indak batungganai, kappa nan indak banangkodoh.Masyarakat atau keluarga yang tidak mempunyai pemimpin, sama halnya seumpama kapal tanpa nakhoda.
359. Rumah gadang bari bapintu, nak tarang jalan kahalaman, kalau dikumpa saleba kuku jikok dikambang saleba alam.Ajaran adat Minangkabau akan dapat dimamfaatkan untuk mengatur masyarakat, semenjak dari yang kecil seperti keluarga, sampai kepada yang lebih besar seperti negara dan dunia.
360. Riwayaik jambi lah tasabuik, panjang tajelo disilukah, barih balabehmangkonyo cukuik, sampai ka hulu baru sudah.Ajaran adat Minangkabau dengan segala persoalannya dapat dipahami apabila didalami. Adat sebagai kebudayaan dan adat sebagai budi pekerti.
361. Rupo mangatokan harago, kurenah manunjuakan laku, walau nan lahia tampak dek mato, nan bathin tasimpan dalam itu.Kalau dipelajari ajaran adat yang dihimpun dalam pepatah petitih, mamang dan bidal, mengandung arti lahir dan bathin.
362. Raso dibaok naiak, pareso dibaok turun.Pembinaan pribadi yang baik hendaklah dimulai dalam lingkungan anakkemenakan.
363. Raso kabarek dilapehkan, raso kasulik dielakkan, bak cando mangganggam baro.Seseorang yang tidak bertanggung jawab kepada tugas dan kewajibannya.=S=
364. Surang makan cubadak, sadonyo kanai gatahnyo, saikua kabau bakubang sakandang kanai luluaknyo.Sesuatu perbuatan yang tercela menurut adat dan agama di Minangkabau yangdikerjakan oleh seorang anggota masyarakat, maka malu dirasakan ole seluruhanggota kaum yang lain.
365. Sio-sio- nagari alah, kalau cilako utang tumbuah.Pekerjaan yang sia-sia dan berbahaya akan mengakibatkan kerugian bersama,berbuat salah mengakibatkan terjadinya hutang.
366. Sayang di anak dilacuti, sayang di kampuang ditinggakan.Kalau sayang kepada anak jangan dibiarkan dia mengerjakan yang tidak baik,harus dimarahi. Kalau cinta sama kampung harus ditinggalkan untuk mencaripengetahuan untuk disumbangkan akhirnya kelak.
367. Sadang manyalam minum aia, sadang badiang nasi masak.Sesuatu pekerjaan yang dapat dikerjakan sambil lalu, dengan tidak mengurangikepada pekerjaan yang sedang dilakukan.
368. Senteang bilai mambilai, panjang karek mangarek.Hendaklah memberikan pertolongan kepada teman yang sedang dalam kesusahan, dan memberi nasehat kalau dia terlanjur.
369. Satitiak jadikan lauik, sakapa jadikan gunuang.Berusahalah dengan dasar pengetahuan yang ada untuk melanjutkan mencapaipengetahuan yang lebih tinggi.
370. Suri tagantuang ditanuni, luak taganang kito sauak.Tentang ajaran adat yang secara mutlak dilaksanakan, tanpa dimusyawarahkan.
371. Sakalam kalam hari sabuah bintang bacahayo juo.Tidak seluruh orang keluar dari garis kebenaran, sekurang-kurangnya satuorang ada yang menegakkannya.
372. Sabanta sakalang hulu, salapiak sakatiduran.Dua orang berteman secara akrab yang sulit untuk dipisahkan.
373. Sandi banamo alua adat, tonggak banamo kasandaran.Hikmah rumah adat di Minangkabau, yang sendinya kebenaran bersama, sandaran kuat hukum adatnya.
374. Sasiuak namuah ka api, salewai namuah ka aia.Seseorang yang ingin mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak baik.
375. Satali pambali kumayan, sakupang pambali katayo, sakali lancuangkaujian, salamo hiduik urang indak picayo.Haruslah bersifat jujur dan benar dalam pergaulan, kalau kelihatankecurangan satu kali selamanya orang tidak percaya lagi.
376. Syarak banamo lazim, adat nan banamo kewi, habih tahun baganti musim, buatan nan usah diubahi.Bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, kesengsaraan yang dialami, tetapikeputusan bersama jangan dirobah.
377. Siang manjadi tungkek, malam manjadi kalang.Hendaklah pegang dan amalkan setiap pelajaran yang baik dan nasehat orangtua.
378. Sungguahlah kokoh adat Minang, mambuek adat jo limbago, malangnyo panjajah datang, rusaklah adat dibueknyo.Adat Minang yang kuat dan kokoh dulunya telah banyak dirusak oleh penjajahdizaman lampau.
379. Satuntuang tabu dek ulek, satuntuang sajo kito buang.Seorang berbuat salah jangan semua keluarga dibencii.
380. Sirauik tajam batimba, tak ujuang pangka manganai, sudu-sudu batimba jalan, ditakiak kanai gatahnyo. Kalauik tuah takaba, bumi jo langik nan mananai. Duduak dikampuang jan umbilan, kandang buek tumpuan tanyo.Seharusnya setiap orang Minangkabau mengetahui tentang seluk beluk filsafatadatnya, karena semua bangsa mengenal keunikan adat Minangkabau itu,terutama tentang sistim kekerabatannya dan matrilinialnya.
381. Siriahlah pulang kagagang, pinanglah suruik katampuaknyo. Karih baliak kasaruangnyo, baju tasaruang ka nan punyo, ameh pulang katambangnyo.Suatu benda berharga yang sudah lama tidak ditemui, sekarang kembali kepadayang empunya semula, seperti merebut tanah air dari tangan penjajah, sampaikita merdeka.
382. Sadang baguru kapalang aja, lai bak bungo kambang tak jadi. Kunun kok dapek dek mandangga, tidak didalam dihalusi.Setiap menuntut pengetahuan jangan putus ditengah, dan kurang mamfaatnyadengan mendengar saja, kalau dibandingkan dengan belajar sesungguhnya.
383. Sabab karano dek baitu, tumbuahlah niaik dalam hati, nak manuruik tambo nan dahulu sajarah adat nan usali.Kalau ajaran adat telah dapat dipahami kemana masyarakat hendak dibawa olehajaran adat itu maka akan timbullah hasrat untuk mendalamnya.
384. Sangajo guno diuraikan, kahadapan nan basamo, untuak nak samodipikiakan, nak samo dirunuak nan tujuan.Penggugah hati para pembaca terutama putra Minang untuk mendalami filsafat adatnya.
385. Satinggi-tinggi malantiang, mambubuang ka awang-awang, suruiknyokatanah juo. Sahabih dahan jo rantiang, dikubak dikulik batang, tarehpanguba barunyo nyato.Adat Minangkabau tidak akan bisa dipahami secara baik, apalagi untukdihayati dan diamalkan tanpa mendalami sungguh-sungguh.
386. Santan babaleh jo tubo, nikmat babaleh jo sansaro.Kebaikan yang pernah diberikan seseorang kepada orang lain, tetapibalasannya dengan yang buruk.
387. Saumpamo aua jo tabiang, umpamo ikan jo aia.Pergaulan yang baik saling bantu membantu dan kuat menguatkan, dan salingmembutuhkan.
388. Sikujua baladang kapeh, kambanglah bungo karawitan. Kok mujua mandeh malapeh bak ayam pulang kapautan.Setiap orang pergi merantau mengharapkan kehidupan yang baik dan pendapatan yang akan dibawa kekampung halaman.=T=
389. Tak lakang dek paneh tak lapuak dek hujan, dianjak tak layua, dibubuiktak mati.Kebenaran yang dikandung oleh Adat Minangkabau, karena ajarannya bersumber dari ketentuan alam yang disusun jadi pepatah yang senantiasa kebenarannya tidak dapat dibantah.
390. Tabujua lalu tabalintang patah.Untuk mempertahankan kebenaran hendaklah dengan kegigihan yangsungguh-sungguh.
391. Tarandam-randam indak basah, tarapuang-apuang indak hanyuik.Sesuatu perkara yang tidak jelas duduknya, selesai tidak diusutpun tidak.
392. Tak ujuang pangka mangganai, saragi baliak batimba.Seseorang yang mempunyai pengetahuan dan alat-alat yang lengkap, yang dapat dipakai serba guna.
393. Tasingguang kanai miangnyo, tagisia kanai rabehnyo.Kesalahan yang dibikin oleh seseorang, merembet-rembet kepada orang lain.
394. Tak siriah pinang mamalan, tak pasin anguakpun tibo.Seseorang yang pandai mengikat seseorang dengan suatu perhitungan.
395. Tak laju bandiang mamacah, tak lalu dandang di aia, digurun ditajakkan juo.Seseorang yang berpikiran jahat kepada orang lain, dia selalu berusaha untukmelaksanakan dimana dan kapan saja.
396. Tatungkuik samo makan tanah, tatilantang samo minum ambun, tarapuang samo hanyuik, tarandam samo basah.Kerja sama yang baik dalam masyarakat, kesatuan hati dan pikiran, kesatuanpendapat dan gerak adalah pokok utama.
397. Titiak buliah ditampuang, maleleh buliah dibaliak.Hasil kerja sama yang baik ini akan dapat dinikmati bersama oleh orangbanyak.
398. Tagak indak tasundak, malenggang indak tapampeh.Seseorang pemimpin yang punya wewenang penuh dan wibawa.
399. Talalok talalu mati, manyuruak talalu hilang.Seorang pandai yang meinsulirkan diri dari masyarakat dan tak inginbertanggung jawab.
400. Tinggi lonjak gadang galapuah, nan lago dibawah sajo.Sifat seseorang yang senantiasa segala pandai dihadapan orang yang tak tahu,tetapi sebenarnya kosong belaka.
401. Tampek bagantuang nan lah sakah, bakeh bapijak nan lah taban.Kehilangan orang yang akan membimbing dan membela, sianak kehilanganayahnya.
402. Talangkang carano kaco, badarai carano kendi, padi nan samo ranggantangkan. Bacanggang karano budi, bacarai karano baso, itu nan samo rang pantangkan.Berpisah dan berpecah hati satu dengan yang lain akibat budi telah rusak dankarena kurang sopan sangat tidak di ingini dalam adat Minangkabau dalambergaul dengan siapa saja.
403. Hiduik batungkek batang bodi, mati bapuntiang ditanah sirah. Jikokpandai bamain budi, dalam aia badan indak basah.Dalam pergaulan kalau budi selalu diamalkan dan menjadi perhatian terhadapdiri dan orang lain, keuntungannya sangat banyak sekali.
404. Taparosok kudo kabanda, bari baganto kapalonyo. Elok rundiangan kato babana, supayo sagalonyo elok balaku.Lebih baik dalam hidup bergaul suka berterus terang, dari pada memakai sifattidak jujur.
405. Tambo sapantun bungka jalo, tuangan amuahnyo hilang, tapi pusako lamo baitu juo.Adat sebagai kebudayaan mungkin berobah, dari yang kurang kepada yang lebih sempurna, tetapi budi akan tetap seperti semula.
406. Tungku nan tigo sajarangan, tali nan tigo sapilin.Tiga aturan di Minangkabau yang harus ditaati oleh masyarakat, yakni Adat,Syarak dan Pemerintah.
407. Tumbuah dicupak dililisi, tibo diundang dikurasai, kalau takilan dalamhati, lah patuik kini dikurasai.Ketiga-tiga aturan yang berjalin menjadi satu dalam diri orang Minangkabau,perlu sama-sama diperdalam dan dipelajari.
408. Talangkah suruik, sasek kumbali, baitu faham handaknyo, kato rang tuo indak dituruik binaso badan kasudahannyo.Segala nasehat dan pelajaran yang baik dari orang tua harus dituruti kalautidak kita sendiri akan binasa.
409. Tiok nagari basuku-suku, nan suku babuah paruik, kato adaik mangkobaitu,urang tuo lah lamo hiduik.Ajaran adat menekankan yang demikian karena orang tua hidupnya telah lama,pengalamannya telah banyak.
410. Tunggau disubarang lautan nampak, gajah dipalupuak mato indakkalihatan.Seseorang yang tahu menyalahkan orang lain, tetapi lupa melihat kesalahannyasendiri.
411. Tak sio-sio tampuo basarang randah, kalau indak ado ba-ado.Jangan disangka sesuatu yang dibiarkan begitu saja nampaknya, tetapi pastiada orang yang mengangawasinya.
412. Tagisia labiah bak kanai, tasingguang labiah bak jadi.Seseorang yang dalam perasaannya, dan jauah jangkauan pikirannya terhadapkemungkinan kemungkinan yang akan terjadi.
413. Tasisiah atah jo bareh, basibak kumpai jo kiambang.Dalam duduk bersama akan nyata bedanya antara orang berpengetahuan danber-ilmu dari pada orang yang tidak berpengetahuan.
414. Tabik pantang tarubah, biaso jadi parangai, lah tuo jadi pakaian.Sifat yang baik dan buruk kalau telah dibiasakan semenjak kecil akanberbekas sampai dihari tua.
415. Tibo dikandang kabau manguek, tibo dikandang kambiang mambebek,dikandang bantiang malanguah.Setiap kita harus pandai menyesuaikan diri dimana saja kita berada, denganmengetahui adat istiadat setempat.
416. Tak baban batu digaleh, umua habih jaso indak ado.Seseorang yang mengerjakan pekerjaan yang tidak mendatangkan hasil.
417. Tunjuak luruih kalingkiang bakaik, papek dilua runciang didalam.Orang yang selalu bermuka baik dan bermulut manis tetapi hatinya busuk dandengki.
418. Taranbau diimpik janjang, lah seso sansaro tibo.Seseorang yang mendapat kesengsaraan yang datang bertubi-tubi.
419. Tangsi curup muaro aman, lebong dibukak dek maskapai. Bundo kanduang taguahkan iman, malapeh anak dagang sansai.Kata-kata pantun seorang anak diwaktu hendak berpisah dengan kampunghalaman.
=U=
420. Ukua jo jangko kok indak tarang, susunan niniak moyang kito. Dek rancak kilek loyang datang, intan disangko kilek kaco.Kebudayaan asli akan dikalahkan setidak-tidaknya akan dipengaruhi olehkebuda yaan asing, kalau kiranya tidak mencintai dan mengamalkan kebudayaan sendiri.
421. Urang tuo saundang-undang, panghulu sabuah hokum, candiko pandaibatenggang, budiman sifat panyantun.Sifat yang harus dimiliki oleh orang tua da pemimpin, cendekia dan parabudiman.
422. Uraian barih jo balabeh, sahinggo durian ditakuak rajo, supayo budi samo marateh, usaho galian dek basamo.Untuk kembali kebudayaan menjadi kecintaan dan penghayatan masyarakat, perlu kerja sama yang baik semua pihak.
423. Umpamo jawi balang puntuang, didulukan inyo manyipak, dikamudiankan inyo mananduak.Sifat seseorang yang tidak baik, mau menang sendiri, yang tidak memikirkankeselamatan orang lain, yang jadi persoallan baginya selalu dia kemukakan,sedang dia tidak mempunyai kemampuan.
424. Umpamo kancah laweh arang, umpamo tabu saruweh.Seseorang suka bicara tanpa memikirkan orang lain tersinggung, banyak bicaratapi tidak bisa kerja.
425. Urang pambagih gadang hutang, urang pandareh lakeh kanai, urang pancameh mati jatuah, urang pandingin mati hanyuik.Sifat dalam bertindak dan berbuat tanpa dipikirka semasak-masaknya selalutergesa gesa, menemui akibat yang tidak baik.
426. Urang pamanggok lapa paruik, urang parentak gadang kanai.Seseorang yang mudah tersinggung, dan pemarah juga sifat yang harusdihindarkan.
427. Usua samo dipamain, cabua samo dibuang.Setiap kejadian harus diselidiki lebih jauh dan dihindarkan membuat kerjacabul.
428. Undang-undang nan duo baleh, ganti tuladan dek panghulu, itulah suri nan tarantang Cupak kok dipapek rang mangaleh, jalan kok diasak rang lalu, tikamkan karih nan dipinggang.Kebudayaan asli bangsa harus kita pertahankan dengan segala tenaga dankekuatan yang ada walau dengan nyawa sekalipun.
429. Urang Makkah mambao taraju, urang Bagdad mambao talu, dimakan bulan puaso. Rumah gadang basandi batu, adat basandi dengan alua, itulah kaganti rajo.Ajaran Adat Minangkabau dikiaskan dengan kenyataan, seperti rumah bersendibatu kuat dan kokoh dan bersendi alur atau kebenaran yang tidak adabandingannya yakni ( Syarak ).
430. Ula lalok nan usah dijagokan, aia nan tanang usah dikaruahi.Janganlah berbuat pekerjaan yang sia-sia dan berbahaya, dan menimbulkankekeru- han dalam masyarakat.
431. Umua panjang batungkek sabuak, usah takasiah dalam hiduik.Pikirkanlah ekonomi dan kesayangan orang dihari tua, jangan bersifat borosdalam hidup.
432. Usang-usang dibarui, lapuak-lapuak dikajangi.Adat sebagai kebudayaan dan sebagai budi pekerti, terus dikembangkan dandibina.
:: Perang Kamang 1908 ::
Perang Kamang 1908 adalah perang terbuka yang meledak 15 Juni 1908 dan merupakan salah satu puncak dari kemelut suasana anti penjajahan rakyat Sumatera Barat menentang penjajahan Belanda. Di sini akan terlihat gambar nyata dari bentuk semangat dan pengorbanan rakyat Kamang, baik kalangan adat, agama, cerdik pandai, pemuda dan kaum ibu dalam menulang punggungi perlawanan mengusir Belanda, yang dari segi politis dapat dikatakan sebagai bukti sumbangan yang pernah ditujukan bangsa Indonesia.
Hal ini tercermin dari kunjungan Menko Keamanan dan Pertahanan Jendral A.H.Nasution tanggal 15 Juni 1963, yang sekaligus meresmikan Makan ahlawan Perang Kamang. Juga dari sambutan Wakil Perdana Menteri Pertama/Ketua MPRS Chairul Saleh tanggal 15 Juni 1962 dan Menteri Penerangan DR.H.Abdul Gani tanggal 15 Juni 1964.
Namun sebelum masuk pada uraian detik-detik jalannya Perang Kamang 15 Juni 1908 dalam bentuk penyerbuan besar-besaran pasukan rakyat terhadap Belanda, terlebih dahulu ada hal yang sangat penting digarisbawahi:
- Bahwa apa yang akan dikemukakan di sini, adalah semata-mata berdasarkan data dan fakta yang terkumpul, khusus yang berkaitan dengan perlawanan rakyat Kamang (Kamang Hilir sekarang)
- Bahwa dengan tujuan sengaja tidak ingin keluar dari pokok tulisan semula yaitu memproyeksikan setiap rangkaian peristiwa pada Kamang sebagai subyek sejarah, maka sasaran intinya lebih dititikberatkan, ke arah bentuk eksistensi seluruh rakyat Kamang dan pimpinanya menghadapi penjajahan. Jadi bukan Kamang sebagai lokasi/orang dari mana saja yang mungkin ikut langsung sebagai pendukung peristiwa.
Masalah ini perlu ditekankan, mengingat kelarsan Kamang mempunyai kawasan meliputi Kanagarian Kamang (sekarang Kamang Hilir), Kanagarian Surau Koto Samiak (sekarang Kamang Mudiak), Suayan dan Sungai Balantiak, dengan pusat pemerintahan kelarasan dimana seluruh aktivitas kepemimpinan lembaga adat, keagamaan dan lain-lain diatur, terletak di Tangah Kanagarian Kamang Hilir. Dengan demikian, semoga tidak akan timbul salah pengertian apalagi versi mengenai gambaran yang ingin diuraikan berikut ini:
J. Westernnenk secara berturut-turut masih berusaha mendatangi rakyat Kamang, bahkan tak terhitung lagi. Tetapi perundingan-perundingan atau lebih tepat disebut perdebatan mengenai persoalan itu ke itu juga, malah lebih menambah kebencian dan memperkukuh semangat aksi rakyat terhadap Belanda, yang pada masa itu sebenarnya sedang mengalami goncangan politik, yang rata-rata melanda negara-negara Eropah Barat.
Di samping kropos dalam tubuh sendiri, kritik sebagian kaum militan dan rakyat progresif Belanda terhadap pelaksanaan peraturan blasting di Indonesia, berangsur menjurus ke arah kampanye-kampanye kemanusiaan yang dimotori golongan liberal. Dari berbagai tuntutan yang muncul kemudian tergambar, sebagian dari masyarakat Belanda cenderung kurang setuju atas sikap pemerintah dalam menangani masalah-masalah tanah jajahan sebarang lautan, termasuk Indonesia. Semua ini sering menjadi bahan pertengkaran sengit di Parlemen Belanda dan sangat membuat pusing pemerintah. Kemudian ditambah lagi oleh pengaruh politik militerasme Jerman, yang seakan membuat seluruh Eropah Barat terpanggang dalam tungku pemanas, gelisah dan senantiasa diliputi pikiran curiga satu sama lain.
Tetapi bagi Belanda tidak mungkin lagi menarik garis politik lain di tengah suasana demikian, lebih lagi disebabkan oleh kian tajamnya gerakan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri. Di sinilah dalam keadana yang selama ini telah menukar manusia jadi hewan, dihargai sikap rakyat yang mulai menyadari kemampuan mereka yang tersembunyi untuk menghadapi segala rintangan, sehingg dengan sendirinya mulai menghargai kehormatan diri dan bangsa. Sedikit demi sedikit malah kini siap berbalik untuk menginjak-nginjak lawan.
Di Kamang, kesibukan terlihat dimana-mana. Siang dan malam merek terus memasang telinga atas setiap perkembangan yang terjadi, kemudian membicarakannya pada setiap kesempatan yang ada sebelum tiba pada kesimpulan akhir. Seluruh dusun seakan dipenuhi musik dencingan golok yang sedang diasah. Dari yang kecil sampai yang tua, laki-laki dan perempuan semuanya bermandi peluh karena mesti menggunakan seluruh tenaga untuk dapat menyelesaikan pekerjaan membuat senjata tradisional, sementara kaum ibu saling berbisik memandang bangga ke arah suami atau anak-anak mereka. Dan para pemuda pilihan terus melatih diri dengan giat, tanpa kenal lelah. Pada pokoknya masa itu suasana Kamang benar-benar dipenuhi warna perang yang kalau dituliskan satu persatu niscaya tidak akan habis-habisnya.
Namun, ada sebuah adegan yang sangat mengesankan ketika seorang anak berumur 6 tahun bertanya kepada ibunya yang saat itu sedang istirahat setelah berlatih silat di halaman masjid Taluak: “Kalau ibu dan ayah pergi berperang mati, dengan siapakah saya tinggal lagi? Sang ibu yang bernama Siti Anisah, termenung sejurus, memandang pada tubuhnya yang bermandikan keringat, kemudian pada suaminya Nan Basikek yang masih berlatih di tengah gelangang dan mengelus kepala si Anak dengan kasih sayang, seolah terbayang akan hari depan yang gelap, lalu menjawab: “Semua orang akan menjadi ayah ibumu, selagi dia membenci penjajahan.” Si anak bingung, tapi siti Anisah cepat-cepat mendekapnya, takut timbul pertentangan di dalam bathinnya. Sebutir air mata jatuh tanpa disadarinya di atas kepala si anak. Dan kemudian benar begitulah kenyataanya, dalam pertempuran 15 Juni 1908, Siti Anisah tersebut gugur sebagai Kesuma Bangsa.
Si anak yang bernama Ramaya inilah nantinya yang pada tahun 1926 tampil sebagai pemimpin pemberontakan bersejarah yang terkenal dengan “Pemberontakan Kamang 1926”. Semetnara itu Kari Mudo sebagai pelopor generasi muda, juga tidak tinggal diam. Secara berturut-turut dalam waktu berjarak lama, dia mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pemuka masyarakat Kamang, termasuk Laras Garang Dt. Palindih, Penghulu Kepala Dt. Siri Marajo, pemimpin perlawanan Dt.Rajo Penghulu, Dt.Mangkudun, St.Pamernan dan banyak lagi yang lain-lain, bahkan pernah dihadiri oleh J.Wstennenk sendiri. Dan pada kesempatan lain dia juga berusaha memenuhi Dt. Mudo di Payakumbuh, Syekh Koto Baru, Pado Kayo di Suayan untuk meminta petuah sekaligus penangkal untuk persiapan menghadapi perperangan yang diperkirakan tidak lama lagi. Akhirnya saat ituun tiba. Tetapi apa yang menajdi penyulut perang ini, terdapat berbagai versi yang agak berbeda. Oleh karena itu kita cenderung berpegang pada Buku Pemberontakan Pajak 1908 karangan Rusli Amran.
Hari Senin pagi tanggal 15 Juni 1908, sebagai hari perlawanan paling hebat di Sumatera Barat dalam menentang sistem blasting telah diawali ketika seorang warga masyarakat Magek datang ke kantor Laras Warido dengan maksud untuk membayar blasting.
Dia langsung dihadang serombongan warga setemapt dan diancam akan dibunuh kalau rencana itu diteruskan juga, karena perbuatan ini terang-terangan melanggar tekad bersama untuk menentang Belanda. Mengetahui duduk masalahnya, Laras Kenagarian Magek Warido sangat marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Dia langsung berangkat ke Bukittinggi untuk melaporkan peristwia itu kepada J.Westennenk dn meminta supaya para pembangkang segera ditangkap. Hari itu juga melalui telepon, J.Westennenk menghubungi Gubernur Sumatera Barat Hecler untk mohon petunjuk mengenai tindakan yang harus diambil. Hanya sepatah kata yang dicetuskan Hecler sesuai dengan penggarisan Gubernur General Van Heutez yaitu, serbu!
J.Westennenk lantas mengumpulkan 160 orang pasukan pilihan yang kemudian dibagi menjadi 3 kelompok. Menjelang sore mereka segera bergerak dari Bukittinggi menuju Kamang dari tiga jurusan:
1. Pasukan pertama yang terdiri dari 30 orang, masuk dari Gadut terus menuju Pauh, dipimpin dua orang letnan yaitu Heine dan Cheriek.
2. Pasukan kedua, yang terdiri dari 80 orang serdadu dipimpin J.Westennenk bersama Kapten Lutsz, Letnan Leroux, Letnan Van Keulen, Dahler dan Aspiran Kontrolir Beeuwkes, masuk dari Tanjung Alam terus ke Tilatang.
3. Sedangkan pasukan ketiga yang berkekuatan 50 orang serdadu di bawah pimpinan Letnan Boldingh dan Letnan Schaap, masuk lewat Biaro dan terus menuju Salo.
Di sepanjang jalan terjadilah perlawanan rakyat di antaranya yang cukup hebat dalah yang dilakukan Dt.Parpatiah di Magek, dimana dalam pertempuran itu Dt. Parpatiah sendiri tewas ditembus senjata lawan. Pasukan yang masuk dari Tanjung Alam dan Gadut bertemu di Kamang Mudiak Sekarang, sedangkan yang datang dari Biaro, sesampai di Kubualah membelok ke Magek, dimana ikut pula Warido, Kepala Penghulu Tigo Lurah, Laras Banuhampu, Menteri Klas I dan seorang polisi, untuk memudian bergabung ke Kamang Mudik. Pasukan inilah yang terlihat pertempuran dengan pasukan rakyat di bawah pimpinan Dt. Parpatiah. Dalam pertempuran D. Parpatiah berhasil membunuh Laras Warido sebelum dia sendiri tewas sebagaimana di sebutkan di atas.
Pada senja hari, Belanda mulai bergerak mengepung rumah H. Abdul Manan untuk menangkapnya, karena pada masa itu mereka beranggapan, yang menjadi dalang pergolakan adalah kaum agama. Tetapi H. Abdul Manan berhasil meloloskan diri dan segera menemui Dt. Rajo Penghulu di Kamang (sekarang Kamang Hilir) untuk berkonsultasi. Akhirnya bertiga dengan Kari Mudo dan beberapa orang pemuka lainya, mereka langsung mengadakan rapat kilat untuk membahas perkembangan yang sangat kritis dan menyusun kesiagaan seluruh rakyat guna mengobarkan perang sabil.
Pukul 12.00 diterima informasi, pasukan Belanda berkumpul di suatu tempat perbatasan Kamang dan Kamang Mudik sekarang, yang bernama Kampuang Tangah, menunggu hari siang, selain dikelilinggi pesawahan yang membuat pandangan bebas ke arah jalan raya satu-satunya, juga penduduknya tidak seberapa. Ini disadari benar oleh Dt. Rajo Penghulu. Setelah ditinggal pergi H. Abdul Manan yang kembali ketempat semula, dia mulai menyiapkan pasukan tempur, Beduk, tong-tong dan puput tanduk berkumandangan di tengah malam sunyi pertanda perang bakal dimulai.
Pasukan rakyat langsung dipimpin Dt. Rajo Penghulu, terlebih dahulu berkumpul di Masjid Taluak untuk menerima penjelasan dan beberapa instruksi penting, sebelum membaginya dalam beberapa kelompok. Kelompok yang paling besar adalah yang dipimpin Khadi Abdul Gani. Setelah selesai sembahyang berjamaah, lalu ditutup dengan pekik Allahu Akbar dan Laailahillah, mereka pun berangkatlah menuju Kampung Tangah.
Jadi di sini jelaslah apa yang disebut dengan Perang Kamang itu ialah suatu pertempuran rakyat yang datang menyerbu. Realitasnya memang begitu dan tidak mungkin diubah-ubah lagi.
Kembali kepada pasukan rakyat yang meninggalkan Masjid Taluak menurut catatan yang diperoleh dari berabagai sumber yang dapat dipercaya dan sampai tulisan ini disusun masih hidup, bahkan ikut dalam pertempuran itu, menyebutkan sesampai mereka di Kampuang Tangah, mereka segera bersembunyi di rumpun padi yang sedang menguning sambil merayap mendekati pasukan Belanda.
J.Westennenk dari tempatnya berdiri dengan pasukannya, di antara remang-remang malam telah melihat semua ini, bahkan juga sudah mengenal bayangan Dt. Rajo Penghulu bersama dengan pemimpin lainya. Tetapi dia masih belum mau bertindak karena dia masih punya harapan untuk membujuk rakyat. Lantas dia berteriak menyuruh supaya pasukan rakyat pulang kembali mengingat kekuatan kompeni cukup banyak dengan personil dan senjatanya. Dia juga mengingatkan segala kemungkinan yang bisa terjadi, sekiranya pasukan rakyat masih bermakud terus maju. Tetapi seruan itu segera pula dijawab Dt.Rajo Penghulu, pasukan rakyat tidak akan mundur setapakpun dan bersedia mati syahid.
Dalam kesimpulan salah satu laporan resmi J.Westennenk kepada Gubernur Jendral Ven Heutsz di Batavia melalui surat kawat tanggal 17 Juni 1908, disusul laporan pada Gubernur Sumatera Barat Heckler No.1012 tanggal 25 Juni 1908, dia melukiskan suasana malam itu, seumpama satu malam dimana jurang antara ras manusia dengan segala kekuasaanya, sudah tidak ada lagi. Yang ada, cuma kelompok kemarahan yang saling bertentangan di dalam diri manusia-manusia yang bertatap dengan buas melalui kerlipan bintang-bintang di langit, siap untuk saling bunuh. Dari arah segerombolan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan raya, sekali-sekali terdenar gemuruh suara Ratib dan Allahu Akbar, yang semuanya berjumlah tidak kurang dari lima ratus orang. Sedangkan beberapa orang lagi yang sedang merayap dalam padi, tidak dapat dihitung. Tapi pasti meliputi ratuan orang pula.
J.Westennenk datang mendekati Sersan Booman yang sedang mengawasi kegelapan. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Sersan Boorman yang bertugas mengawasi wilayah timur, hampir bersamaan dengan J.Westennenk mencabut pistol, ketika gelombang serbuan pertama begitu saja sudah muncul di depanya. Orang-orang itu bagai datang dari balik kegelapan disertai pekik kalimat-kalimat Tuhan yang mendirikan bulu roma. Di tangan mereka berkilauan berbagai macam senjata, mulai dari pisau, parang, lembing dan beberapa jenis senjata lainya. Dalam beberapa jam saja, terjadilah perang basosoh yang dahsyat, karena serdadu Belanda banyak yang tidak sempat menembakkan senjatanya.
Gemercing senjata, letusan senapan, jerit kesakitan dan rintih kematian memenuhi udara malam maka dalam sekejap Kampuang Tangah yang tenang itu berubah menjadi medan bangkai dan telaga darah.
Dalam laporan resmi J. Westennenk tersebut, juga dijelaskan, telah terjadi lebih dari delapan kali serangan serupa dalam waktu hampir berturut-turut dan semakin mengerikan. Ratusan orang penyerbu terus saja maju sekalipun dihujani tembakan. Kegelapan malam menyebabkan sulit bagi serdadu Belanda membidik sasaran secara tepat, sehingga sebahagian besar dari mereka yang berhasil tiba di tempat para serdadu bertahan, langsung membabat lawan bagai kesetanan. Satu demi satu prajurit Belanda tewas dengan tubuh penuh luka-luka mengerikan. Sersan Boorman tak henti-hentinya berteriak membangkitkan semangat anak buahnya yang semakin kendor. Di antara kepulan asap mesiu, Dr.Justesen kelihatan merunduk-runduk ke arah beberapa orang serdadu yang merintih akibat luka-luka yang di deritanya. Tetapi dari arah tidak kurang dari 50 meter, lagi-lagi puluhan penyerbu sudah datang pula. Kelihatan dua orang serdadu mengacungkan senjata dalam jarak beberapa langkah menyongsong mereka, namun sebelum sempat melepaskan tembakan kedua serdadu itu terjungkal di tengah kilauan senjata tajam. Perwira kesehatan Dr.Justesen dan sersan Boorman secara bersama-sama berusaha keras mencegah serdadu yang sudah mulai mundur, ketika menyaksikan seseorang penyerang membelah kepala seorang sersan. Sementara itu dari arah lain, beberapa orang penyerbu berhasil memasuki sekelompok tentara. Terdengar beberapa kali tembakan disusul jatuhnya empat orang di antara mereka. Tetapi belasan orang yang luput, langsung menghabiskan para serdadu Belanda tanpa ampun.
Demikian pada pertempuran yang berlangsung sampai pukul 2.00 dini hari itu, bintang J Westennenk sebgai pelaksana kolonial terlindung oleh bintang M. Saleh Dt. Rajo Penghulu sebagai pemuka perang. Pasukan rakyat memperoleh kemenangan gemilang lantaran semangat dan koordinasi yang tinggi. Tentara Belanda berhaisl dibuat kucar kacir. Tetapi J.Westennek sempat meloloskan diri dan minta bantuan ke Bukittinggi.
Pasukan inilah nantinya yang telah menimbulkan malapetaka terhadap pasukan rakyat, karena bertepatan fajar menyingsing merek datang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga babak kedua perang basosoh, segera meledak kembali. Akan tetapi lantaran pasukan itu terlalu banyak dan segar-segar, dilengkapi pula dengn senjata modern, akhirnya pasukan rakyat terpaksa mengundurkan diri. Dan bersamaan itu, berhentilah kegaduhan suasana perang bagai disapu dari bumi Kampung Tangah. Yang tinggal hanyalah keheningan yang ditingkah erangan suara manusia yang luka-luka di tengah desau angin dedaunan. Nun di ufuk timur, warna keemasan kelihatan menebari permukaan langit dan burung-burungpun mulai berkicau seperti hari-hari sebelumnya. Maka tercatatlah pagi itu sebagi sejarah berkabut di hati setiap bangsa Indonesia di dalam menentang kolonis Belanda.
M.Saleh Dt. Rajo Penghulu bersama lebih 70 angot pasukan rakyat, syahid sebagai pahlawan bangsa, di antaranya terdapat dua orang srikandi yaitu Siti Anisah dan siti Asiah. Selain itu yang mengalami cacat, tercatat 20 orang.
Siti Asiah
Mengenai tragedi gugurnya Siti Asiah, salah seorang penyerbu yang luput dari maut, bernama Makih Mangiang Suku Guci berasal dari dusun Solok Kamang, menceritakan kepada salah seorang anaknya yang hingga saat ini masih hidup, bahwa: Dia melihat Siti Asiah yang berada tidak jauh dari tempatnya berada, sedang istirahat setelah beberapa kali bertempur, tiba-tiba melompat bangunan, berlari dengan rambut tergerai menyerbu ke arah tiga orang serdadu Belanda yang berdiri di kegelapan. Dt. Rajo Penghulu berteriak memperingatkan, tapi wanita itu tidak peduli terantuk pada sebuah benggolan tanah pematang dan terjatuh masuk selokan. Dia berusaha bangun secepatnya tapi tahu-tahu dua orang serdadu Belanda sudah berdiri mengacungkan laras senjata ke arahnya. Dalam keadaan terlentang tak berdaya, Siti Asiah hanya mengelijang sebentar ketika salah seorang dari kedua serdadu itu memasukkan moncong senapan kemulutnya dan menarik pelatuknya. Terdengar sebuah ledakan dan terkaparlah srikandi perkasa Siti Asiah dalam sebuah wajah yang penuh keringat, namun diliputi ketenangan.
Dt.Rajo Penghulu yang sedang bertempur menghadapi dua orang Belanda, lantas berpaling dan berbalik kearah istrinya. Namun sebelum berhasil ia mencapai tubuh istrinya itu, kembali terdengar sebuah letusan senjata api. Dt. Rajo Penghulu terhuyyung-huyung beberapa langkah kemudian jatuh tepat disamping tubuh Siti Asiah dan gugur sebagai pahlawan bangsa.
Akan halanya Haji Abdul Manan, menurut buku Pemberontakan Pajak karangan Rusli Amran, beliau ditangkap Belanda keesokan harinya (16 Juni 1908) dan langsung ditembak mati dikampugn kelahiran beliau, Bansa. Jadi ibandingkan dengan 425 orang tentara Belanda yang mati maka kekalahan tragis dalam memperjuangkan hak dari kekuasaan penjajah ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa dinamika revolusi telah menumbuh suburkan kodrat yang pantas dinilai ole sejarah dunia. Dipandang secara lahir, meandang dalam satu pertempuran tidak ada batas bunuh membunuh, tapi apa yang telah ditunjukkan rakyat Kamang yang rela memilih mati daripada dijajah, jelas ikut sebagai pendorong dlaam meneruskan cita-cita perjuangan yang belum selesai. Namun dipandang dari sudut batin, kehilangan pemimpin-pemimpin yang punya semangat revolusi seperti Dt.Rajo Penghulu itu adalah pukulan yang sedikit banyaknya mempengaruhi warna perjuangan dimasa yang akan datang, karena kemauan yang mempunyai dasar yang kokoh, tidak akan pernah berhenti sebelum seluruhnya berhasl dicapai. Hal yang terakhir akan terlihat nyata dalam jalannya perjuangan rakyat Kamang dibelakang peristwia bersejarah ini.
Akhirnya semua jenazah pahlawan perang Kamang, kembali dibawah ke Kamang (Kamang Hilir sekarang) dan di makamkan di komplek Masjid Taluak, sementra beberapa orang pejuang lianya Kari Mudo, Garang Dt. Palidih, Dt. Siri Marajo, Pedeka Sumin, Dt. Manguhudun, Haji M. Amin dan lain-lain, ditangkap Belanda pada keesokan harinya. Bagi mereka yang tidak mau mengakui atau bersumpah stia kepada bendera Belanda seger dikirim ke berabgai penjara seperti penjara Padang Batavia, Magelang, Makasar, dan sebagainya. Sebagaimana diketahui, Dt.Siri Marajo akhirnya meninggal dunia di penjara glodok Batavia, sedangkan Pendeka Sumin dibuang ke Makasar dan meninggal disana. Begitu pula A. Walid Kari Mudo, setelah menjalani masa pembangunan selama 27 tahun di Makasar, dipindahkan ke Jakarta sampai beliau meninggal dunia disana pada tahun 1052.
Mengenai jumlah korban Perang Kamang yang meninggal di kedua belah pihak, ternyata kemudian banyak terdapat spekulasi angka, baik yang bersal dari statement Balanda sendiri, atau yang di muat berbagai koran setempat waktu itu seperti de Padanger, maupun berdasarkan taksiran-taksiran tidak resmi. Tetapi satu hal yang perlu dikethaui adalah bahwa Belanda dalam mengumumkan angka-angka itu sengja mengeilkan dengan alasan politik. Sedangkan jumlah yang gugur dipihak pasukan rakyat semua tercatat tujuh puluh orang (70 orang) lebih, dapat sma-sama dibuktikan di Makam Perang Kamang 1908 Taluak, yang sampai sekarang masih dirawat baik. Begitu juga mengenai 425 orng tentara Belanda yang mati, tercatat berdasarkan keterangan beberapa orang saksi mata yang ikut terjun dalam pertempuran itu (yang pada waktu penyusunan buku ini masih hidup) sesuai jumlah pedati dan ukuran tubuh manusia yang dapat dimuat didalamnya. Waktu itu pihak Belanda membawa mayat-mayat pasukanya keesokan hari dengan semacam pedati, gerobak sapi yang biasa digunakan para petani untuk membawa hasil panen.
Dalam satu revolusi memang ada yang perlu diumumkan, adapula yang hanya dibisikkan antara awak sama awak saja dan adapula yang hanya perlu disimpan sebagai rahasia. Namun dari kesimpulan uraian di atas, dapat dikatkan bahwa apa yang terjadi pada malam 15 Juni 1908 itu, adalah merupakan mata rantai usaha bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan yang perlu diumumkan. Dari sikap rakyatnya memadu alam yang kontradiktif dan sebagai dreamers akan adanya yang bebas, merdeka, secara berani yang nyaris tanpa perhitungan menentang kekuatan negara maju, dapatlah di yakini bahwa rakyat Kamang punya semangat revolusioner dan selalu siap menghadapi sebarang halangan.
Menegur tingkah laku atau perbuatan seseorang yang tidak sejalan dengan etika dan normanorma yang berlaku, tidaklah mereka lakukan secara terus terang. Berterus terang dapat pula menimbulkan akibat samping yang tidak menguntungkan, bahkan dapat menjadikan sebuah pergaulan retak, renggang atau putus.Bila seseorang menyuruh mengambilkan sesuatu untuk kepentingan pribadiatau untuk kepentingan siapapun, selalu mengawali kalimat perintah dengan kata tolong. “Tolong ambilkan kopiah ayah.” Walaupun yang diperintahinya anak atau istrinya sendiri.Melalui jenaka pihak yang menegur tidak dibenci oleh pihak yang ditegur, dan pihak yang ditegur tidak merasa tersinggung. Dapat dikatakan, berjenaka adalah salah satu cara sehat untuk menghindari akibat-akibat buruk dari berterus terang. Sebagaimana yang mereka patrikan dalam pepatah; awak mandapek, urang indak kahilangan artinya, tujuan kita tercapai tetapi orang lain tidak merasa dirugikan.Seorang perempuan kebetulan berwajah kurang cantik misalnya, tidaklahmereka katakan wajah perempuan itu jelek atau buruk, tapi dikatakan dengan jenaka; Manihnyo lari ka dalam. Manisnya lari ke dalam.Seorang suami selalu berusaha untuk tidak menyinggung perasaan istrinya.Walaupun gulai yang dibuat isterinya terlalu banyak garam, si suami akanmengatakan dengan jenaka; Lamak lo masin-masinnyo gulai ko. Enak pula masinmasinnya gulai ini.Menasehati seseorang agar bersabar mendengar orang lain bicara keras,marah, tak keruan atau terus terang kepadanya, nasehat itu disampaikan dengan jenaka: “Urang nan indak buliah didanga keceknyo ado ampek; partamo urangjago lalok. Kaduo, urang kamatian bini. Katigo, urang kayo jatuah bansaik.kaampek, urang bapangkek tenggi baru pansiun.” (Orang yang tidak perlu didengarbicaranya ada empat; pertama, orang baru bangun tidur. Kedua, orang yangkematian istri. Ketiga, orang kaya jatuh miskin. Keempat, orang berpangkat tinggibaru pensiun.)Oleh karena itu, jenaka, kejenakaan, berjenaka menjadi salah satu bagian yang pentingdalam kehidupan mereka. Merupakan pintu keluar menghindari keterusterangan.II. Bentuk-bentuk jenakaDalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau terdapat tiga macam bentukjenaka;31. Kucindan - senda gurau dalam bertegur sapa (Irfan Darwis,1980). Di dalam pepatahpetitihnya,salah satu unsur dari seorang perempuan yang baik itu disebutkan; muluik manihkucindan murah (mulut manis kecindan murah). Dalam bertegur sapa dia menyelitkangurauan yang baik, yang membuat orang senang atau tersenyum. Dia bukan berjenaka, atausengaja melakukan sesuatu yang jenaka, tetapi kata-kata yang diucapkannya dapatmenimbulkan sedikit gurauan.Kucindan dalam dialog sehari-hari;- Lah bara urang anaknyo? (Sudah berapa orang anaknya?)+ Baru anak lidah (Baru anak lidah), artinya belum punya anak seorangpun.- Apo anaknyo? (Apa anaknya)+ Kundua (Kundur) maksudnya gemuk, bersih dan sehat seperti buah kundur(Navis, 1986)2. Garah - senda gurau untuk bersuka ria dan tertawa bersama. Bagarah artinya bersendagurau atau berjenaka. Senda gurau dalam bentuk garah ini sangat lazim dipakai. Seseorangyang suka bersenda gurau disebut pagarah, dan setiap orang suka kepadanya. Orang yangtak pandai bagarah dianggap sebagai orang yang kaku, sombong dan pemarah.Namun kata bagarah tidak pula dapat diartikan bermain-main, atau tidak serius.Bagarah itu adalah cara untuk menyampaikan sesuatu yang serius dengan tidak serius.Akan tetapi kata dipagarahkan tidak dapat diartikan dipersendaguraukan ataudiperjenakakan, karena arti kata dipagarahkan sama artinya diperolok-olokkan, dipermainmainkan,dipersendokan.Orang yang lebih tua atau yang dihormati tidak boleh dipagarahkan, apalagi kalauseorang gila yang memegang lading/parang. “Urang gilo baladiang jaan dipagarahkan”artinya, orang gila yang sedang memegang parang jangan dipermain-mainkan. Maknasesungguhnya adalah; orang yang sedang memegang kekuasaan jangan dilawan.a. Garah dalam bentuk pantun:Tanah like bakupiekDitimpo tanah badaraiNan alun diliek lah diliekKuciang jo mancik samo bakasai.Tanah liat berkepiatDitimpa tanah berderaiYang belum dilihat sudah dilihatKucing dan tikus sama berkasai4(A.A.Navis, 1986)b. Garah dalam bentuk pemeo:Bak sibisu barasian, taraso lai takatokan indak.Seperti si bisu bermimpi, terasa ada terkatakan tidakBak si kompoang dapek cincin.Seperti si buntung dapat cincin. Gembira tapi tak tahu di mana harus dipakai karenadia tidak punya jari.c. Garah dalam bentuk teka-teki:Sikicak sikicam si rio-rio kandiNan masak nan masam, nan mudo nan manihSikacak sikicam si rio-rio kandiYang masak yang masam, yang muda yang manis(Harmsen, 1876)Lantai ditembak, iduang nan kanai.Lantai ditembak, hidung yang kenad. Garah dalam bentuk penceritaan:Seorang ibu menstop sebuah oplet berisi para pemburu dengan anjingnya. Setelahoplet berhenti, si ibu tak jadi naik. Sopirnya bertanya, kenapa tak jadi naik. Jawab siibu bagarah:+ Isinyo sadonyo anjiang. (Isinya semuanya anjing)Seorang bapak turun dari bus. Kneknya menanyakan di mana diletakkan barangbawaan si bapak, di atas atap bus atau di ditempat barang di bawah, padahal bapakitu tidak membawa apapun dan penumpang lain tahu akan hal itu.- Di ma barang apak? (Di mana barang bapak?)+ Barang den di bawah (Barang saya di bawah)Semua penumpang tertawa, karena “barang” dimaksudkan bapak yang jenaka ituadalah memang satu-satunya milik pribadi yang paling berharga.3. Cimeeh (cemooh) - senda gurau yang digunakan untuk mengeritik sesuatu atau menegurtingkah laku seseorang yang tidak pantas secara tidak langsung. Cimeeh atau cemooh dapatdikatakan sebagai manifestasi dari daya kritis masyarakat Minangkabau yang diungkapkandengan jenaka.a. Cimeeh dalam bentuk pantunKuciang balang baranak balangBagolek-golek diateh niruUrang gaek mancilok lamangLuko bibienyo dek sambilu.5Kucing belang beranak belangBergolek-golek di atas niruUrang tua mencuri lemangLuka bibirnya kena sembilub. Cimeeh dalam bentuk pemeoTabali lado pagiTerbeli lada pagi(seorang yang terburu-buru membeli sesuatu yang ternyata sorenya harga barang itujadi murah)Pulang pai babasah-basahPulang pergi berbasah-basah(ke mana-mana selalu berhutang)Sudah cakak takana silekSelesai berkelahi baru teringat silat(Maksud sesungguhnya; orang yang tidak siap menerima keadaan yang tiba-tiba)c. Cimeeh dalam dialog sehari-hari+ Baa inyo kini? Bagaimana dia sekarang?- Maambuih nasi dingin. Meniup nasi dingin. (sakit sesak nafas )+ Baa kok indak banyak bana kecek nyo kini?Kenapa sekarang dia tidak banyak mulut?- Dilapua ayam batino.Diterjang ayam betina.. (takut pada istri).Dalam pembicaraan ini saya memakai kata jenakauntuk ketiga macam jenaka diatas, guna memusatkan perhatian pada beberapa aspek kejenakaannya. Masih ada kata lainyang dapat dipadankan dengan kata jenaka, yaitu lucu atau lawak. Namun kedua kata. itutidaklah merupakan kosa kata Minangkabau. Kedua kata itu dikenal kemudian karenapengayaan bahasa yang terus berlangsung dalam bahasa Indonesia. Selain kata garah adakosa kata Minang lain yang hampir sama artinya; gurau. Tetapi kata gurau lebih kepadapercandaan, berolok-olok. Sebuah acara orang-orang muda berbalas pantun diiringi tiupansaluang dengan berbagai selingan pantun-pantun jenaka, disebut pula bagurau, dan tidaktepat kalau disebut bagarah.III. Tema-tema jenaka6Jenaka atau sesuatu perbuatan atau perkataan yang dapat menimbulkan orang lainmerasa geli, tersenyum atau tertawa, mempunyai batas-batas tertentu. Bagi orangMinangkabau, tidak semua yang dapat membuat orang tertawa dapat dimasukkan dalam kategori jenaka. Orang yang tertawa karena melihat seseorang membuat kesalahan atau kekeliruan, bukanlah sesuatu yang jenaka. Itu namanya menghina, mentertawakankesalahan orang lain. Orang yang memperlihatkan kebodohannya, lalu orang lain tertawa melihat kebodohan itu bukanlah jenaka. Begitu juga, orang yang mentertawakan dirinya sendiri, walau tampak jenaka, bukan sesuatu yang jenaka. Orang yang suka tertawa sendiri,mungkin sekali orang itu, orang gila. Orang gila tidak untuk ditertawakan.Sebuah peristiwa jenaka terjadi apabila ada hubungan timbal balik antara si pejenaka dengan pendengarnya, adanya rapport, baik sendiri maupun sebuah kumpulan.Sebuah peristiwa jenaka tidak dapat disebut jenaka apabila sipejenaka saja yang merasa jenaka, sedang pendengarnya tidak merasakannya sebagai sesuatu yang jenaka.Tetapi dapat pula terjadi sebaliknya, sipejanaka tidak merasa berjenaka, tetapi pendengaratau penontonnya menganggapnya sebagai sebuah peristiwa jenaka.Hal ini dapat dilihat pada beberapa acara yang sering ditayangkan televisi hasil rekamancamera tersembunyi atau hidden camera.Hubungan timbal balik antara sipejenakan dengan orang lain yang terlibat dalamperistiwa jenaka itu dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain; adanya pengertian yangsama terhadap kata, ungkapan atau idiom-idiom yang sama, dialek yang sama-samadipahami, citarasa yang sama, simbol-simbol yang sama, dan juga cara berpikir yang samaserta tingkah laku yang dapat dipahami bersama.Sebuah peristiwa jenaka sangat terikat dengan situasi dan kondisi-kondisilingkungan. Oleh karena itu, sesuatu yang dianggap jenaka oleh masyarakat Minangkabau,belum tentu jenaka juga bagi komunitas sosial yang lain.Barangkali, itulah pula sebabnya, kenapa sebuah jenaka sulit untuk menjadi milik seluruhkaum atau etnik. Banyak pertunjukan jenaka baik di televisi atau di pentas-pentas khususyang mempertunjukkan jenaka sering menghasilkan sesuatu yang tak terduga.Pejenaka yang sukses di Jakarta, sesampainya di Medan gagal.Jenaka Minangkabau sering tak membuat orang Melayu Malaysia merasa jenaka, begitupunsebaliknya.7Orang Minang tersenyum jenaka ketika melihat tulisan pada sebuah kedai di Kualalumpur;Di sini pokok untuk dijual.Bagi orang Minang menjual pokok sama artinya menjual modal atau bangkrut.Orang Malaysia merasa jenaka bila mendengar orang Minang selalu berkata dengan serius;pokoknya yang bermaksud “pada dasarnya”. Karena pokok bagi orang Melayu Malaysiadapat menghasilkan buah dan boleh ditebang.Duduk dalam bandar bagi orang Melayu suatu kebanggaan, tapi orang Minang tidak maududuk dalam bandar karena dapat membuat celananya basah sampai ke dalam.Namun begitu, jenaka dari suatu etnik dapat saja sama dengan jenaka pada etniklain. Hal disebabkan oleh; rasa bahasa yang sama, tema yang sama, persoalan yang sama.Banyak jenaka Melayu yang sama dengan jenaka Minang, jenaka Minang sama denganjenaka Jawa misalnya. Karena banyak kesamaan, timbul kesulitan mencari sumber asal darimana sebuah jenaka bermula. Hal yang sama juga berlaku pada mencari asal-usul ceritaceritarakyat. Misalnya, ada kaba Malin Deman di Minangkabau, ada pula cerita MalimDeman di Malaysia, atau Jaka Tarub di Jawa. Kaba Anggun Nan Tongga di Minangkabau,Hikayat Anggun Cik Tungga di Malaysia. Malin Kudang di Minangkabau, Sampuraga diTapanuli, Si Tenggang di Malaysia dan lainnya.1. Fungsi JenakaBerbagai macam, corak, gaya dan tema jenaka yang beredar dan hidup dalamhampir semua lapisan masyakarat Minangkabau, semuanya ditujukan untuk berbagaikeperluan. Jenaka mempunyai banyak kegunaan dan fungsi. Secara sepintas, orangberjenaka atau kejenakaan tampak tidak begitu penting, tetapi dalam hal-hal tertentu jenakadapat mengganti nasehat-nasehat yang biasanya disampaikan para penghulu atau ulamasecara formal di balai-balai adat, di persidangan adat maupun di mimbar-mimbar masjid.Jenaka memang tidak mutlak dapat sebagai pengganti nasehat, tetapi nasehat dapatdiberikan secara jenaka. Beberapa fungsi jenaka, antara lain;1. Untuk menghibur diri, pelipur lara atau bersuka-suka.Mereka yang telah bekerja seharian baik di ladang maupun di sawah, biasanyaberistirahat di lapau atau kedai-kedai kopi.Rumah bagi masyarakat Minang bukan tempat istirahat, hanya untuk tempat tidur.Apalagi kalau rumah itu rumah gadang dengan konstelasi sistem kekerabatan matrilineal,tidak memungkinkan rumah bagi lelaki, apakah dia sebagai mamak apalagi semenda untukmenjadikannya untuk tempat istirahat.8Lepau, surau, masjid adalah tempat mereka istirahat sebelum pulang ke rumah.Di lepau-lepau itu mereka berjumpa kawan-kawannya, orang sekampung lainnya, tempatmereka bercanda, berjenaka. Karena itu peranan lapau atau kedai kopi sangat penting dalammasyarakat Minangkabau. Lepau tak dibuat berdasarkan perhitungan ekonomi, jual beli danperdagangan semata, tetapi sebagai pusat informasi, sarana adu pendapat, tempat berjenaka,baik dalam bentuk pembicaraan-pembicaraan spontan maupun dalam pantun-pantun.Itulah sebabnya, setiap laki-laki Minang, mulai saja dia remaja dan bahkan sampai tua,lepau bagi mereka adalah terminal. Lelaki Minang yang tidak pernah ke lepau, dia tidakakan berjumpa dengan orang berjenaka atau bersilat lidah.Dalam bentuk penceritaanKetika Columbus mendarat di pantai Amerika, dua orang Pariaman yang telah lebihdulu datang ke sana, terkejut dan segera memanggil temannya yang sedangmemancing.“Mek siko!” Mek kemari! (ada orang datang, dia terpaksa memanggil temannyaitu).Columbus mendengar panggilan itu dan langsung menamakannya Meksiko.(Dari Zatako, wartawan/penyair)Dalam bentuk pantun:Antah modang antah tapaiBapuluik-puluik kuahnyoAntah lamang antah tapaiJangguik lah kuyuik dek kuahnyoEntah madang entah tapaiBerpulut-pulut kuahnyaEntah lemang entah tapaiJenggot lah kuyup kena kuahnyaAnak urang di Kampuang BaruahNak lalu ka Aie AngekMandanga durian jatuahMalonjak-lonjak lamang angekAnak orang di Kampung BaruhHendak lalu ke Aie AngekMendengar durian jatuhMelonjak-lonjak lemang panas(Edwar Djamaris, 1980)2. Untuk mengiringi tari-tarian.9Tarian tradisi Minang, selain diiringi oleh musik, juga diiringi dengan nyanyian,seperti Tari Tupai Janjang dan Tari Buai-buai. Tarian-tarian ini ditarikan oleh lelaki sajadan penontonnya duduk melingkar bernyanyi bersama. Pantun-pantun yang merekanyanyikan mengandung jenaka. Jadinya, mereka menonton sambil menyanyi dan tertawagembira.Nyanyian pengiring Tari Tupai Janjang:Kok berang ayah ka denaiDi hukum pancuang den lai namuahPancuanglah sabatang tabu junjuangDi hukum gantuang buliah juoGantuangkan ka tandan pisang masakDi hukum banam den namuah juoBanam ka dalam pariuak barisi kolakHukuman buang lai buliah juoBuang ka puncak kue boluHukuman tembak den namuah juoTembaklah jo mariam lamang sabatangBapiluru ondeh-ondehJika marah ayah pada sayaD hukum pancung sama mauPancunglah sebatang tebu junjungDihukum gantung boleh jugaGantungkan ke tandan pisang masakDihukum benam saya mau jugaBenamkan ke dalam periuk barisi kolakHukuman tembak saya mau jugaTembaklah dengan meriam lemang sebatangBelurunya onde-onde(Arby Samah 1983)3. Untuk menegur, mengeritik sesuatu yang kurang baik atau yang tidak disukai.Berbagai persoalan yang kurang baik atau yang tidak sesuai dengan apa yangmereka inginkan selalu mereka ungkapkan dengan pecandaan.Pada suatu ketika orang Minang dipaksa memilih partai tertentu dalam suatu pemilihanumum. Mereka tidak suka dipaksa, tetapi mereka tidak mau berterus terang mengemukakankeberatannya. Mungkin karena takut atau karena ditekan sedemikian rupa.Lalu, mereka membuat percandaan yang membuat seorang pegawai tinggi pemerintahmerah muka, karena tidak ada alasan untuk marah kepada mereka yang bercanda.10Setelah seorang Bupati (Kepala Daerah) bicara penuh semangat kepada orang-orangyang duduk di lepau tentang kebaikan sebuah partai dan sepantasnya partai itulahyang harus dipilih dan dimenangkan, sedangkan partai-partai lain tidak perludipilih, seorang tua yang menyimak saja sejak tadi bertanya.“Pak Bupati. Haruskah kami bertepuk tangan, kalau kuda yang berpancu itu hanyaseekor?”Kritik terhadap perubahan kelakuan seseorang dalam bentuk teka-teki.+ Kenapa laki-laki Minang suka berkelahi dan berteriak-teriak sewaktu menontonpertendingan bola kaki?- Karena di rumahnya dia tidak berani berkelahi dan berteriak-teriak di depanistrinya.3. Untuk memperluas wawasan dan mempertajam pikiran.Memperluas wawasan dan mempertajam pikiran dapat juga dilakukan denganjenaka dan sambil bersenda gurau. Biasanya hal ini sering di lakukan di surau-surau,sesama mereka yang sedang belajar mengaji, dalam bentuk pantun dan teka-teki.Dalam bentuk pantun teka-teki:Biduak kaia mambao sapekSapek dijua nak rang SolokMakan dilauik muntah didarekKok tahu cubolah takok.Biduk kail membawa sepatSepat dijual orang SolokMakan di laut muntah di daratKalau tahu cobalah terka.(A.A.Navis, 1986)Dalam bentuk teka-tekiSeorang anak bertanya kepada serombongan burung yang terbang di atasnya.“Banyak sekali kamu,” seru anak itu. Lalu burung itu menjawab. “Belum. Kalauditambah sebanyak ini lagi, ditambah pula sebanyak ini lagi dan ditambah denganseorang ibu kami, baru jumlah seratus”.Berapa jumlah burung dalam rombongan itu?Dalam bentuk dialek, penekanan suku kata+ Bara kaki kuciang balang tigo?Berapa kaki kucing belang tiga?- Ampek.Empat+ Kaki kuciang balang, tigo?11Kaki kucing belang, tiga?- Duo baleh- Dua belasMasyarakat Minangkabau, atau mungkin sekali masyarakat pada umumnya ataumanusia secara keseluruhannya, di manapun juga, selalu mencari saluran atau ventilasiuntuk melepaskan tekanan-tekanan batin yang dialami.Tekanan-tekanan tersebut mungkin berupa kondisi-kondisi sosial ekonomi dan kondisisosial politik yang kacau balau, atau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tidaklangsung dapat membuat mereka tertekan, takut, marah, mual, benci dan segala perasaanlainnya. Menurut sesetengah pakar sosio-linguistik, jenaka banyak muncul di negara-negaraotoriter. Semakin kuat tekanan pemerintahan, semakin banyak jenaka muncul.Rusia paling banyak mengeluarkan jenaka. Salah satu buku yang terbit di Indonesiabertajuk Mati Ketawa Cara Rusia merupakan jenaka-jenaka terjemahan yang laris dipasaran.Ketika orang Minangkabau dijajah Belanda, kebencian pada penjajah itudiungkapkan dengan jenaka melalui petuah, teka-teki, dan pantun-pantunPetuahOrang yang bermata biru tidak dapat dipercaya.(Umar Junus, 1997)Teka-tekiPertanyaan; Ula nan paliang gadang. (Ular yang paling besar).Jawabnya: Ulando (Belanda).Pertanyaan: Kuman nan paliang jahek (Kuman yang paling jahat),Jawabnya; Kumandua. (Engku Mandor, pegawai Belanda)(R.Chadwijk: Vernicular…. Buku di rumah)Ketika semangat kemerdekaan sedang membakar dada orang Minang, timbul jenakadalam bentuk teka-teki yang lain;Pertanyaan: Bom jatuah bandera tagak.Bom jatuh bendera tegakJawabnya: Kakabu tacirik.Kerbau berakPantun12Sajak pabirik di IndaruangLori bajalan ateh kawek.Sajak paningga mande kanduangNasi dimintak sumpah nan dapek.Sejak pabrik di IndarungLori berjalan di atas kawatSejak meninggal ibu kandungNasi dimintak sumpah yang dapatBegitu juga ketika rezim Orde Baru begitu kuatnya berkuasa. Banyak lahir jenakaberupa baik jenaka yang bertema politik maupun kritik terhadap tokoh-tokoh politiktertentu.Jenaka yang berisi kritik.Beberapa mahasiswa Akademi Ilmu Al-Quran yang telah hafal Al-Qurandiperkenalkan kepada menteri agama.+ Bapak Menteri. Inilah mahasiswa kita yang sudah hafal Al-Quran sebanyak 30juz.- Bagus. Juz-juz yang lain bila?(Dari D.Zawawi Imron, penyair dan ulama)Ketika larangan berkumpul dan penangkapan-penangkapan terjadi di Indonesia,orang-orang berjenaka dengan teka-teki.Pertanyaan: Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang,manusia mati meninggalkan nama. Cacing mati?Jawabannya: Meninggalkan kawan-kawan seperjuangan.Ketika kekuasaan pemerintah begitu kuat dan sampai mendominasi pengertian kata.Pergantian kata pelacur menjadi tunasusila, gelandangan menjadi tunawisma, orang pekakmenjadi tunarunggu. Kata bekas diganti menjadi mantan. Orang lalu membuat teka-tekijenaka:Pertanyaan: Bekas sungai?Jawabannya: Kalimantan.3. Tema-tema jenakaTema jenaka Minangkabau banyak sekali. Tema itu selalu berubah-ubah danberkembang menurut perkembangan zamannya, sesuai dengan apa yang dialami atau apayang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tema-tema yang banyak itu terdiri daribeberapa persoalan/ masalah;a. Masalah sosial-politik.13Persoalan-persoalan politik yang terjadi sangat menarik bagi orang Minang untukmendiskusikannya, mengeritik dan sekaligus mencemoohkan bila persoalan itu dianggaptidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kecenderungan mereka berpolitik melebihikecenderungan untuk bekerja keras. Boleh jadi mereka bukanlah orang politik, tetapi sangatsuka bicara politik.Pergantian pemimpin negara, pemimpin adat, pemimpin kaum dan berbagaipersoalan lainnya, bila menurut penilaian mereka pergantian itu tidak menimbulkanperubahan, atau tidak menunjukan perbaikan-perbaikan yang berarti, akan merekacemoohkan dengan mengatakan:Batuka baruak jo cigak.Bertukar beruk dengan cigak. (Beruk dan cigak itu sama jenis binatangnya, kera.)Bila ada persoalan-persoalan yang tidak kunjung dapat diselesaikan walau sudahdiusahakan bertahun-tahun mereka cemoohkan dengan mengatakan:Saroman maeto kain saruang.Seperti menghasta (mengukur) kain sarung. (Tidak akan pernah selesai-selesainya).Rapat-rapat yang sering diadakan tetapi tidak pernah menghasilkan apa-apa, merekacemoohkan dengan mengatakan:Rapek karo. Kalau hari ujan, karo rapek. Kalau ujan lah taduah bahamburan kailie ka mudiak.Rapat kera. Kalau hari hujan, kera-kera rapat. Kalau hujan teduh, berlompatan kehilir ke mudik.b. Masalah sosial-ekonomi.Ketertarikan mereka pada masalah-masalah ekonomi sama dengan ketertarikannyadengan masalah politik. Oleh karena dalam masalah ekonomi mereka terlibat langsungsecara aktif, dan juga menyangkut mata pencaharian mereka, jenaka mereka langsungkepada objek, atau langsung kepada masalah yang mereka hadapi.Bia kapalo bakubang asa tanduak lai makan.Biar kepala berlumpur asalkan tanduk mengenai sasaran.dalam dialog seperti berikut:+ Mak, abak lah pulang. (Mak, ayah sudah pulang)- Pulang bana abak, adiak waang juo nan kabatambah nyo(Pulang pun ayahmu, hanya adikmu juga yang akan bertambah)14Artinya, pulangpun suami kesulitan ekonomi keluarga tidak akan merubah, selain jumlahanak bertambah.1. Masalah adat dan budayaMasalah-masalah pelaksanaan adat dan perubahan yang terjadi dalam adat danbudaya, selalu menjadi objek jenaka, terutama untuk mengeritik tingkah laku, putusanputusanpara pemangku adat yang tidak sesuai, keliru, salah atau tidak tepat. Jenaka dengantema ini biasanya mereka lakukan dengan memakai pepatah-petitih atau pantun-pantun adatyang sudah baku, lalu mereka ganti kalimat atau kata-kata tertentu, sehingga menimbulkanjenaka namun sekaligus mengandung kritik.Nan kurik kundi, nan merah sagoNan baik budi, nan endah basoKemudian mereka ganti menjadi:Nan kurik kundi, nan merah sagoNan baik tivi, nan indah videoc. Masalah agamaMasalah-masalah keagamaan dan pelaksanaan-pelaksanaan ibadat yang tidaksempurna dijalankan juga menjadi tema dalam jenaka. Baik untuk kritik terhadap merekasendiri, maupun khatib, imam, bilal dan semua yang terlibat dalam kegiatan peribadatan.Biasanya, jenaka-jenaka yang bertema agama ini sering dilakukan dalam bentuk dialog disurau, masjid atau di kedai-kedai. Kadang-kadang jenaka mereka sangat menganggupemikiran dan bahkan juga sepertinya mempertanyakan sesuatu yang sudah pasti.Dalam garah sehari-hariRatusan orang meninggal tertimbun tanah longsor. Masyarakat daerah itu dikenalsebagai pengikut adat yang kuat, mengutamakan kata mufakat. Setelah semuanyameninggal, malaikat segera datang menanyakan setiap mayat sebagaimana yangdiajarkan di surau-surau.“Marrabuka?” tanya malaikat pada salah seorang mayat.“Tunggu dulu malaikat. Dek karano kami lai banyak, baiyo kami daulu baa nyo,”jawab seorang datuk.“Tunggu dulu malaikat. Oleh karena kami ada banyak, mufakat kami dulubagaimana?”15Dalam bentuk pemeo:Iduik baraka, mati barimanHidup berakal, mati beriman.d. Masalah seksMasalah-masalah seks adalah tema yang paling disukai tua muda dalam berjenaka,dan itupun tak dapat didustai siapapun. Tapi karena masalah seks tidak boleh dibicarakandalam seminar ini, maka saya hanya memberikan sebuah contoh saja dari jenaka sekssebagai bukti bahwa jenaka bertemakan seks memang ada dan hidup dalam masyarakatMinangkabau.Seorang tukang pedati singgah makan pada sebuah kedai nasi yang terkenal dengangulai otak, goreng udang, dendeng batokok dan ayam panggang. Penjaga kedai nasiitu tentulah seorang perempuan cantik pula.+ Ada otak?- Otak udang ya, pak?+ Saya tak mau otak udang. Dendeng?- Ditokok dulu ya pak?+ Saya tak mau ditokok. Ayam?- Bapak mau paha atau dada?+ Yang panas yang mana?- Ini pak. KomporIV. Penyampaian jenaka.Jenaka dalam masyarakat Minangkabau direpresentasikan atau disampaikan dalamberbagai cara; pertama, jenaka yang diucapkan dapat ditemukan dalam pembicaraan seharihari,spontan. Kedua, jenaka yang diperagakan atau dengan sengaja membuat sesuatumenjadi jenaka, dapat ditemukan di dalam berbagai pertunjukan kesenian seperti randai,indang, dan beberapa bentuk tarian yang diiringi nyanyian. Ketiga, jenaka yang dituliskandapat ditemukan pada pepatah, petitih, pantun, cerita rakyat yang telah ditulis.1. Jenaka yang diucapkan.Jenaka yang diucapkan paling kuat memberikan kesan kejenakaannya.Jenaka demikian paling banyak ditemukan adalah dalam pembicaraan sehari-hari. Jenakayang diucapkan secara langsung baik untuk menegur tingkah laku seseorang, untukmeluahkan berbagai perasaan maupun hanya untuk penglipur lara banyak dilakukan dilapau-lapau, di surau atau dalam perjalanan di atas bendi, kereta api, bus, atau kapal laut.16Seorang pemuda Minang belajar adat, dan datuknya membacakan tambo. Ketikabacaan datuknya sampai pada asal usul orang Minang dikatakan; “Ketika gunuangMarapi sagadang talue itik,” (Ketika gunung Merapi sebesar telur itik) si pemudalangsung mengembangkan imajinasinya sambil bicara sendiri; “Kalau sagadanggunuang marapi tu talua itiaknyo Tuak, bara gadang itiaknyo tu?”. (Kalau sebesargunung merapi itu telur itiknya Tuk, berapa besar itiknya?)Dalam bentuk pemeo:Lansia jakunnyo mancaliak padusi tu.Turun naik jakunnya melihat gadis itu.2. Jenaka yang dipertunjukanKejenakaan dalam suatu cerita rakyat baru muncul setelah dijadikan sebagai ceritauntuk pertunjukan randai. Dalam pertunjukan randai, banyak bagian-bagian dalam ceritakaba yang diselingi dengan jenaka, baik dalam bentuk gerakan maupun dalam dialogdialogspontan dan menurut dialek setempat di mana randai itu dipertunjukan.Contoh dialog jenaka di dalam randai:Seorang anak muda baru pulang dari rantau. Dia bicara sambil berdiri danbergoyang-goyang ke kiri ke kanan. Temannya heran kenapa si perantau inibergoyang-goyang demikian.+ Baa kok bagoyang-goyang bana waang mangecek?Kenapa kau bicara bergoyang-goyang seperti itu.- Baru pulang balaia. Taraso juo oleng kapa tu lai.Baru pulang berlayar. Masih terasa olengnya kapal.Datang seorang pemain lain yang lebih tua, mencemooh si pemuda.+ Alah yung! Waang baru balayie sabulan, mangecek lah bagoyang-goyang.Aden, bini den ampek, cucu lapan, indak panah aden mangecek baiko baiko doh(sambil menggoyang-goyang pinggulnya ke depan dan ke belakang)Alah yung. Kau baru berlayar sebulan, bicara sudah bergoyang-goyang. Aku,biniku empat, cucu delapan, tidak pernah aku bicara bicara begini-begini.Ada juga jenaka yang dilakukan pendendang-pendendang yang membuatpertunjukan di sudut-sudut pasar, seperti di muka Matahari Store di Padang, di bawahJanjang 40 puluah di Bukittinggi, di sudut-sudut kedai di berbagai restoran nasi Padangsepanjang jalan Lintas Sumatera. Si pendendang sengaja berpantun menyindir orang-orangyang mendengarkan untuk membuat suasana pertunjukan saluang dendang itu menjadisemakin meriah dan ramai pengunjung.17Sindiran kepada orang muda yang bercintaSajak denai gubalo itiakKa Bayang denai dakikanIndak den ka pulau lai.Sajak denai cinto ka adiakSumbayang denai hantikanIndak den ka surau lai.Sejak saya gembala itikKe Bayang denai dakikanIndak denai ke pulau lagiSejak denai cintakan adikSembahyang denai hentikanTidak denai ke surau lagi(Dikutip dari sebuah buku Prof. Hamka)Jenaka juga banyak sekali ditemukan dalam cerita-cerita Minang modern di dalamkaset yang sering diperdengarkan pada rumah-rumah makan dan pada kendaraan angkutanumum dan juga sebagai selingan-selingan lagu Minang yang dikaset dan VCD kan.Contoh jenaka pada selingan lagu Minang dalam VCD.Seorang Minang yang selalu memakai sepeda motor, sesampainya di Jakartamembeli sebuah sedan. Ketika lampu merah menyala pada trafic light, dia berhentisegera buka pintu dan kakinya diturunkan sebelah. Polisi datang bertanya.+ Baa kok baturunan kaki sabalah?Kenapa kakinya diturunkan sebelah?- Biaso naiak sepeda motor di kampuang, pakBiasa naik sepeda motor di kampung, pak.(Jenaka Ajo Aan)3. Jenaka yang dituliskan.Sesuatu yang jenaka biasanya dituliskan dalam bentuk pantun, petatah-petitih, kabaatau cerita rakyat. Petatah-petitih atau pantun yang berunsur kejenakaan itu, disebut sebagaipantun jenaka atau pantun suka. Namun pada mulanya semua jenaka itu diucapkan dalampercakapan sehari-hari. Jenaka di dalam kaba tidak begitu berhasil dapat dituliskan.Kisah-kisah dalam kaba Minangkabau umumnya mempunyai tema yang sama, yaituperantauan. Perjuangan yang dihadapi seorang lelaki Minang di luar kampungnya untukmencapai suatu cita-cita, yang kemudian berhasil dan kembali pulang.Kisah-kisah perjalanan demikian penuh dengan berbagai ragam dan variasi.18Setelah kaba itu dituliskan, unsur jenakanya menjadi hilang, namun indikasi kejenakaan itumasih tampak jelas, berupa nama-nama tokoh cerita sampingan dengan memberikan namanamayang tidak lazim dari nama-nama manusia biasa; Baruak Panjaguang, Datuak SalahCangkuang, Silangkaneh, Jilatang Gata, Datuk Palajang Bukik, Datuk Biawak Kasekdalam kaba Cindua Mato (Sy.St.Rajo Endah, 1985) atau Juki dan Gambuik pada kaba SitiBaheram, Palimo Parang Usai, Manih Talonsong, Puti Basusuak Intan dalam cerita randaiManih Talonsong.Dalam perkembangan berikutnya, jenaka Minangkabau juga ditemui dalamberbagai hasil karya sastra modern; novel, cerita pendek, naskah drama, juga dalam suratsuratkabar. Cerita bersambung Si Jibun jo Si Kiah setiap minggu diterbitkan oleh suratkabar Haluan Minggu, sekitar tahun 60an, kemudian rubrik Jilatang dalam surat kabarPadang Ekpres selama dua tahun, 2001-2002.Jenaka dalam rubrik Jilatang dalam surat kabar Padang Ekspres:DOTOR ANDUSMamak si Jila, Daraman namonyo, lah pulang dari Australia. Sabaleh tauninyo di sinan. Kini lah manatap di kampuang. Dek inyo urang dari rantau, inyodisuruah mambuek KTP. Pailah Daraman ka kantua Desa.Sampai di kantua, inyo disuruah duduk dek jurutulih. Duduak ma adok kajurutulih. Jurutulih madok ka masin tik. Sambia mantik jurutulih batanyo kaDaraman. Bak rupo polisi mananyo urang tatangkok maliang ayam.“Apak ka mambuek KTP?”“Iyo.”“Namo?”“Darman.”“Daraman. Gala?”“Sutan Mudo.”“Sagaek ko apak bagala sutan mudo?”“Iyo itu gala nan diagiah mamak ambo dulu.”“Gala sarjana bagai lai ado?”“Lai.”“A tu?”“Dotor.”“Dotor? Apak dotor? Bantuak apak se sarupo urang maidok sakik tujuahtaun! Kuruih. Kapalo colak sunguik bauban. Bajalan se tadi den caliak indak tagoklai doh. Tagak apak se alah oyoang. Kalau indak den suruah duduak tadi, mungkinalah tatilantang apak di lantai kantua den ko. Jaan bagarah juo apak jo den.”“Ambo serius. Ambo iyo dotor.”“Dotor ko banyak macamnyo pak. Dotor badah, dotor panyakik dalam, dotorsaraf, dotor tulang, dotor baranak. Apak dotor apo?”“Dotor bahaso.”19“Dotor bahaso? E yayai! Maa adoh dotor bahaso. Kecek apak bahaso koadoh pulo nan sakik?”“Iyo. Ambo dotor bahaso.”“Pak, ko den serius mangecek ka apak. Dotor bahaso tu namonyodotorandus. Kalau nan padusi namonyo dotoranda. Tamat IKIP. Baa apak ko?Paniang?”“Iyo bana. Ambo dotor. Sambilan tahun ambo jadi dosen di Australi. Galadotor ambo ko indak babali bagai doh. Sah. Ado ijazahnyo.”“Jaan batangka disiko, malu awak. Pak, kini den kecek an ka apak. Galaapak sabananyo dotorandus. Jaan dikicuah pulo den lai.”Darman maangguak-angguak surang. Jurutulih tu taruih mantik. Drs.Daraman Sutan Mudo, nan sabananyo DR. Darman St. Mudo.Jenaka dalam skrip drama:(Jalan Lurus, hal.42-43)LAKON : Saudara-saudara. Kata Bapak, di sini banyak perkebunan. Kebun kelapa,kebun cengkeh, kebun jeruk, kebun kopi, kebun .. apa ya. Sekarang masih ada?LELAKI V: Masih buLAKON: Kebun apa?LELAKI V: Kebun tuan.LAKON: Kebuntuan? Wah, saya bisa pusing kalau begini.(Jalan Lurus, hal 59-69)LELAKI V: Kami punya kera, pak ajudan.LAKON: Kera? Ya ya. Bapak suka sekali. Dulu pernah dibeli tapi lari lagi ke hutan.Kera? Yaya. Mana?LELAKI V: Jenis kera banyak di sini pak. Bapak mau kera apa?LAKON: Kera apa ya?LELAKI V: Kera Tuan? Kera Wanan? Kera Mahan? Kera Cunan? Atau KeraKusan.?*LELAKI V: Penyu bagaimana pak?LAKON: Yaya. Telurnya bermutu tinggiLELAKI V: Penyu yang mana pak? Penyu Sutan? Penyu Lingan? Atau Penyuapan?LAKON: Nah itu. Penyu Apan. Telurnya tentu lebih enak.LELAKI I: Tapi pak, penyuapan tidak pernah kami lakukan kepada siapapun. Maaf.LELAKI V: Soal suap menyuap hanya kami lakukan dalam ucapara perkawinantradisional, pak. Siang hari, penganten menyuapi mempelai. Malamnya, laki-lakimenyuapi perempuan.(Wisran Hadi, 1997)Dalam penulisan jenaka sedikit sekali pengarang yang berasal dari Minangkabauberhasil menuliskannya. Banyak hal dalam cerita-cerita kaba yang dapat dibuat menjadi20jenaka, tetapi tidak ditemukan dalam penulisan. Persoalan utama barangkali terletak darikemampuan penulis untuk menyain sebuah jenaka ke dalam bahasa tulisan. Bahasa lisanuntuk sebuah jenaka tidak sama dengan bahasa tulisan. Bahasa lisan lebih komunikatif,langsung, spontan dan dapat diperkuat dengan menambahkan gerakan-gerakan, intonasi,penekanan-penekanan pada pengucapan, yang semua itu tidak dapat disempurnakan denganbahasa tulisan. Begitu juga pada pihak pembaca jenaka. Mereka dengan vocabulary yangberbeda dengan apa yang dibacanya akan mengalami kesulitan merasakan kejenakaansebuah jenaka. Bisa jadi, sebuah jenaka tidak jadi jenaka lagi setelah dituliskan. Penulisanjenaka Minang ke dalam bahasa Minangkabau itu sendiri, apalagi ke dalam bahasaIndonesia mempunyai banyak persoalan yang dapat dibicarakan lagi lebih khusus.4. Jenaka yang sudah diperkayaKemajuan teknologi dan iptek memberikan pengaruh besar dalam memperkayatema, bentuk dan penyampaian jenaka. Jenaka dari budaya lain saling berinteraksi denganjenaka Minang yang ada. Sekarang, sulit sekali mengetahui apakah sebuah jenaka itujenaka Minang, atau jenaka lain yang sudah dialih bahasakan ke bahasa Minang, ataujenaka itu dipengaruhi jenaka Minang, atau pengaruh jenaka lain yang mendomonir jenakaMinang, perlu pula agaknya dibuat dalam sebuah kajian khusus yang lebih mendalam.Umumnya jenaka yang diperkaya ini hidup dikalangan kaum muda atau remaja. Jenakamereka tidak terbatas lagi pada bahasa Minang, tetapi sudah disampaikan dalam bahasaIndonesia. Dalam jenaka baru ini, mereka begitu bebas menggelincirkan ataumemesongkan makna kata, baik dalam bentuk dialog, pantun ataupun teka-teki.Dalam bentuk penceritaan:Seorang presiden yang terkenal pakar matematik datang mengunjungi sebuahpesantren, dia bertanya pada murid-murid.+ Bagaimana cara kamu mengukur tinggi tiang bendera itu?- Mudah saja presiden. (Murid itu segera mengambil tali dan memanjat tiangbendera.+ Bukan begitu. Nanti kamu jatuh atau tiang itu patah. (Murid itu patuh dan turun)- Bagaimana cara presiden?+ Rebahkan dulu tiang bendera itu. (Semua patuh. Setelah tiang itu direbahkan,presiden mengukur tiang itu dengan alat pengukur)- Itu bukan ukuran tinggi, tetapi ukuran panjang, presiden.(Dari D. Zawawi Imron, ulama dan penyair Madura)21Dalam bentuk teka-teki.+ Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusiamati meninggalkan nama. Cacing mati?- Meninggalkan kawan-kawan seperjuangan.+ Ayam apakah namanya, kepalanya di kaki, kepaknya di kaki, bulunya di kaki,kakinya di kaki?- Ayam dipijak.*+ Itik apakah namanya, yang terbang dari Padang ke Jakarta.- Itik nekad.Selain jenaka yang diucapkan dan dituliskan, juga berkembang jenaka yang dibuatdalam bentuk gambar, kartoon dan komik. Apalagi pada zaman sekarang, jenaka banyaktersebar melalui internet, film dan majalah.VII. PenutupDari beberapa jenaka yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Minangkabausebagaimana yang dijelaskan di atas, untuk sementara dapat ditentukan beberapa cirinya;1. Apapun juga bentuk persoalan yang dapat dijenakakan, jenaka Minangkabau tidakmengeksploitir bentuk-bentuk tubuh seseorang yang menjadi objek yangdijenakakan. Tubuh yang pendek, tinggi, kurus, buruk, cantik tidak dijadikansasaran kejenakaan atau cemoohan. Ini berarti, jenaka Minang tidak mengeritikkekurangan yang ada pada tubuh pribadi-pribadi.2. Jenaka Minangkabau lebih menekankan pada “permainan” kata dan makna. Satukata dengan pengucapan yang berbeda-beda, atau dalam susunan kalimat yangberbeda akan merubah makna sebuah kata kepada makna lain. Permainan katadalam berjenaka, baik dalam bentuk pantun maupun teka-teki merupakan suatukeunggulan tersendiri dari jenaka Minangkabau. Hal ini sekaligus pula menjelaskantingkat kecerdasan keintelektualan masyarakat Minang itu sendiri.3. Sebuah jenaka tidak bertendensi untuk memperbodoh-bodohkan seseorang. Jenakaorang bingung dan bodoh biasanya tidak terlalu populer di kalangan masyarakatMinang. Hal berarti, mereka tidak mau jadi bodoh dengan berjenaka, atau dapatdikatakan jenaka harus dapat mencerdaskan.224. Setiap jenaka Minangkabau, terutama dalam bentuk teka-teki berusaha memperluaswawasan. Mereka yang punya pengetahuan yang luas akan mudah mengikuti jenakaMinang dibanding dengan mereka yang punya pengetahuan terbatas.5. Tema jenaka Minang sangat bervariasi, beragam dan bebas sekali. Masalah-masalahsosial politik, ekonomi, adat dan agama dapat dijadikan bahan jenaka. Ini berartibahwa masyarakat Minang yang begitu bebasnya berjenaka dapat dikatakan sebagaicerminan mamsyarakat yang berfikir kreatif dan merdeka.6. “Isi” dari jenaka Minangkabau lebih merupakan kritik terhadap sesuatu keadaan,kondisi, perlakuan dan luahan perasaan dari ketertekanan, ketakutan dan kemualanyang terjadi di sekeliling kehidupannya. Jenaka hanya merupakan “bungkus” sajadari isi. Dengan demikian, jenaka bukan merupakan tujuan, tetapi menyampaikanisinya itulah tujuan utamanya.Sekian.Kualalumpur 30 Mei 200323Rujukan:A.A. Navis (1986) Alam Terkembang Jadi Guru PT Pustaka Grafitipers, JakartaArby Samah dkk (1983) Tari Rakyat Minangkabau. Proyek Pengembangan KesenianSumatera BaratEdwar Djamaris (1980) Pantun Minangkabau Majalah Kebudayaan Minangkabau no.13Irfan Darwis (1980) Antropologi Minangkabau Majalah Kebudayaan Minangkabau no.12Harmsen, L.K. (1876) Minangkabausch Raadsels. Tijdschrift voor Indische Tall; Land enVolkenkunde, Batavia: XXII. Dalam Topics in Minangkabau Vernaculer Literaturoleh A.J. Chadwick (1986) University of Western Australia.Khaidir Anwar (1984) Fungsi dan Peranan Bahasa, Sebuah Pengantar. Gadjah MadaUniversitry Press.M.Thaib gl.St Pamoentjak (1935) Kamoes Bahasa Minangkabau - Bahasa Melajoe - Riau.Balai Poetaka BataviaSy. St. Rajo Endah (1985) Cindua Mato Balai Buku Indonesia, BukittinggiSyamsuddin St.Rajo Endah (1989) Tuanku Lareh Simawang Pustaka Indonesia. BukitinggiUmar Junus (1997) Undang-Undang Minangkabau, wacana intelektual dan warnaideology, Kuala Lumpur, Perpustakaan Negara Malaysia.Wisran Hadi (1997) Jalan Lurus ANGKASA, Bandung
Falsafah atau pandangan hidup masyarakat adat Minagkabau adalah “adat basandi syarak syarak basandi kitabullah” (ABS-SBK) “syarak mangato, adat mamakai, alam takambang jadi guru” Dalam hal ini akal dan budi, keluasan perasaan budi sangat berperan, “manusia tahan kieh, binatang tahan lacuik, kilek baliung alah ka kaki, kilek kaco alah kamuko, tagisia lah labiah bak kanai, tasinggung labiah bak jadi”. Pepatah tersebut menuntut kearifan dan kebijaksanaan manusia dalam berkata bertindak dan bekerja. Sehingga disebut pula dalam adat “nan bagarih babalabeh” sebagai hasil kearif bijaksanaan sebagai berikut :
Basilek diujung lidah Malangkah dipangka karihBamain diujuang padangTahu dikieh kato putuihTahu digelek kato abihTahu diereang jo gendeangSarato kurenah jo baenahTahu dirunciang ka mancucuakTahu dirantiang kamalantiangTahu didahan kamahimpokTahu digantiang nan kaputuihTahu dicondong kamahimpikTahu dibiang nan katabuakTahu diunah kamahambekTahu dibayang kato sampai
Dalam melahirkan motif-motif dasar ukiran juga terdapat ungkapan adat atau pepatah petitihnya sebagai pangkal tolak renungan seni ukir Minangkabau.
Ukia banamo bungo janggiSakaki samundam panuahDibaliak gunuang maha biruDitangahnyo tatandu bararakKiri kanan baaka cinoKaliliang bungo sari manjariWarano kambang gumirabTurang manurang biludu gandumSiba batanti kiri kananBuatan jambak jambu erangBatatah intan co padiRuponyo bagirinyamKilau gumilau camburanoUkia banamo dandam tak sudahSalusin buliah diragamSalaso dapek dilariakMaukia dipapan lawehElok arak dihari panehRancak lenggang di jalan dataTiok kelok nampak balikuMakanan ukia kasamonyoCancang tadaeh jadi ukiaAlam takambang jadi guruRaso pareso tagak ditangah
Alua jo patuik mangamudiPanakiak pisau sirauikAmbiak galah batang lintabuangSalodang ambiak kaniruNan satitiak jadikan lauikNan sakapa jadikan gunuangAlam takambang jadi guruNan Basaluak nan balakaNan Bakaik nan bagagangSupayo tali nan jan putuihKaik kaik nak jan sangkahKaluak paku kacang balimbiangTampuruang lenggang lenggokkanBawo manurun ka SaruasoAnak dipangku kamanakan dibimbiangUrang kampuang dipatenggangkanTenggang nagari jan binasoTenggang sarato jo adatnyoPilin aka nak mamanjekPilin jariang nak barisiRamo-ramo sikumbang jatiKatik Endah pulang bakudoPatah tumbuah hilang bagantiPusako turun ka nan mudo
LETAK UKIRAN
Walaupun tempat ukiran pada sebuah rumah “gadang” tidak muthlak ada satu jenis ukiran, namun hal ini diatur dan berpedoman juga pada ukuran “jangko” dalam adat. “Patut senteang” tidak boleh dalam, “patut” dalam boleh “senteang” , didalam “alur” dengan “patut, malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio, talampau aru bapantiangan, kurang aru cirik kambiangan, condong mato ka nan elok, condong salero ka nan lamak.
Namun secara umum dapat dijelaskan letaknya pada bahagian rumah “gadang” yang walaupun pada beberapa daerah di Minagkabau masih terdapat perbedaan. Adapun tempat atau letak ukiran serta jenisnya adalah sebagai berikut :
PADA LINGKUNGAN ANJUANG RUMAH
Jenis atau Ragam Ukiran :
Penempatan atau lokasi Ukiran :
1. Saluak Laka
2. Labah Mangirok
3. Kalalawa Bagayuik
4. Salimpat
5. Tatandu Manyasok Bungo
6. Itiak Pulang Patang
7. Tangguak Lamah
8. Lumuik Hanyuik
9. Pesong Aia Babuih
10. Tupai Managun
pada perengpada papan galuangpada dinding haripada papan salangkopada papan sabalik anjuangpada paso-pasopada tarawangpada lambai-lambai tagakpada camin-caminpada petak dindiang hari
PADA BADAN RUMAH
Jenis atau Ragam Ukiran :
Penempatan atau lokasi Ukiran :
1. Pisang Sasikek
2. Aka Cino Sagagang Duo Gagang
3. Ukir Tirai
4. Sikambang Manih
5. Kudo Manyipak
6. Takuak Kudo Basipak
7. Saluak Laka
8. Salimpat
9. Aka Barayun
10. Kuciang Lalok
11. Pesong Aia Babuih
12. Saluak Laka
pada papan garebek kepala pintupada lambai-lambai garebekpada lambai-lambai di atas garebekpada dindiang tapi/jendelapada konsen jendelapada konsen jendelapada papan sakapiang di bawah pengadan jendelapada papan sakapiang di bawah pengadan jendelapada papan sakapiang di bawah pengadan jendelacamin-camin jendelacamin-camin jendelacamin-camin jendela
PADA TEMPAT-TEMPAT YANG UMUM LAINNYA
Jenis atau Ragam Ukiran :
Penempatan atau lokasi Ukiran :
1. Tantadu Manyasok Bungo
2. Itiak Pulang Patang
3. Aka Barayun
4. Aka Duo Gagang
5. Lapiah Batang Jarami
6. Tupai Managun
7. Kalalawa Bagayuik
8. Siku Kalalawa
9. Bada Mudiak
10. Buah Palo Bapatah
11. Bungo Mangarang Buah
12. Paruah Anggang
13. Jalo Takaka/Taserak
14. Kaluak Paku
15. Aka Cino
16. Saik Galamai
17. Kuciang Lalok
18. Lumuik Hanyuik
19. Pucuak Rabuang
20. Tampuak Manggih
21. Labah Mangirok
22. Lumuik Hanyuik/Aka Barayun
23. Alang Babega
24. Itiak Pulang Patang
25. Daun Bodi
26. Aka Cino
27. Sajamba Makan
28. Carano Kanso
29. Siriah Gadang
pada tepi ukiran besarpada tepi ukiran besarpada ukiran tengahpada lambai-lambaipada lambai-lambaipada ujung-ujung pekayuan/balokdibawah kasau dan lain-lainpada lambai-lambai dindingpada tepi ukiranpada tepi ukiranpada papan dindingujung ukir pekayuan / balokpada hamparanpada pain dan tiangpada tempe-tempe panjangpada les plangpada pangka ukiranpada tiang-tiang besarpenutup ukiranpada gonjongpada atap penipiranpada serambi / rumah gonjongpada tuturan atappada lesplank / les tempepada dindiang haripada pintupada dindiangpada ujuang peranginanpada ujuang peranginan
Ragam Dan Jenis Ukiran
( 01 )SINGO MANDONGKAK JO TAKUAK KACANG GOREANG
Singo mandongkak namonyo ukiaUkia di papan nan sakapiangDirumah gadang sulangko gadiangDi dalam lumbuang nan bapereng
Asa di Agam Balai Gurah Kiasan jago pado adaik Ingek-ingek sabalun kanai Sadio payuang sabalun hujan Ingek-ingek nan di ataehNan di bawah kok mahimpokBaitu kieh ibaraitnyo
(02)CARANO KANSO
Carano kanso namonyo ukiaSiriah gadang lingka-balingkaBalingka jo arai pinangBatukuik dulamak kaco
Kuniang sacoreng di atehnyo Pananti sutan jolong pulang Sajamba makan mairiangnyo Latak diateh pintu biliak
Suko rayo raso dipakaiSanang siat puti bakuruangCupu bakaran basusun nyato
Santo timbakau pakaian adat Latak di dalam carano kanso Suatu talatak di tampeknyo Ukia dikarang tampuak tangkai
Pakaian balai nan saruangPariangan jo Padang PanjangUkia tuo ukia usaliWarih dek anak Indo JatiWarih nan indak putuihTutua nan samo kito danga
03 )SIRIAH GADANG
Siriah gadang siriah balingkaKuniang sacoreng diatehnyoBaaleh batadah tampan Hulu adat kapalo baso Pangka kato hulu bicaro Panyingkok peti bunian Pambukak biliak nan dalamSusunan dari PrianganBuatan Parpatiah Nan SabatangTidan nan turun dari atehBalingka jo mufakatBalingka jo limbago
Jadi pusako alam nangko
Latak diateh pintu biliak Dijujuang jo mufakat Dipikua kato baiyoBarundiang sasudah makan
Batanyo salapeh arakSiriah gadang manjadi punco Anak kunci dalam hetongan
Tando adat badiri nyato
Nan tampak sirah balingkaIsinyo adat jo pusako
Bapahek diateh papan
Baukia ditimbagoBacacak ateh batu
Manjadi pado zaman
Tando biti adat bapakai
Tinggi nan amban jantan Dalam juo takasiak bulan
Pandai ukia di timbago
Pandai pahek pado kayu
Disitu hati mako sanang
Dilahia manahan bandiang
Di bathin manahan tiliak
Nan nyato nampak di mato
Nan bathin dibawo raso
Distulah latak makna siriah
Siriah sahalai nan bagagangGagang barangkai jo bungonyo
Bungo nan elok katiruan
Disinan tiruan adat
Di situ limbago tumbuah
Laweh dikambang ka alam nangko
Kucuik saleba daun siriah
Kok rimbun tampak di junjuangan Urek malakek di rumpunyo
Aka mancakam masuak tanah
Kok lah tampak siriah balingko
Mangundang pintak dengan pinto
Siriah naiak junjungan naiak
Baitu dandamnyo siriah nantun
Lakek di papan nan balariak
Ukiran di rumah gadang
Lukisan adat jo limbago
Jadi pakaian di istano
Manjadi suri tuladan kain
Umpamo ragi nan tadendeng
Dalam bathin budi marangkak
Lahianyo kayu nan balariak
Bathinnyo limbago cupak adat
Adat limbago tempat diam
di alam Minangkabau
Alam takambang jadi guru
( 04 )BADA MUDIAK
ITIAK PULANG PATANG
Elok susun bada mudiak
Manyonsong aia samo sakato
Arak baririang samo saraso
Indak saiku nan mayalo
Saiyo sakato bakayuah mudiak
Tuah di ateh nan sakato
Cilako kato basilang
Dilukih diateh papan
Diukia di rumah gadang
Rumah gadang sandaran adat
Adat di alam Minangkabau
Indah nian tampak dimato
Raso dibawo turun
Dilahia bada nan disabuik
Di bathin adat jo limbago
Kieh ibarat caro Minang
Adat nan samo kito pakai
Tempe manempe ukia gadang
Salo manyalo dan nan banyak
Baitu latak ragam ukia
Alua patuik, barih balabehnyo
( 05 )TATANDU MANYASOK
BUNGO JO BUAH NIBUANG
Tatandu samo manyasok
Bungo satangkai kambang nyarak
Dibuek ukia langkok-langkok
Susun barangkai tatandu bararak
Buah nibuang sato bararak
Bararak sarato jo putiaknyo
Indah ukia jo tatahnyo
Ragam sarato indahnyo
Papan sabalik kagunonyo
Pita jo pilin kabatehnyo
Ukia sabalik nan tampak nyato
Adat bajalin di dalamnyo
( 06 )LUMUIK HANYUIK
Aka lapuak gagangnyo lapuak
Hiduik nan indak mamilihah tampek
Asa lai lambah inyo lah tumbuah
Dalam aia bagagang juo
Aia hilia lumuik pun hilia
Walau tasalek di ruang batu
Baguba babondoang-bondoang
Aia bapasang lumuik
Bapiuah namun hiduik bapantang mati
Baitu untuangnyo lumuik
Indak mancari tampek diam
Hanyo manompang jo aia hilia
Indak mamiliah tampek tumbuah
Asa kasampai ka muaro
Usah cameh badan kahanyuik
Baguru kito kalumuik
Alam takambang jadi guru
Lahianyo lumuik nan disabuik
Bathinnyo adat Minangkabau
Dilariak di papan tapi
Ukiran rumah nan di lua
Gambaran adat hiasan alam pusako salamonyo
( 07 )BUAH PALO PATAH
Rancak raginyo buah palo
Dikarek disusun nyato
Elok tampaknyo pandangan mato
Ukia tuturan tumpuan kasau
Balampih jo itiak pulang patang
Basalo jo tatandu manyasok bungo
Raginyo dama tirih bintang gumarau
Baitu tatah lataknyo ukia
Dalam barih cupak adat
( 08 )TAJI SIAREK
Papan gadang baujuan ukia
Ukia bataji jo siarek
Talatak di papan pereng
Buliah di lumbuang nan bapereng
Baik di rumah nan baanjuang
( 09 )PARUAH ANGGANG
Paruah anggang kaluak bakaluak
Mangkuto di ateh ranggah
Suntiangan buruang di rimbo
Runciang saragam pisau lariak
Pambuek ukia panca ragam
Pakakeh tukang ukia maukia
Tumbuak manumbuak rasuk jo paran
Disinan baukia pamalanggang
Di ujuang papan tumbukkan kayu
Pereng mamereng kayu gadang
Ujuang maujuang kayu taba
Sanan talatak paruah anggang
Baitu suriah barih adat
( 10 )SALANGKO
Rumah gadang silanko gadiang
Salajang kudo balari
Sawah gadang lumbuang bapereng
Pereng banamo silangko gadiang
Baitu barih balabehnyo
Pereng baukia jo silangko
Baujuang simanggih karek
Talatak di papan taba
Kan ganti ukua dengan jangko
Pambateh didiang sasak basusun
Latak di ateh tampek nan tinggi
Indak buliah karandahan
Ukia banamo ukia tuo
Samo tajadi ju lumbuang nangko
Samo tadiri jo rumah gadang
Samo naiak jo galombang
Samo turun jo gapocong
Indak baumpuak bakeh tumbuah
Gadang tabawo dek pungkamnyo
Tinggi tabawo de ruehnyo
( 11 )AKA TANGAH DUO GAGANG
Sipasan baranak jantan
Anaknyo baranak pulo
Anak jadih induakpun jadih
Anak manjadi induak pulo
Alam bakalebaran
Manusia bakakambangan
Lukisan alam Minangkabau
Ada barasa di Parianagn
Nan samo naiak jo galombang
Samo turun jo kapocoang
ukia gambaran alam bakalebaran
Diukia di kasau gadang
Baitu cancang tarahnyo
( 12 )BUNGO PANCA MATOHARI JO RANTAK MALAM
Panco ringek di tapi jalan
Mati-mati mako babuah
Ingek-ingek anak bajalan
Lauik sati rantau batuah
Bungo matohari kapunco ukia
Rantak malam lingka ba lingka
Gayo mantohari nan jadi rasiah
Corak bulan mancari aka
Dipetak, ukia dibuek
Mancari tenggang jo kalaka
Maragam bungo sari manjari
Baitu alam salingka laweh
Alam takambang jadi guru
Buliah maukia jo maragam
Malukih adat jo limbago
Pakaian alam saisinyo
( 13 )KUCIANG LALOK JO SAIK GALAMAI
Bakirim usah bapitaruah
Bapasan usah baturuti
Manyuruah usah bakahandak hati
Bana lai picayo tidak
Pitaruah baunyikan juo
Itu nan labiah rang pantangkan
Ukia ragam kuciang lalok
Salo manyalo saik galamai
Latak dipucuak dindiang hari
Disingok di ujuang paran
Parannyo ulua mangulampai
Asanyo di Gudam Balai janggo
Di dalam Koto Pagaruyuang
Ukiran Rajo Tigo Selo
Pikia-pikia mangambang kato
Kato rahasio baandokkan
Simpan bakeh nan picayo
Lamak usah dimakan sajo
Rancak usah capek dilakekan
Ingek dirantiang kamancucuak
Jago di unak kamanaruang
Lalok usah talalu mati
Manyuruak usah talalu hilang
Lamak manih raso galamai
Dalam gatah minyaknyo tumbuah
Ingek dibadan kabinaso
( 14 )PESONG AIA BABUIAH
Bulek kato dek mufakaik
Bulek aia dek pambuluah
Alua jo patuik tagak ditangah
Bana nan satu panyudahan
Sapuluah kelek ditampuah
Sabaleh lauik jo buiah
Namun bana hanyo sabuah
Pesong babuih puputan kaliang
Sabuah ujuid jo mukasuik
Dilengong ka suok jo ka kida
Dipakai baso jo basi
Dalam raso jo pareso
Aia luluih aia lah tingga
Bana lalu hetongan tingga
Nan janiah buliah diminum
Nan karuah lalu ka hilia
Ukia nan turun dari Saruaso
Payuang panji alam Minangkabau
Basa Ampek Balai nan punyo ukia
Baitu warih nan bajawek
Bapasang di singok jo pasarek
Dindiang hari tupai managun
( 15 )SIKUMBANG MANIH ( I )
Kambang manih bungo nan mulia
Timbalan bungo sari manjari
Dicaliah gunung maha biru
Batangkai babuah labek
Balingka baaka cino
Silang bapiuah di salo daun
Buah manih satandan labek
Mainan bundo, simpanan puti
Panyaru dagang di rantau
Pananti alek nan datang
Ukia diulak Tanjuang Bungo
Pakaian Ranah Minangkabau
Latak di muko adaok halaman
Ukia nan tagak surang
Puti bakuruan jo aturan
Baitu warih di Gudam Balai Janggo
Kambang tigo buatan tukang
Indah di dalam maliputi
Adat nan nyato bakambangan
( 16 )SIKUMBANG MANIH ( II )
SIKUMBANG MANIH ( III )
SIKUMBANG MANIH ( IV )
SIKUMBANG MANIH ( V )
Kambang manih bungo nan mulia
Timbalan bungo sari manjari
Dibaliak gunung maha biru
Babuah babungo pulo
Rajo Bajalan badaulat
Pangulu bajalan basisampiang
Balingka baaka cino
Silang bapiuah kri kanan
Panyalo buah jo putiak
Palingka bungo ka kambang
Kambang manih kulindam suto
Bujang Salamat duo sairiang
Urang dalam suruah suruahan
Patuah nan indak basisiah
Salo manyalo di ukiran
Sisampiang tibo dipakaian
Bitu arak iriangannyo
Baitu barih curiangnyo
Aturan di Ulak Tanjuang Bungo
Bapakai di Gudam Balai Janggo
Ikutan alam saisinyo
( 17 )LAPIAH BATANG JARAMI
Bilalang dapek dek manuai
Lapiah balapiah batang padi
Tapijak dek tapak manuju lampok
Bakeh lalu tampek bapijak
Tanah lambok, bungin kok rawang
Nak samat padi ka lampok
Elok nampak dek mato
Indah nan lalu kahati
Timbua kalukih papan tuai
Manjala katumbuang sitinjau lauik
Dek arih tukang nan utuih
Lah jadi ukia sampai kini
Latak di panin ukia dindiang
Panyalo papan nan tagak
Mauleh tak mangasan
Mambuhua tak mambuku
Ukia salayok sabidang dindiang
lapiah jarami tagak di bateh
Baitu arih situkang utuih
Pakaian anak Minangkabau
Pusako Tuan Gadang Pamuncak Alam
Baitu curiang barih adat
( 19 )RUSO BALARI DALAM RANSANG
Ingek-ingek jago-jago
Kana diri kanalah badan
Tanduak bacapang kaki nan haluih
Karuik maruik samak sameto
Ingek juo sabalun kanai
Kulimek sabalun habih
Dalam hiduik di dunia ko
Banyak sansaro nan katumbuah
Ingek tasumbek jo tasanduang
Arih jo bijak ka dipakai
Ulemu dalam paham bakunci
Bapakai ukua jo jangko
Salamat badan kasubarang
Ukia nan turun dari Tampuang tangkai
Pariangan Lapan Koto nan Ampek Koto
Diateh nan Ampek Koto Dibawah
Pasangan di dakek pintu katurun
Palapeh dagang kabajalan
( 20 )KALUAK PAKU KACANG BALIMBIANG
Kaluak paku kaca balimbiang
Tampuruang lenggang lenggokan
Bawo manurun ka Saruaso
Tanam siriah jo gagangnyo
Anak dipangku kamanakan di bimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Tenggang nagari jan binaso
Tenggang sarato jo adatnyo
Ukia nak rang Saruaso
Dibuek anak Balai Salasa
Sonsong runuik Sungai Pagu
Baitu curiang barih rang dahulu
Anak bapangku kamanakan babimbiang
Samo dibawo kaduonyo
Arif manganduang bijak bicaro
Kini basuo dalam ukia
Latak di rasuak paran dalam
Disalasa balai-balai
Baitu tutua rang dahulu
( 21 )BUNGO DUO TANGKAI JO BUAH PINANG-PINANG
Ukia tungga buah pinang
Bapetak papan tampek diam
Bungonyo duo tangkai sajo
Sanang batenggang di nan lapang
Adat limbago tampek diam
Santoso alam saisinyo
Kiasan adat bungo pusako
Di dalam alam Minangkabau
Maukia di papan laweh
Elok arak di hari paneh
22 )BUNGO TARATAI DALAM AIA
Taratai, bungo taratai
Talipuak di dalam tabek
Usah picayo daun takampai
Di dalam lunau urek takabek
Ukia di aliah ateh papan
Ujuang ukia talipuak layua
Badannyo buliah jo nan lain
Lataknyo di ateh alua patuit
Condoang mato kan nan rancak
Condoang salero ka nan lamak
Nan tampak papan baukia
Bathinnyo adat jo pusako
Babedo lahie jo bathin
Talampau bathin kalihatan
Baitu suriah barih adat
( 23 )DAUN BODI
Daun bodi nago taran
Badaun babubgo pulo
Tampek balinduang kapanehan
Dek rajo nan dahulu
Samaso di Dusun Tuo
Daun di buek jadi ukia
Bacampua campua jo akanyo
Buliah di latak di nan petak
Di ujuang bakipeh ambai-ambai
Tandonyo santoso alam nangko
Asa ukia di daun tuo
Di Limo Kaum Duo Baleh Koto
Sambilan Koto Di Dalam
Ukia rang Bodi Caniago
Dek pandai tukang maukiakan
Jalan pisau lariak balariak
Di dalamnyo adat maha mulie
Kok singkek bari bauleh
Sakapa jadikan gunuang
Satitiak jadikan lauik
Tariklah isi maknanyo
Usah diliek nyato sajo
Baitu warih kito jawek
( 24 )DAUN PULUIK-PULUIK
Puluik-puluik tumbuah di parak
Babuah lai, mamakan tidak
Pauitan kambiang, tambang taranak
Tangah padang puputan angin
Kok gadang kagalang tabuah
Tabuah pusako di Pariangan
Kok pupuih di surek, di batu tingga juo
Kok habih tumbuah puluik-puluik
Dalam ukia tingga juo
Ukia banamo puluik-puluik
Latak di ujuang bakeh sudah
Ujuang rasuak ujuang paran
Baitu latak tatahnyo
Asa di Batipuah Pariangan
Di Sumpu Batu Taba
Baitu warih cupak adat
( 25 )GAJAH BADORONG
Gajah gadang ta dorong lalu
Pilanduak mati tasapik
Salisiah basa samo basa
Paduko tagak di tangah
Gajah dilukih aka bagaluang
Bungo tasapik dalam guluangan
Itu nan tando balarangan
Dek adat nyato batagah
Dek syarak nan jauh bana
Di latak diateh papan data
Tampek nan tarang kalihatan
Nak jaleh dek nan banyak
Pamimpin indak buliah basalisiah paham
Hambo rakyat bapantiangan
Baitu barih nan tabantang
Asa ukia di Luhak Agam
Kambang di alam Minangkabau
Dan masih banyak jenis lain, akan diposting secara bertahap
BAB I. Istano Si Linduang Bulan
Disarikan oleh : Puti Reno Raudha Thaib
Rumah Gadang Tuan Gadih Pagaruyung Istano Si Linduang Bulan yang berdiri di Melayu Ujung Kapalo Koto atau di Balai Janggo Pagaruyung kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat adalah rumah pusaka dari Keluarga Besar Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.
Diresmikan pada tanggal 21 dan 23 Desember 1989. Merupakan pengganti Rumah Tuan Gadih Pagaruyung Istano Si Linduang Bulan yang terbakar pada 3 Agustus 1961. Merupakan untaian dari sejarah yang panjang yang tak terputuskan dari masa kerajaan Pagaruyung tempo dulu.Nama Si Linduang Bulan adalah nama yang diberikan kepada Istana Raja Pagaruyung setelah dipindahkan dari Ulak Tanjuang Bungo ke Balai Janggo pada tahun 1550 oleh Daulat Yang Dipertuan Raja Gamuyang Sultan Bakilap Alam (Sultan Alif Kalifatullah Johan Berdaulat Fil’Alam I) Raja Alam sekaligus memegang jabatan Raja Adat dan Raja Ibadat Pagaruyung, sebagai penanda awalnya perhitungan tahun menurut tarikh Islam, sekaligus berlakunya secara resmi hukum syariat Islam di seluruh kerajaan Pagaruyung menggantikan hukum-hukum yang bersumber dari agama Budha Tantrayana. Kemudian Istano Si Linduang Bulan ini di bangun lagi pada tahun 1750, karena Istano lama telah tua dan mulai runtuh. Pada tahun 1821 Istano Si Linduang Bulan terbakar dalam kecamuk Perang Padri. Pada tahun 1869 Istano Si Linduang Bulan dibangun lagi oleh Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu kemenakan kandung dari Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagar Syah Yang Dipertuan Hitam dan anak dari Yang Dipertuan Gadih Reno Sori dengan Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang (pemegang jabatan Raja Adat, Raja Ibadat dan Raja Alam) setelah Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagar Syah Yang Dipertuan Hitam dibuang Belanda Ke Betawi. Pada tanggal 3 Agustus 1961 Istano Si Linduang Bulan terbakar lagi.
Istano Si Linduang Bulan yang ada sekarang didirikan kembali di tapak Istano yang terbakar pada tahun 1961. Pembangunannya dimulai pada tahun 1987 dan diresmikan pada tahun 1989. Diprakarsai oleh Drs. Sutan Oesman Yang Dipertuan Tuanku Tuo Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung, Tan Sri Raja Khalid bin H. Raja Harun, Raja Syahmenan bin H.Raja Harun, Aminuzal Amin Datuk Raja Batuah, Basa Ampek Balai, ninik mamak Nagari Pagaruyung, anak cucu keturunan dari Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung dalam kaitannya sebagai “Sapiah Balahan, Kuduang Karatan”. Kemudian didorong sepenuhnya oleh Ir. H. Azwar Anas Gubenur Sumatera Barat.
Sedangkan pembangunan Istano Si Linduang Bulan dibiayai secara bersama oleh keluarga ahli waris dan anak cucu keturunan serta zuriat dari Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung beserta masyarakat adat.
Peresmiannya dilakukan dalam sebuah upacara adat kebesaran, melibatkan para pemangku adat se alam Minangkabau: Basa Ampek Balai, Tuan Gadang Batipuah, Tampuak Tangkai Alam di Pariangan, Gajah Gadang Patah Gadiang di Limo Kaum, Simarajo Nan Sambilan, Langgam Nan Tujuah, Lubuak Nan Tigo, Tanjuang Nan Ampek, Sapiah Balahan Kuduang Karatan, Kapak Radai, Timbang Pacahan dan zuriat keturunan Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung. Dihadiri para pejabat Tinggi Negara, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kodya se Sumatera Barat. Serta Undangan Khusus yang datang dari Kerabat Raja Negeri Sembilan, Sri Sultan Hamengkubuono X, dari Brunei Darussalam, keluarga Paku Alam dan Sisingamangaraja.
Di Pagaruyung terdapat dua buah istana. Pertama, Istano Si Linduang Bulan, yang berdiri di Balai Janggo Pagaruyung, sebagai istana pengganti dari istana raja yang terbakar, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Kedua, Istano Basa, yang mulai dibangun pada tahun 1976 di Padang Siminyak Pagaruyung (letaknya satu kilometer dari Istano Si Linduang Bulan) di atas tanah milik keluarga ahli Waris Raja Pagaruyung yang dipijamkan kepada pemerintah selama bangunan tersebut masih berdiri. Istano Basa didirikan atas biaya sepenuhnya dari pemerintah daerah Sumatera Barat yang berfungsi sebagai musium dan objek kunjungan wisata, sedangkan istano Si Linduang Bulan dibiayai oleh ahli waris dan anak cucu keturunan dari Daulat yang Dipertuan Raja Pagaruyung.Pada 27 Februari 2007 Istano Basa terbakar disambar petir meluluh lantakkan semua bangunan tersebut.
Bentuk, ukuran dan ukiranRumah Gadang Tuan Gadih Istano Si Linduang Bulan adalah rumah gadang yang sangat khusus dengan style “Alang Babega”.Mempunyai tujuh buah gonjong (tajuk) yang megah seakan mencucuk langit. Sedangkan rumah gadang lain yang ada di Minangkabau memakai bermacam style: Gajah Maharam, Rajo Babandiang, Sitinjau Lauik dan sebagainya. Style “Alang Babega ” merupakan khas style rumah gadang raja.
Istano Si Linduang Bulan disebut juga rumah gadang sambilan ruang dengan ukuran 28 x 8 meter dan di halamannya berdiri dua buah rangkiang; Si Bayau-bayau dan Si Tinjau Lauik. Rumah Gadang ini mempunyai empat buah bilik atau kamar tidur dan dua buah anjuang di samping kanan Anjuang Emas dan di samping kiri Anjuang Perak. Di bagian belakangnya terdapat sebuah dapur yang khas. Tiang penyangga rumah gadang ini berjumlah 52 buah terdiri dari: delapan buah di barisan depan disebut Tiang tapi panagua alek. Barisan kedua memanjang bangunan terdapat 12 buah tiang yang disebut Tiang tamban suko mananti, barisan ketiga memanjang bangunan terdapat 12 buah tiang yang disebut Tiang tangah manti salapan, salah satu dari 12 tiang ini disebut Tonggak Tuo atau disebut juga Tiang panjang simajolelo yang terletak di bagian kanan setelah pintu masuk. Barisan keempat berjumlah 12 tiang disebut “Tiang dalam puti bakuruang” yang menjadi penopang bagian tengah rumah. Selanjutnya 12 tiang lagi disebut tiang salek dindiangnyo samiek. Barisan tiang ini membatasi dinding belakang dengan bagian muka bilik atau ruang tidur. Delapan tiang lagi di bagian belakang disebut Tiang dapua suko dilabo. Kedua anjuang di ujung kiri dan kanan rumah adalah tempat “Kedudukan Rajo” atau tahta raja, yakni “Rajo Tuo” di Anjuang Emas dan “Tuan Gadih” di Anjuang Perak
Ukiran yang membalut Istano Si Linduang Bulan berjumlah lebih dari 200 macam motif ukiran. Hampir seluruh motif ukiran Minangkabau terdapat di Istano Si Linduang Bulan. Ukiran itu mendominasi bentuk luar fisik bangunan yang kaya dengan simbol-simbol. Setiap ukiran dan penempatannya mempunyai makna sendiri-sendiri, sebagai tanda bahwa Istano Si Linduang Bulan adalah rumah gadang raja atau rumah pemimpin rakyat atau sebagai”Pusat Adat”.
Beberapa motif ukirannya antara lain terdapat di bandua Ayam bagian memanjang di bawah jendela, dihiasi tiga jenis ukiran: Aka Cino Bapilin, Sikambang Manih dan Siriah Gadang. Pada bagian dinding yang lebih luas dihiasi dengan ukiran: Pucuak Rabuang dan Aka Cino ditambah dengan hiasan kaca Tabentang Kalangik. Pada jalusi di atas jendela dihiasi dengan ukiran tembus dengan motif Si Kambang Manih. Pada bagian di bawah pinggir atap yang disebut dampa-dampa dihiasi dengan tiga jenis ukiran: Pisang Sasikek, Aka Cino dan Tantadu Bararak. Pada pintu masuk ditemukan berbagai ukiran: Tupai Managun, Daun Bodi, Saik Wajik, Bungo Lado, Buah Palo Bapatah, Itiak Pulang Patang.
Banyak lagi bagian-bagian pada dinding Istano Si Linduang Bulan yang diukir dengan berbagai jenis ukiran. Umumnya ukiran-ukiran itu didominasi oleh warna-warna: merah, kuning, hitam dan diselingi oleh warna coklat (warna tanah) serta warna perak dan emas.
Di bagian dalam Istano Si Linduang Bulan semua bagian ditutupi dengan kain tabir dan langik-langik dengan sulaman bertatah warna emas dengan berbagai motif pula. Ini semua merupakan hasil kerajinan rakyat dari nagari-nagari di sekitar Pagaruyung antara lain: Sungayang, Pandai Sikek.
Sekarang Istano Si Linduang Bulan tidak lagi menampilkan sosoknya sebagai Istana Raja, karena sejak kemerdekaan Republik Indonesia, keluarga ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung sudah menyatukan diri dengan negara kesatuan Republik Indonesia. Namun begitu Istano Si Linduang Bulan tetap berfungsi sebagai Pusat Adat bagi masyarakat Minangkabau. Fungsi ini sudah merupakan adat dan menjadi bagian dari budaya bangsa.(Sumber : Tambo Pagaruyung dan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.
BAB II. Yang Dipertuan Gadis
Gelar Yang Dipertuan Gadis (Tuwan Gadih) bagi perempuan keturunan Raja Pagaruyung di dalam Tambo Pagaruyung pertama kali dijumpai pada generasi ke XI yang dipakai oleh Puti Reno Maharani yang menjadi Rajo Pusako (Raja Adat) ke 3 di Buo.
Dia adalah anak dari Puti Reno Marak Rindang Ranggowani dengan Tuanku Rajo di Buo (Raja Adat ke II). Gelar Tuan Gadih ke II diwariskan kepada Puti Reno Nalo Nali anak dari Tuan Gadih Puti Reno Maharani dengan Rajo Bagewang II (Tuan Titah ke V).
Tuan Gadih ke III adalah Puti Reno Jalito anak Tuan Gadih Puti Reno Nalo Nali dengan Tuan Titah VI. Tuan Gadih ke IV adalah Puti Reno Pomaisuri anak dari Tuan Gadih Puti Reno Jalito dengan Daulat Yang Dipertuan Batu Hitam Raja Alam Pagaruyung. Tuan Gadih Pomaisuri adalah permaisuri dari Yam Tuan Bakilap Alam (Daulat Yang Dipertuan Sulthan Alif I) yang menjadi Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat sekaligus. Pada masanya (diperkirakan tahun 1580) Istana Pagaruyung dipindahkan ke Melayu Ujung Kapalo Koto di Balai Janggo Pagaruyung, sekaligus menandai era keIslaman dalam kerajaan tersebut.
Anaknya Puti Reno Rampiang memakai gelar Tuan Gadih ke V. Puti Reno Baruaci anak dari Puti Reno Rampiang Tuan Gadih ke V dengan Yamtuan Rajo Samik I (Raja Ibadat) di Sumpur memakai gelar Tuan Gadih ke VI. Puti Reno Kuniang anak dari Puti Reno Baruaci Tuan Gadih ke VI dengan Daulat Yang Dipertuan Paduka Sri Sulthan Ahmadsyah (Yam Tuan Rajo Barandangan (Raja Alam) diperkirakan tahun 1670 memakai gelar Tuan Gadih ke VII sekaligus menjadi Raja Adat. Puti Reno Janggo anak dari Puti Reno Kuniang dengan Yam Tuan Rajo Pingai memakai gelar Tuan Gadih ke VIII sekaligus menjadi Raja Adat.
Puti Reno Suto anak dari Puti Reno Janggo dengan Daulat Yang Dipertuan Raja Bagagarsyah Alam (Yam Tuan Jambang Raja Alam di Balai Janggo memakai gelar Tuan Gadih ke IX sekaligus menjadi Raja Adat berkedudukan di Balai Janggo Pagaruyung. Puti Reno Aluih memakai gelar Tuan Gadih ke X adalah anak dari Puti Reno Janggo Tuan Gadih ke IX dengan Yam Tuan Rajo Gamuyang (Tuan Titah ke XII). Puti Reno Janji memakai gelar Tuan Gadih ke XI adalah anak dari Puti Reno Aluih Tuan Gadih ke X dengan Yam Tuan Balambangan (Makhudum Sumanik). Puti Reno Sori memakai gelar Tuan Gadih ke XII adalah anak dari Puti Reno Janji Tuan Gadih ke XI dengan Daulat Yang Dipertuan Sulthan Alam Muningsyah II (Raja Alam pada tahun 1780). Puti Reno Sumpu memakai gelar Tuan Gadih XIII adalah anak dari Puti Reno Sori Tuan Gadih ke XII dengan Daulat Yang Dipertuan Sulthan Abdul Jalil (Yam Tuan Garang atau Yang Dipertuan Sembahyang, Raja Adat).
Puti Reno Sumpu ini mewarisi Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat setelah mamaknya Sulthan Alam Bagagarsyah (Yang Dipertuan Hitam, Raja Alam) dibuang Belanda ke Betawi dan ayahnya Sulthan Abdul Jalil(Raja Adat) mangkat. Puti Reno Saiyah memakai gelar Tuan Gadih ke XIV (Tuan Gadih Mudo) adalah anak dari Puti Reno Sumpu Tuan Gadih ke XIII dengan Sutan Mangun Tuah anak dari Sulthan Alam Bagagarsyah (Tuan Titah ke XVI). Tuan Gadih ke XV adalah anak-anak dari Puti Reno Saiyah Tuan Gadih ke XIV dengan Sutan Badrunsyah (cucu dari Sulthan Alam Bagagarsyah) yaitu: Puti Reno Aminah memakai gelar Tuan Gadih Hitam, Puti Reno Halimah memakai gelar Tuan Gadih Uniang dan Puti Reno Fatimah memakai gelar Tuan Gadih Etek. Dan sekarang yang memakai gelar Tuan Gadih ke XVI adalah Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang (anak dari Tuan Gadih Hitam), Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah dan Puti Reno Fatimah Zahara Tuan Gadih Etek (anak Tuan Gadih Ketek).
Gelaran Yang Dipertuan Gadis dilekatkan kepada perempuan yang dianggap dapat menjadi pimpinan kaumnya di dalam keluarga raja disamping Raja Pagaruyung. Raja Pagaruyung sendiri mempunyai gelaran Yang Dipertuan Bujang. Dengan demikian dapat dipahamkan bahwa laki-laki yang dinobatkan menjadi raja Pagarayung dipanggil juga Yang Dipertuan Bujang, disamping gelaran-gelaran kebesarannya lainnya seperti; Sultan Abdul Jalil, Yang Dipertuan Sembahyang, Yang Dipertuan Hitam dan banyak gelaran kebesaran lainnya. sedang yang perempuan (ibu, saudara perempuan, istri) dipanggilkan Yang Dipertuan Gadis. Perempuan yang boleh diberi gelar Yang Dipertuan Gadis adalah perempuan terdekat dalam keturunan raja, terutama dalam kaitan pertalian sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu, adagium adat dalam tambo tersebut disebutkan; Adat rajo turun tamurun, adat puti sunduik basunduik. Turun tamurun atau turun temurun, dimaksudkan sebagaimana mengikuti garis keturunan patrilineal, sedangkan sunduik basunduik dimaksudkan sebagaimana mengikuti garis keturunan matrlineal. Dengan demikian, seorang laki-laki dalam keturunan tersebut dapat menjadi raja, apabila ibunya adalah keturunan raja dan akan semakin kuat lagi kalau ayahnya juga keturunan raja.
Para perempuan keturunan raja menurut garis matrilineal, di dalam Tambo Pagaruyung umumnya memakai nama kecil tersendiri yaitu, Puti Reno. Dari sekian Puti Reno itulah nanti dipilih untuk dijadikan Yang Dipertuan Gadis. Pemberian gelar Puti Reno hanya dikhususkan bagi perempuan keturunan raja Pagaruyung saja. Disepakati oleh Basa Ampek Balai. Oleh karena itu, di dalam tambo Pagaruyung tersebut banyak ditemui nama-nama perempuan dengan pangkal nama Puti Reno. Begitu juga banyak perempuan yang digelari Yang Dipertuan Gadis. Yang Dipertuan Gadis adalah nama gelar kebesaran, sedangkan nama Puti Reno sebagai nama pertanda keturunan raja dalam garis matrlinel.
Disamping gelar Tuan Gadih yang ada di Pagaruyung ada Tuan Gadih Saruaso yang pertama dipakai oleh Puti Reno Sudi yang kawin dengan Indomo Saruaso adalah anak dari Puti Reno Pomaisuri Tuan Gadih ke IV. Gelar Tuan Gadih Saruaso ini diwarisi sampai Tuan Gadih Saruaso ke VII yaitu yang terakhir yang kawin dengan Daulat Yang Dipertuan Sulthan Alam Muningsyah III (Daulat Yang Dipertuan Basusu Ampek).
Dalam catatan Raffles sewaktu berkunjung ke pedalaman Minangkabau, dia menjumpai seorang raja perempuan Minangkabau yang bernama Yang Dipertuan Gadis Saruaso. Yang dimaksudkan Raffles tersebut adalah salah seorang dari keturunan raja yang berada di Saruaso. Begitu juga dalam catatan Belanda, ditemukan nama Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu, kemenakan dari Sultan Alam Bagagar Syah, anak dari Yang Dipertuan Sembahyang. Hasil perkawinan Yang Dipertuan Sembahyang dengan Tuan Gadis Puti Reno Sori.
Yang Dipertuan Reno Sumpu disebut demikian karena beliau lahir di Sumpur Kudus, dalam masa ayahnya Yang Dipertuan Sembahyang yang menjadi Raja Adat dengan Tuan Gadih Puti Reno Sori menetap di rantau itu di penghujung Perang Paderi. Oleh karena Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah ditangkap Belanda pada tahun 1833, dan Yang Dipertuan Sembahyang dihalang oleh Belanda untuk kembali ke Pagaruyung, maka Yang Dipertuan Reno Sumpu kembali ke Pagaruyung untuk menggantikan mamaknya Sultan Alam Bagagar Sah sebagai Raja Alam, sekaligus menggantikan ayahnya Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang sebagai Raja Adat serta melanjutkan tugas waris ibunya Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sori.
Dari jalinan peristiwa ini ternyata yang berhak menjadi raja di Pagaruyung bukan anak-anak dari Sultan Alam Bagagar Syah. Walaupun dia raja tetapi karena istrinya bukan seorang Puti Reno, maka anak-anaknya tidak dapat menggantikan kedudukannya sebagai Raja Pagaruyung. Yang berhak menggantikannya sebagai ahli waris menurut acuan “Adat Rajo turun tamurun Adat puti Sundut basundut” justru Yang Dipertuan Puti Reno Sumpu, karena dia merupakan perempuan dalam garis matrlineal; ibunya adalah Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sori, saudara dari Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah dan secara patrilineal dari ayahnya Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang.
Ketika Belanda akan menjatuhkan hukuman mati kepada beberapa penghulu yang dianggap sebagai tokoh pendukung perang rakyat Silungkang, Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu datang menemui Belanda di Batusangkar dan menyediakan dirinya untuk menggantikan para penghulu tersebut. Akhirnya Belanda membatalkan hukuman mati kepada para penghulu tersebut. Catatan peristiwa ini telah ditulis oleh seorang penulis sejarah Rusli Amran dalam bukunya Padang Riwayatmu Dulu.
(Sumber : Tambo Pagaruyung dan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.Disarikan oleh : Puti Reno Raudha Thaib)
Bab III. Masyarakat Minangkabau
1. Norma Kehidupan
Apa yang bakal terjadi bila manusia hidup atas dasar hukum rimba?. Yang kuat akan memakan yang lemah. Yang besar akan menindas yang kecil. Yang pintar akan menipu yang bodoh. Kehidupan akan segera menjadi neraka. Manusia mungkin akan segera musnah. Nenek moyang orang Minang, nampaknya sejak beribu tahun yang lalu telah memahami bahaya ini bagi hidup dan kehidupannya, apalagi bagi kelangsungan anak dan cucunya. Karena itu mereka telah menciptakan norma-norma kehidupan yang akan menjamin ketertiban-kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bagi mereka sendiri dan anak cucunya sepanjang zaman. Norma-norma itu antara lain berupa aturan-aturan yang sangat esensial bagi kehidupan yang tertib aman dan damai. Aturan-aturan itu antara lain mengatur hubungan antara wanita dan pria, aturan mengenai harta kekayaan, yang menjadi tumpuan kehidupan manusia, norma-norma tentang tata krama pergaulan dan sistim kekerabatan. Kalau dipelajari dengan seksama, ketentuan adat Minang mengenai hal-hal diatas, agaknya tidak ada seorangpun diantara kita yang tidak kagum dan bangga dengan aturan itu. Kalau kita tahu manfaat dari aturan-aturan itu, agaknya tidak seorangpun diantara kita yang mengingini lenyapnya aturan itu. Namun sayangnya banyak juga diantara kita yang kurang memahami aturan-aturan adat itu sehingga kurang mencintainya. Tak tahu maka tak kenal, tak kenal maka tak cinta. Kebanyakan kita dewasa ini memang sudah banyak yang melupakan norma-norma kehidupan yang terkandung dalam ajaran adat Minang. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
2. Sistem Matrilinial
Menurut para ahli antropologi tua pada abad 19 seperti J. Lublock, G.A. Wilken dan sebagainya, manusia pada mulanya hidup berkelompok, kumpul kebo dan melahirkan keturunan tanpa ikatan.
Kelompok keluarga batih (Nuclear Family) yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak seperti sekarang belum ada. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara “ibu dan anak-anaknya” sebagai satu kelompok keluarga karena anak-anak hanya mengenal ibunya dan tidak tahu siapa dan dimana ayahnya. Dalam kelompok keluarga batih “ibu dan anak-anaknya” ini, si Ibulah yang menjadi Kepala Keluarga. Dalam kelompok ini mulai berlaku aturan bahwa persenggamaan (persetubuhan) antara ibu dan anak lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu). Inilah asal mula perkawinan diluar batas kelompok sendiri yang sekarang disebut dengan “adat eksogami”. Artinya perkawinan hanya boleh dilakukan dengan pihak luar, dan sebaliknya perkawinan dalam kelompok serumpun tidak diperkenankan sepanjang adat. Kelompok keluarga itu tadi makin lama makin bertambah banyak anggotanya. Karena “garis keturunan” selalu diperhitungkan menurut “Garis Ibu”, dengan demikian terbentuk suatu masyarakat yang oleh para sarjana seperti Wilken disebut masyarakat “matriarchat”. Istilah “matriarchat” yang berarti “ibu yang berkuasa” sudah ditinggalkan. Para ahli sudah tahu bahwa sistem “ibu yang berkuasa” itu tidak ada. Yang ada ialah kelompok keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu atau dalam bahasa asing disebut garis “matrilinial”. Jadi dalam sistem kekerabatan “matrilinial” terdapat 3 unsur yang paling dominan :
Garis keturunan “menurut garis ibu”.
Perkawinan harus dengan kelompok lain diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah Eksogami matrilinial.
Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
3. Hubungan Individu dan Kelompok
Manusia secara alami tidak mungkin hidup sendiri. Setiap individu membutuhkan orang lain untuk bisa hidup. Sudah menjadi hukum alam dan merupakan takdir Tuhan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup bersama dan bekerjasama. Ia telah ditentukan harus hidup berkelompok dan hidup bermasyarakat. Kelompok kecil dalam masyarakat Minang adalah suku, sedangkan kelompok terbesar, terlihat dari kacamata adat Minang adalah nagari. Suku sebagai kelompok terkecil, seyogianya harus dipahami dan dihayati betul oleh orang-orang Minang. Kalau tidak akan mudah sekali tergelincir pada pengertian bahwa keluarga terkecil adalah keluarga batih yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak. Pengertian yang keliru inilah yang sering membawa pecahnya kekeluargaan Minang, karena mamak rumah, dunsanak ibu, bahkan Penghulu suku tidak lagi dianggap keluarga. Selain itu sifat dasar masyarakat Minang adalah “kepemilikan bersama”. Tiap individu menjadi milik bersama dari kelompoknya. Sebaliknya tiap kelompok itu menjadi milik dari semua individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling memiliki ini menjadi sumber dari timbulnya rasa setia kawan (solidaritas) yang tinggi, rasa kebersamaan, rasa tolong menolong. Tiap individu akan mencintai kelompok sukunya dan setiap anggota dari satu suku akan selalu mengayomi atau melindungi setiap individu. Kehidupan individu terhadap kelompok sukunya bagaikan kehidupan ikan dengan air. Ikan adalah individu sedangkan air adalah suku tempat hidup. Bila si ikan dikeluarkan dari air, maka ia akan segera mati. Dari sini lahirlah pepatah yang berbunyi : Suku yang tidak bisa dianjak Malu yang tidak bisa dibagi. Dengan melihat hubungan individu dengan kelompoknya seperti digambarkan diatas, maka jelas antara individu dan kelompoknya akan saling mempengaruhi. Individu yang berwatak baik, akan membentuk masyarakat yang rukun dan damai. Sebaliknya kelompok yang tertata rapi, akan melahirkan individu-individu yang tertib dan berdisiplin baik. Dengan demikian nenek moyang orang Minang, telah memberikan kriteria tertentu yang dianggap ideal untuk menjadi sifat-sifat orang-orang Minang.
Sumber : Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang
4. Adat Nagari dan Keturunan Orang Minangkabau
ADAB
Adapun adab yang pertama, patut kita berkasih-kasihan antara sesama hamba Allah dengan sahabat kenalannya, dengan kaum kerabatnya serta sanak saudaranya. Adapun adab yang kedua, hormat kepada ibu dan bapak, serta guru dan raja, mamak dan ninik serta orang mulia-mulia. Adapun adab yang ketiga, yang tua wajib dimuliakan , yang muda patut dikasihi, sesama remaja dibasa-basikan (dipersilakan / dilayani dengan baik). Adapun adab yang keempat, adab berkorong dan berkampung, adab berkaum kerabat, jika sukacita sama-sama ketawa, kalau dukacita sama-sama menangis. Bertolong-tolongan pada jalan kebaikan, jangan bertolong-tolongan pada jalan maksiat, atau jalan aniaya, jangan memakai khizit dan khianat serta loba dan tamak, tidak usah berdengki-dengkian sesama hamba Allah, pada jalan yang patut-patut; janganlah memandang kepada segala manusia, dengan cara bermasam muka, itulah dia yang bersama adat yang patut, yang kita pakaikan setiap hari.
TERTIB
Adapun tertib kepada raja-raja dan orang-orang besar serta kepada alim ulama; kepada ibu dan bapak; dan kepada ninik mamak dan orang tua-tua dengan orang mulia-mulia; jikalau menyambut barang sesuatu hendaklah meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya. Sewaktu mengunjukkan barang sesuatu, duduk menghadap dengan cara bersimpuh, jika berjalan mengiring di belakang; jikalau sama-sama minum dan makan, hendaklah kemudian daripadanya, jangan meremas-remas nasi, jangan mengibas-ngibaskan tangan kearah belakang atau samping kanan belakang sehingga besar sekali kemungkinan ada orang lain atau sekurang-kurangnya dinding rumah akan kejipratan air bekas pembasuh tangan yang masih melengket dijari-jari tangan. Selain dari itu lebihkanlah menekurkan kepala daripada menengadah kepadanya dan apabila berkata-kata hendaklah dengan suara yang lemah lembut.
SIFAT PEREMPUAN
Adapun setiap wanita itu hendaklah dia berhati sabar; menurut perintah suaminya, serta ibu bapaknya; baikpun ninik mamaknya; kalau dia berkata-kata hendaklah merendahkan diri terhadap mereka itu. Dan wajib baginya untuk mempelajari ilmu dan tertib sopan, serta kelakuan yang baik-baik; menghindarkan segala macam perangai yang akan menjadi cela kepadanya, atau kepada suaminya, atau kepada kaum kerabatnya, yang timbul oleh karena tingkah laku dan perangainya yang kurang tertib, hemat cermat. Kalau dia sudah bersuami, hendaklah dia berhati mukmin terhadap suaminya itu.
PERANGAI
Adapun perangai yang wajib, berlaku atas segala makhluk, baik laki-laki maupun perempuan; ialah menuntut ilmu, dan mempelajari adat dan hormat, dan merendahkan dirinya pada tempatnya juga, dan wajib dia berguru, sifat berkata-kata yang “mardesa” (tertib sopan; hemat cermat) bagaimana bunyi yang akan baik, didengar oleh telinga si pendengar, serta dengan perangai yang lemah lembut juga dilakukan, dengan halus budi bahasanya, karena kita berlaku hormat kepada orang-orang besar dan orang-orang mulia dan orang-orang tua, supaya terpelihara daripada umpat dan caci; itulah kesempurnaan perbasaan bagi orang baik-baik, yang terpakai dalam nagari atau dalam alam ini.
HUTANG BAGI ORANG TUA-TUA
Adapun yang menjadi hutang bagi orang tua-tua dan cerdik pandai serta orang mulia-mulia dan segala arif bijaksana yaitu harus baginya mengingatkan kepada segala ahlinya, dan kepada segala orang nan percaya kepadanya, dan segala kaumnya, yang tidak ikut melakukan perangai dan tertib yang baik-baik. Maka hendaklah dibantahi; segala kelakuan mereka itu, yang bersalahan dengan kebenaran juga, memberi petunjuk ia akan segala kaumnya itu, supaya dia melakukan segala perangai yang baik-baik dan membuangkan segala perangai yang kurang baik itu, supaya mudah sekalian mereka itu mengetahui akan keindahan dan kemuliaan yang terpakai oleh orang besar-besar yang membawa kepada jalan kebajikan, dan kesempurnaan hidupnya, supaya ingat segala anak kemenakannya itu kepada yang baik, dan lembut hatinya yang keras itu, karena hati lebih keras dari batu dan besi. Apabila sudah berkata-kata dengan orang tua-tua dan orang cerdik pandai itu; dengan ilmunya dan pengetahuannya yang sempurna, tidak boleh tidak akan lembutlah orang yang keras-keras itu oleh muslihatnya, dan kendorlah yang tegang itu, sebab kepandaiannya berkata-kata, melakukan nasihat nan baik-baik itu. Karena itu wajiblah bagi orang yang tua-tua dan cerdik pandai itu akan menajak segala kaum keluarganya dan orang yang percaya kepadanya, dengan perkataan yang lemah lembut juga, serta tutur kata yang baik-baik, akan menarik hati sekalian mereka itu, karena sekalian jalan kebajikan, memberi sukahatinya mendengarkan; serta wajib juga kepada orang tua-tua dan cerdik pandai itu, akan bercerita dan memberi ingat kepada segala kaum kerabatnya, apapun cerita dan kabar; baik maupun buruk; menceritakan kabar-kabar yang dahulu kala, yang dilihat dan didengarnya, dengan menyatakan kesan-kesannya yang baik ataupun yang jelek. Supaya menjadi pengajaran dan peringatan juga untuk semua ahli baitnya; yakni kabar-kabar yang kira-kira cocok dengan pendapat dan pikiran si pendengar. Demikianlah yang wajib dipakaikan oleh orang tua-tua dan cerdik pandai serta arif bijaksana;”menyigai-nyigaikan”(sigai=diusut, diselidiki sebaik-baiknya; di dalam ini berbarti mendengarkan/menghampirkan dirinya) artinya, janganlah dia mengatakan jauhnya dengan mereka itu, melainkan wajib dia menyatakan hampirnya juga, supaya tertambah-tambah kasih sayangnya, kaum kerabatnya itu dan murah baginya melakukan segala nasihat dan petunjuk yang dilakukannya kepada sekalian orang.
ADAT BERKAUM BERKELUARGA
Apabila ada kerja dalam kampung atau dalam suku dan nagari, baik “kerja yang baik” (kerja yang menyukakan hati) maupun “kerja yang tidak baik” (dukacita, kematian, musibah dan kerugian yang mendadak); jikalau suka sama-sama ketawa, kalau duka sama-sama menangis; jika pergi karena disuruh, jika berhenti karena dilarang; artinya semua perbuatan hendaklah dengan sepengetahuanpenghulu-penghulunya juga, serta orang tua-tuanya dan sanak saudaranya yang patut-patut. Demikianlah adat orang berkaum keluarga dan beranak berbapak, beripar besan, berindu bersuku. Itulah yang dipertalikan dengan adat lembaga, yang “persaluk urat, yang berjumbai akar, berlembai pucuk” (bertali kerabat) namanya, menyerunduk sama bongkok, melompat sama patah; kalau ke air sama basah, jika ke api sama letup, itulah yang dinamakan “semalu sesopan”, kalau kekurangan tambah-menambah, jika “senteng bilai-membilaia’, yang berat sama dipikul dijunjung dan yang ringan sama dijinjing. Adat penghulu kepada anak kemenakan, baik dalam pekerjaan yang baik maupun didalam pekerjaan yang tidak baik. Apabila sesuatu persoalan anak kemenakan disampaikan kepada penghulu dan orang tua-tua wajiblah bagi beliau itu; bila kusut diselesaikan, bila keruh diperjernih, menghukum dengan jalan keadilan, beserta dengan orang tua-tuanya disana. Adapun yang dikatakan tua disana, ialah orang yang cerdik pandai, orang yang berakal juga, yang akan menimbang buruk dengan baik, tinggi dengan rendah, supaya menjadi selesai seisi kampungnya itu. Jika tidak putus oleh penghulu-penghulu dan orang tua-tua didalam masing-masing kampung mengenai apa-apa yang diperselisihkan oleh anak buahnya; wajiblah kepada penghulu-penghulu dan orang tua-tua tersebut untuk membawa “serantau hilir, serantau mudik” (sepanjang sungai kesana kemari mencarikan air yang jernih, sayak yang landai” (keadilan) katian (timbangan dengan ukuran berat sekati) yang genab; supaya diperoleh kata kebenaran dan aman segala kaum keluarganya. Adat orang menjadi “kali” (Tuan Kadi; penghulu nikah), pendeta dan alim ulama, imam, khatib dan bilal serta maulana; hendaklah dia mengetahui benar-benar segala aturan agama (syarat; syariat Islam) di dalam surau dan mesjid-mesjidnya atau didalam segala majelis perjamuan, dan pada tempat yang suci-suci baikpun di dusun-dusun atau di medan majelis orang banyak, hendaklah selalu dia melakukan perangai nan suci dan hormat, supaya menjadi suluh, kepada segala isi nagari dan yang akan diturut, oleh segala murid-muridnya. Wajib dia mengatur segala penjagaan nan bersalahan, dalam mesjid dan surau dan didalam majelis perjamuan yang akan menjadi cacat dan cela bagi ketertiban agamanya, yang boleh membinasakan tertib kesopanan orang-orang “siak” (santri) dan alim ulama yang sempurna.
ADAT LAKI-LAKI KEPADA WANITA YANG SUDAH DINIKAHINYA
Wajib laki-laki itu memberi nafkah lahir dan bathin kepada istrinya dan memberi tempat kediaman serta memberi minum dan makannya serta pakaian sekurang-kurangnya dua persalin setahun; dan wajib pula bagi perempuan itu berperangai yang sempurna kepada segala ahli-ahli (karib bait) suaminya dengan perangai yang hormat dan tertib sopan seperti adab kepada suaminya juga. Demikianlah pula wajiblah bagi lelaki tsb berperangai nan sopan, kepada segala kaum kerabat anak istrinya seperti dia melakukannya terhadap kaum kerabatnya sendiri yang patut-patut. Cara bagaimana hormatnya istri kepada ibu bapaknya dan ninik mamaknya begitu pulalah hendaknya dia menghormati dan mempunyai rasa malu terhadap ibu bapak dan ninik mamak istrinya itu. Yakni dengan basa-basi yang lemah lembut dan hendaklah dia memberi petunjuk akan anak istrinya yang alpa dalam menghormati kaum kerabatnya dan ibu bapak serta ninik mamaknya yang sepatutnya dihormatinya, supaya istrinya itu berlaku baik dan beradat yang sempurna terhadap kepada ahli-ahlinya (karib baitnya). Wajib pula suami melarang istrinya berperangai yang salah menurut adab dan tertib yang sopan dan santun, supaya istrinya itu tetap menurut jalan yang baik-baik dan sopan; begitulah yang sebaik-baiknya yang dilakukan oleh segala suami terhadap istrinya masing-masing.
MILIK
Ada berbagai milik; ada milik raja, ada milik penghulu, ada milik kadi, ada milik dubalang dan pegawai, ada milik imam dan khatib dan ada pula milik orang banyak. Masing-masing milik tsb tidak boleh dikuasai oleh yang bukan pemiliknya. Adapun yang menjadi milik raja itu adalah memerintah dan menghukum segala perselisihan hamba rakyatnya yang disampaikan kepadanya dan menjaga kesentosaan nagari, dan mengetahui dia akan perangai sekalian orang-orang yang dibawah kekuasaannya serta berhubungan dengan pembantunya dan apabila pembantu-pembantunya bersalah maka diapun akan menghukum mereka itu juga supaya nagari menjadi sempurna dan rakyat menjadi sentosa. Adapun milik penghulu itu adalah menjaga akan kesentosaan dan keselamatan anak buahnya; baik yang ada dalam kampung dalam suku, dalam nagari, pada tempat masing-masing, dan wajib baginya menentukan batas dan “bintalak” (pasupadan; sempadan) milik anak buahnya didalam pegangan masing-masingnya; dan yang lain-lainnya yang akan memberi kebajikan kepada segala anak buahnya. Adapun milik tuan Kardi itu adalah menghukumkan menurut jalan hukum dan syariat agama nabi kita Muhammad dan menentukan sah dan batal, pasal dan bab, dalil dan maknanya, setiap hukum agama dikeluarkannya (diterapkannya). Adapun milik pegawai dan hulubalang, menjelaskan apa-apa yang dititahkan penghulu-penghulu; “menakik” yang keras, “menyudu” yang lunak; berdasarkan jalan kebenaran juga. Adapun milik bagi orang banyak itu, wajib kita menutur segala titah dan perintah penghulu-penghulu, orang tua-tuanya; memelihara akan pekerjaannya masing-masing; dengan yakin menjalankan titah rajanya dan disampaikan kepadanya; Tuan Kadinya dan ibu bapaknya serta sanak saudaranya. Adapun milik bagi harta benda itu, seperti sawah ladang, emas perak kerbau sapi, ayam itik dan lain-lainnya, wajib tergenggam pada yang punya milik masing-masing juga, tidaklah harus dimiliki oleh bukan pemiliknya.
HAK
Adapun hak itu tidaklah tetap terpegang, kepada yang empunya hak untuk selamanya; hak yang terpegang ditangan yang empunya masing-masing adalah hak milik namanya. Dan apabila haknya itu dipegang oleh orang lain, maka dinamai “Haknya saja” tetapi yang memiliki orang lain. Itulah undang-undang yang terpakai dalam nagari di Alam Minangkabau ini yang sepatutnya engkau ketahui terlebih dahulu. Tentukan (usut dan periksa) benarlah dahulu semuanya yang hamba sebut tadi; yang dipakai didalam nagari ini; agar jelas pegangan masing-masing, agar berbeda orang dengan awak; baik jauh maupun dekat. (Sumber : Mustika Adat Minangkabau)
5. NAMA PANGGILAN MASYARAKAT MINANG
Bagi orang Minang nama itu penting. Ketek banamo - gadang bagala. Katiko ketek disabuik namo - alah gadang disabuik gala. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa yang dikatakan sepesukuan sebagai unit terkecil dalam sistem kekerabatan Minang terdiri dari 5 lapis generasi atau keturunan. Mungkin dalam satu masa tidak terdapat kelima tingkat keturunan itu, karena hal itu sangat tergantung dari usia rata-rata anggota suku dari tiap generasi.
Panggilan Sesama Anak
Adik memanggil kakaknya yang perempuan dengan “Uni” dan “Uda” untuk kakak lelaki. Antara mereka yang seusia, memanggil nama masing-masing. Si Ani memanggil si Ana dengan menyebut Ana. Si Husin memanggil si Hasan dengan sebutan Hasan.Mande dan Mamak serta generasi yang lebih tua, memanggil anak-anak dengan panggilan kesayangan “Upiak” pada anak perempuan dan “Buyuang” untuk anak laki-laki.
Panggilan untuk Ibu dan Paman
Anak sebagai generasi terbawah dalam susunan pesukuan Minang, mempunyai panggilan kehormatan terhadap ibu dan saudara ibunya, serta generasi yang berada diatasnya.Anak memanggil ibunya dengan panggilan Mande - Amai - Ayai - Biyai - Bundo - Andeh dan di zaman modern ini dengan sebutan Mama - Mami - Amak - Ummi dan Ibu.Jika ibu kita mempunyai saudara perempuan yang lebih tua dari ibu kita (kakak ibu) maka sebagai anak kita memanggilnya dengan istilah Mak Adang yang berasal dari kata Mande dan Gadang.Bila ibu mempunyai adik perempuan, maka kita memanggilnya dengan Mak Etek atau Etek yang berasal dari kata Mande nan Ketek.Bila ibu kita punya saudara lelaki, kita panggil beliau dengan Mamak. Semua lelaki dalam pesukuan itu, dan dalam suku yang serumpun yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita, disebut Mamak. Jadi Mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua lelaki yang segenerasi dengan ibu kita dalam suku yang serumpun. Dengan demikian kita punya Mamak Kanduang, Mamak Sejengkal, Mamak Sehasta, Mamak Sedepa sesuai dengan jarak hubungan kekeluargaan. Mamak Kandung adalah Mmamak dalam lingkungan semande.Mamak tertua dan yang lebih tua dari ibu kita, kita panggil dengan istilah Mak Adang dari singkatan Mamak nan Gadang sedangkan yang lebih muda dari ibu kita , kita sebut dengan Mak Etek atau Mamak nan Ketek. Mamak yang berusia antara yang tertua dan yang termuda dipanggil dengan Mak Angah atau Mamak nan Tangah.
Kedudukan Mamak
Mamak mempunyai kedudukan yang vital dalam struktur kekerabatan minang, khususnya dalam hubungan Mamak-Kemenakan, seperti diatur dalam Pepatah Adat berikut ini.
Kamanakan barajo ka mamak,
Mamak barajo ka panghulu,
Panghulu barajo ka mufakat,
Mufakat barajo ka nan bana,
Bana badiri sandirinyo.
Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa mamak mempunyai kedudukan yang sejajar dengan ibu kita. Karena beliau itu saudara kandung. Sehingga mamak dapat diibaratkan sebagai ibu-kandung kita juga kendatipun beliau lelaki. Adat Minang bahkan memberikan kedudukan dan sekaligus kewajiban yang lebih berat kepada mamak ketimbang kewajiban ibu. Adat mewajibkan mamak harus membimbing kemenakan, mengatur dam mengawasi pemanfaatan harta pusaka, mamacik bungka nan piawai. Kewajiban ini tertuang dalam pepatah adat, ataupun dalam kehidupan nyata sehari-hari. Kewajiban untuk membimbing kemenakan sudah selalu didendangkan orang Minang dimana-mana. Namun kini sudah mulai jarang diamalkan Pepatah menyebutkan :
Kaluak paku kacang balimbiang,Buah simantuang lenggang lenggangkan,Anak dipangku kamanakan dibimbiang,Urang kampuang dipatenggangkan.
Kewajiban mamak terhadap harta pusaka antaranya dalam menjaga batas sawah ladang, mengatur pemanfaatan hasil secara adil di lingkungan seperindukan, dan yang terpenting mempertahankan supaya harta adat tetap berfungsi sesuai ketentuan adat.
Fungsi utama harta pusaka :
Sebagai bukti dan lambang penghargaan terhadap jerih payah nenek moyang yang telah mencancang-malateh, manambang-manaruko, mulai dari niniek dan inyiek zaman dahulu, sampai ke mande kita sendiri. Karena itu kurang pantaslah bila kita sebagai anak cucu, tidak memeliharanya, apalagi kalau mau menjualnya. Tugas mamak terutama untuk menjaga keberadaan harta pusaka ini.
Ramo-ramo si kumbang janti,
Katik Endah pulang bakudo,
Patah tumbuah hilang baganti,
Harto pusako dijago juo.
Sebagai lambang ikatan kaum yang bertali darah. Supaya tali jangan putus, kait-kait jangan sekah (peceh) sehingga pusaka ini menjadi harta sumpah satie (setia), sehingga barang siapa yang merusak harta pusaka ini, akan merana dan sengsara seumur hidupnya dan keturunannya.
Sebagai jaminan kehidupan kaum jaman dahulu sehingga sekarang terutama tanah-tanah pusaka. Baik kehidupan zaman agraris, maupun kehidupan zaman industri, tanah memegang peranan yang sangat strategis. Jangan terpedaya atas ajaran individualistis atas tanah, yang bisa menghancurkan sendi-sendi adat Minang.
Sebagai lambang kedudukan social.
Itulah 4 fungsi utama dari harta pusaka yang menjadi kewajiban mamak untuk memeliharanya. Kewajiban mamak sebagai pamacik bunka nan piawai, selaku pemegang keadilan dan kebenaran. Kewajiban ini dilakukan dengan bersikap adil terhadap semua kemenakan. Antaranya dalam pemanfaatan hasil harta pusaka tinggi. Dilain pihak penanggung jawab terhadap ikatan perjanjian antara pihak luar pesukuan misalnya dalam ikatan perkawinan. Bila sudah ada kesepakatan antara kedua keluarga, maka mamaklah menjadi penanggung jawab atas kesepakatan itu. Bila terjadi ingkar janji, mamaklah yang harus membayar hutang. Bila telah dilakukan Tukar Tando sebagai tanda kesepakatan, maka mamaklah yang akan menjadi tumpuan dan tumbal bagi kesepakatan itu.Mamaklah yang menjadi penanggung jawab atas janji antara kedua keluarga ini, bukan kemenakan yang akan dikawinkan.
Panggilan Generasi Ketiga
Dalam hubungan pesukuan diatas, terlihat bahwa kita sebagai anak menjadi generasi kelima. Kita sebagai generasi kelima, memanggil “Uo” atau “Nenek” kepada Mande dari ibu kita sendiri dan Mamak atau Tungganai (Mamak Kepala Waris) pada saudara lelaki dari Uo (Nenek) kita. Berdasarkan pada pengelompokkan umur rata-rata, maka yang diangkat jadi Penghulu dalam pesukuan ini, biasanya dari kelompok tungganai ini. Pada saat kita lahir,kelompok para tungganai ini berusia sekitar 40 tahun, sehingga memenuhi syarat usia yang pantas untuk memimpin suku (kaum) kita. Selanjutnya pada generasi kedua kita memanggil Gaek untuk perempuan dan Datuak pada lelaki yang termasuk dalam generasi kedua ini. Generasi pertama (kalau masih hidup) kita sebut dengan panggilan Niniek untuk perempuan dan Inyiek untul lelaki yang termasuk generasi pertama. Usia rata-rata generasi pertama ini, pada saat kita lahir sekitar 80 th. Bagi mamak atau tungganai yang diangkat jadi Penghulu, diberi gelar DATUK. Keluarga yang seusia atau lebih tua dari Penghulu memanggilnya dengan “Ngulu”, sedangkan yang lebih muda dengan panggilan yang biasa seperti Uda dan Mamak.
(Sumber : Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang)
6. Suku dan Pengembangannya
1. Suku Asal
Kata suku dari bahasa Sanskerta, artinya “kaki”, satu kaki berarti seperempat dari satu kesatuan. Pada mulanya negeri mempunyai empat suku, Nagari nan ampek suku. Nama-nama suku yang pertama ialah Bodi, Caniago, Koto, Piliang. Kata-kata ini semua berasal dari sanskerta :
Bodi dari bhodi (pohon yang dimuliakan orang Budha)
Caniago dari caniaga (niaga = dagang) ·
Koto dari katta (benteng)
Piliang dari pili hiyang (para dewa) Bodi Caniago adalah kelompok kaum Budha dan saudagar-saudagar (orang-orang niaga) yang memandang manusia sama derajatnya.
Koto Piliang adalah kelompok orang-orang yang menganut agama Hindu dengan cara hidup menurut hirarki yang bertingkat-tingkat. Dalam tambo, kata-kata Bodi Caniago dan Koto Piliang ditafsirkan dengan : Budi Caniago = Budi dan tango, budi nan baharago, budi nan curigo Merupakan lambang ketinggian Dt. Perpatih nan Sabatang dalam menghadapi pemerintahan aristokrasi Dt. Katumanggungan. Koto Piliang = kata yang pilihan (selektif) dalam menjalankan pemerintahan Dt. Katumanggungan.
2. Pertambahan Suku
Suku yang empat itu lama-lama mengalami perubahan jumlah karena :
Pemecahan sendiri, karena warga sudah sangat berkembang. Umpama : suku koto memecah sendiri dengan cara pembelahan menjadi dua atau tiga suku.
Hilang sendiri karena kepunahan warganya, ada suku yang lenyap dalam satu nagari.
Perpindahan, munculnya suku baru yang warganya pindah dari negeri lain.
Tuntutan kesulitan sosial, hal ini timbul karena masalah perkawinan, yang melarang kawin sesuku (eksogami). Suatu suku yang berkembang membelah sukunya menjadi dua atau tiga.
Biasanya suku-suku yang baru tidak pula mencari nama baru. Nama yang lama ditambah saja dengan nama julukan. Jika suku bari itu terdiri dari beberapa ninik, jumlah ninik itu dipakai sebagai atribut suku yang baru itu. Koto Piliang memakai angka genap dan Bodi Caniago memakai angka ganjil. Umpama :
Suku Melayu membelah menjadi : melayu ampek Niniak, Melayu Anam Niniak, Caniago Tigo Niniak, Caniago Limo Niniak (Bodi Chaniago)
Kalau gabungan terdiri dari sejumlah kaum, namanya : Melayu Ampek Kaum (Koto Piliang), Melayu Tigo Kaum (Bodi Caniago)
Apabila gabungan terdiri dari sejumlah korong namanya : Melayu Duo Korong (Koto Piliang), Caniago Tigo Korong (Bodi Caniago)
3. Pembentukan
Suku dipemukiman baru perpindahan dari beberapa negeri ke tempat pemukiman baru di luar wilayah negari masing-masing, ditempat yang baru itu dapat dibuat suku dengan memilih beberapa alternatif :
Setiap anggota bergabung dengan suku yang sejenis yang terlebih dulu tiba di tempat itu.
Beberapa ninik atau kaum dari suku yang sama berasal dari nagari yang sama bergabung membentuk suku baru. Nama sukunya pakai nan spt: Caniago nan Tigo Niniak atau Caniago nan Tigo.
Apabila tidak ada tempat bergabung dengan suku yang sama lalu mereka berkelompok membentuk suku baru. Mereka memakai nama suku asli dari negerinya tanpa atribut, spt asal Kitianyir ditempat baru tetap Kutianyir.
Membentuk suku sendiri di nagari baru tanpa bergabung dengan suku yang ada ditempat lain. Biasanya memakai atribut korong spt Koto nan Duo Korong.
Orang-orang dari bermacam-macam suku bergabung mendirikan suku yang baru. Nama suku diambil dari nama negeri asal : spt Suku Gudam (negeri Lima Kaum), Pinawan (Solok Selatan), suku Padang Laweh, suku Salo dsb.
Selain dari itu , cara-cara lain yaitu mengambil nama-nama dari :
Tumbuh-tumbuhan, seperti Jambak, Kutianyir, Sipisang, Dalimo, Mandaliko, Pinawang dll.
Benda seperti Sinapa, Guci, Tanjung, Salayan dll.
Nagari seperti Padang Datar, Lubuk Batang, Padang Laweh, Salo dll.
Orang seperti Dani, Domo, Magek dll.
Suku yang demikian lebih banyak daripada suku-suku yang semula. Apabila dijumlahkan nama-nama suku itu seluruhnya sudah mendekati seratus buah di seluruh Alam Minangkabau.
4. Adat orang sesuku
Orang-orang yang sesuku dinamakan badunsanak atau sakaum. Pada masa dahulu mulanya antara orang yang sesuku tidak boleh kawin walaupun dari satu nagari, dari satu luhak ke luhak. Tetapi setelah penduduk makin bertambah banyak, dan macam-macam suku telah bertambah-tambah, dewasa ini hal berkawin seperti itu pada beberapa nagari telah longgar. Tiap-tiap suku itu telah mendirikan penghulu pula dengan ampek jinihnyo. Jauh mencari suku, dakek mancari indu, sesungguhnya sejak dahulu sampai sekarang masih berlaku, artinya telah menajdi adat juga. Adat serupa ini sudah menjadi jaminan untuk pergi merantau jauh. Mamak ditinggakan, mamak ditapati. Mamak yang dirantau itulah, yaitu orang yang sesuku dengan pendatang baru itu yang menyelenggarakan atau mencarikan pekerjaan yang berpatutan dengan kepandaian atau keterampilan dan kemauan “kemenakan” yang datang itu sampai ia mampu tegak sendiri. Baik hendak beristri, sakit ataupu kematian mamak itu jadi pai tampek batanyo, pulang tampek babarito, bagi kemenakan tsb. Sebaliknya “kemenakan” itu harus pula tahu bacapek kaki baringan tangan menyelenggarakan dan memikul segala buruk baik yang terjadi dengan “mamak” nya itu. Dengan demikian akan bertambah eratlah pertalian kedua belah pihak jauh cinto-mancinto, dakek jalang manjalang. Tagak basuku mamaga suku adalah adat yang membentengi kepentingan bersama yang merasa semalu serasa. Bahkan menjadi adat pusaka bagi seluruh Minangkabau, sehingga adat basuku itu berkembang menjadi Tagak basuku mamaga suku tagak banagari mamaga nagari, tagak baluhak mamaga luhak dll. Artinya orang Minangkabau dimana saja tinggal akan selalu bertolong-tolongan, ingat mengingatkan, tunjuk menunjukkan, nasehat menasehatkan, ajar mengajarkan. Dalam hal ini mereka tidak memandang tinggi rendahnya martabat, barubah basapo batuka baangsak. Karena adat itulah orang Minangkabau berani pergi merantau tanpa membawa apa-apa, jangankan modal. Kalau pandai bakain panjang Labiah dari kain saruang Kalau pandai bainduak samang Labiah dari mande kanduang. Lebih-lebih kalau yang datang dengan yang didatangi sama-sama pandai. Padilah nan sama disiukkan sakik nan samo diarangkan. Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang. Apalagi kalau “ameh lah bapuro, kabau lah bakandang“.
BAB IV. Yang Di Pertuan Sultan Alam Muningsyah
Tuanku Raja Muning Alamsyah atau juga yang disebut Yang Dipertuan Sultan Alam Muningsyah adalah raja alam Pagaruyung yang secara luar biasa selamat dari tragedi pembunuhan di Koto Tangah, Tanah Datar pada tahun 1809 dalam masa Perang Paderi berkecamuk di Minangkabau. Tahun terjadinya tragedi ini dipertikaikan.
Christine Dobin mencatatkan dalam Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, (Inis, Jakarta 1992) tragedi tersebut terjadi pada tahun 1815, sebagaimana yang juga ditulis Rusli Amran dalam Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, (Sinar Harapan, Jakarta 1981).
Menurut A.A.Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru (Penerbit PT Pustaka Grafiti pers, Jakarta 1984 cetakan pertama) tragedi tersebut bermula dari pertengkaran antara kaum Paderi dengan kaum adat yang diwakili oleh raja beserta pembesar kerajaan lainnya. Menurut MD Mansur dkk.dalam Sejarah Minangkabau (Penerbit Bharata, Jakarta, 1970) perundingan tersebut diadakan pada tahun 1809. Padamulanya dilakukan dengan iktikad baik oleh Tuanku Lintau, telah beralih menjadi sebuah pertengkaran. Menurut Muhamad Radjab dalam bukunya Perang Paderi, (Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1964 cetakan kedua) hal itu terjadi juga pada tahun 18009.
Karena ikut campurnya Tuanku Lelo, salah seorang tokoh Paderi yang ambisius dari Tapanuli Selatan. Beberapa orang dari keluarga raja seperti Tuanku Rajo Naro, Tuanku di Talang dan seorang putra raja lainnya dituduh tidak menjalankan aqidah Islam secara benar, oleh karena itu mereka anggap kapir dan harus dibunuh. Perundingan berubah menjadi pertengkaran dan berlanjut menjadi pembunuhan. Semua rombongan raja beserta Basa Ampek Balai dan para penghulu lainnya terbunuh. Daulat Yang Dipertuan Muningsyah dapat menyelamatkan dengan cara yang ajaib sekali. Baginda bersama cucu perempuannya Puti Reno Sori menghindar ke Lubuk Jambi Kuantan.
Menurut silsilah raja-raja Pagaruyung, Puti Reno Sori bersaudara dengan Sultan Alam Bagagar Syah, pada masa yang sama menyingkir ke Padang. Sultan Alam Bagagar Syah, Puti Reno Sori dan tiga saudara mereka lainnya adalah anak dari Tuan Gadih Puti Reno Janji dan ayahnya Yang Dipertuan Fatah. Sewaktu Sultan Alam Bagagar Syah dinobatkan menjadi raja alam menggantikan datuknya Sultan Alam Muningsyah, saudara sepupunya Sultan Abdul Jalil yang berada di Buo dikukuhkan menjadi Raja Adat dengan gelar Yang Dipertuan Sembahyang.A.A. Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru, mencatat bahwa Daulat Yang Dipertuan Muningsyah wafat pada 1825 dalam usia 80 tahun. Baginda makamkan di pemakaman raja-raja Minangkabau, ustano rajo di Pagaruyung.
BAB V. Daulat Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah, Raja Alam Pagaruyung
Berdasarkan Silsilah Ahli Waris Daulat yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung, Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah yang dikenal juga dengan panggilan Yang Dipertuan Hitam mempunyai empat orang saudara; Puti Reno Sori, Tuan Gadih Tembong, Tuan Bujang Nan Bakundi dan Yang Dipertuan Batuhampar, hasil perkawinan dari Daulat yang Dipertuan Sultan Alam Muningsyah (II) yang juga dikenal dengan kebesarannya Sultan Abdul Fatah Sultan Abdul Jalil (I) dengan Puti Reno Janji Tuan Gadih Pagaruyung XI.
Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah menikah pertama kali dengan Siti Badi’ah dari Padang mempunyai empat orang putera yaitu: Sutan Mangun Tuah, Puti Siti Hella Perhimpunan, Sutan Oyong (Sutan Bagalib Alam) dan Puti Sari Gumilan.
Dengan isteri keduanya Puti Lenggogeni (kemenakan Tuan Panitahan Sungai Tarab) mempunyai satu orang putera yaitu Sutan Mangun (yang kemudian menjadi Tuan Panitahan SungaiTarab salah seorang dari Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung).Sutan Mangun menikah dengan Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII (anak Puti Reno Sori Tuan Gadih Pagaruyung XII dan kemenakan kandung dari Sultan Alam Bagagarsyah).
Dengan isteri ketiganya Tuan Gadih Saruaso (kemenakan Indomo Saruaso, salah seorang Basa Ampek Balai Kerajaan Pagaruyung) mempunyai putera satu orang: Sutan Simawang Saruaso (yang kemudian menjadi Indomo Saruaso).
Dengan isteri keempatnya Tuan Gadih Gapuak (kemenakan Tuan Makhudum Sumanik) mempunyai putera dua orang yaitu Sutan Abdul Hadis (yang kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik salah seorang Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung) dan Puti Mariam. Sutan Abdul Hadis mempunyai delapan orang putera yaitu: Sutan Badrunsyah, Puti Lumuik, Puti Cayo Lauik, Sutan Palangai, Sutan Buyung Hitam, Sutan Karadesa, Sutan M.Suid dan Sutan Abdulah. Puti Mariam mempunyai dua orang putera : Sutan Muhammad Yakub dan Sutan Muhammad Yafas (kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik)
Adik perempuan dari Daulat Sultan Alam Bagagarsyah yaitu Puti Reno Sori yang kemudian dinobatkan menjadi Tuan Gadih Pagaruyung XII menikah dengan saudara sepupunya Daulat Yang Dipertuan Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang II Raja Adat Pagaruyung, mempunyai seorang puteri yaitu Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung XIII. Puti Reno Sumpu dengan suami pertamanya Sutan Ismail Raja Gunuang Sahilan mempunyai seorang puteri: Puti Sutan Abdul Majid. Sedangkan dengan suami keduanya: Sutan Mangun Tuan Panitahan Sungai Tarab (putera dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai seorang puteri: Puti Reno Saiyah Tuan Gadih Mudo (Tuan Gadih ke XIV).
Puti Reno Saiyah ini menikah dengan Sutan Badrunsyah Penghulu Kepala Nagari Sumanik (putera dari Sutan Abdul Hadis dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera empat orang yaitu: Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam Tuan Gadih Ke XV, Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang, Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek dan Sultan Ibrahim Tuanku Ketek.
Puti Reno Aminah dengan suami pertamanya Datuk Rangkayo Basa, Penghulu Kepala Nagari Tanjung Sungayang mempunyai seorang puteri: Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang (Tuan Gadih Pagaruyung XVI) dan dengan suami keduanya Datuk Rangkayo Tangah dari Bukit Gombak mempunyai putera satu orang: Sutan Usman Tuanku Tuo.
Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang menikah dengan Sutan Muhammad Thaib Datuk Penghulu Besar (ibunya Puti Siti Marad adalah cucu dari Sutan Abdul Hadis dan cicit dari Sultan Alam Bagagarsyah, sedangkan ayahnya Sutan Muhammad Yafas adalah anak dari Puti Mariam dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera enam orang: Puti Reno Soraya Thaib, Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Sutan Muhammad Thaib Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Puti Reno Yuniarti Thaib, Sutan Muhammad Farid Thaib, Puti Reno Rahimah Thaib.
Sutan Usman Tuanku Tuo menikah dengan Rosnidar dari Tiga Batur (cicit dari Sutan Mangun anak Sutan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera delapan orang: Puti Rahmah Usman, Puti Mardiani Usman, Sutan Akmal Usman Khatib Sampono, Sutan M .Ridwan Usman Datuk Sangguno, Sutan Rusdi Usman Khatib Muhammad, Puti Rasyidah Usman, Puti Widya Usman, Sutan Rusman Usman, Puti Sri Darma Usman.Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang tidak mempunyai putera.
Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek menikah dengan Ibrahim Malin Pahlawan dari Bukit Gombak mempunyai putera tiga orang: Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah, Puti Reno Fatima Zahara Tuan Gadih Etek dan Sutan Ismail Tuanku Mudo.Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah menikah dengan Sy.Datuk Marajo dari Pagaruyung mempunyai seorang putera : Sutan Syafrizal Tuan Bujang Muningsyah Alam.
Puti Reno Fatima Zahara menikah dengan Sutan Pingai Datuk Sinaro Patiah Tanjung Barulak (adalah cicit dari Puti Fatimah dan piut dari Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang) mempunyai putera delapan orang: Sutan Indra Warmansyah Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Sutan Indra Firmansyah, Sutan Indra Gusmansyah, Puti Reno Endah Juita, Sutan Indra Rusmansyah, Puti Reno Revita, Sutan Nirwansyah Tuan Bujang Bakilap Alam, Sutan Muhammad Yusuf.
Sutan Ismail Tuanku Mudo menikah dengan Yusniar dari Saruaso (adalah cicit dari Yam Tuan Simawang anak Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera tujuh orang: Sutan Fadlullah, Puti Titi Hayati, Sutan Satyagraha, Sutan Rachmat Astra Wardana, Sutan Muhammad Thamrinul Hijrah, Puti Huriati, Sutan Lukmanul Hakim.
Sutan Ibrahim Tuanku Ketek dengan isteri pertamanya Dayang Fatimah dari Batipuh (kemenakan Tuan Gadang Batipuh) mempunyai seorang putera: Sutan Syaiful Anwar Datuk Pamuncak; dengan istri keduanya Nurlela dari Padang mempunyai seorang putera: Sutan Ibramsyah dan isteri ketiganya Rosmalini dari Buo mempunyai puteri dua orang: Puti Roswita dan Puti Roswati.
Dari kutipan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung dapat dilihat bahwa ahli waris baik berdasarkan garis matrilineal maupun patrilineal adalah anakcucu dari Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII yang sampai sekarang mewarisi dan mendiami Istano Si Linduang Bulan di Balai Janggo Pagaruyung Batusangkar.
Setelah mamaknya Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap Belanda pada tanggal 2 Mei 1833 dan dibuang ke Batavia dan ayahnya Daulat Yang Dipertuan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang mangkat di Muara Lembu, maka Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu dijemput oleh Datuk-datuk Yang bertujuh untuk kembali ke Pagaruyung melanjutkan tugas mamak dan sekaligus tugas ayahnya sebagai Raja Alam dan Raja Adat.
Sesampainya di Pagaruyung, ternyata tidak ada lagi istana yang berdiri di Pagaruyung karena telah dibumi hanguskan. Kemudian pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk mendirikan istananya di Gudam atau di Kampung Tengah atau di Balai Janggo. Beliau memilih mendirikan istananya di Balai Janggo dengan alasan dekat dengan padangnya, Padang Siminyak (diceritakan oleh cucu beliau Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam kepada penulis). Nama Istana Si Linduang Bulan kembali dipakai (nama istana tempat kediaman Raja Pagaruyung sejak dulu) untuk nama istana yang baru itu, sekaligus sebagai pengganti dari istana-istana raja Pagaruyung yang terbakar semasa Perang Paderi.
Istana Si Linduang Bulan ini kemudian terbakar lagi pada tanggal 3 Agustus 1961. Atas prakarsa Sutan Oesman Tuanku Tuo ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung beserta anak cucu dan keturunan; Tan Sri Raja Khalid dan Raja Syahmenan dari Negeri Sembilan, Azwar Anas Datuk Rajo Sulaiman, Aminuzal Amin Datuk Rajo Batuah, bersama-sama Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Timbang Pacahan, Kapak Radai dari Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung serta Basa Ampek Balai dan Datuk Nan Batujuh Pagaruyung, Istana Si Linduang Bulan dibangun kembali dan diresmikan pada tahun 1989.
Sejarah Alam Minangkabau
Materi Sejarah Minangkabau ini di download dari situs http://www.minangkabau.info/
” Budaya adalah ayat - ayat Allah SWT yang tidak tertulis ”
Daftar IsiA. Lintasan Sejarah Minangkabau
Pengantar
Zaman Mula Sejarah Minangkabau
Zaman Minangkabau Timur
Maharajo Dirajo
Suri Dirajo, Cati Bilang Pandai dan Indo Jati
Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang
Masa Pemerintahan Adityawarman
Kerajaan Pagaruyung Sesudah Adityawarman
Kedatangan Bangsa Barat Ke Minangkabau
Pembaharuan Agama Islam
B. Alam Minangkabau
Pengertian Alam
Lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago
luhak
Rantau
C. Adat Minangkabau
Pengertian Adat
Pendapat-Pendapat Mengenai Nama Minangkabau
D. Nagari
Asal Kata Nagari
Asal Nagari Menurut Pertumbuhannya
Nagari Nan Ampek
Ikatan Kekeluargaan Dalam Nagari Nan Ampek
Syarat Berdirinya Sebuah Nagari
Kebesaran Nagari
Perhiasan Nagari
Pagaran Nagari
Batasan Nagari
Sistem Pemerintahan Nagari
E. Undang - Undang
Undang – Undang
Undang-Undang Nan Ampek
Cupak Nan Duo
Kato Nan Ampek
F. Sistem Kekerabatan
Pengantar Sistem Kekerabatan
Garis Kekerabatan dan Kelompok-Kelompok Masyarakat
perkawinan
Peranan Ibu Dan Bapak dalam Keluarga
Mamak Dan Kemenakan
G. Sistem Kepemilikan
Harta
Pewarisan Harta Pusaka
Tanah Ulayat
Pemindahan Hak
H. Limpapeh Rumah Gadang
Bundo Kanduang
Keutamaan Bundo Kanduang Di Minangkabau
Sifat-Sifat Bundo Kanduang
Martabat Seorang Bundo Kanduang
Larangan Dan Pantangan Bundo Kanduang
Tugas Dan Kewajiban Bundo Kanduang
Pembagian Bundo Kanduang Menurut Adat Minangkabau
Sumbang Salah Menurut Adat
I. Adat Sopan Santun
Adat Sopan Santun
pengertian Adat Sopan Santun
Adat Sopan Santun Dalam Hidup Bermasyarakat
Adat Sopan Santun Yang Dimiliki Seseorang Individu
Sifat - Sifat Terpuji Dalam Hidup Bermasyarakat
J. Nilai Dasar Adat Minangkabau
Nilai - Nilai Dasar Adat Minangkabau
Pandangan Terhadap Hidup
Pandangan Terhadap Kerja
Pandangan Terhadap Waktu
Hakekat Pandangan Terhadap Alam
Pandangan Terhadap Sesama
K. Elok Nagari Dek Penghulu
Elok Nagari Dek Penghulu
Sistem Kepemimpinan Setelah Islam
Tingkat - Tingkat Kepemimpinan
Penghulu
Kepustakaan
· LKKAM Kabupaten Agam, 2002, “Materi Pembekalan Ninik Mamak se-Kabupaten Agam Tahun 2002“, Lubuk Basung.
A. Lintasan Sejarah Minangkabau
Pengantar Sejarah Alam Minangkabau Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun. A. LINTASAN SEJARAH MINANGKABAUA.1. PengantarUntuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun.Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki Gunung Emas, Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan Gadang, Koto Tinggi, Ampang Gadang.
Seperti umumnya kebudayaan megalit lainnya berawal dari zaman batu tua dan berkembang sampai ke zaman perunggu. Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong. Megalit seperti yang terdapat disana juga tersebar ke arah timur, juga terdapat di Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu, Birma dan Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang sama pula.
Menurut para ahli bahwa pendukung kebudayaan Dongsong adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara dalam dua gelombang. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi. Gelombang kedua datang kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.
Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut oleh para ahli dengan bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Barak, Toraja, Dayak, Nias, Mentawai dan lain-lain. Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis dan lain-lain.
Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau adalah bangsa melayu muda dengan kebudayaan megalit yang mulai tersebar di Minangkabau kira-kira tahun 500 SM sampai abad pertama sebelum masehi yang dikatakan oleh Dr. Bernet Bronson. Jika pendapat ini kita hubungkan dengan apa yang diceritakan oleh Tambo mengenai asal-usul orang Minangkabau kemungkinan cerita Tambo itu ada juga kebenarannya.
Menurut sejarah Iskandar Zulkarnain Yang Agung menjadi raja Macedonia antara tahun 336-323 s.m. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur.
Tokoh Iskandar Zulkarnai dalam Tambo Minangkabau secara historis tidak dapat diterima kebenarannya, karena dia memang tidak pernah sampai ke Minangkabau. Di samping di dalam sejarah Melayu, Hikayat Aceh dan Bustanul Salatin Tokoh Iskandar Zulkarnain ini juga disebut-sebut, tetapi secara historis tetap saja merupakan seorang tokoh legendaris.
Sebaliknya tokoh Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh Tambo sebagai salah seorang anak Iskandar Zulkarnain, kemungkinan merupakan salah seorang Panglima Iskandar Zulkarnain yang ditugaskan menguasai pulau emas (Sumatera), termasuk di dalamnya daerah Minangkabau. Dialah yang kemudian menurunkan para penguasa di Minangkabau, jika kita tafsirkan apa yang dikatakan Tambo berikutnya. Sayangnya Tambo tidak pernah menyebutkan tentang kapan peristiwa itu terjadi selain ”pada masa dahulunya” yang mempunyai banyak sekali penafsirannya.
Tambo juga mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau dari puncak gunung merapi. Hal ini tidak dapat diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi seperti kebiasaan orang Minangkabau sendiri harus dicari tafsirannya, karena orang Minangkabau selalu mengatakan sesuatu melalui kata-kata kiasan, ”tidak tembak langsung”. Tafsirannya kira-kira sebagai berikut: Sewaktu Maharajo Dirajo sedang berlayar menuju pulau emas dalam mengemban tugas yang diberikan oleh Iskandar Zulkarnain, pada suatu saat dia melihat daratan yang sangat kecil karena masih sangat jauh. Setelah sampai ke daratan tersebut ternyata sebuah gunung, yaitu gunung merapi yang sangat besar. Tetapi oleh pewaris Tambo kemudian gunung Merapi sangat kecil yang mula-mula kelihatan itulah yang dikatakan sebagai tanah asal orang Minangkabau. Selanjutnya cerita Tambo yang demikian, juga masih ada sampai sekarang pada zaman kita ini.
Ada baiknya kita kutip apa yang dikatakan Tambo itu sebagai yang dikatakan oleh Sang Guno Dirajo: ”…Dek lamo bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, yang sagadang talua itiak, sadang dilamun-lamun ombak…” (sesudah lama berlayar akhirnya kelihatanlah pulau yang sangat kecil kira-kira sebesar telur itik yang kelihatan hanya timbul tenggelam sesuai denga turun naiknya ombak).
Selanjutnya dikatakan:”…Dek lamo - bakalamoan aia lauik basentak turun, nan gosong lah basentak naiak, kok dareklah sarupo paco, namun kaba nan bak kian, lorong kapado niniak kito, lah mendarek maso itu, iyo dipuncak gunuang marapi…” (karena sudah lama berlayar dan pasang sudah mulai surut, gosong yang kecil tadi makin besar, daratan yang kelihatan itu tak obahnya seperti perca, maka dinamakanlah daratan itu dengan pulau perca yang akhirnya didarati oleh nenek moyang kita yang mendarat kira-kira di gunung merapi).
Peristiwa inilah yang digambarkan oleh mamangan adat Minangkabau berbunyi “dari mano titiak palito, dari telong nan barapi, dari mano asal niniak kito, dari puncah gunuang marapi” (dari mana titik pelita dari telong yang berapi, dari mana datang nenek kita, dari puncak gunung merapi). Mamangan adat ini sampai sekarang masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau..
Bagi kita yang menarik dari cerita Tambo ini bukanlah mengenai arti kata-katanya melainkan adalah cerita itu memberikan indikasi kepada kita tentang nenek moyang orang Minangkabau asalnya datang dari laut, (dengan berlayar) yang waktunya sangat lama. Kedatangan nenek moyang inilah yang dapat disamakan dengan masuknya nenek moyang orang Minangkabau. Dengan demikian masuknya nenek moyang orang Minangkabau dapat diperkirakan waktu kedatangannya: yaitu antara abad kelima sebelum masehi dengan abad pertama sebelum masehi, sesuai dengan umur kebudayaan megalit itu sendiri.
Kembali kepada permasalahan pokok pada bagian ini, maka menurut Soekomo, tradisi Megalit pada mulanya merupakan batu yang dipergunakan sebagai lambang untuk memperingati seorang kepala suku. Sesudah kepala suku itu meninggal, akhirnya peringatan itu berubah menjadi penghormatan yang lambat laun menjadi tanda pemujaan kepada arwah nenek moyang.
Bagaimana dengan megalit yang terdapat di Minangkabau? Barangkali fungsi pemujaan terhadap arwah nenek moyang masih tetap berlanjut, seperti Menhir lainnya di Indonesia. Tetapi jika kita hubungkan Menhir itu dengan kehidupan orang Minangkabau yang berkaitan dengan Medan Nan Bapaneh, yaitu tempat duduk bermusyawarah dalam masyarakat Minangkabau sudah mulai berkembang pada zaman pra sejarah, khususnya di zaman berkembangnya tradisi menhir di Minangkabau dan keadaan ini sudah berlangsung semenjak sebelum abad masehi.
Dari peninggalan menhir dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemuka masyarakat sekarang di tempat-tempat menhir itu terdapat seperti di Sungai Belantik, Andieng, Kubang Tungkek, Tiakat, Padang Japang, Limbanang, Talang Anau, Padang Kandih, Balubus, Koto Tangah, Simalanggang, Taeh Baruh, Talago, Ampang Gadang seperti yang dikatakan oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:”Bahwa ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang. Di gelanggang ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu Tagak yang kemudian kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian berubah fungsi, sebahagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang dan sebahagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama Medan nan Bapaneh”.
Karena sudah ada kehidupan bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat sudah hidup menetap dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang utama. Hal ini sesuai pula dengan kehidupan para pendukung kebudayaan Dongsong yang sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra sejarah Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan ditemui peninggalan-peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan bertani tersebut.
Diwaktu itu sudah dapat diperkirakan bahwa antara Adat Nan Sabana Adat sudah hidup di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, mengingat akan ajaran adat Minangkabau itu sendiri, yaitu Alam Takambang jadikan guru. Sedangkan Adat Nan Sabana Adat berisi tentang hukum-hukum alam yang tidak berubah dari dahulu sampai sekarang seperti dikatakan: Adat api mambaka, adat aia mamabasahi, adat tajam malukoi, adat runciang mancucuak dan sebagainya (Adat api membakar, adat air membasahi, adat tajam melukai, adat runcing mencucuk).
Demikian juga dengan Adat Nan Diadatkan sudah ada waktu itu, yaitu sebagai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Barangkali di zaman inilah berlakunya apa yang dikenal dengan hukum adat yang bersifat zalim dan tidak boleh dibantah yaitu hukum adat yang bernama “Simumbang Jatuah” (simumbang jatuh), mumbang kalau jatuh tidak dapat dikembalikan ke tempatnya lagi. Selanjutnya juga ada hukum yang bernama “si gamak-gamak”, yaitu suatu aturan yang tidak dipikirkan masak-masak. Disamping itu juga terdapat hukum yang dinamakan “Si lamo-lamo” yaitu siapa kuat siapa di atas persis seperti hukum rimba.
Barangkali hukum yang dinamakan “Hukum Tariak Baleh” juga berlaku di zaman ini. Hukum Tariak Baleh hampir sama dengan hukum Kisas dalam agama Islam, misalnya orang yang membunuh harus di hukum bunuh pula.
Keempat macam hukum adat itu memang sesuai dengan zamannya dimana belum terlalu banyak pertimbangan terhadap suatu yang dihadapi dalam kehidupan. Sampai kapan berlakunya hukum ini mungkin berlangsung sampai masuknya agama Islam pertama ke Minangkabau kira-kira abad ketujuh.
Zaman Purba Minangkabau berakhir dengan masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu kira-kira abad ketujuh, dimana buat pertama kali di Sumatra Barat sudah didapati kelompok masyarakat Arab tahun 674. Kelompok masyarakat Arab ini sudah menganut agama Islam, bagaimanapun rendahnya pendidikan waktu itu, tentu sudah pandai tulis baca, karena ajaran Islam harus diperoleh dari Qur’an dan Hadist Nabi yang semuanya sudah dituliskan dalam bahasa Arab. Dengan demikian diakhir bahagian ketiga abad ketujuh itu zaman purba Minangkabau sudah berakhir. A.2. Zaman Mula Sejarah MinangkabauYang dimaksud dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang meliputi kurun waktu antara abad pertama Masehi dengan abad ketujuh. Dalam masa tersebut masa pra Sejarah masih berlanjut, tetapi masa itu dilengkapi dengan adanya berita-berita tertulis tertua mengenai Minangkabau seperti istilah San-Fo Tsi dari berita Cina yang dapat dibaca sebagai Tambesi yang terdapat di Jambi. Di daerah Indonesia lainnya juga sudah terdapat berita atau tulisan seperti kerajaan Mulawarman di Kutai Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa Barat. Namun dari berita-berita itu belum banyak yang dapat kita ambil sebagai bahan untuk menyusun sebuah ceritera sejarah, karena memang masih sangat sedikit sekali dan masing-masingnya seakan-akan berdiri sendiri tanpa ada hubungan sama sekali. Untuk zaman ini Soekomono memberikan nama zaman Proto Sejarah Indonesia, yaitu peralihan dari zaman Prasejarah ke zaman sejarah.Berita dai Tambo dan ceritera rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara semu mengenai hal ini, yaitu hanya menyebutkan tentang kehidupan orang Minangkabau zaman dahulu. Dalam hal ini Tambo mengemukakan sebagai berikut: ”…tak kalo maso dahulu…”…(Diwaktu zaman dahulu),. ”…dari tahun musim baganti, dek zaman tuka – batuka, dek lamo maso nan talampau, tahun jo musim nan balansuang…” (Karena tahun musim berganti, karena zaman bertukar-tukar, karena masa yang telah lewat, tahun dengan musim yang berlangsung),”… Antah barapo kalamonyo…”(entah berapa lamanya), dari ungkapan waktu yang demikian memang sulit sekali menentukan kapan terjadinya. Pengertian zaman dahulu itu saja sudah mengandung banyak kemungkinan tafsiran dan sangat relatif.
Barangkali kehidupan zaman mula sejarah Minangkabau ini hampir sama dengan kehidupan pada zaman Pra sejarahnya, hanya saja di akhir zaman mula sejarah ini agama Islam sudah masuk ke Minangkabau dan sudah ada berita-berita dari Cina. Dapat dikatakan, bahwa cerita sejarah untuk zaman mula sejarah Minangkabau ini sangat sedikit sekali, bahkan dapat dikatakan merupakan zaman yang paling gelap dalam sejarah Minangkabau. Demikian gelapnya untuk menghubungkan zaman Pra Sejarah dengan zaman sejarahnya kita tidak mempunyai sumber sama sekali, bukan lagi kabur, tetapi sudah gelap gulita.
A.3. Zaman Minangkabau TimurIstilah ini dipinjam dari istilah yang dikemukakan oleh Drs. M. D. Mansoer dkk, dalam bukunya, Sejarah Minangkabau, dikatakannya Minangkabau mengalami dua periode, yaitu periode Minangkabau Timur yang berlangsung antara abad ketujuh sampai kira-kira tahun 1350 dan periode Minangkabau Pagaruyung antara tahun 1347-1809.
Dikatakannya, bahwa kerajaan-kerajaan lama, pusat perdagangan lada, pusat perekonomian, politik dan budaya yang pertama timbul dan berkembang di Minangkabau adalah di lembah aliran Batang Hari dan Sungai Dareh. Daerah itu berkembang pada abad ke tujuh sampai pertengahan abad keempat belas.
Secara geografis memang pantai timur pulau Sumatera lebih memungkinkan untuk dilayari oleh kapal-kapal dagang yang dapat berlayar sampai masuk jauh kepedalaman. Daerah pantai Sumatera Timur ini pulalah yangdahulu didatangi oleh nenek moyang orang Minangkabau yang berlayar sampai ke daerah Mahat di Kabupaten Lima Puluh Kota sebelah Utara. Pedagang-pedagang Islam yang mula-mula ke Minangkabau juga melalui daerah ini, sehingga perdagangan diwaktu periode Minangkabau ini menjadi sangat ramai sekali, bukan itu saja, Islam pertama pun masuk dari sini, baik yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Arab sendiri, maupun yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Persia, Hindustan, Cina, India dan lain-lain.
Pada permulaan abad Masehi perpindahan bangsa-bangsa dari utara ke selatan telah berakhir. Mereka telah menetap di sepanjang pantai kepulauan Nusantara. Setelah mereka menempati kepulauan Nusantara dan hidup secara terpisah, akhirnya karena lingkungan alam kehidupan bahasa yang mereka pergunakan pun mengalami perubahan seperti yang kita kenal sekarang dengan suku-suku bangsa Minangkabau, Jawa, Bugis, Madura, Sunda, Bali dan lain-lain.
Pada zaman purbakala, di Asia terdapat dua jalan perdagangan yang ramai antara Barat dan Timur, yaitu melalui darat dan laut, jalan yang melalui darat disebut jalan Sutera, mulai dari daratan Cina melalui Asia Tengah sampai ke Laut Tengah. Perhubungan darat ini sudah mulai semenjak abad kelima sebelum Masehi. Waktu dimulainya perpindahan bangsa Melayu Muda ke arah selatan. Perhubungan darat ini terutama menghubungkan antara Cina dengan Benua Eropah (Romawi) diwaktu itu dibawah raja Iskandar Zulkarnain dan selanjutnya dengan menyinggahi daerah sepanjang perjalanan seperti India, Persia dan lain-lain.
Perhubungan laut ialah dari Cina dan Indonesia melalui selat Malaka terus ke Teluk Persia dan Laut Tengah. Perhubungan laut ini menjadi sangat ramai pada awal abad pertama Masehi, karena jalan darat mulai tidak aman lagi. Sejak waktu itulah daerah-daerah di Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa menjadi daerah perhubungan antara perdagangan Arab, India dan Cina. Keadaan ini memungkinkan pedagang-pedagang Indonesia, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang Minangkabau ikut aktif berdagang.
Dengan aktifnya pedagang-pedagang Minangkabau dalam perdagangan dengan India, maka terbuka pulalah perhubungan antara kebudayaannya. Dari sini dapat kita lihat masuknya pengaruh Hindu ke Minangkabau melalui daerah pantai timur pulau Sumatera. Dalam abad kedua setelah Indonesia mempunyai perhubungan dengan India dan selama enam abad berturut-turut pengaruh Hindu di Indonesia besar sekali.
Jadi karena keadaan, pedagang-pedagang Minangkabau ikut terlibat dalam kancah lalu lintas perdagangan yang ramai di Asia. Keadaan itu pulalah yang menyebabkan Minangkabau di daerah aslinya sendiri yang jauh terletak di pedalaman.
Karena selat Malaka sangat ramai dilalui oleh kapal-kapal dagang dari Cina dan India maka salah satu bandar diselat itu bertumbuh dengan pesatnya sehingga akhirnya umbuh menjadi kerajaan Melayu. Kerajaan Melayu ini menurut para ahli berpusat di daerah Jambi yang sekarang dan diperkirakan berdirinya pada awal abad ketujuh Masehi. Nama Melayu pertama kalinya muncul dalam cerita Cina. Dalam buku Tseh Fu-ji Kwei diterangkan bahwa pada tahun 664 dan 665 kerajaan Melayu mengirimkan utusan kenegeri Cina untuk mempersembahkan hasilnya pada raja Cina. Pada waktu itu daerah Minangkabau merupakan daerah penghasil merica yang utama di dunia.
Rupanya Minangkabau Timur tidak lama memegang peranan dalam perdagangan di Selat Malaka, kareana sesudah muncul kerajaan Melayu dan kemudian sesudah kerajaan Melayu jatuh di bawah kekuasaan Sriwijaya, Minangkabau Timur menjadi bahagian dari kerajan Sriwijaya.
Dengan berdirinya kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya kelihatan peranan Minangkabau Timur tidak ada lagi, karena berita-berita dari Cina hanya ada menyebut tentang Melayu dan Sriwijaya saja.
Dalam satu buku yang disusun oleh It-Tsing dapat kita ketahui bahwa dalam tahun 690 Masehi, Sriwijaya meluaskan daerah kekuasaannya dan kerajaan Melayu dapat ditaklukannya sebelum tahun 692 Masehi.
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai, negara perniagaan dan perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat. Selama lebih kurang enam abad kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan utama di daerah nusantara waktu itu. Namun sementara itu di Jawa mulai timbul kerajaan-kerajaan baru yang lama-kelamaan menjadi saingan utama dari kerajaan Sriwijawa dalam merebut hegemoni perdagangan di wilayah nusantara yang menyebabkan lemahnya Sriwijaya.
Dalam hal ini lawan kerajaan Sriwijaya yang utama adalah kerajaan Kediri di Jawa Timur dan Kerajaan Colamandala di India selatan. Dari kelemahan Sriwijaya itu, rupanya kerajaan Melayu dapat melepaskan diri dari Sriwijaya dan dapat memperkuat diri kembali dengan memindahkan ibu kota kerajaan ke daerah hulu Sungai Batang Hari. Kerajaannya dinamakan dengan Darmasraya. Hal ini dapat diketahui dari prasasti Padang Candi tahun 1286 yang terdapat di Sungai Langsat Si Guntur dekat Sungai Dareh dalam Propinsi Sumatera Barat sekarang.
Pada tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari (kerajaan yang menggantikan kekuasaan Kediri di Jawa Timur) mengirimkan suatu ekspedisi militer ke Sumatera dalam rangka melemahkan kekuasaan Sriwijaya dan memperluas pengaruhnya di Nusantara. Ekspedisi ini dikenal dalam sejarah Indonesia dengan nama ekspedisi Pamalayu.
Sebagai hasil dari ekspedisi itu, maka Kertanegara pada tahun 1286 mengirimkan acara Amogapasa ke Sumatera sebagai hadiah untuk raja dan rakyat kerajaan Melayu. Dengan kejadian ini dapat diartikan, bahwa semenjak peristiwa itu kerajaan Melayu sudah mengikuti kerajaan Singosari dan menjadi daerah tumpuan untuk menghadapi kemungkinan serangan dari negeri Cina akibat peristiwa penghinaan terhadap utusan Cina sebelumnya.
A.4. Maharajo DirajoDalam hal ini timbul suatu kontradiksi keterangan-keterangan, yaitu nama Maharajo Dirajo sudah disebutkan sebelumnya sebagai salah seorang panglima Iskandar Zulkarnain yang tugaskan menguasai Pulau Emas. Kalau memang demikian keadaannya, lalu bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang kita bicarakan ini yang waktunya sudah sangat jauh berbeda. Dalam hal ini kita tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Maharajo Dirajo yang sudah kita bicarakan hanya merupakan perkiraan saja dan belum tentu benar. Tetapi berdasarkan logika berfikir kira-kira diwaktu itulah hidupnya Maharajo Dirajo jika dihubungkan dengan nama Iskandar Zulkarnain. Sedangkan Maharajo Dirajo yang sedang dibicarakan sekarang ini adalah seperti yang dikatakan Tambo Alam Minangkabau yang mana yang benar perlu penelitian lebih lanjut. Dalam kesempatan ini kita hanya ingin memperlihatkan betapa rawannya penafsiran dari data yang diberikan Tambo Alam Minangkabau.
Maharajo Dirajo yang sekarang dibicarakan adalah Maharajo Dirajo seperti yang dikatakan Tambo. Dalam hal ini kita ingin mengangkat data dari Tambo menjadi Fakta sejarah Minangkabau.
Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu Maharajo Alif, Maharajo Dipang, dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi), tetapi Josselin de Jong mengatakan, menjadi raja di Turki. Maharajo Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo menjadi raja di Pulau Emas (Sumatera).
Kalau kita melihat kalimat-kalimat Tambo sendiri, maka dikatakan sebagai berikut: “…Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek nobat, nan sorang Maharajo Alif, nan pai ka banua Ruhun, nan sorang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan sorang Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko…” (pada masa dahulu kala, ada tiga orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke negeri Ruhun, yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina, dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau Sumatera).
Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka tahunnya hanya dengan istilah “Masa dahulu kala” itulah yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama sekali, sedangkan waktu yang mencakup zaman dahulu kala itu sangat banyak sekali dan tidak ada kepastiannya. Kita hanya akan bertanya-tanya atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat jawaban yang pasti. Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar, tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka tahun selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.
Percantuman raja Romawi dalam Tambo menurut hemat kita hanya usaha dari pembuat Tambo untuk menyetarakan kemasyhuran raja Minangkabau dengan nama raja di luar negeri yang memang sudah sangat terkenal di seantero penjuru dunia.
Dengan mensejajarkan kedudukan raja-raja Minangkabau dengan raja yang sangat terkenal itu maka pandangan rakyat Minangkabau terhadap rajanya sendiri akan semakin tinggi pula. Disini kita bertemu dengan satu kebiasaan dunia Timur untuk mendongengkan tuah kebesaran rajanya kepada anak cucunya.
Gelar Maharajo Dirajo sendiri terlepas ada tidaknya raja tersebut, menunjukan kebesaran kekuasaan rajanya, karena istilah itu berarti penguasa sekalian raja-raja yang tunduk di bawah kekuasaannya. Josselin de Jong mengatakan Lord of the Word atau Raja Dunia.
Dalam sejarah Indonesia gelar Maharaja Diraja tidak hanya menjadi milik orang Minangkabau saja, melainkan juga ada raja lain yang bergelar demikian seperti Karta Negara dari Singasari dengan gelar Maharaja Diraja seperti yang tertulis pada arca Amogapasa tahun 1286 sebagai atasan dari Darmasraya yang bernama raja Tribuana.
Tambo mengatakan bahwa Maharajo Dirajo adalah raja Minangkabau pertama. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Srimaharaja Diraja yang disebut dalam tambo sebagai raja Minangkabau yang pertama itu tidak lain dari Adityawarman sendiri yang menyebut dirinya dengan Maraja Diraja. Tentang Adityawarman mempergunakan gelar Maharaja Diraja memang semua ahli sudah sependapat, karena Adityawarman sendiri telah menulis demikian dalam prasasti Pagaruyung.
Dari gelar Maharaja Diraja yang dipakai Adityawarman menunjukan kepada kita bahwa sewaktu Adityawarman berkuasa di Minangkabau tidak ada lagi kekuasaan lain yang ada di atasnya, atau dengan perkataan lain dapat dikatakan pada waktu itu Minangkabau sudah berdiri sendiri, tidak berada di bawah kekuasaan Majapahit atau sudah melepaskan diri dari Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah ahli waris dari Singasari. Sedangkan Singasari pernah menundukkan melayu Darmasraya, tentu berada di bawah kekuasaan Singasari - Majapahit itu, maka untuk melepaskan diri dari Singasari - Majapahit itu Adiyawarman memindahkan pusat kekuasaannya kepedalaman Minangkabau dan menyatakan tidak ada lagi yang berkuasa di atasnya dengan memakai gelar Maharaja Diraja.
Ada sesuatu pertanyaan kecil yang perlu dijawab, yaitu apakah tidak ada lagi kemungkinan bahwa gelar Maharajo Dirajo itu merupakan gelar keturunan bagi raja-raja Minangkabau, sehingga diwaktu Adityawarman menjadi raja di Minangkabau dia merasa perlu mempergunakan gelar tersebut agar dihormati oleh rakyat Minangkabau. Kalau memang demikian, maka kita akan dapat menghubungkannya dengan Maharajo Dirajo yang kita bicarakan kehidupannya sebelum abad Masehi. Tetapi hal ini kembali hanya berupa dugaan saja yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Kalau kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Maharaja Diraja itu sama dengan Adityawarman, maka satu kepastian dapat dikatakan bahwa kerajaan Minangkabau baru bermula pad tahun 1347, yaitu pada waktu Adityawarman menjadi raja di Minangkabau yang berpusat di Pagaruyuang. Logikanya tentu sebelum Adityawarman, belum ada raja di Minangkabau, kalau ada baru merupakan daerah-daerahyang dikuasai oleh seorang kepala suku saja. Kalau pendapat itu tidak dapat diterima kebenarannya, maka tokoh Maharajo Dirajo yang disebut di dalam Tambo itu masih tetap merupakan seorang tokoh legendaris dalam sejarah Minangkabau dan hal ini akan tetap mengundang bermacam-macam pertanyaan yang pro dan kontra.
Kemungkinan gelar Maharajo sudah dipergunakan sebelum kedatangan Adityawarman memang ada. Tetapi apakah gelar itu merupakan gelar keturunan dari raja-raja Minangkabau masih belum lagi dapat diketahui dengan pasti. Yang jelas pada waktu sekarang ini, banyak gelar para penghulu di Sumatera Barat yang memakai gelar Maharajo sebagai gelar kepenghulunya disamping nama lainnya, seperti Dt. Maharajo, Dt. Marajo, Dt. Maharajo Basa, Dt. Maharajo Dirajo.
Kelihatan gelar tersebut dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai gelar pusaka yang turun-menurun. Sebaliknya raja-raja Pagaruyung sendiri tidak mempergunakan gelar tersebut sebagai pusaka kerajaannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gelar Maharajo Dirajo tersebut merupakan gelar pusaka Minangkabau dan sudah ada sebelum Adityawarman menjadi raja di Pagaruyung. Barangkali memang gelar itu diturunkan dari Maharajo dirajo seperti disebutkan dalam Tambo itu.A.5. Suri Dirajo, Cati Bilang Pandai Dan Indo JatiKetiga nama ini hanya terdapat dalam Tambo atau kaba yang banyak terdapat dalam masyarakat Sumatera Barat sekarang ini. Dari situlah bersumbernya ketiga nama tersebut, sedangkan sumber-sumber sejarah lainnya seperti prasasti dan tulisan lainnya tidak ada menyebut ketiga nama tersebut. Namun, sama halnya dengan nama Iskandar Zulkarnaen rakyat Sumatera Barat mempercayai ketiga nama tersebut sebagai cikal bakal orang Minangkabau.
Menurut Tambo Zuriat Sultan Iskandar Zulkarnaen, sewaktu Maharajo bertolak dari Tanah Basa, (India Selatan) memimpin satu rombongan yang terdiri dari: Suri Dirajo, Indo Jati, Cati bilang Pandai, dan beberapa rombongan dari Campa, Siam, Kambai dan lain-lain berlayar mengarungi lautan Indonesia lalu menetap ke gunung Merapi. P. E. Josselin de Jong juga menyebutkan nama Cati Bilang Pandai sebagai penasehat dari Maharajo.
Perlu dijelaskan bahwa nama Indo Jati sering disebutkan dengan sebutan yang berbeda, walaupun orangnya itu juga. Hamka menyebutkan dengan nama Indo Jelita atau dengan nama lain Ceti Reno Sudah. PE Josselin de Jong menyebut dengan nama Indo Calita. Sedangkan untuk kedua nama yang lain tidak ada perbedaan sebutan. Sekarang timbul pertanyaan: Apakah ketiga nama itu betul-betul merupakan nenek moyang orang Minangkabau di zaman dahulu dengan pengertian benar-benar ada dalam sejarah Minangkabau. Jawabannnya mudah saja, karena tidak ada bukti-bukti lain yang akan mendukung, maka secara historis ketiga tokoh ini hanya merupakan tokoh legendaris belaka dalam sejarah Minangkabau. Keberadaannya sebagai tokoh sejarah tidak dapat dibuktikan.
Namun demikian, hampir semua Tambo Minangkabau sependapat mengatakan bahwa Suri Dirajo dan Cati Bilang Pandai adalah tokoh yang melambangkan orang pandai, ahli pikir, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang kemasyarakatan. Segala sesuatu yang dikerjakan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari salah seorang kedua tokoh itu, demikian besar pengaruhnya di samping Maharajo Dirajo sendiri.
Sedangkan menurut Hamka, tokoh Indo Jati yang disebutnya sebagai Indra Jati melambangkan sesuatu yang luhur asal-usulnya. Dalam kepercayaan Hindu nama Indra adalah nama seorang dewa yang merupakan salah seorang dewa utama Trimurti. Indra adalah salah satu penjelmaan Wisnu sebagai Dewa Matahari. Gelar dewa jelas menunjukkan seorang kesatria yang berdarah luhur. Jadi tokoh Indo Jati adalah salah seorang tokoh wanita kesatria dari rombongan Maharajo Dirajo.
A.6. Datuk Ketumanggungan Dan Datuk Perpatih Nan SabatangSiapa tokoh ini?. Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris sejarah Minangkabau?. Atau apakah keduanya merupakan tokoh historis sejarah Minangkabau yang benar-benar ada dan hidup dalam sejarah Minangkabau pada masa dahulu. Penjelasan berikut ini dapat menjawab beberapa pertanyaan itu.
Suku bangsa Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan penuh keyakinan, bahwa kedua orang tokoh itu merupakan pendiri Adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup subur di dalam masyarakat Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat sendiri maupun yang ada diperantauan.
Demikian kokohnya sendi-sendi kedua adat itu sehingga tidak dapat digoyahkan oleh bermacam-macam pengaruh dari luar, dengan pengertian akan segera mengadakan reaksi membalik apabila terjadi perbenturan terhadap unsur-unsur pokok adat itu. Hal ini telah dibuktikan oleh perputaran masa terhadap kedua adat itu.
Ada petunjuk bagi kita bahwa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah Minangkabau. Pitono mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan tokoh Dewa Tuhan Perpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang sama.
Dijelaskan selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai salah seorang terkemuka dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu adalah sama dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.
Kalau pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa tokoh Datuk Perpatih Nan Sabatang itu adalah merupakan salah seorang tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, karena namanya juga tertulis pada salah satu prasasti sebagai peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada.
Bukti lain mengenai kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah Minangkabau adalah dengan adanya Batu Batikam di Dusun Tuo Lima Kaum, Batusangkar. Dikatakan dalam Tambo, bahwa sebagai tanda persetujuan antara Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini sebagai peringatan bagi anak cucunya dikemudian hari. Sebelum peristiwa ini terjadi antara kedua tokoh adat itu terjadi sedikit kesalah pahaman. Adanya Batu Batikam itu yang sampai sekarang masih terawat dengan baik, dan ini membuktikan kepada kita bahwa kedua tokoh itu memang ada dalam sejarah Minangkabau, bukan sekedar sebagai tokoh dongeng saja sebagaimana banyak ahli-ahli barat mengatakannya.
Bukti lain dalam hikayat raja-raja Pasai. Dikatakan bahwa dalam salah satu perundingan dengan Gajah Mada yang berhadapan dari Minangkabau adalah Datuk Perpatih Nan Sabantang tersebut. Hal ini membuktikan pula akan kehadiran tokoh itu dalam sejarah Minangkabau.
Di Negeri Sembilan, sebagai bekas daerah rantau Minangkabau seperti dikatakan Tambo, sampai sekarang juga dikenal Adat Perpatih. Malahan peraturan adat yang berlaku di rantau sama dengan peraturan adat yang berlaku di daerah asalnya. Hal ini juga merupakan petunjuk tentang kehadiran Datuk Parpatih Nan Sabantang dalam sejarah Minangkabau. Menurut pendiri adat Koto Piliang oleh Datuk Ketumanggungan dan Adat Budi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Sesudah ternyata terbukti bahwa kedua tokoh itu benar-benar hadir dalam sejarah Minangkabau, maka ada hal sedikit yang kurang benar yang dikemukakan oleh Pinoto. Dia mengatakan bahwa kedua tokoh itu merupakan pembesar dengan kedudukan menteri dalam kerajaan Adiyawarman. Tetapi pencantuman kedua tokoh itu dalam Prasasti Adityawarman tidaklah berarti bahwa menjadi menterinya, melainkan untuk menghormatinya, karena sebelum Adityawarman datang, kedua tokoh itu sudah ada di Minangkabau yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Maka oleh Adityawarman untuk menghormati kedudukan kedua tokoh itu dicantumkan nama mereka pada prasastinya. Tidak sembarang orang yang dapat dicantumkan di dalam prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul sangat terhormat.
Walaupun Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan sudah merupakan tokoh historis dalam sejarah Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti yang dikemukakan, akan tetapi keduanya bukanlah merupakan raja Minangkabau, melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini, yaitu adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago, bagi masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang sedemikian, jauh lebih tinggi martabatnya dari kedudukan seorang raja yang manapun.
Antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan adalah dua orang bersaudara satu Ibu berlainan Ayah. Karena ada sedikit perbedaan dari apa yang dikatakan Tambo mengenai siapa ayah dan ibu dari kedua orang itu, rasanya pada kesempatan ini tidak perlu dibicarakan perbedaan itu. Tetapi dari apa yang dikatakan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa ayah Datuk Ketumanggungan adalah suami pertama ibunya (Indo Jati). Berasal dari yang berdarah luhur atau dari keturunan raja-raja. Sedangkan ayah dari Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah Cati Bilang Pandai suami kedua ibunya yang berasal dari India Selatan juga. Perbedaan darah leluhur dari keduanya itu menyebabkan nantinya ada sedikit perbedaan dalam ajaran yang disusun mereka. Kesimpulannya adalah bahwa kedua orang itu yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, bukan tokoh legendaris sebagaimana yang dianggap oleh kebanyakan penulis-penulis barat.A.7. Masa Pemerintahan AdityawarmanAdityawarman bukan raja di Minangkabau, melainkan adalah raja di kerajaan Pagaruyung yang merupakan salah satu periode dari sejarah Minangkabau yang sangat panjang. Agar tidak mendatangkan keraguan kepada kita, maka kerajaan yang diperintahkan oleh Adityawarman kita namai kerajaan Pagaruyung saja.
Untuk mengetahui siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil dari ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275, bukan hasil secara keseluruhan melainkan hasil yang berhubungan dengan asal-usul Adityawarman saja.
Setelah ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu rombongan ekspedisi kembali ke Jawa, mereka membawa Dara Jingga dan Dara Petak. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah diganti oleh kerajaan Majapahit. Maka Dara Petak diambil sebagai selir oleh Raden Wijaya yang menjadi raja pertama kerajaan Majapahit. Dari perkawinan ini nanti akan melahirkan seorang putra yang pada waktunya akan menjadi raja di Majapahit. Puteranya tersebut bernama Jayanegara.
Dara Jingga kawin dengan salah seorang pembesar kerajaan Majapahit dan melahirkan seorang putera yang nama kecilnya. Aji Mantrolot. Aji Mantrolot ini yang kemudian dikenal sebagai Adityawarman. Dengan demikian Adityawarman merupakan keturunan dari dua darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan Sumatera dan satu darah bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua yaitu Jayanegara adalah saudara sepupu dari Adityawarman.
Mengenai asal-usul Adityawarman ini, Muhammad Yamin mengatakan bahwa Adityawarman berasal dari tanah Minangkabau di Pulau Sumatera. Tempat lahirnya terletak di Siguntur dekat nagari Sijunjung. Diwaktu muda dia berangkat ke Majapahit, tempat dia dididik disekeliling pusat pemerintahan dalam suasan keraton Majapahit. Kesempatan yang diperdapatnya itu berasal dari turunannya. Ayah bundanya mempunyai hubungan darah dengan permaisuri raja Majapahit yang pertama.
Pendapat Muhammad Yamin mengenai tempat kelahiran Adityawarman dan hubungan kekeluargaannya dengan Kerajaan Majapahit diperkuat oleh Pinoto yang mengatakan, bahwa Adityawarman adalah seorang putera Sumatera yang lahir di daerah aliran Sungai Kampar dan besar kemungkinan dalam tubuhnya mengalir darah Majapahit. Hubungan dengan kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan politis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Adityawarman dilahirkan di Kerajaan Melayu atau Minangkabau dan dibesarkan di Kerajaan Majapahit. Di keraton Majapahit Adityawarman di didik bersama saudara sepupunya Jayanegara yang kemudian menjadi raja Majapahit yang kedua. Di keraton Majapahit kedudukan Adityawarman sangat tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah seorang menteri atau perdana menteri yang diperolehnya bukan saja karena hubungan darahnya dengan raja Majapahit tetapi juga berkat kecakapannya sendiri. Tahun 1325 raja Jayanegara mengirim Adityawarman segbagai utusan ke negeri Cina yang berkedudukan sebagai duta. Bersama dengan Patih Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas wilayah kekuasaan Majapahit di Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan pemberontakan Sadeng dengan suatu perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim kembali menjadi utusan ke negeri Cina dengan kedudukan sebagai duta. Pada tahun 1334 Adityawarman pulang kembali ke negeri asalnya. Karena dengan lahir dan menjadi besarnya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman utnuk menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat.
Adityawarman adalah cucu dari raja Melayu karena ibunya Dara Jingga adalah anak Tribuana raja Mauliwarmadewa, raja kerajaan Melayu. Oleh karena itu, Adityawarman berhak atas takhta kerajaan Melayu tersebut. Timbulnya keinginan Adityawarman untuk mendirikan kerajaan Melayu yang mandiri, disebabkan karena kegagalan usaha patih Gajah Mada menguasai selat malaka. Pada tahun 1347 Adityawarman menjadi raja kerajaan Melayu yang dipusatkan di Darmasraya. Hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian belakan arca Amogapasa dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu Adityawarman memakai nama : “Udayadityawarman Pratakramarajendra Mauliwarmadewa” dan bergelar “Maharaja Diraja” dengan memakai gelar tersebut rupanya Adityawarman hendak menyatakan bahwa dia merupakan raja yang berdiri sendiri dan tidak ada lagi raja yang berada di atasnya. Dengan demikian dia sudah bebas dari Majapahit. Sebagai realisasi dari pernyataan tersebut, maka Adityawarman pada tahun 1349 memindahkan pusat kerajaan dari Darmasraya ke Pagaruyung di Batusangkar.
Selama pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa kerajaan Pagaruyung ke puncak kejayaannya. Dalam usaha memajukan kerajaan itu Adityawarman mengadakan hubungan dengan luar negeri, yaitu dengan Cina. Tahun 1357, 1375, 1376 Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Selama masa pemerintahannya di Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai 1376, kerajaan Pagaruyung berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat dikatakan pada waktu itu Indonesia bagian barat dikuasai kerajaan Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit.
Adityawarman sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di Majapahit serta telah pula pernah menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, tentulah paham betul dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian corak pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung. Hal ini ternyata pada prasasti yang ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang oleh Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.
Menurut Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung, sedangkan daerah lain di Minangkabau masih tetap berada dibawah pengawasan Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk ketumanggungan dengan pemerintahan adatnya. Dengan demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat dianggap sebagai lambang kekuasaan saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya tetap berada di tangan kedua tokoh pemimpin adat tersebut, sehingga hal ini menyebabkan kemudian pengaruh budha yang dibawa ke Pagaruyung tidak dapat tempat di hati rakyat Minangkabau, karena prinsipnya rakyat Minangkabau sendiri secara langsung tidak berkenalan dengan pengaruh-pengaruh tersebut. Disamping itu, selama menjadi raja Pagaruyung yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau tetap hukum Adat Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam hal ini Tambo mengatakan bahwa Adityawarman walaupun sudah menjadi raja yang besar, tetap saja merupakan seorang sumando di Minangkabau, artinya kekuasaannya sangat terbatas.
Barangkali hal ini memang disengaja oleh Datuk yang berdua itu, mengingat pada mulanya kekuasaan Adityawarman yang sangat besar sekali. Agar kehidupan masyarakat Minangkabau jangan terpengaruh oleh kebiasaan yang dibawa oleh Adityawarman maka kedua Datuk itu memagarinya dengan pengaturan kekuasaan, Adityawarman boleh menjadi raja yang sangat besar, tetapi kekuasaannya hanya terbatas di sekitar istana saja, sedangkan kekuasaan langsung terhadap masyarakat tetap dipegang oleh mereka. Sesudah meninggalnya Adityawarman yang memang merupakan seorang raja yang besar dan kuat, kekuasaan kerajaan Pagaruyung mulai luntur. Kelihatannya dengan pengaturan yang dilakukan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang berdua dengan Datuk Ketumanggungan tidak memberi kesempatan kepada pengganti Adityawarman yang menganut agama budha untuk berkuasa seterusnya.
Adityawarman sebagai raja Pagaruyung merupakan seorang raja yang paling banyak meninggalkan prasasti. Hampir dua puluh buah prasasti yang ditinggalkannya. Diantaranya yang telah dibaca seperti Prasasti Arca Amogapasa, Kuburajo, Saruaso I dan II, Pagaruyung, Kapalo Bukit Gambak I dan II, Banda Bapahek, dan masih banyak lagi yang belum dapat dibaca.
Diantara yang telah dapat dibaca itu menyatakan kebesaran dan kemegahan kerajaan Pagaruyung, barangkali diantara raja-raja yang pernah ada di Indonesia tidak ada seorang pun yang pernah meninggalkan prasasti sebanyak yang telah ditinggalkan oleh Adityawarman. Sayangnya di Minangkabau kebiasaan seperti itu hanya dilakukan oleh Adityawarman seorang raja. Sebelum dan sesudahnya Adityawarman tidak ada yang membiasakan sehingga sampai sekarang kebanyakan data sejarah Minangkabau agak gelap.
Sesudah Adityawarman meninggal kerajaan Pagaruyung yang tidak lagi mempunyai raja yang merupakan keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan Ananggawarman yang dikatakan dalam salah satu prasasti Adityawarman sebagai anaknya tidak pernah memerintah, karena kekuasaan Adityawarman langsung digantikan oleh Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam. Dari sebutan raja itu saja, kelihatannya sesudah Adityawarman raja yang menggantikannya sudah menganut agama Islam.
Adanya Sultan Bakilap Alam sebagai raja Minangkabau Pagaruyung dijelaskan oleh Tambo Minangkabau. Dengan sudah dianutnya agama Islam oleh pengganti Adityawarman, maka hilang pulalah pengaruh agama Budha yang dianut Adityawarman di Minangkabau.
Sampai dengan pertengahan abad ke-16 sesudah Adityawarman kita tidak memperoleh keterangan yang lengkap mengenai kerajaan Pagaruyung. Rupanya sesudah Adityawarman meninggal, kerajaan Majapahit kembali berusaha untuk menguasai Pagaruyung serata Selat Malaka. Tetapi usaha tersebut gagal kaena angkatan perang kerajaan Majapahit yang datang dari arah pantai timur dikalahkan oleh tentara Pagaruyung dalam pertempuran di Padang Sibusuk tahun 1409.
Akibat pertempuran Padang Sibusuk itu membawa akibat yang sangat besar dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung selanjutnya. Semasa Adityawarman menjadi raja, pemerintahan bersifat sentralisasi menurut sistem di Majapahit. Tetapi sesudah pertempuran Padang Sibusuk itu, nagari-nagai di Minangkabau membebaskan diri dari kekuasaan yang berpusat di Pagaruyung.
A.8. Kerajaan Pagaruyung Sesudah AdityawarmanDari berita Tambo Pagaruyung dapat diketahui bagaiman keadaan Pagaruyung sesudah Adiyawarman demikian pula wawancara dengan S.M. Taufik Thaib SH. Dikatakan mengenai silisilah raja-raja Pagaruyung adalah sebagai berikut:
Adityawarman (1339-1376)
Ananggawarman (1376)
Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam
Yang Dipertuan Sultan Pasambahan
Yang Dipertuan Sultan Alif gelar Khalifafullah
Yang Dipertuan Sultan Barandangan
Yang Dipertuan Sultan Patah (Sultan Muning II)
Yang Dipertuan Sultan Muning III
Yang Dipertuan Sultan Sembahwang
Yang Dipertuan Sultan Bagagar Syah
Yang Dipertuan Gadih Reni Sumpur 1912
Yang Dipertuan Gadih Mudo (1912-1915)
Sultan Ibrahim 1915-1943 gelar Tuanku Ketek
Drs. Sultan Usman 1943 (Kepala Kaum Keluarga Raja Pagaruyung)
Dari data ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sesudah Adityawarman raja-raja di Pagaruyung sudah menganut agama Islam sesuai dengan sebutan Sultan (pengaruh Islam).
Bila Sultan Bakilap Alam memerintah tidak disebutkan oleh tambo tersebut, tetapi dapat diperkirakan sesudah tahun 1409, karena sampai 1409 pemerintahan Pagaruyung masih bersifat sentralisasi seperti sewaktu pemerintahan Adityawarman. Sesudah tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah desentralisasi dengan pengertian bahwa nagari-nagari sudah mempunyai otonom penuh dan pemerintahan di Pagaruyung sudah mulai melemah.
Selanjutnya dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari terlihat adanya dua tingkat pemerintahan yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo Tigo Selo dimaksudkan adalah tiga orang raja yang sekaligus berkuasa di bidang masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk pimpinan, Raja Adat berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas kerajaan dibidang adat. Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan melaksanakan urusan keagamaan kerajaan. Gambaran ini adalah lembaga pemerintahan di tingkat raja.
Sedangkan ditingkat Menteri dan Dewan Menteri yang dimaksud dengan Basa Ampek Balai terdiri dari:1. Bandaro (Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri2. Tuan Kadi di Padang Ganting yang mengurus masalah Agama3. Indomo di Saruaso mengurus masalah keuangan4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan rantau
Masyarakat nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik sampai ketingkat kerajaan. Dibidang adat dari nagari terus ke Bandaro dan kalau tidak putus juga diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau tidak putus juga masalahnya diteruskan lagi kepada Raja Alam di Pagaruyung yang akan memberikan kata putus. Begitu juga dalam bidang agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di Padang Ganting, terus kepada raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan bula tidak selesai juga akhirnya sampai kepada raja Alam yang akan memberikan kata putusnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk bersama dengan pembentukan Lembaga Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai bersamaan pula dengan pengangkatan dan pengiriman “Sultan Nan Salapan” ke daerah rantau Minangkabau yaitu daerah-daerah: Aceh, Palembang, Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Indra Pura, Rembau Sri Menanti dan lain-lain. Pengangkatan dan pelantikan itu dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam.
Dalam hal ini Bahar Dt Nagari Basa, mengatakan bahwa Basa Ampek Balai pada mulanya terdiri dari Bandaro di Sungai Tarap, yang menjadi Payung Panji Koto Piliang; Datuk Makhudum di Sumanik yang menjadi Pasak Kungkung Koto Piliang; Indomo di Saruaso yang menjadi Amban Puruak (bendahara) Koto Piliang; Tuan Gadang di Batipuah yang menjadi Harimau Campo Koto Piliang, yaitu Menteri Pertahanan Koto Piliang. Kemudian setelah Islam masuk ke Minangkabau dimasukkan Tuan Kadhi sebagai anggota Basa Ampek Balai dan “Tuan Gadang” di Batipuh ke luar dari keanggotaan itu dengan berdiri sendiri sebagai orang yang bertanggung jawab dalam masalah pertahanan Koto Piliang. Semuanya itu terdapat di Tanah Datar yang merupakan pucuk pimpinan di Minangkabau. Selanjutnya dikatakan yang menjadi kebesaran Luhak Agam adalah Parik Paga dan Kebesaran Lima Puluh Kota adalah Penghulu.
Dari keterangan itu yang dapat diambil kesimpulan bahwa Lembaga Basa Ampek Balai sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkabau dengan bukti seperti yang dikatakan oleh Datuk Nagari Basa dengan susunan yang sedikit berbeda dari apa yang kita kenal kemudian. Baru sesudah Islam masuk ke Minangkabau kedudukan Tuan Kadhi diserahkan untuk mengurus masalah agama Islam. Selanjutnya susunan Basa Ampek Balai dengan Tuan Gadang sudah seperti yang kita kenal sekarang ini.
Mengenai susunan pemerintahan Pagaruyung sesudah Adityawarman ini diuraikan dengan lengkap dalam cerita Cindua Mato. Cindua Mato (Candra Mata) adalah sebuah cerita rakyat Minangkabau yang menggambarkan tentang keadaan pemerintahan Minangkabau Pagaruyung di zaman kebesarannya. Walaupun dalam cerita ini mengenai raja-raja yang diceritakan sudah ada unsur legendanya, tetapi yang mengenai masalah lainnya sama dengan apa yang dikatakan Tambo.
Menurut Tambo, Basa Ampek Balai pernah memegang kedudukan Raja Alam yaitu sesudah Sultan Alif meninggal, karena orang yang akan menggantikan Sultan Alih masih belum dewasa. Buat sementara dipegang oleh Basa Ampek Balai.A.9. Kedatangan Bangsa Barat Ke MinangkabauHubungan Minangkabau dengan bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan bangsa Portugis. Menurut berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan Melayu yang datang ke Malaka. Kedatangan utusan tersebut adalah untuk membicarakan masalah perdagangan dengan bangsa Portugis yang waktu itu menguasai Malaka. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau Sumatera, maka hubungan dagang dengan Portugis itu terputus.
Dengan bangsa Belanda hubungan Minangkabau terjadi pertama kali kira-kira tahun 1600, diwaktu Pieter Both memerintahkan Laksamana Muda Van Gaedenn membeli lada ke pantai barat pulau Sumatera. Waktu itu beberapa pelabuhan yang ada disana menolak permintaan Belanda dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh.
Pada waktu Sultan Iskandar Muda dari kerajaan Aceh meninggal dunia, maka kekuasaan kerajaan Aceh menjadi lemah, sehingga mulai tahun 1636 sewaktu Iskandar Muda meninggal dunia, daerah-daerah Pesisir Barat kerajaan Pagaruyung mulai membebaskan diri dari kekuasaan Aceh dan melakukan hubungan dagang langsung dengan Belanda, seperti yang dilakukan oleh raja-raja Batang Kapas, Salido, Bayang di Pesisir Selatan.
Pada tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis dan semenjak itu Belanda mulai memperbesar pengaruhnya di pesisir barat Sumatera untuk menggantikan kerajaan Aceh. Mula-mula Belanda mendirikan kantor dagangnya di Inderapura terus ke Salido. Kemudian di Pulau Cingkuak juga didirikan lojinya pada tahun 1664 untuk mengatasi perlawanan rakyat pesisir yang dikoordinir oleh Aceh.
Untuk melepaskan pesisir barat pulau Sumatera dari pengaruh Aceh, maka Belanda melakukan perjanjian dengan raja Pagaruyung yang merupakan pemilik sesungguhnya dari daerah tersebut. Oleh raja Pagaruyung Belanda diberikan kebebasan untuk mengatur perdagangannya pada daerah tersebut. Perjanjian itu dilakukan pihak Belanda dengan Sultan Ahmad Syah pada tahun 1668.
Mulai saat itu Belanda, melangkah selangkah demi selangkah menanamkan pengaruhnya di Sumatera Barat dengan jalan politik pecah belahnya yang terkenal itu. Disatu pihak mereka menimbulkan perlawanan rakyatnya terhadap raja atau pemimpinnya sesudah itu mereka datang sebagai juru selamat dengan mendapat imbalan yang sangat merugikan pihak Minangkabau, sehingga akhirnya seluruh Minangkabau dapat dikuasai Belanda.
Semenjak abad ke 17 terjadi persaingan dagang yang sangat memuncak antara bangsa Belanda dengan bangsa Inggris di Indonesia. Pada tahun 1684 Belanda dapat mengusir Inggris berdagang di Banten. Sebaliknya Inggris masih dapat bertahan di daerah Maluku dan menguasai perdagangan di daerah pesisir Sumatera Bagian Barat. Pada tahun 1786 berhasil menguasai pulau Penang di Selat Malaka sehingga mereka dapat mengontrol jalan dagang diseluruh pulau Sumatera. Sumatera mulai dibanjri oleh barang-barang dagang Inggris. Tentu saja hal ini sangat merugikan pihak Belanda.
Tahun 1780-1784 pecah perang antara Inggris dan Belanda di Eropa. Peperangan ini merambat pula sampai ke daerah-daerah koloni yang mereka kuasai di seberang lautan. Pada tahun 1781 Inggris menyerang kedudukan Belanda di Padang dari pusat kedudukannya di Bengkulu, dan Padang serta benteng Belanda di Pulau Cingkuak di hancurkan.
Dengan demikian pusat perdagangan berpindah ke Bengkulu. Setelah terjadi perjanjian antara kerajaan Belanda dengan kerajaan Inggris maka Inggris terpaksa mengembalikan seluruh daerah yang sudah direbutnya.
Bangsa Prancis yang pernah datang ke Sumatera Barat, yaitu ketika bajak laut yang dipimpin oleh Kapten Le Me dengan anak buahnya mendarat di Pantai Air Manis Padang. Hal ini terjadi pada tahun 1793. mereka dapat merebut Kota Padang dan mendudukinya selama lima hari. Setelah mereka merampok kota, mereka pergi lagi. Pada tahun 1795 Inggris merebut Padang lagi, karena terlibat perang lagi dengan Belanda.
A.10. Pembaharuan oleh Agama Islam Seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa pada pertengahan abad ke tujuh agama Islam sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun pada waktu itu perkembangan Islam di Minangkabau masih boleh dikatakan merupakan usaha yang kebetulan saja, karena adanya pedagang-pedagang yang beragama Islam datang ke Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya terbatas pada daerah-daerah yang didatangi oleh pedagang-pedagang Islam, yaitu di sekitar kota-kota dagang di pantai Timur Sumatera.
Masuknya agama Islam itu ada yang secara langsung dibawa oleh pedagang Arab dan ada yang dibawa oleh Pedagang India atau lainnya, artinya tidak langsung datang dari negeri Arab. Perkembangan yang demikian berlangsung agak lama juga, karena terbentur kepentingan perkembangan Politikk Cina dan Agama Budha.
Di kerajaan Pagaruyung sampai dengan berkuasanya Adityawarman, agama yang dianut adalah agama Budha sekte Baiwara dan pengaruh agama Budha ini berkisar di sekitar lingkungan istana raja saja. Tidak ada bukti-bukti yang menyatakan kepada kita bahwa rakyat Minangkabau juga menganut agama tersebut.
Secara teratur agama Islam pada akhir abad ke tiga belas yang datang dari Aceh. Pada waktu itu daerah-daerah pesisir barat pulau Sumatera dikuasai oleh kerajaan Aceh yang telah menganut agama Islam. Pedagang Islam sambil berdagang sekaligus mereka langsung menyiarkan agama Islam kepada setiap langganannya. Dari daerah pesisir ini, yaitu daerah-daerah seperti Tiku, Pariaman, Air Bangis dan lain-lain dan kemudian masuk daerah perdalaman Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau terjadai secara damai dan nampaknya agama Islam lebih cepat menyesuaikan diri dengan anak nagari. Barangkali itulah sebabnya bekas-bekas peninggalan Hindu dan Budha tidak banyak kita jumpai di Minangkabau, karena agama itu tidak sampai masuk ketengah-tengah masyarakat, tetapi hanya disekitar istana saja. Habis orang-orang istana itu, maka habis pulalah bekas-bekas pengaruh Hindu dan Budha.
Perkembangan agama Islam menjadi sangat pesat setelah di Aceh diperintah oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al Kahar (1537-1568 ), karena Sultan tersebut berhasil meluaskan wilayahnya hampir ke seluruh pantai barat Sumatera.
Pada permulaan abad ketujuh belas, seorang ulama dari golongan Sufi penganut Tarikat Naksabandiyah mengunjungi Pariaman dan Aceh. Kemudian beberapa lama menetap di Luhuk Agam dan Lima Puluh Kota. Juga dalam ke abad ke-17 itu di Ulakan Pariaman bermukim seorang ulama Islam yang bernama Syeh Burhanuddin, murid dari Syeh Abdurauf yang berasal dari Aceh. Syeh Burhanuddin adalah penganut Tarikat Syatariah.
Murid-murid Syeh Burhanuddin itulah yang menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau dan mendirikan pusat pengajian di Pamansiangan Luhak Agam. Sebaliknya ulama-ulama dari Luhak Agam ini pergi memperdalam ilmunya ke Ulakan Pariaman, yaitu tempat yang dianggap sebagai pusat penyebaran dan penyiaran Islam di Minangkabau. Dari Luhak Agam inilah nanti lahir ulama-ulama besar yang akan membangun agama Islam selanjutnya di Minangkabau seperti Tuanku Nan Tuo dari daerah Cangkiang Batu Taba Ampek Angkek Agam. Tuanku Imam Bonjol sendiri merupakan salah seorang murid Tuanku Nan Renceh Kamang Mudiak Agam.
Pada awalnya agama Islam di Minangkabau tidak dijalankan secara ketat, karena disamping melaksanakan agama Islam para penganut juga masih menjalankan praktek-praktek adat yang pada dasarnya bertentangan dengan ajaran agama Islam itu sendiri.
Keadaan ini ternyata kemudian setelah datangnya beberapa orang ulama Islam dari Mekkah yang menganut paham Wahabi. Yaitu suatu paham dimana penganut-penganutnya melaksanakan ajaran Islam secara murni. Di tanah Arab sendiri tujuan gerakan kaum Wahabi adalah utnuk membersihkan Islam dari Anasir-anasir bid’ah. Kaum Wahabi menganut Mazhab Hambali dan bertujuan kembali kepada pelaksanaan Islam berdasarkan Qur’an dan Hadist.
Pada waktu beberapa ulama di Minangkabau, seperti Tuanku Pamansiangan, Tuanku Nan Tuo di Cangkiang, Tuanku Nan Renceh dan lain-lain juga sudah melihat ketidak beresan dalam pelaksanaan praktek ajaran Islam di Minagkabau dan ingin melakukan pembersihan terhadap hal tersebut, tetapi mereka belum menemukan bagaimana caranya yang baik. Baru pada tahun 1803 dengan kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, sesudah mereka itu menceritakan bagaimana yang dilakukan oleh gerakan Wahabi disana (di Makkah).
Untuk melaksanakan pembersihan terhadap ajaran agama Islam itu Tuanku Nan Renceh membentuk suatu badan yang dinamakan “Harimau Nan Salapan” terdiri dari delapan orang tuanku yang terkenal pada waktu itu di Minangkabau. Diakhir tahun 1803 mereka memproklamirkan berdirinya gerakan Paderi dan mulai saat itu mereka melancarkan gerakan permurnian agama Islam di Minangkabau.
Mula-mula Paderi memulai gerakan pembersihannya di daerah Luhak Agam yang tidak terlalu lama telah mereka kuasai, dengan berpusat di Kamang Mudik. Selanjutnya gerakan Paderi melancarkan kegiatannya ke daerah Lima Puluh Kota dan di daerah ini mereka mendapat sambutan yang baik dari rakyat Lima Puluh Kota.
Gerakan kaum paderi baru mendapat perlawanan yang berat dalam usahanya di Luhak Tanah Datar, karena pada waktu itu Luhak Tanah Datar masih merupakan pusat kerajaan Pagaruyung yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan tertentu secara tradisional. Tetapi berkat kegigihan para pejuiang paderi akhirnya daerah Luhak Tanah Datar dapat juga diperbaharui ajaran Islam nya berdasarkan Qur’an dan Hadist, selanjutnya gerakan kaum paderi mulai meluas ke daerah rantau.
Pada waktu itu di daerah Pasaman muncul seorang ulama besar yang membawa rakyatnya ke arah pembaharuan pelaksanaan ajaran Islam sesuai dengan Alquran dan Hadist Nabi. Karena gerakannya berpusat di Benteng Bonjol maka ulama tersebut akhirnya terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol, yang semulanya terkenal dengan nama Ahmad Sahab Peto Syarif.
Setelah di daerah Minangkabau dapat diperbaharaui ajaran Islamnya oleh kaum paderi, maka gerakan selanjutnya menuju keluar daerah Minangkabau, yaitu ke daerah Tapanuli Selatan yang akhirnya juga dapat dikuasai dan menyebarkan ajaran Islam di sana.
Setelah Tuanku Nan Renceh meninggal tahun 1820, maka pimpinan gerakan paderi diserahkan kepada Tuanku Imam Bonjol dan diwaktu itu gerakan paderi sudah dihadapkan kepada kekuasaan Belanda yang semenjak tahun 1819 sudah menerima kembali daerah Minangkabau dari tangan Inggris.
Karena terjadinya perbenturan kedua kekuatan di Minangkabau yaitu antara kekuatan paderi di satu pihak yang berusaha dengan sekuat tenaga menyebarkan agama Islam secara murni dengan kekuatan Belanda di lain pihak yang ingin meluaskan pengaruhnya di Minangkabau maka terjadilah ketegangan antara kedua kekuatan itu dan akhirnya terjadi perang antara kaum paderi dengan Belanda di Minangkabau. Perang ini terjadi antara tahun 1821-1833. pada akhirnya rakyat Minangkabau melihat bahwa kekuatan Belanda tidak hanya ditujukan kepada gerakan kaum paderi saja, maka pada tahun 1833 rakyat Minangkabau secara keseluruhannya juga mengangkat senjata melawan pihak Belanda. Perang ini berlangsung sampai tahun 1837.
Tetapi karena kecurangan dan kelicikan yang dilakukan pihak Belanda akhirnya peperangan itu dapat dimenangkan Belanda, dalam arti kata semenjak tahun 1837 itu seluruh daerah Minangkabau jatuh ke bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Dari masa inilah Minangkabau di rundung duka yang dalam, karena menjadi anak jajahan Belanda. Tuanku Imam ditangkap Belanda dengan tipu muslihat, dikatakan untuk berunding tetapi nyatanya Belanda menangkap beliau, dibuang semula ke Betawi, tinggal di Kampung Bali, selanjutnya dipindahkan ke Menado. Ditempat yang sangat jauh dari kampung halaman, badan yang telah sangat tua itu akhirnya dihentikan Tuhan Dari penderitaan yang berat, berpulanglah seorang Patriot Islam Minangkabau dirantau orang.
Beliau telah berjuang sekuat tenaga menegakkan Syiar Islam di Ranah Minangkabau tercinta ini, jasatnya terbujur disebuah desa kecil yang sepi bernama “Lotak” nun jauh diujung pulau Selebes, harapannya kepada kita semua anak Minangkabau, lanjutkan perjuangan beliau dengan menegakkan akidah Islam dalam kehidupan sehari-hari, jawabnya barangkali yang paling tepat bagi kita sekarang, ” Mari kita berbenar-benar menegakkan Adat Basandi Syarak-syarak Basandi Kitabullah “ dalam kehidupan kita.Home
B. Alam Minangkabau
B.1. Pengertian AlamPengertian “alam” bila diperhatikan kamus umum bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta, mengemukakan alam:1. Dunia, misalnya : alam semesta, syah alam.2. Kerajaan : daerah, nagari, misalnya : Alam Minangkabau
Dari keterangan ini dapat diambil pengertian, bahwa alam yang dimaksud oleh orang Minangkabau adalah daerah Minangkabau. Untuk menentukan mana yang termasuk alam Minangkabau dapat dilihat dari keterangan tambo. Batas-batas daerah alam Minangkabau yang dikemukakan dalam tambo dikemukakan dengan batas-batas alam. Batas-batas alam ini kadang-kadang sulit ditafsirkan dengan pengertian sekarang. Batas-batas terebut seperti dikatakan “…dari riak nan badabua, seluluak punai mati, sirangkak nan badangkang, buayo putiah daguak, taratak aia hitam, sikilang aia bangieh, sampai kadurian di takuak rajo…”.
Dari batas-batas yang dikemukakan ini tidak semuanya dapat ditafsirkan seperti nama siluluak punai mati, sirangkak nan badangkang dan lain-lain. Sedangkan taratak aia hitam dan sikilang aia bangih merupakan nama nagari yang sampai sekarang masih ditemui. Sikilang Aia Bangih adalah daerah pantai barat di Utara Sumatera Barat, sedangkan taratak aia hitam di daerah Bangko Tanah Tinggi. Riak nan badabua adalah Laut pantai Barat dari Sumatera Barat.
Bila diperhatikan peta geografis Propinsi Sumbar sekarang, maka batas-batas alam Minangkabau tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan dalam tambo Alam Minangkabau. Untuk jelasnya dapat dikemukakan, sebelah barat batasnya Samudra India, sebelah timur batasnya sialang balantak basi dan durian di takuak rajo. Sialang balantak basi berbatasan dengan Propinsi Riau. Sebelah Utara batasnya sikilang aia bangih, berbatasan dengan Sumatera Utara. Sebelah selatan batasnya taratak aia hitam adalah Muko-muko, berbatasan dengan Propinsi Bengkulu.
Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam tambo alam Minangkabau tidak dikemukakan Pulau Mentawai, maupun tempat pemukiman orang Minangkabau seperti Nagari Sembilan dan Tapak Tuan. Bila ditinjau sejarah perkembangan geografis dan perpindahan orang Minangkabau, maka alam Minangkabau terdiri dari Pusat Alam Minangkabau dan daerah rantaunya dengan batas-batas yang disebutkan di atas.
Sehubungan dengan hal tersebut, batas geografis alam Minangkabau yang dikemukakan dalam tambo dan penutur adat lainnya menunjukkan, bahwa alam Minangkabau adalah daerah pusat alam Minangkabau (Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota) dengan daerah rantauannya masing-masing. Untuk membicarakan alam Minangkabau ini kita tidak dapat melepaskan diri dari pembicaraan laras, luhak dan rantau karena satu sama lain berkaitan.
B.2. Lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago1. Asal Kata dan Pengertian Kata Kelarasan
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali terjadi kerancuan mengenai kata “lareh” dengan kata “laras”. Dalam bahas daerah Minangkabau, kata “lareh” berarti hukum, yaitu hukum adat. Jadi lareh Koto Piliang berarti Hukum Adat Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago berarti Hukum Adat Bodi Caniago. Disamping itu kata lareh berarti “daerah” seperti Lareh Nan Panjang.
Menurut kepercayaan orang Minangkabau yang berpedoman kepada tambo Alam Minangkabau, pertama sekali didirikan Lareh Nan Panjang yang berpusat di Pariangan Padang Panjang yang dianggap sebagai nagari tertua di Minangkabau. Pucuk pimpinan pada waktu itu Dt. Suri Dirajo. Nagari yang termasuk daerah Lareh Nan Panjang adalah : Guguak Sikaladi, Pariangan, Padang Panjang, Sialahan, Simabua, Galogandang Turawan, Balimbiang. Daerah ini dikatakan juga Nan Sahiliran Batang Bangkaweh, hinggo Guguak Hilia, Hinggo Bukik Tumansu Mudiak.
Semasa penjajahan Belanda daerah Minangkabau dijadikan Kelarasan yang dikepalai oleh seorang Laras atau Regent. Kelarasan bikinan penjajahan Belanda ini merupakan gabungan beberapa Nagari dan tujuannya lebih mempermudah pengontrolan oleh penjajah. Yang menjadi laras atau regent ditunjuk oleh Belanda. Setelah penjajahan Belanda berakhir, maka kelarasan bikinan Belanda ini juga lenyap tidak sesuai dengan susunan pemerintahan secara adat yang berlaku di Minangkabau.
2. Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Chaniago dengan Daerahnya.
Yang termasuk lareh Koto Piliang dengan pengertian yang memakai sistem adat Koto Piliang disebut Langgam Nan Tujuah. Langgam Nan Tujuh itu adalah sebagai berikut:
1. Sungai Tarab Salapan Batu, disebut Pamuncak Koto Piliang2. Simawang Bukik Kanduang, disebut Perdamaian Koto Piliang3. Sungai Jambu Lubuak Atan, disebut Pasak Kungkuang Koto Piliang4. Batipuah Sepuluh Koto disebut Harimau Campo Koto Piliang5. Singkarak Saniang Baka, disebut Camin Taruih Koto Piliang6. Tanjung Balik, Sulik Aia, disebut Cumati Koto Piliang7. Silungkang, Padang Sibusuak, disebut Gajah Tongga Koto Piliang
Disamping Langgam Nan Tujuh, nagari-nagari lain yang termasuk Lareh Koto Piliang adalah Pagaruyuang, Saruaso, Atar, Padang Gantiang, Taluak Tigo Jangko, Pangian, Buo, Bukik Kanduang, Batua, Talang Tangah, Gurun, Ampalu, Guguak, Padang Laweh, Koto Hilalang, Sumaniak, Sungai Patai, Minangkabau, Simpuruik, Sijangek.
Pusat pemerintahan Lareh Koto Piliang di Bungo Satangkai Sungai Tarab. Dengan demikian pusat pemerintahan sudah tidak di pariangan padang panjang lagi. Daerah-daerah yang termasuk Lareh Bodi Canago disebut juga dalam tambo “Tanjuang Nan Tigo, Lubuak Nan Tigo” :
Tanjuang Nan Tigo1. Tanjuang Alam2. Tanjuang Sungayang3. Tanjuang Barulak
Lubuak Nan Tigo1. Lubuak Sikarah di Solok2. Lubuak Simauang di Sawahlunto Sijunjung3. Lubuak Sipunai di Tanjuang Ampalu
Disamping Lubuak Nan Tigo dan Tanjuang Nan Tigo, yang termasuk Lareh Bodi Caniago juga adalah Limo Kaum XII Koto dan sembilan anak kotonya. Daerah yang termasuk XII Koto adalah: Tabek, Sawah Tengah, Labuah, Parambahan, Sumpanjang, Cubadak, Rambatan, Padang Magek, Ngungun, Panti, Pabalutan, Sawah Jauah. Sembilan Anak Koto Terdiri Dari : Tabek Boto, Salaganda, Baringin, Koto Baranjak, Lantai Batu, Bukik Gombak, Sungai Ameh, Ambacang Baririk, Rajo Dani. Pusat pemerintahan di Dusun Tuo Limo Kaum.
Suatu peninggalan Lareh Bodi Caniago yang sampai saat sekarang merupakan monumen sejarah adalah Balairung Adat yang terdapat di desa Tabek. Di Balairung Adat inilah segala sesuatu dimusyawarahkan oleh ninik mamak bodi caniago pada masa dahulu.
3. Beberapa Pendapat Tentang Lahirnya Koto Piliang dan Bodi Caniago
Mengenai lahirnya Koto Piliang dan Bodi Caniago ada beberapa versi. Datuk Batuah Sango dalam bukunya Tambo Alam Minangkabau mengemukakan sebagai berikut :
“…sesudah itu mufakatlah nenek Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Suri Dirajo hendak membagi kelarasan, maka dibagilah oleh orang yang bertiga itu menjadi dua kelarasan…”.
Adapun sebabnya dibagi dua laras negeri itu yaitu karena yang menjadi kepala atau yang punya pemerintahan ialah Datuk Ketumanggungan, dialah yang menjadi raja pada waktu itu. Sebab Datuk Ketumanggungan ini adalah anak dari raja, dan datuk perpatih ini yaitu di bawah Datuk Ketumanggungan sebagai berpangkat mangkubumi (perdana menteri) karena ia adalah orang yang pandai mengatur kerajaan sehingga negeri pariangan padang panjang menjadi besar dan sempurna peraturannya.
Dan dapat pula ia meluaskan pemerintahan samapai ke durian ditakuak rajo hingga sialang balantak basi sampai ke sipisau-pisau hanyuik hingga semuanya adalah oleh peraturan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Oleh karena itu berfikirlah Datuk Ketumanggungan akan membalas jasa usaha dari Datuk Perpatih Nan Sabatang dan mufakatlah Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang serta Datuk Suri Dirajo dengan segala penghulu-penghulu, manti dan hulubalang, sambil Datuk Ketumanggungan bersuara lebih dahulu dalam kerapatan, karena nagari sudah ramai dan peraturan sudah sempurna diatur oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, tidaklah saya dapat membalas budinya itu melainkan negeri ini saya berikan sebagian supaya boleh ia berkuasa pula memerintah dalam negeri ini.
Sesudah bicara Datuk Ketumanggungan itu, maka dijawab oleh anggota kerapatan, itulah kata tuanku yang pilihan atau kata yang tak boleh dipalingkan lagi. Sebab itulah pemerintahan Datuk Ketumanggungan bernama Koto Piliang berasal dari kota pilihan, atau dari kata yang tidak boleh dipalingkan. Pemerintahan Datuk Perpatih Nan Sabatang bernama Bodi Caniago yang berasal dari budi yang berharga.
Untuk memperoleh pengertian dari kutipan diatas adalah, bahwa pada mulanya kepala pemerintahan adalah Datuk Ketumanggungan sesudah ayahnya meninggal dunia. Sedangkan yang membantunya sehari-hari adalah adiknya yang berlainan ayah yaitu Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Berkenaan adiknya telah berrbuat baik dalam meluaskan daerah dan pemerintahan, timbulah niat saudaranya untuk membalas budi baik adiknya Datuk Perpatih Nan Sabatang. Niatnya ini disampaikan pada suatu sidang kerapatan adat. Setelah niatnya disampaikan kepada sidang kerapatan, untuk memberi daerah kekuasaannya sebagian kepada adiknya semua anggota sidang kerapatan setuju dengan rencana yang dikemukakan oleh Datuk Ketumanggungan. Bahkan dikatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Datuk Ketumanggungan tersebut, sudah merupakan kata pilihan, dengan arti kata tidak perlu lagi dipersoalkan.
Dari sinilah asal kata Koto Piliang yaitu dari kata yang pilihan. Sedangkan pemerintahan atau sistim adat Bodi Caniago berasal dari bodi baharago (budi yang berharga), yaitu Datuk Perpatih Nan Sabatang telah bertanam budi terlebih dahulu dan kemudian mendapat penghargaan dari saudaranya Datuk Ketumanggungan.
Pendapat lain mengatakan bahwa Bodi Caniago berasal dari kata “bodhi caniago” yang artinya berasal dari kata bhodi can yaga yang artinya bahwa budi nurani manusialah yang menjadi sumber kebajikan dan kebijakan. Sedangkan Koto Piliang berasal dari bahasa sansekerta yaitu “koto pili” yang dari kata pili hyang artinya segala sesuatu bersumber sabda dari hyang dan pili sama artinya dengan karma atau dharma. Datuk Ketumanggungan seorang penganut hiduisme yang regilius, percaya manusia disusun dalam kerangka hirarki piramidal dengan pucuk, seorang pribadi yang merenungkan langit (hyang). Datuk Perpatih Nan Sabatang seorang egaliter, demokrat murni yang menilai tinggi kedudukan pribadi yang menganut persamaan dan kesamaan.
Pada dasarnya orang minangkabau sampai sekarang masih memegang teguh asal kata Koto Piliang dan Bodi Caniago yang bersumberkan kepada tambo Alam Minangkabau.
4. Berberapa Perbedaan Adat Koto Piliang Dengan Bodi Caniago
Ada beberapa perbedaan dalam kedua sistim adat ini seperti berikut:
a. Memutuskan Perkara
Menghadapi sesuatu permasalahan dalam memutuskan perkara, Bodi Caniago berpedoman kepada “…tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati, dilahia lah samo nyato di batin buliah diliekti…” (tuah karena sekata, mulanya rundingandimufakati, dilahir sudah sama nyata, dibatin boleh dilihat). Artinya sesuatu pekerjaan atau menghadapi sesuatu persolan terlebih dahulu hendaklah dimufakati, dimusyawarahkan. Hasil dari mufakat ini benar-benar atas suara bersama, sedangkan Koto Piliang berdasarkan kepada “…nan babarih nan bapahek, nan baukua, nan bakabuang : coreng barih buliah diliek, cupak panuah bantangnyo bumbuang…” ( yang digaris yang dipahat, yang diukur yang dicoreng : baris boleh dilihat, cupak penuh gantangnya bumbung). Pengertian segala undang-undang atau peraturan yang dibuat sebelumnya dan sudah menjadi keputusan bersama harus dilaksanakan dengan arti kata “terbujur lalu terbulintang patah”.
b. Mengambil Keputusan
Dalam mengambil suatu keputusan adat Bodi Caniago berpedoman kepada “…kato surang dibuleti katobasamo kato mufakat, lah dapek rundiang nan saiyo, lah dapek kato nan sabuah, pipiah dan indak basuduik bulek nan indak basandiang, takuruang makanan kunci, tapauik makanan lantak, saukua mako manjadi, sasuai mangko takana, putuih gayuang dek balabeh, putih kato dek mufakat, tabasuik dari bumi…”. (kata seorang dibulati, kata bersama kata mufakat, sudah dapat kata yang sebuah, pipih tidak bersudut, bulat tidak bersanding, terkurung makanan kunci, terpaut makanan lantak, seukur maka terjadi, sesuai maka dipasangkan, putus gayung karena belebas, putus kata karena mufakat, tumbuh dari bumi). Maksud dari sistem adat Bodi Caniago ini yang diutamakan sekali adalah sistem musyawarah mencari mufakat.
Sedangkan Koto Piliang yang menjadi ketentuannya, “…titiak dari ateh, turun dari tanggo, tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang dalam lauik, ikan makannyo, nan mailia di palik, nan manitiak ditampung…” (titik dari atas, turun dari tanggga, terbujur lalu terbelintang patah, kata sorang besar segala iya, ikan besar dalam laut ikan makannya, yang mengalir di palit yang menitik ditampung).
c. Pengganti Gelar Pusaka
Pada lareh Bodi Caniago seseorang penghulu boleh hidup berkerilahan, yaitu mengganti gelar pusaka kaum selagi orangnya masih hidup. Hal ini bila yang digantikan itu sudah terlalu tua dan tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagai pemimpin anak kemenakan. Dalam adat dikatakan juga “lurahlah dalam, bukiklah tinggi” (lurah sudah dalam, bukik sudah tinggi). Sedangkan pada lareh Koto Piliang “baka mati batungkek budi” (mati bertongkat budi) maksudnya gelarnya itu baru bisa digantikan setelah orangnya meninggal dunia.
d. Kedudukan Penghulu
Pada lareh Koto Piliang ada tingkatan-tingkatan penguasa sebagai pembantu penghulu pucuk, berjenjang naik bertangga turun. Tingkatan penghulu dalam nagari ada penghulu andiko, penghulu suku, dan penghulu pucuk. Penghulu pucuk inilah sebagai pucuk nagari. “bapucuak bulek, baurek tunggang” (berpucuk bulat berurat tunggang). Sedangkan pada Bodi Caniago semua penghulu sederajat duduknya “sahamparan, tagak sapamatang” (duduk sehamparan tegak sepematang).
e. Balai Adat dan Rumah Gadang
Balai adat lareh Koto Piliang mempunyai anjuang kiri kanan berlabuh gajah di tengah-tengah. Anjung kiri kanan ada tempat yang ditinggikan. Ini dari lantai yang lain untuk menempatkan penghulu-penghulu sesuai dengan fungsinya atau tingkatannya. Lantai rumah gadang Koto Piliang ada tingkatannya. Maksudnya juga bila ada persidangan penghulu-penghulu tidak sama tinggi kedudukannya, dia duduk sesuai dengan fungsinya dalam adat.
Pada lareh Bodi Caniago lantai balai adat dan rumah gadang, lantainya datar saja. Semua penghulu duduk sehamparan duduk sama rendah, tegak sama berdiri.
Secara substansial, kedua sistem adat ini sesungguhnya sama-sama bertitik tolak pada azas demokrasi. Perbedaannya hanya terletak pada aksentuasi dalam penyelenggaraan dan perioritas pada hak azasi pribadi disatu pihak dan kepentingan umum dipihak lain. Suatu fenomena yang sudah sama tuanya dengan sejarah kebudayaan umat manusia sendiri.
B.3. Luhak1. Pengertian Luhak
Dalam bahasa daerah Minangkabau kata luhak diucapkan dengan “luak”. Artinya yang terkandung dari padanya adalah negeri, daerah, sumur, susut, berkurang. Dari tambo Alam Minangkabau sejarah lahirnya luhak dihubungkan dengan pengertian kurang. Seperti dikemukakan Luhak Tanah Datar berarti kurang tanah yang datar. Juga ada pendapat karena Tanah Datar sebagai luhak yang tertua, maka adat dan penduduknya berpindah dari sini. Dengan demikian berkurang jugalah Luhak Tanah Datar ini.
Luhak Agam menurut ceritanya : orang-orang agam berasal dari keturunan Harimau Campo, mereka mempunyai watak pemberani, jantan dan pamuncak. Agam itu artinya pemberani, jantan dan pamuncak. Setelah orang-orang Harimau Campo pindah dari Pariangan Padang Panjang kesebelah barat gunung merapi (melalui batipuah) maka “luak”lah orang-orang pemberani yang akan mengamankan Nagari Pariangan Padang Panjang. Oleh karena itu tersebutlah di Pariangan Padang Panjang “Luhak Orang Agam” (kurang orang pemberani) dalam nagari Pariangan Padang Panjang, karena mereka telah pindah ke tempat yang baru. Tidak ada hubungan dengan “luak agama” karena pada masa itu orang Minangkabau belum islam.
Luhak Lima Puluh Kota penduduknya berasal dari Pariangan Padang Panjang. Mereka berangkat untuk mencari tempat pemukiman baru sebanyak lima puluh orang. Disebuah padang dekat piladang sekarang hari sudah malam. Keesokkan harinya jumlah rombongan itu tidak ditemui lima orang. Setelah saling bertanya semuanya mengatakan “antah” dan tempat tersebut sampai sekarang bernama padang siantah. Keturunan yang berjumlah 45 orang ini merupakan asal penduduk luhak lima puluh kota, dengan pengertian sudah kurang dari lima puluh.
Dalam pengertian sehari-hari di daerah Minangkabau kata “luak” juga berarti sumur. Pergi ke luak berarti pergi mengambil air atau pergi mandi. Luak dengan pengertian sumur ini juga ada kaitannya dengan kurang, sebab sumur tersebut berada pada tanah yang kerendahan, bisa kemudian digenangi air yang sewaktu-waktu airnya bisa berkurang (luak).
2. Luhak Tanah Datar
daerah yang termasuk Luhak Tanah Datar terdiri atas empat bahagian yaitu : Lima Kaum XII Koto, Sungai Tarab Salapan Batu, Batipuah X Koto dan Lintau Buo IX Koto. Lima Kaum XII Koto terdiri dari : Ngungun, Panti, Cubadak, Supanjang, Pabalutan, Sawah Jauah, Rambatan, Padang Magek, Labuah, Parambahan, Tabek dan Sawah Tangah. Lima Kaum XII Koto dengan sembilan koto di dalam terdiri dari Tabek Boto, Salaganda, Baringin, Koto Baranjak, Lantai Batu, Bukik Gombak, Sungai Ameh, Ambacang Baririk dan Rajo Dani.
Sungai Tarab Salapan Batu daerahnya, Koto Tuo, Pasia Laweh, Sumaniak jo Koto Panjang, Supayang jo Situmbuak, Gurun Ampalu, Sijangek, Koto Bandampiang, Ujuang Labuah, Kampuang Sungayang VII Koto Disinan Andaleh, Baruah Bukik, Sungai Patai, Sungaiyang, Sawah Laiek dan Koto Ranah.
Daerah Batipuah X Koto daerahnya adalah : Pariangan, Padang Panjang, Jaho, Tambangan, Koto Laweh, Pandai Sikek, Sumpu, Malalo, Gunuang, Paninjauan. Lintau Buo IX Koto merupakan perkembangan dari Tanjung Sungayang dan Andaleh Baruah Bukik yang terdiri dari Batu Bulek, Balai Tangah, Tanjung Bonai, Tapi Selo, Lubuak Jantan. Nagari-nagari ini disebut juga Limo Koto Nan Diateh. Kemudian ditambah dengan Empat Koto di Bawah yaitu; Buo, Pangian, Taluak dan Tigo Jangko. Perpindahan penduduk ke daerah selatan, muncul 13 nagari yang disebut dengan Kubuang XIII. Nagari-nagari yang termasuk Kubang XIII adalah : Solok Salayo, Koto Hilalang, Cupak, Talang, Guguak, Saok Laweh, Gantuang Ciri, Koto Gadang, Koto Anau, Muaro Paneh, Kinali, Koto Gaek dan Tanjuang Balingkuang. Dari arah Kubuang XIII berkembang terus menjadi Alahan Panjang, Pantai Cermin, Alam Surambi Sungai Pagu.
Dari daerah Batipuah X Koto, dari Jaho dan Tambangan terjadi perpindahan ke Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Sicincin, Toboh Pakandangan yang dinamakan Ujung Darek Kapalo Rantau 2 X 11 Enam Lingkuang. Dari daerah ini berkembang menjadi VII Koto Sungai Sariak yang terdiri dari Tandikek, Batu Kalang, Koto Dalam, Koto Baru, Sungai Sariak, Sungai Durian, Ampalu.
Perpindahan dari Lintau Buo, Tanjuang Barulak berlajut kearah timur sampai ke Sijunjung Koto Tujuah, Koto Sambilan Nan Dihilia, Koto Sambilan Nan Di Mudiak, Kolok, Sijantang, Talawi, Padang Gantiang, Kubang Padang Sibusuak, Batu Manjulua, Pamuatan, Palangki, Muaro Bodi, Bundan Sakti, Koto Baru, Tanjung Ampalu, Palaluar, Tanjuang Guguak, Padang Laweh, Muaro Sijunjuang, Timbulun, Tanjuang, Gadang, Tanjuang Lolo, Sungai Lansek. Adapun yang menjadi daerah inti dari Luhak Tanah Datar adalah kabupaten Tanah Datar sekarang.
3. Luhak Agam
Luhak Agam merupakan luhak yang kedua sesudah Luhak Tanah Datar. Luhak Agam berasal dari Pariangan Padang Panjang dan kedatangan penduduk ke Luhak Agam pada mulanya empat kaum atau empat rombongan yang berlangsung empat periode dan tiap periode empat-empat. Periode pertama keempat rombongan ini mendirikan empat buah nagari yaitu Biaro, Balai Gurah, Lambah dan Panapuang. Periode kedua mendirikan Nagari Canduang, Koto Laweh, Kurai dan Banahampu. Periode ketiga lahir Nagari Sianok, Koto Gadang, Guguak dan Tabek Sarojo. Periode keempat mendirikan Nagari Sariak, Sungai Puar, Batagak dan Batu Palano.
Dengan demikian Luhak Agam terdiri enam belas koto pada mulanya dan kemudian berkembangan nagari-nagari lainnya seperti Kapau, Gadut, Salo, Koto Baru, Magek, Tilatang Kamang, Tabek Panjang, Pincuran Puti, Koto Tinggi, Simarasok dan Padang Tarab. Dari gugusan Sianok Koto Gadang berkembang sampai ke Matur, Kampung Panta, Lawang Togo Balai, sampai ke Ranah Palembayan. Perkembangan ini bertemu dengan yang datang dari Kamang dan Tujuh Lurah Koto Rantang. Perpindahan selanjutnya telah melahirkan Nagari Kumpulan, Ganggo, Kinali, Sundata, Lubuak Basuang, Batu Kambing, Katiagan, Sasak dan Tiku. Dari Matur perkembangan selanjutnya ke Maninjau, Muko-Muko, XII Koto Sungai Garinggiang, Gasan, Tiku, Lauik Nan Sadidih, melalui Malalak, Sigiran, Cimpagok, Ulu Banda dan seterusnya menjadi Limo Koto Kampuang Dalam, Piaman Sabatang Panjang dan III Koto Malai. Dari Malalak berkembang juga ke Sungai Batang, Sigiran, Tanjuang Sani melalui Batu Anjuang.
Perpindahan dan perkembangan dari Tiku Pariaman akhirnya bertemu dengan perpindahan dari Jaho, Tambangan dan Bungo Tanjuang dari Luhak Tanah Datar dan melahirkan Padang VIII Suku. Padang VIII Suku ini terdiri dari Pasia, Ulak Karang, Ranah Binuang, Palinggam, Subarang Gantiang, Parak Gadang, Aia Cama, Alang Laweh, Balai Tampuruang.
Dari daerah Kubuang XIII bertemu dengan perpindahan dari Tiku Pariaman dan Padang VIII Koto akhirnya melahirkan nagari Lubuak Kilangan, Tarantang, Baringin, Bandar Buek, Limau Manis Nan XX. Nagari yang termasuk Nan XX adalah Lubuak Bagaluang jo Ujuan Tanah, Tanjuang Saba, Pitameh, Banuaran, Koto Baru, Pampangan, Pasia Gauang, Sungai Barameh, Taluak Nibuang, Piai, Tanah Sirah, Batu Kasek, Parak Patamburan, Gurun Laweh, Tanjuang Aua, Batuang Taba, Kampuang Jua, Cangkeh, Kampuang Baru. Perpindahan dari Singkarak, Saniang Baka dengan melintasi bukik barisan telah melahirkan nagari Pauh Lima dan Pauh Sembilan, Kandih dan Nanggalo.
Dapat diambil kesimpulan bahwa Kota Padang sekarang merupakan pertemuan dari penduduk yang berasal dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Kubuang XIII. Secara historis tepat sekali kota padang ibukota propinsi Sumatera Barat, bila dikaitkan wilayah adat Minangkabau, karena sebagian besar wilayah adat berkaitan dengan bandar Padang tersebut.
4. Luhak Lima Puluh Koto
Luhak Limo Puluah Koto disebut Luhak Nan Bonsu. Wilayah yang termasuk Lima Puluh Kota terdiri empat bagian. Keempat wilayah tersebut adalah:
a. Sandi
Daerahnya dari Bukit Sikabau Hilir sampai Muaro Mudiak, Nasi Randam hingga Padang Samuik ketepi yang meliputi Nagari Koto Nan Gadang dan Koto Nan Empat sekarang ini.
b. Luhak
Luhak daerahnya dari Mungo Mudiak hingga Limbukan Hilia, Mungo, Koto Kaciak, Andaleh, Tanjuang Kubu, Banda Tunggang, Sungai Kamuyang, Aua Kuniang, Tanjuan Patai, Gadih Angik, Limbukan, Padang Karambia, Limau Kapeh, Aia Tabik Nan Limo Suku.
c. Lareh
Yang menjadi wilayah lareh sejak dari Bukik Cubadak sampai mudiak hingga Padang Balimbiang Hilir. Pusatnya di Sitanang Muara Lakin. Perkembangan dan perpindahan penduduk selanjutnya lahir nagari-nagari Ampalu, Halaban, Labuah Gunuang, Tanjuang Baringin, Kurun, Labuak Batingkok, Tarantang, Sari Lamak, Solok, Padang Laweh.
d. Hulu
Yang termasuk wilayah hulu dalam Luhak Lima Puluh Kota adalah yang “Berjenjang Ke Ladang Laweh Berpintu Ke Sungai Patai, Selilit Gunuang Sago, Hinggo Labuah Gunuang Mudik Hinggo Babai Koto Tinggi”.
Dari Luhak Lima Puluh Kota perkembangan selanjutnya ke Muaro Sungai Lolo, Tapus Rao Mapattunggal, Kubu Nan Duo, Sinuruik, Talu Cubadak, Simpang Tonang, Paraman, Ampalu, Aua Kuniang, Parik Batu, Sasak, Sungai Aua, Air Balam, Sikilang Aia Bangih.Dari Niniak Nan Balimo (nenek yang berlima) yang meninggalkan rombongan telah membuat tempat kediaman baru yaitu Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Aia Tirih. Sebagai daerah Luhak Lima Puluh Kota adalah Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang.
5. Kepribadian Masyarakatnya
Kepribadian masing-masing luhak juga diungkapkan dalam bambo, dengan perumpamaan, yaitu Luhak Agamdikatakan buminya-panas, airnya keruh, ikannya liar. Perumpamaan ini ditafsirkan bahwa penduduknya keras hati, berani dan suka berkelahi. Luhak Tanah Datar dikatakan buminya lambang, airnya tawar, ikannya banyak, dengan penafsiran masyarkatnya ramah, suka damai dan sabar. Sedangkan Luhak Lima Puluh Kota dikatakan buminya sejuk, airnya jernih dan ikannya jinak yang artinya bahwa masyarakatnya mempunyai kepribadian berhati lembut, tenang dan suka damai.
Prof. Hamka mengatakan, sifat ketiga luhak ini surang cadiak, surang pandeka, surang juaro tangah balai. “pendekar luhak tanah datar, juara tengah balai Luhak Agamdan cerdik luhak lima puluh kota.
Disamping perbedaan kepribadiannya juga warna tiap-tiap luhak saling berbeda yang mungkin ada kaitannya dengan kepribadiannya tadi. Warna kuning untuk Luhak Tanah Datar, warna merah untuk Luhak Agam dan biru untuk Luhak Lima Puluh Kota. Sedangkan tiap luhak mempunyai perlambang yang diambil dari hewan. Luhak Tanah Datar hewannya kucing. Sifat kucing yang jinak dan penyabar tetapi bila habis kesabarannya baru dia memperlihatkan kukunya. Luhak Agam lambang hewannya harimau. Harimau sebagai perlambang sikap berani dan pantang menyerah. Luhak Lima Puluh Kota lambang hewannya kambing. Kambing walaupun jinak tapi tidak bisa ditarik begitu saja, dia mempunyai kepribadian yang kokoh dan tidak mau cepat terpengaruh. Perumpamaan-perumpamaan diatas dikaitkan dengan sifat kepribadian masing-masing luhak.B.4. Rantau1. Pengertian Rantau
Menurut kamus umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta, arti dari pada “rantau” banyak sekali. Rantau mempunyai pengertian pantai sepanjang teluk (sungai), pesisir, daerah diluar negerinya sendiri, negeri asing tangah (negeri) tempat mencari penghidupan. Pengertian yang diambil terhadap rantau ini adalah tanah (negeri) tempat mencari penghidupan. Di tempat ini muncul nagari-nagari yang didiami oleh orang-orang yang datang dari Luhak Nan Tigo.
2. Daerah Rantau Luhak Nan Tigo
Tiap-tiap luhak mempunyai daerah rantau masing-masing sesuai dengan perpindahan penduduk dari luhak tersebut.
Rantau Luhak Tanah Datar meliputi rantau Batang Hari, Pucuak Jambi Sembilan Lurah, yaitu daerah-daerah sailiran batang hari. Di daerah hulu Batang Hari dikenal Rantau Cati Nan Kurang Aso XX. Rantau Nan Kurang Aso XX yaitu Lubuak Ambacang, Lubuak Jambi, Gunuang, Koto, Benai, Pangian, Basra, Sitanjau, Kopa, Teluk Ingin, Indoman, Surantih, Taluak Rayo, Simpang Kulayang, Aia Molek, Pasia Ringgik, Kuantan, Talang Mamak dan Kuala Enok. Daerah Rantau Luhak Tanah Datar yang lain yaitu Rantau Pesisir Panjang yang dinamakan Bandar X. daerah yang termasuk Bandar X adalah : Batang Kapeh, Kuok, Surantih, Amping Parak, Kambang, Lakitan, Punggasan, Air Haji, Painan, Banda Salido, dan Tarusan. Tapan, Lunang, Silaut, Indopuro dan Manjuto juga merupakan Rantau Luhak Tanah Datar.
Disamping itu ada juga yang disebut Ujung Darek Kapalo Rantau dari Luhak Tanah Datar. Ujung Darek Kapalo Luhak Tanah Datar merupakan daerah perbatasan antara Luhak Tanah Datar dengan daerah rantau. Daerah tersebut adalah Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapao Hilalang, Sicincin Tinggi, Toboh Pakandangan, 2 X 11 Enam Lingkuang dan VII Koto Sungai Sariak.
Luhak Agam daerah rantaunya adalah Tiku Pariaman, Sasak Air Bangis, sedangkan daerah yang disebut ujuang darek kapalo rantau adalah Palembayan, Sirasak Aie, Sungai Garinggiang, Lambah Bawan, Padang Manggopoh. Ke selatan adalah Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Toboh Pakandangan.
Luhak Lima Puluh Kota daerah rantaunya adalah rantau Kampar Kanan dan Kampar Kiri yang termasuk daerah Kampar Kiri terdiri dari enam daerah yaitu Kudai, Ujuang Bukik, Gunuang Sahilan, Lipat Kain, Kuniuk dan Sanggan. Rantau Kampar Kanan dibagi atas tiga bagian. Pertama disebut di hulu Tuangku Nan Tigo, yang terdiri dari Limbanang Koto Laweh, Koto Tangah dan Koto Tinggi, Sungai Dadok dan Sungai Naniang. Yang kedua disebut di Tengah Kampar Sembilan yang terdiri dari Yajuang, Muaro Takus, Gunuang, Malelo Pongkai, Koto Bangun, Sialang, Durian Tinggi, Kapuak dan Lubuak Alai. Yang ketiga disebut di Ulak Koto Nan Anam yang terdiri dari Koto Baru, Koto Alam, Tanjuang Pauah, Tanjuang Balik, Mangilang dan Malintang.
3. Merantau
Bila diperhatikan arti kata merantau mempunyai berbagai pengertian seperti berlayar, mencari penghidupan di sepanjang rantau (dari sungai kesungai). Merantau juga berarti pergi ke pantai atau pesisir, pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan. Dari sekian arti kata merantau maka yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pergi ke negeri laun untuk mencari penghidupan.
Ciri khas pada permulaan merantau mereka membawa adat minangkabau dengan sistem lareh yang mereka anut serta suku mereka. Di samping itu waktu-waktu tertentu mereka pulang melihat tanah asal mereka. Tujuan pulang ini agar tali kekeluargaan jangan sampai putus dengan tempat asal. Namun demikian pulang ketempat asal ini bisa jadi semakin kurang, malahan keturunan selanjutnya tidak meneruskan tradisi nenek-nenek mereka, yang tinggal hanya ceritera asal usul mereka.
Motivasi merantau pada tingkat permulaan, ialah untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka pindah jauh dari pusat Luhak Nan Tigo, yaitu di daerah pesisir dan hiliran sungai.
Perkembangan arti merantau selanjutnya bukan hanya terbatas pada daerah Alam Minangkabau saja, tetapi meluas kedaerah yang bukan etnis minangkabau. Hal ini erat hubungannya dengan situasi dan kondisi di tempat mereka tinggal. Di daerah pesisir atau di daerah hiliran sungai mereka berhubungan dengan dunia perdagangan. Secara tidak langsung kehidupan yang bersifat rural agraris berpindah kepada ekonomi perdagangan. Mereka ambil bagian dalam perdagangan antar daerah di luar Alam Minangkabau. Di daerah yang mereka kunjungi akhirnya lahir permukiman orang minangkabau seperti di Tapak Tuan, Batu Bara, Asahan, Negeri Sembilan dan lain-lain. Sampai sekarang keturunan mereka yang ada disana masih menanggap sebagai keturunan orang Minangkabau.
Pada saat sekarang pengertian merantau sudah menjadi luas. Keluar dari kampung sendiri atau ke kota lain yang masih dalam kawasan Sumatera Barat sudah dikatakan pergi merantau, apalagi pergi keluar sumatera barat. Pada permulaan merantau bertujuan untuk mencari penghidupan, sedangkan sekarang untuk melanjutkan pendidikan ke negeri lain juga dikatakan pergi merantau.
4. Tujuan Merantau
Untuk mencari ilmu dan memperbaiki ekonomi, disebut dalam mamangannya:
mencarikan punggung tak basaokmencarikan paruik tak berisi
Dirantau orang harus pandai-pandai menyesuaikan diri, mamak ditinggalkan di kampung, dapati pula mamak di rantau, saudara ditinggalkan, cari pula saudara di rantau, dalam hal ini juga disebut dalam mamangan :
kok pandai bakain panjanglabiah sa elok kain saruangkok lai pandai mangaokannyokok pandai ba induak samanglabiah sa elok mamak kanduangkok lai pandai mambaokannyo
walaupun sutan di kampuang awakanak dagang juo di rantau urangkok mandi di hilia-hiliakok bakato di bawah-bawah
turuikkan langkah bak bacatuaturuikkan ayun bak babuaipakailah pulo deta jawakanakkan malah kain bugihsaruangkan baju guntiang cinopakai sarawa lambuak acehsarato tarompa rang gujaratbaitu caro anak dagang
dima bumi dipijakdinsanan langik dijunjuangdima rangitiang dipatahdisitu sumua di kalidima nagari diunyiadat disitu nan dipakai
5. Akibat Merantau Bagi Orang Minangkabau
Akibat merantau bagi orang minangkabau yang meninggalkan kampung halaman telah meluas cakrawala atau pandangan untuk mengenal daerah diluar Minangkabau, seperti di katakan “tidak seperti katak di bawah tempurung”. Akibatnya orang minangkabau tidak berpaham sempit dalam hubungan sosial dengan lain suku bangsa. Hasil perantauan pada masa dahulu dibawa pulang untuk menjadi modal dalam membina kecerdasan dan kesejahteraan keluarga. Tipe merantau seperti ini dibentuk dengan talibun adat yang mengatakan:
karatau madang diulubabuah babungo balunmarantau bujang dahuludi kampuang paguno balun
satinggi - tinggi malantiangjatuahnyo ka tanah juosajauah-sajuah tabang bangausuruiknyo ka kubangan juo
makna yang dapat diambil, adalah yang pergi merantau itu diharapkan dan ditunggu kedatangannya lagi, jadi bukan merantau cina.
Kepada yang muda diharapkannya untuk mencari ilmu, pengalaman sebanyak mungkin di negeri orang, baik berusaha maupun menambah ilmu. Belum ada gunanya bagi keluarga atau kampung halaman bila seseorang itu belum dapat mempersembahkan segala yang diperolehnya dari rantau. Demikian pula dengan pengalamannya di daerah rantau akan lebih mendewasakannya nanti sebagai pemimpin kaum dan negeri bila tiba saatnya menggantikan kebesaran mamaknya.
Jiwa merantau yang memikirkan kampung halaman ini masih terdapat bagi orang Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dengan mengalirnya bantuan dari rantau yang bertujuan bukan hanya untuk keluarga di kampung tetapi juga bantuan untuk pembangunan kampung halamannya.
C. Adat Minangkabau
C.1. Pengertian AdatDalam membicarakan pengertian adat ada beberapa hal yang perlu dikemukakan, diantaranya adalah asal kata adat, pengertian adat secara umum dan pengertian adat dalam Minangkabau.1. Asal Kata Adat
Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau banyak mempergunakan kata adat terutama yang berkaitan dengan pandangan hidup maupun norma-norma yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan masyarakatnya. Kesemuan yaitu diungkapkan dalam bentuk pepatah, petitih, mamangan, ungkapan-ungkapan dan lain-lain. Sebagai contohnya dapat dikemukakan “…adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah ; adat dipakai baru, kain dipakai usang, adat sepanjang jalan, cupak sepanjang batuang, adat salingka nagari; harato salingka kaum…”, dan lain-lain.
Walaupun banyak penggunaan kata-kata adat oleh orang Minangkabau, namun barangkali tidak banyak orang mempertanyakan asal usul dari kata adat tersebut. Tidak banyak literatur yang memperkatakan kata adat ini. Drs. Sidi Gazalba dalam bukunya pengantar kebudayaan sebagai ilmu mengatakan : ” adat adalah kebiasaan yang normatif “. Kalau adat dikatakan sebagai kebiasaan maka kata adat dalam pengertian ini berasal dari bahasa arab yaitu “adat”.
Sebagai bandingan, seorang pemuka adat Minangkabau, yaitu Muhammad Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu dalam bukunya sejarah Ringkas Minangkabau Dan Adatnya mengatakan : adat lebih tua dari pada adat. Adat berasal dari bahasa sansekerta dibentuk dari “a”dan “dato”. “a” artinya tidak, “dato” artinya sesuatu yang bersifat kebendaan. “a” artinya tidak, “dato” artinya sesuatu yang bersifat kebendaan. “adat” pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang tidak bersifat kebendaan.
Dalam pembahasannya dapat disimpulkan bahwa adat yang tidak memikirkan kebendaan lagi merupakan sebagai kelanjutan dari kesempurnaan hidup, dengan kekayaan melimpah-limpah, sampailah manusia kepada adat yang tidak lagi memikirkan hal-hal yang tidak bersifat kebendaan. Selagi benda masih dapat menguasai seseorang, ataupun seseorang masih dapat diperhamba benda disebut orang itu belum beradab. Kalau diperhatikan kedua pendapat diatas, maka pendapat yang teakhir lebih bersifat filosofis dan ini mungkin dikaitkan dengan pengaruh agama hindu yang datang kemudian ke Indonesia.
Walaupun kata adat dengan ‘adat berlainan penafsiran dari arti yang terkandung pada kata tersebut namun keduanya ada kesamaan yaitu tujuannya sama-sama mengatur hidup dan kehidupan masyarakat agar menjadi baik.
Bagi orang Minangkabau sebelum masuknya pengaruh hindu dan islam, orang telah lama mengenal kata “buek”. Kata “buek” ini seperti ditemui dalam mamangan adat yang mengatakan kampuang bapaga buek, nagari bapaga undang (kampung berpagar buat, nagari berpagar undang). Buek inilah yang merupakan tuntunan bagi hidup dan kehidupan orang Minangkabau sebelum masuk pengaruh luar.
Oleh sebab itu masuknya perkataan adat dalam perbendaharaan bahasa Minangkabau tidak jadi persoalan karena hakekat dan maknanya sudah ada terlebih dahulu dalam diri masyarakat Minangkabau. Kata-kata “buek” menjadi tenggelam digantikan oleh kata adat seperti yang ditemui dalam ungkapan “minang babenteng adat, balando babenteng basi” (minang berbenteng adat, belanda berbenteng besi).
2. Pengertian Adat Secara Umum
Seperti dikatakan kata adat dalam masyarakat Minangkabau bukanlah kata-kata asing lagi, karena sudah merupakan ucapan sehari-hari. Namun demikian apakah dapat “adat” ini diidentikan dengan kebudayaan, untuk ini perlu dikaji terlebih dahulu bagaimana pandangan ahli antropologi mengenai hubungan adat kebudayaan ini.
Dalam ilmu kebudayaan dan kemasyarakatan konsep kebudayaan sangat banyak sekali. Inventarisasi yang dilakukan oleh C. Kluckhohn dan A. L Kroeber ahli atropologi pada tahun 1952 telah ditemukan lebih kurang 179 defenisi. Tetapi yang sifatnya dan banyak dipakai para ahli adalah pendapat C. Kluckhohn yang memberikan batasan kebudayaan sebagai berikut:“kebudayaan adalah keseluruhan dari gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang berupa satu sistem dalam rangka kehidupan masyarakat yang dibiasakan oleh manusia dengan belajar”.
Kata kebudayaan dalam istilah inggris adalah “culture” yang berasal dari bahasa latin “colere”yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah atau pertanian. Dari pengertian ini kemudian berkembang menjadi “culture”. Istilah “culture” sebagai istilah teknis dalam penulisan oleh ahli antropologi inggris yang bernama Edwar B. Tylor mengatakan bahwa “culture” berarti “complex whole of ideas and thinks produced by men in their historical experlence”. Sesudah itu pengertian kultur berkembang terus dikalangan antroplogi dunia. Sebagai istilah umum “culture” mempunyai arti, kesopanan, kebudayaan, pemeliharaan atau perkembangan dan pembiakan.
Bahasa Indonesia sendiri mempunyai istilah budaya yang hampir sama dengan culture, dengan arti kata, kata kebudayaan yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia bukanlah merupakan terjemahan dari kata “culture”. Kebudayaan berasal dari kata sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata budhi. Budhi berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kata buddhayah (budaya) yang mendapatkan awalan ke- dan akhiran -an, mempunyai arti “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Berdasarkan dari asal usul kata ini maka kebudayaan berarti hal-hal yang merupakan hasil dari akal manusia dan budinya. Hasil dari akal dan budi manusia itu berupa tiga wujud, yaitu wujud ideal, wujud kelakuan, dan wujud kebendaan.
Wujud ideal membentuk kompleks gagasan konsep dan fikiran manusia. Wujud kelakuan membentuak komplek aktifitas yang berpola. Sedangkan wujud kebendaan menghasilkan benda-benda kebudayaan. Wujud yang pertama disebut sistim kebudayaan. Wujud kedua dinamakan sistim sosial sedangkan ketiga disebut kebudayaan fisik.
Bertitik tolak dari konsep kebudayaan Koen Cakraningrat membicarakan kedudukan adat dalam konsepsi kebudayaan. Menurut tafsirannya adat merupakan perwujudan ideal dari kebudayaan. Ia menyebut adat selengkapnya sebagai adat tata kelakuan. Adat dibaginya atas empat tingkat, yaitu tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan tingkat aturan khusus. Adat yang berada pada tingkat nilai budaya bersifat sangat abstrak, ia merupakan ider-ide yang mengkonsesikan hal-hal yang paling berniali dalam kehidupan suatu masyarakat. Seperti nilai gotong royong dalam masyarakat Indonesia. Adat pada tingkat norma-norma merupakan nilai-nilai budaya yang telah terkait kepada peran-peran tertentu (roles), peran sebagai pemimpin, peran sebagai mamak, peran sebagai guru membawakan sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya dalam berbagai kedudukan tersebut.
Selanjutnya adat pada tingkat aturan-aturan yang mengatur kegiatan khusus yang jelas terbatas ruang lingkupnya pada sopan santun. Akhirnya adat pada tingkat hukum terdiri dari hukum tertulis dan hukum adat yang tidak tertulis.
Dari uraian-uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan merupakaan hasil dari budi daya atau akal manusia, baik yang berwujud moril maupun materil. Disamping itu adat sendiri dimaksudkan dalam konsep kebudayaan dengan kata lain adat berada dalam kebudayaan atau bahagian dari kebudayaan.
3. Pengertian Adat Dalam Adat Minangkabau
Bagi orang Minangkabau, adat itu justru merupakan “kebudayaan” secara keseluruhannya. Karena didalam fakta adat Minangkabau terdapat ketiga bagian kebudayaan yang telah dikemukakan oleh Koencaraningrat, yaitu adat dalam pengertian dalam bentuk kato, cupak, adat nan ampek dan lain-lain. Adat dalam pengertian tata kelakuan berupa cara pelaksanaannya sedangkan adat dalam pengertian fisik merupakan hasil pelaksanaannya. Malahan bila dibandingkan dengan pengertian culture yang berasal dari kata “colere”maka dapat dikatakan bahwa orang Minangkabau bukan bertitik tolak dari mengolah tanah melainkan lebih luas lagi yang diolah yaitu alam, seperti yang dikatakan : “alam takambang jadi guru” (alat terkembang jadikan guru).
Bertitik tolak dari nilai-nilai dasar orang Minangkabau yang dinyatakan dalam ungkapan “alam takambang jadikan guru” maka orang Minangkabau membuat katagori adat sebagai berikut:
a. Adat Nan Sabana Adatb. Adat Istiadatc. Adat Yang Diadatkand. Adat Yang Teradat
Sedangkan M. Rasyid Manggis Dt Rajo Penghulu memberi urutan yang berbeda seperti berikut:
1. Adat Nan Babuhua Mati, yaknia. Adat Nan Sabana Adatb. Adat Nan Diadatkan
2. Adat Nan Babuhua Sentak, yaknic. Adat Nan Teradatd. Adat Istiadat
Bila dikumpulkan literatur mengenai katagori adat ini sangat banyak sekali. Dari pendapat yang banyak sekali itu ada kesamaan dan ada perbedaannya. Kesamaannya hanya terlihat dalam “adat nan ampek” sedangkan penafsirannya terdapat perbedaan dan malahan urutannya juga. Menurut isinya serta urutannya paling umum adalah pendapat yang dikemukakan oleh M. Rasyid Manggis Dt Rajo Penghulu di atas.
Pengertian dari adat nan ampek di atas dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Adat Nan Sabana Adat
Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat) merupakan yang palingkuat (tinggi) dan bersifat umum sekali, yaitu nilai dasar yang berbentuk hukum alam. Kebenarannya bersifat mutlak seperti dikatakan : adat api mambaka, adat aia membasahi, tajam adatnyo melukoi, adat sakik diubeti. Ketentuan-ketentuan ini berlaku sepanjang masa tanpa terikat oleh waktu dan tempat.
b. Adat Nan Diadatkan
Adat nan diadatkan merupakan warisan budaya dari perumus adat Minangkabau yaitu Datuak. Katumanggungan dan Datauk Perpatih Nan Sabatang.
Adat nan diadatkan mengenai:Peraturan hidup bermasyarakat orang Minangkabau secara umum dan sama berlaku dalam Luhak Nan Tigo sebagai contoh
1. Garis keturunan menurut ibu2. Sistim perkawinan eksogami3. Pewarisan sako dan pusako4. Limbago nan sapuluah5. Garis keturunan pewarisan sako dan pusako dan lain-lain.
c. Adat Nan Teradat
Adat Nan Teradat merupakan hasil kesepakatan penghulu-penghulu dalam satu-satu nagari. Di sini berlaku lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
d. Adat Istiadat
Adat istiadat adalah kebiasaan umum yang berasal dari tiru-meniru dan tidak diberi kekuatan pengikat oleh penghulu-penghulu seperti permainan anak-anak muda seni dan lain-lain serta tidak bertentangan dengan adat nan teradat.
C.2. Pendapat-Pendapat Mengenai Nama MinangkabauPendapat-pendapat mengenai nama Minangkabau saat ini sangat banyak sekali. Pendapat-pendapat yang dikemukakan berasal dari orang-orang yang memiliki ilmu di bidang sejarah. Ada yang bersumber dari orang-orang yang sekedar pendapat tanpa argumentasi yang kuat, artinya tanpa didukung oleh nilai-nilai sejarah dan akibanya juga kurang didukung oleh masyarakat. Pendapat yang bersumber dari tambo pada umumnya didukung oleh masyarakat Minangkabau. Dari keterangan-keterangan yang dikumpulkan ada dikemukakan sebagai berikut:
1. Prof. DR. RM. NG. Poerbacaraka:
Pendapatnya dikemukakan dalam sebuah karangan yang berjudul “Riwayat Indonesia” dalam tulisannya mengenai nama Minangkabau dikaitkan dengan prasasti yang terdapat di palembang yaitu Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini memuat sepuluh baris kalimat yang berangka tahun 605 (saka) atau 683 masehi. Batu bertulis ini telah diterjemahkannya ke dalam bahasa indonesia sebagai berikut:
Selamat tahun saka telah berjalan 605 tanggal iiParo terang bulan waisyakka yang dipertuan yang naik diPerahu mengambil perjalanan suci. Pada tanggal 7 paro terang,Bulan jyestha Yang Dipertuan Hyang berangkat dari MinangaTamwan membawa bala (tentara) dua puluh ribu dengan petiDua ratus sepuluh dua banyaknya tulisanDua ratus berjalan diperahu dengan jalan (darat) seribuTiga ratus sepuluh dua banyaknya. Datang di MatayapBersuka cita pada tanggal lima bulan…Dengan mudah dan senang membuat kota…Syri-wijaya (dari sebab dapat) menang (karena) perjalanan suci, (yang menyebabkan kemakmuran)
Kesimpulan dari isi prasasti ini adalah Yang Dipertuan Hyang berangkat kari Minanga Tamwan naik perahu membawa bala tentara. Sebagian melalui jalan darat. Menurut Poerbacaraka kata tamwan pada prasasti itu sama dengan bahasa jawa kuno yaitu “temwan”, bahasa jawa sekarang “temon”, bahasa indonesianya “pertemuan”. Pertemuan disini yaitu pertemuan dua buah sungai yang sama besarnya. Sungai yang dimaksud itu ialah sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Besar kemungkinan kemudian dinamakan Minanga Kamwar yaitu Minanga Kembar.
Bagi orang Sumatera Barat disebut Minanga Kanwa, yang lama kelamaan diucapkan Minangkabau. Juga dikemukakannya, bahwa dengan pertemuan kampar kiri dan kampar kanan disinilah terletak pusat agama Budha Mahayana, yaitu Muara Takus.
2. M. Sa’id
Pendapat M. Sa’id bertitik tolak dari prasasti padang Roco tahun 1286, didekat sungai langsat, di hulu sungai Batang Hari. Pada prasasti ini ditemukan kata-kata swarna bumi dan bhumi melayu. Tidak satupun dari prasasti-prasasti yang ditemui yang berisikan kata-kata Minangkabau. Sedangkan tempat prasasti ditemukan termasuk daerah Minangkabau sekarang. Oleh sebab itu M. Sa’id berkeyakinan bahwa ketika ekspedisi pamalayu, nama Minangkabau belum ada.
Menurut penelitian ahli sejarah seperti M. Yamin, dan C.C Berg, ekspedisi Pamalayu bukanlah agresi militer, melainkan suatu muhibah diplomatik dalam usaha mengadakan aliansi untuk menghadapi Khubilai Khan. Itulah sebabnya prasasti Padang Roco isinya juga menunjukkan kegembiraan.
Tidak mustahil antara pihak tamu dengan tuan rumah diadakan pesta untuk menyenangkan hati kedua belah pihak. Pada peristiwa inilah salah satu acaranya diadakan arena pertarungan kerbau antara tuan rumah dengan pihak tamu. Rupanya kemenangan berada pada pihak tan rumah. Suatu pertanyaan timbul apakah ceritra-ceritra mengenai perlagaan kerbau yang kebanyakkan dianggap dongeng tidak mempunyai hubungan dengan kedatangan misi pamalayu ini. Menurut ukuran sekarang terlalu kecil peristiwa pertarungan kerbau ini untuk menguji kalah menang yang mempertaruhkan peristiwa dan status negara. Tetapi dari peristiwa ini nama Minangkabau lahir bukanlah mustahil.
3. Prof. Dr. Muhammad Hussein Nainar
Menurut keterangan, guru besar pada Universitas Madras ini, sebutan “Minangkabau” berasal dari “Menon Khabu” yang artinya “Tanah Pangkal” atau “Tanah Permai”.
4. Prof. Vander Tuuk
Menurut pendapatnya, bahwa Minangkabau asalnya dari kata “Pinang Khabu” yang artinya Tanah Asal.
5. Sulthan Muhammad Zain
Menurut pendapatnya, bahwa “Minangkabau” berasal dari “Binanga Kanvar” yang artinya Muara Kampar. Keterangan ini bertambah kuat oleh karena Chaw Yu Kua yang dalam abad ke 13 pernah datang berkunjung ke Muara Kampar menerangkan, bahwa disana didapatinya satu-satunya bandar yang paling permai di pusat sumatera.
6. Pendapat Thambo
Dari beberapa tambo yang ditemui seperti Tambo Pariangan dan Tambo Sawah Tangah yang tidak diketahui penulisannya, maupun tambo yang dikenal penulisannya, pada dasarnya mempunyai kesamaan sejarah lahirnya nama Minangkabau. Salah satu di antaranya transkipsi Tambo Pariangan nama Minangkabau diceritakannya sebagai berikut :
“tidak berapa lama di antaranya datang lagi raja itu membawa seekor kerbau besar yang tanduknya sepanjang delapan depa. Maka raja itu bertaruh atau bertanding, seandainya kalah kerbau kami, maka ambilah isi perahu ini. Maka dijawablah oleh raja, kemudian minta janji selama tujuh hari. Keesokan harinya dicarilah seekor anak kerbau yang sedang erat menyusu, lalu dipisahkan dari induknya. Anak kerbau tadi dibuatkan tanduk dari besi, yang bercabang dua yang panjangnya enam depa. Setelah sampai janji itu maka dipasanglah tanduk palsu itu dikepala anak kerbau yang disangka induknya tadi. Melihat kerbau besar tersebut, maka berlarilah anak kerbau itu menuju kepada kerbau besar yang dipisahkan dari induknya sendiri untuk menyusu karena demikian haus dan laparnya. Lalu anak kerbau itu berbuat seperti menyusu sehingga tanduk palsunya masuk perut kerbau besar itu dan akhirnya iduk kerbau itu mati. Maka mufakatlah seluruh rakyat akan menamakan negeri itu Minangkabau”.
Atas kemenangan pertarungan kerbau yang diungakpkan oleh tambo tersebut juga diungkapkan dalam bentuk talibunnya sebagai berikut:
Karano tanduak basi paruik tajaloMati di Padang Koto RanahTuo jo Mudo sungguahpun heranDatangnya indak karano diimbauDek karano Cadiak Niniak kitoLantaran manyambuang di galanggang tanahDipadapek tuah kamujuranTimbualah namo Minangkabau
(karena tanduk besi tanduk terjela, mati dipadang koto ranah, tua dengan muda sangat heran, datangnya karena tidak dihimbau, karena cerdik nenek kita lantaran menyambung digelanggang tanah, diperoleh tuah kemujuran timbulah nama Minangkabau).
Pendapat dari tambo ini merupakan pendapat yang umum Minangkabau. Walaupun banyak pendapat yang lain seperti yang telah dikemukakan di atas tetapi tidak didukung oleh orang Minangkabau sendiri. Lain halnya pendapat tambo yang beberapa hal sebagai berikut:
Sampai sekarang di arena tempat pertarungan kerbau tersebut masih diperoleh nama-nama tempat yang tidak berobah dari dahulu sampai sekarang. Nagari tempat pertarungan ini sekarang masih bernama nagari Minangkabau (lebih kurang 4 km dari kota batusangkar). Di nagari Minangkabau tempat gelanggang pertarungan kerbau ini sekarang masih tetap bernama Parak Bagak (kebun berani). Di tempat inilah kerbau yang kecil tersebut memperlihatkan keberaniannya. Disamping itu juga ada nama Sawah Siambek dimana kerbau yang kalah itu lari dan kemudian dihambat bersama-sama.Pendapat yang dikemukakan tambo didukung oleh masyarakat Minangkabau dari dahulu sampai sekarang dan tidak sama halnya dengan pendapat-pendapat lainnya.Asal nama Minangkabau karena menang kerbau juga ditemui dalam “Hikayat Raja - Raja Pasai” seperti yang dikemukakan oleh Drs. Zuber Usman dalam bukunya “Kesusasteraan Lama Indonesia”. Dalam buku hikayat raja-raja pasai itu dikemukakan raja majapahit telah menyuruh Patih Gajah Mada pergi menaklukkan Pulau Perca dengan membawa seekor kerbau keramat yang akan diadu dengan kerbau Patih Sewatang. Dalam pertarungan ini Patih Sewatang mencari anak kerbau yang sedang kuat menyusu. Setelah sekian lama tidak menyusu kepada induknya baru dibawa ke arena pertarungan. Karena haus dan kepalanya diberi minang (taji yang tajam), ketika pertarungan terjadi anak kerbau tersebut menyeruduk kerbau Majapahit tadi. Dalam pertarungan ini kerbau Patih Sewatang yang menang.Berdasarkan kepada tambo mungkin ada yang bertanya mengapa tidak disebut manang kabau tetapi Minangkabau. Jawabnya karena kemenangan itu lantaran anak kerbau tadi memakai “minang” yaitu taji yang tajam dan runcing sehingga merobek perut lawannya.
Asal nama Minangkabau lantaran kemenangan seperti yang dikemukakan tambo juga ada pesan-pesan tersirat yang disampaikan kepada kita dan enerasi selanjutnya bahwa sifat diplomatis haruslah dipergunakan dalam menghadapi sesuatu masalah. Pertentangan fisik harus dihindarkan seandainya masih ada alternatif lainnya. Disamping itu juga secara tidak langsung memberi inspirasi kepada kita sekarang untuk meniru meneladani cara berbuat dan berfikir seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang Minangkabau pada masa dahulu. Dimana dibiasakan menggunakan otak sebelum menggunakan otot, diplomasi adalah langkah yang terbaik dalam menyelesaikan suatu pertikaian, dengan diplomasi musyawarah, berunding dan lain-lain, resiko yang lebih berat dapat dapat dihindari.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa nama Minangkabau yang bersumber dari kemenangan kerbau tidak diragukan lagi kebenarannya. Disamping itu juga dapat disimpulkan bahwa pemakaian nama Minangkabau dipergunakan untuk nama sebuah nagari dekat kota Batusangkar, untuk suku bangsa Minangkabau dan wilayah kebudayaan Minangkabau, nama Minangkabau yang berasal dari cerita adu kerbau inilah yang kita yakini kebenarannya. Sedangkan nama-nama yang dikemukakan oleh para ahli sejarah lainnya, kita terima juga sebagai pelengkap perbendaharaan kita dalam menggali sejarah Minangkabau selanjutnya.
D. Nagari
D.1. Asal Kata NagariSebagai poin pertama akan dikemukakan asal kata nagari. Sebuah pendapat mengatakan, bahwa nagari bukanlah kata asli Minangkabau. Kata nagari berasal dari bahasa sansekerta yaitu “nagara”, yang dibawa oleh bangsa Hindu yang menetap di tengah-tengah masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat tengah pada masa Hindu . Kemungkinan bangsa Hindu (bangsa asing) tersebutlah yang menciptakan pembagian nagari, serta mengelompokkan mereka dalam suku-suku. Nagari-nagari kecil itu merupakan bentuk negara yang berpemerintahan sendiri (otonom).Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Sumatera Barat , belum ditemukan istilah lembaga nagari tersebut. Perkauman Minangkabau masih terbagi dalam berbagai-bagai kelompok genealogis, yang mendiami tanah-tanah tertentu. Jika sebelum pengaruh Hindu datang sudah ada pembagian nagari, tentu sudah ada istilah di dalam logat Minangkabau.
Dari penyelidikan para ahli, pengaruh Hindu terhadap Indonesia sangat besar sekali dari berbagai aspek, seperti bahasa, pemerintah, kepercayaan, seni ukir dan lain-lain.
Ditinjau dari segi bahasa bahkan sampai sekarang kata-kata melayu kuno atau sansekerta masih memperbanyak, memperkaya bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah Minangkabau.
D.2. Asal Nagari Menurut Pertumbuhannya1. Taratak
Dalam adat asal nagari menurut pertumbuhannya dikatakan :
Taratak mulo dibuekSudah taratak manjadi dusunSudah dusun manjadi kotoSudah koto jadi nagari
(taratak mula dibuat, sudah taratak menjadi dusun, sudah dusun menjadi koto, sudah koto menjadi nagari)
Dari ketentuan di atas maka tempat yang mula-mula didiami oleh nenek moyang orang Minangkabau adalah taratak. Taratak asal kata dari “tatak” yang berarti membuat. Pengertian membuat yaitu membuat tempat tinggal. Sebagian pimpinan pada taratak ini adalah kepala taratak (tuo taratak).
2. Dusun
Pertumbuhan dari taratak menjadi dusun. Orang yang tinggal dalam satu dusun, telah mempunyai peraturan-peraturan hidup bermasyarakat sesama anggota dusun. Pada dusun ini belum didirikan rumah gadang. Sebagai pimpinan di dusun ini disebut kepala dusun (kapalo dusun).
3. Koto
Koto berasal dari bahasa sansekerta, yaitu “kuta” yang berarti suatu tempat yang diperkuat untuk menahan serangan musuh. Pada masa dahulu di Minangkabau, koto dipagar dengan bambu berduri dan adakalanya dilingkari dengan tanah dan batu. Pada saat sekarang tidak dijumpai lagi koto yang dipagari dengan bambu berburi.
Di dalam koto sudah terdapat kumpulan rumah gadang yang didirikan berdekat-dekatan dan masing-masing mempunyai pekarangan. Pada mulanya koto didiami oleh orang-orang yang berasal dari sebuah paruik (peru) dari nenek yang sama. Lama kelamaan kumpulan rumah gadang yang ada di koto ini ditambah dengan rumah baru yang didirikan oleh orang-orang yang datang kemudian. Orang baru yang datang ke koto tersebut harus seizin dari orang yang mendirikan koto tersebut.
4. Nagari
Gabungan dari koto merupakan nagari. Penduduk suatu nagari merupakan satu satuan sosial, yang berdasarkan kebudayaan dan kebatinan. Nagari mempunyai hak otonom sendiri dan mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu dengan nagari lainnya.D.3. Nagari Nan AmpekPada masa dahulu syarat sebuah nagari terdiri dari empat suku, sedangkan bahkan sebuah nagari lebih dari empat suku. Dalam pesukuan penghulu suku dibantu oleh manti, mali, dan dubalang. Orang-orang inilah yang disebut sebagai orang ampek jinih (empat jenis).
Orang ampek jinih mempunyai tugas dan kewajiban yang berlain-lainan, dan masing-masing berdiri sendiri di atas tempatnya dan bersifat turun-temurn. Tiap-tiap suku pada masa dahulu terdiri dari atas kampung-kampung, dan tiap suku tidak sama jumlah kampungnya. Berdasarkan banyaknya dapat disebutkan:
1. Suku nan sambilan (9 kampung)2. Suku nan ampek (4 kampung)3. Suku nan limo (5 kampung)4. Suku nan anam (6 kampung)
Ikatan batin antara orang yang sesuku sangat besar sekali, karena mereka yang sesuku beranggapan berasal dari satu nenek yang sama pada masa dahulunya. Rasa seberat seringan, sehina semalu antara orang sesuku dikatakan, malu tak dapek dibagi, suku tak dapek dianjak (malu tidak dapat dibagi, suku tidak dapat dipindahkan).D.4. Ikatan Kekeluargaan Dalam Nagari Nan AmpekPenduduk suatu nagari bukan saja merupakan satu kesatuan sosial, tetapi mereka juga diikat oleh kehendak ingin hidup bersama dengan rukun. Mereka juga patuh kepada norma-norma pergaulan hidup bersama.
Setelah hidup bersama dalam suatu nagari, orang-orang yang berasal dari berbagai suku itu akhirnya menjadi satu perkauman teritorial dan mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama. Hal ini menimbulkan semangat gotong-royong, saling tolong-menolong dan ingin menciptakan kedamaian sesama masyarakat nagari. Segala permasalahan baik dan buruk semuanya dilaksanakan secara musyawarah.
Kerapatan adat nagari, merupakan dewan tertinggi dalam nagari. Berbagai permasalahan yang tidak terselesaikan pada tingkat bawah diputuskan dalam kerapatan adat nagari. Pengesahan dari kerapatan adat nagari mengenai sesuatu permasalahan merupakan pengesahan tertinggi. Dalam hal ini tentu yang berkaitan dengan permasalahan adat.
Demikian pula segala sesuatu yang sifatnya menyangkut nagari, harus sampai ketingkat kerapatan adat nagari. Sebagai contohnya pengangkatan penghulu, mendirikan rumah gadang dan lain-lain.
Kerapatan adat nagari juga mempunyai hak untuk membuat peraturan-peraturan yang berguna untuk kepentingan anak kemenakan. Hal ini dikatakan juga sebagai adat yang teradat, yaitu adat yang bersumber dari kesepakatan ninik mamak dalam nagari, dan tidak bertentangan dengan adat yang diadatkan.
Untuk kesejahteraan anak nagari, maka nagari juga mempunyai sumber-sumber pendapatan. Orang yang mengerjakan tanah ulayat harus menyerahkan sebahagian hasilnya yang telah ditentukan oleh adat kepada nagari. Hasil-hasil yang dipungut dari hutan, laut, sungai yang berada dalam wilayah nagari sebahagian harus diserahkan pada nagari. Dalam adat dikatakan : “karimbo babungo kayu, kalauik babungo karang, ka ladang babungo ampiang”, (kerimba berbunga kayu, kelaut berbunga karang, ke ladang berbunga emping).D.5. Syarat Berdirinya Sebuah NagariPada masa dahulu berdirinya sebuah nagari apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Babalai (mempunyai balairung adat)2. Bamusajik (mempunyai mesjid)3. Balabuah (mempunyai jalan raya)4. Batapian (mempunyai tempat mandi umum)
Jadi dari syarat nagari yang dikemukakan di atas terlihat sebuah nagari itu hendaklah menunjukan masyarakat yang beragama, beradat, mempunyai prinsip musyawarah berperekonomian yang baik. Dengan syarat-syarat nagari ini hendaknya diwujudkan masyarakat yang aman dan sentosa, lahir dan batin. Dalam adat dikatakan “bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak, nagari aman santoso”, (bumi senang padi menjadi, padi masak jagung mengupih, ternak berkembang biak, negeri aman sentosa).
Bila diuraikan lagi persyaratan nagari di atas dapat dikemukakan, mesjid adalah simbol dari agama. Mesjid tempat melakukan ibadah dan juga mesjid tempat bermusyawarah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan agama. Secara tidak langsung dengan adanya mesjid juga menunjukan, bahwa masyarakatnya adalah pemeluk agama islam.
Balai adat sebagai perlambang, bahwa musyawarah merupakan landasan untuk menghadapi dan memecahkan sesuatu permasalahan yang terdapat dalam nagari. Labuah adalah sebagai sarana perhubungan dan ekonomi masyarakat, sedangkan tapian tempat mandi merupakan lambang bahwa masyarakat nagari hendaklah menjaga kebersihan dan kesehatan.D.6. Kebesaran NagariYang menjadi kebesaran nagari adalah sebagai berikut :
Basawah baladangBaitiak baayamBatabek batanam ikanBapandam bapakuburanBakorong bakampuangBadusun batarak
(bersawah berladang, beritik berayam, bertebat tempat memelihara ikan, berpandam berpekuburan, berkorong berkampung, berdusun bertaratak).
Dilihat dari kebesaran nagari tersebut dapatlah disimpulkan, bahwa nagari harus mempunyai sawah ladang sebagai tempat sumber kehidupan masyarakatl. Dalam sebuah nagari juga ada taratak dan dusun, sebagai tempat berladang bagi anak nagari. Taratak dan dusun jauh dari pusat nagari. Taratak merupakan hutan jauah diulangi (hutan jauh diulangi), maksudnya tempat perulangan bagi orang kampung untuk mengolah ladang. Kadang-kadang mereka mendiami taratak, tinggal diperladangannya, dan adakalanya pulang ketempat asal. Dusun dikatakan juga hutan dakek dikendono-I atau (hutan dekat dipelihara). Dusun juga tempat perladangan bagi penduduk kampung. Perladangan itu sudah dikendonoi dan dipelihara baik. Sudah ada orang bertempat tinggal secara menetap.
Untuk kesejahteraan rakyat nagari, penduduknya juga hendaklah memelihara kerbau, kambing, sapi, ayam dan itik. Hal ini mengingatkan kepada masyarakat bahwa mata pencaharian itu jangan semata mengharapkan hasil pertanian saja. Sebuah nagari juga diberi korong dan kampung-kampung dalam hal ini memudahkan lancarnya roda pemerintahan nagari.
Selanjutnya termasuk kebesaran nagari adalah anak kemenakan atau disebut juga adanya rakyat. Anak kemenakan inilah bersama pimpinan yang akan mewujudkan sebauah nagari menjadi besar.D.7. Perhiasan NagariSebuah nagari agar bersemarak secara lahir dan batin mempunyai persyaratan sebagai berikut :
1. Rumah gadang (rumah adat beranjung)2. Lumbuang bapereang (lumbung berukir)3. Ameh perak (emas dan perak)4. Sawah ladang, banda buatan (sawah ladang, bandar buatan)5. Kabau, jawi (kerbau dan sapi)6. Tabek (kolam ikan)
Rumah gadang disamping tempat tinggal tetapi juga membawa semarak atau dapat dijadikan perhiasan oleh sebuah nagari. Bangunannya yang anggun penuh dengan ukiran dan tersusun rapi dan dipagar dengan pohon puding memberi arti tersendiri bagi orang yang memandangnya. Demikian pula lambung berukir atau rangkiang yang berderet di depan rumah gadang juga menambah cahaya nagari.
Sawah ladang bandar buatan juga merupakan perhiasan nagari, karena sawah dibuat babidang di nan data, ladang bajanjang di nan lereang, banda baliku turuik bukik (sawah berbidang di tempat yang datar, ladang berjenjang di tempat yang lereng, bandar berliku menuruti bukit). Secara alamiah telah memberi hiasan kepada sebuah nagari dan secara tersirat memberi hiasan terhadap masyarakatnya yang makmur di bidang perekonomian.
Kerbau dan sapi yang banyak dipelihara oleh anak nagari di padang pengembalaan juga memberikan pemandangan yang romantis. Namun dalam pengertian sebenarnya, kerbau dan sapi sebagai lambang kekayaan masyarakatnnya yang dapat membawa kehidupan rakyat nagari menjadi bersemarak. Demikian pula kolam ikan yang terdapat di tiap-tiap nagari juga merupakan hiasan bagi nagari tersebut, dan dari padanya juga mendatangkan hasil. Sebagai perhiasan nagari kelihatannya merupakan perpaduan antara alam dengan manusia dan budayanya.
D.8. Pagaran NagariAgar sebuah nagari bisa kokoh maka harus di pagar. Yang termasuk pagaran nagari adalah jago, sijanto, mupakai, parik, kawan, luruih, bana (bangun, senjata, mufakat, parit, kawan, lurus, benar). Bila dikelompokkan pula pagaran nagari ini terbagi dua yaitu pagaran yang bersifat kebendaan dan pagaran yang bersifat abstrak.
Senjata dan parit merupakan pagaran yang bersifat kebendaan. Pada masa dahulu untuk mempertahankan nagari dari gangguan luar maka nagari diberi berparit. Tujuannya agar musuh yang datang menjadi tertahan, di samping itu persenjataan juga dipergunakan untuk pertahanan diri.
Selanjutnya yang penting memagari nagari dari ancaman dari dalam nagari sendiri, seperti pelanggaran adat dan penyelewengan terhadap norma-norma adat yang berlaku dan lain-lain. Agar nagari tersebut tetap kokoh maka masyarakat harus jago atau waspada. Segala hal-hal yang mungkin timbul yang sifatnya merusak harus dicegah.
Kemudian setiap menghadapi permasalahan atau mengambil keputusan harus dilaksanakan melalui jalan mufakat. Dengan adanya musyawarah mencari mufakat maka segala pertikaian yang sifatnya memecah kesatuan dapat dihindari. Juga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sifat selalu mencari kawan sangat diutamakan. Harus pandai berkawan sesama anggota masyarakat agar tidak terjadi silang sengketa yang merugikan.
Agar nagari aman sentosa juga sifat lurus dan benar harus dimiliki masyarakatnya. Masyarakatnya diminta untuk menuruti segala sesuatu yang telah digariskan oleh adat dan tidak boleh menyimpang. Bila terjadi penyimpangan tentu akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat itu sendiri, sifat “luruih” juga harus dimiliki oleh seseorang dalam pergaulannya sesama anggota masyarakat.
Yang terakhir bahwa kebenaran harus ditegakkan walaupun yang salah itu keluarga sendiri. Sebagaimana dikatakan tibo dimato indak dipiciangkan, tibo di paruik indak dikampihkan (tiba di mata tidak dipicingkan, tiba diperut tidak dikempiskan). Mempunyai sifat yang benar dalam kehidupan akan menghindarkan diri seseorang dari sifat penipu dan merugikan orang lain. Bagi pemimpin dalam tugasnya supaya bakato bana ma hukum adia (berkata benar menghukum adil).
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pagaran nagari bukanlah terletak dari kekuatan fisik semata, melainkan terletak pula pada pemahaman dan kepatuhan terhadap ajaran adat itu sendiriD.9. Batasan NagariBatas nagari ditentukan oleh batas-batas alam seperti sungai, bukit, hutan dan lain-lain. Rakyat dari sebuah nagari merupakan penduduk yang berada dalam ruang lingkup nagari tersebut dengan batas-batas tertentu. Mengenai batas teritoral nagari ini dikatakan juga dalam adat “sawah dibari bapamatang, ladang babintalak, padang dibari balinggundi, rimbo baanjiluang” (sawah diberi berpematang, ladang berbintalak, pedang diberi linggundi, rimba beranjilu). Bintalak merupakan batas antara ladang seseorang dengan orang lain dan batas ini dengan tumbuh-tumbuhan hidup sebagai pagaran. Linggundi sejenis pohon lontas yang mudah hidup di padang tempat pengembalaan. Anjiluang sejenis kayu hutan yang mudah kelihatan dari jauh pada musim berbunga.
Batas-batas nagari berdasrkan kepada alam yang kemungkinan tidak banyak mengalami perubahan, menghindarkan persengketaan antara satu nagari dengan nagari lainnya. Batas alam seperti ini berupa bukit, sungai, gunung dan lain-lain. Namun demikian kemungkinan adakalanya terjadi perselisihan antara satu nagari dengan nagari lainnya bila batas-batas nagari hanya ditandai dengan pohon-pohon seperti anjiluang yang bisa mati.
Luas wilayah nagari sama dengan tanah ulayat dari suku-suku yang mendirikan nagari ditambah dengan daerah-daerah kantong, yaitu tanh-tanah yang terletak antara masing-masing ulayat suku.
Batas-batas antara satu nagari dengan nagari lainnya, didudukkan secara musyawarah oleh ninik mamak masing-masing pada masa dahulu dengan demikian kemungkinan terjadinya silang sengketa yang akan timbul kecil sekali.D.10. Sistem Pemerintahan NagariUntuk kelancaran pemerintahan nagari mulai dari taratak sampai ke nagari sudah diatur secara bertingkat sedemikian rupa. Dimana taratak dipimpin oleh kepala taratak. Dusun dipimpin oleh kepala dusun. Rumah diberi bertungganai, kaum di kepalai oleh kepala kaum, suku dipimpin oleh penghulu-penghulu suku.
Penghulu-penghulu suku mewakili sukunya masing-masing dalam kerapatan adat nagari, dan mereka inilah yang menggerakkan roda pemerintahan nagari. Segala permasalahan harus “berjenjang naik bertangga turun”. Sebelum sampai kepada pemerintahan nagari harus diselesaikan dari bawah dan bila tidak ada juga penyelesaian baru dibawa ke tingkat kerapatan adat nagari. Demikian pula hasil kerapatan nagari agar sampai kepada anak kemenakan juga melalui tingkatan atau “beratangga turun”. Penghulu-penghulu suku menyampaikan kepada kepala kaum, dan seterusnya kepada tungganai. Barulah dari tungganai diteruskan lagi kepada anak kemenakan.
Sistem pemerintahan yang dipakai oleh masing-masing nagari tergantung pada kelahiran nagari tersebut dan suku yang ada di dalam nagari itu. Dua sistem adat yang dipakai adat pemerintahan nagari koto Piliang atau Bodi Chaniago yang sama-sama berazaskan demokrasi.
E. Undang Undang
E.1. Undang - UndangTujuan adat Minangkabau bermuara kepada cita-cita untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, sebagaimana dikatakan : bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak, antimun mangarang bungo, nagari aman santoso (bumi senang padi menjadi, padi masak jagung meupih ternak berkembang biak, antimun mengarang bunga, nagari aman sentosa).Cita-cita tersebut tidak akan tercapai bila tidak ada norma-norma adat dan undang-undang adaaat yang mengaturnya. Kelihatannya orang tua-tua Minangkabau masa dahulu yang dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang telah menyusun undang-undang adat yang akan dijadikan pedoman serta pengalamannya untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang diinginkan di atas.
Undang-undang yang disusun tersebut memegang peranan penting untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan, keamanan dan ketentraman masyarakat Minangkabau masih kuat dengan adatnya. Barangkali itulah sebabnya sampai saat ini orang Minangkabau masih kuat dengan adatnya lantaran warisan yang diterma dilandasi oleh undang-undang dan peraturan adat yang harus dipedomani, dihayati serta diamalkan. Undang-undang merupakan tali pengikat bagi setiap lembaga yang ada seperti raantau, luhak, nagari, maupun seluruh warga masyarakatnya.
Dengan kata lain undang-undang gunanya untuk mengatur hubungan nagari dengan nagari, luhak dengan luhak, alam dengan rantau, untuk mengatur keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dalam nagari.
Sebagai sendi dari undang-undang adat yaitu : cupak nan duo, kato nan ampek (cupak yang dua, kata yang empat). Cupak yang dua adalah cupak usali (cupak asli) dan cupak buatan. Sedangkan kato nan ampek adalah kato pusako, kato mupakat, kato dahulu dan kato kudian. Kesemua materi di atas akan menjadi pembahasan dalam bahagian bab ini.
E.2. Undang - Undang Nan AmpekUndang-undang yang telah disusun oleh orang tua-tua Minangkabau dahulu telah dikategorikannya atas empat bahagian atau dalam adat dikatakan. Undang-undang nan ampek (undang-undang yang empat). Undang-undang nan ampek ini adalah undang-undang luhak, undang-undang nagari, undang dalam nagari dan undang-undang duo puluah (dua puluh).
a. Undang-Undang Luhak Dan Rantau.
Undang-undang luhak dan rantau mengatur hal-hal yang berkaitan dengan luhak dan rantau, seperti tugas penghulu dan rajo di daerah rantau, undang-undang luhak dan rantau ini dikatakan dalam pantun adatnya yang mengatakan:
Mancampak sambia kahulu,Kanailah pantau dikualo,Dilatak dalam cupak,Dijarang jo sipadeh ;Luah dibari barajo,Tagak indak tasondak,Malenggang indak tapampeh
(mencapak sambil kehulu, dapatlah pantau dikuala, diletakkan dalam cupak, dijerangkan dengan sipedas, luhak diberi penghulu, rantau diberi raja, tegak tidak tersundak, melenggang tidak terpempas).
Pengertiannya di daerah luhak yang mengaturnya adalah penghulu, sedangkan di daerah rantau yang akan ganti penghulu disebut rajo. Kedua kepemimpinan ini yaitu penghulu dan rajo mempunyai wewenang penuh di daerah masing-masing, sebagaimana dikatakan “tagak indak tasondak, malenggang indak tapampeh”.
b. Undang-Undang Nagari
Undang-undang nagari mengatur segala sesuatu mengenai nagari sebagai satu kesatuan masyarakatt hukum adat. Menurut undang-undang mengenai nagari dikemukakan oleh taliban adat sebagai berikut :
Anak gadih mangarek kuku, dikarek jo pisau sirauik, pangarek batuang tuo, batuang tuo elok kalantai, nagari baampek suku, dalam suku babuah paruik, kampuang banantuo, rumah batungganai (anak gadis mengerat kuku, dikerat dengan pisau siraut, peraut betung tua, betung tua untuk baik untuk lantai, negeri berkeempat suku, dalam suku mempunyai perut, kampung bertua, rumah bertungganai). Pada mulanya dengan pengertian sebuah nagari mempunyai sekurang-kurangnya terdiri dari empat suku, tiap suku terdiri pula dari perut-perut atau kaum. Dalam sebuah kampung ada yang dituakan setiap rumah gadang ada mempunyai tungganai (mamak yang dituakan).
M. Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghoeloe dalam bukunya Sejarah Ringkas Minangkabau dengan adatnya, mengatakan, bahwa nagari baru bisa dikatakan sebuah nagari yang syah bila mempunyai tujuh rukun sebagai berikut:
1. Balabuah batapian2. Babalai bamusajik3. Badusun batarak4. Basawah baladang5. Babanda buatan6. Bakabau bajawi, ba tabek ba taman-taman7. Bagalanggang bapamedanan
Bila diperhatikan undang-undang nagari ini lebih menitik beratkan kepada kelembagaan nagari sebagai tertorial yang berupa kampung, taratak, dusun, koto dan tiap-tiapnya ada pimpinan yang mengaturnya untuk memperlancar mekanisme roda pemerintahan secara adat.
c. Undang-Undang Dalam Nagari
Undang-undang dalam nagari mengatur hubungan antara nagari dengan isinya, antara seseorang dengan seseorang, antara seseorang dengan masyarakat dan sebagainya. Undang-undang dalam nagari juga menggariskan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat. Undang-undang dalam nagari ini menjamin keamanan dalam nagari karena orang disuruh untuk berbuat sesuatu, dan jika tidak ditaati juga diancam dengan hukuman. Hukum yang paling berat adalah kehinaan yang ditimpakan terhadap diri seseorang, seperti tidak dibawa sehilir semudik, dikeluarkan dari hubungan kekeluargaan dan lain-lain.
Hak dan kewajiban yang dikemukakan dalam undang-undang dalam nagari ini dikemukakan sebagai berikut:
Salah tariak mangumbalikan, salah cotok malantiang, salah lulua mamuntahkan, salah cancang mambari pampeh, salah bunuah mamabari diat, manyalang maantakan, utang dibaia, piutang ditarimo, baabu bajantiak, kumuah basasah, sasek suruik talangkah kumbali, gawa maubah, cabua dibuang, buruak dipabaiki, lapuak dikajangi usang dipabarui, tangih baantokan, jatuah basambuik, salah kapado tuhan mintak tobat, salah kapado manusia minta maaf, suarang baagiah, sekutu babalah.
d. Undang-Undang Nan Duo Puluah
Undang-undang nan duo puluah (undang-undang yang dua puluh). Yaitu undang-undang yang berhubungan dengan hukm dan penyelesaian hukum. Menegakkan keadilan dan kebenaran serta menjaga ketertiban merupakan syarat yang harus dipertahankan di tengah-tengah masyarakat. Menegakkan ketertiban dan keamanan serta menghukum orang yang berbuat salah adalah merupakan jaminan amannya masyarakat dan lancarnya segala pekerjaan dalam nagari.
Melihat jenis kejahatan maka undang-undang duo puluah dibagi atas dua bahagian. Pertama undang-undang nan salapan dan yang kedua undang-undang na duo baleh.
Yang termasuk undang-undang nan salapan adalah sebagai berikut:
1. Dago dagi mambari malu2. Sumbang salah laku parangai3. Samun saka tagak di bateh4. Umbuak umbai budi marangkak5. Maliang curi taluang diindian6. Tikam bunuah padang badarah7. Sia baka sabatang suluah8. Upeh racun batabuang sayak
Undang-undang nan salapan ini menyatakan kejahatan atau kesalahan besar dan disebut juga “cemo dan bakaadaan” (tuduh yang mempunyai fakta)
1. Dago Dagi Mambari Malu
Dago dagi mambari malu (dago dagi memberi malu), dago merupakan kesalahan yang diperbuat oleh kemenakan kepada mamaknya, sedangkan dagi yakni mamak berbuat salah kepada kemenakannya. Melawan kepada mamak adalah hal yang sangat tercela karena mamak sebagai pimpinan adalah atas pilihan kemenakan-kemenakannya dan didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Oleh karena itu seorang mamak haruslah dihormatinya.
2. Sumbang Salah Laku Parangai
Sumbang salah laku parangai (sumbang salah laku perangai). Sumbang perbuatan atau pergaulan yang salah dipandang mata dan belum dapat dijatuhkan hukuman secara adat. Sebagai contoh sering bertemu kerumah seorang janda yang tidak pada waktunya. Salah adalah perbuatan yang melanggar susila dan dapat dijatuhi hukuman secara adat. Sebagai contohnya “manggungguang mambaok tabang” (menggunggung membawa terbang), maksudnya melarikan isteri orang.
3. Samun Saka Tagak Di Bateh
Samun saka tagak di bateh (samun sakal tegak di batas), samun maksudnya mengambil barang orang lain dengan paksa di tempat yang lengang dan dilakukan di daerah perbatasan. Di daerah perbatasan seperti antara batas luhak dengan rantau. Hal ini sudah diperhitungkan oleh penyamun karena sulit untuk mengusutnya nanti secara hukum.Saka juga menghadang di tempat yang lengang untuk merampas barang orang lain tidak segan-segan melakukan pembunuhan.
4. Umbuak Umbai Budi Marangkak.
Umbuak (umbuk), maksudnya menipu orang lain dengan mulut manis sehingga orang terpedaya. Umbai, maksudnya menipu dengan jalan ancaman. Ada juga pendapat yang mengatakan umbuak umbai ini dengan “kicuah kicang”. (penipuan yang sangat lihai sekali).
5. Maliang Curi Taluang Dindiang
Maliang (maling), mengambil barang orang lain pada malam hari. Sebagai bukti orang maling itu masuk kerumah orang lain taluang dindiang (terluang dinding). Maksudnya ada buktinya dinding yang berlobang atau rusak tempat orang maling itu masuk. Curi yaitu mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuannya pada siang hari.
6. Tikam Bunuah Padang Badarah
Tikam, maksudnya menikam senjata tajam kepada orang lain sampai luka. Sebagai buktinya bahwa dia telah melakukan penikaman, senjata yang dipergunakannya berdarah. Bunuah (bunuh), melenyapkan nyawa orang lain dengan bukti mayat terbujur.
7. Sia Baka Sabatang Suluah
Sia (siar) maksudnya menyulutkan api kepada sesuatu barang tetapi tidak sampai menghanguskan. Baka (bakar), maksudnya menyulutkan api sampai menghanguskan, seperti rumah menjadi abu. Sebagai buktinya ada puntung suluh yang terdapat di sekitar tempat tersebut.
8. Upeh (racun)
Upeh (upas), maksudnya ramuan yang dijadikan racun dan ramuan ini dapat mematikan. Racun sejenis tuba yang dapat membunuh orang dengan seketika. Lengkapnya dikatakan upeh racun batabuang sayak (upas racun bertabung sayak). Tabung sayak sebagai alat bukti yang dipergunakan untuk menyimpan upas dan racun tadi. Sebagai pembuktian pada masa dahulu sisa makanan diberikan kepada hewan dengan sayak (tempurung) yang dipergunakan untuk meletakkan racun tersebut.
Undang-undang nan duo baleh merupakan bagian dari undang-undang nan duo puluah. Yang termasuk undang-undang nan duo baleh ini adalah sebagai berikut:
Talala takajaTacancang taragehTakacuik tapukua Putuih taliTumbang ciakAnggang lalu ata jatuahBajalan bagageh-gagehPulang pai babasah-basahBajua bamurah-murahPanyakik dibaok langauTabayang tatabuaKacondong mato rang banyak
Undang-undang nan duo baleh ini dibagi pula atas dua bahagian yaitu undang-undang nan anam dahulu dan undang-undang nan anam kudian. Undang-undang nan anam dahulu dikatakan juga “tuduah”. Sangka yang berkeadaan, jatuh kepada bukti yang bersuluah matahari, (bergelenggang mata orang banyak). Sedangkan undang-undang nan anam kemudian dikatakan “cemo” atau syakwasangka, apakah seseorang itu melakukan pekerjaan tersebut atau tidak. Untuk jelasnya akan dibicarakan satu-persatu dari undang-undang nan duo baleh di atas.
1. Talala Takaja
Talala (terlala), maksudnya orang yang tertangkap ketika ingin lari setelah berbuat kesalahan. Takaja (terkejar), maksudnya orang yang melakukan kesalahan seperti mencuri kemudian melarikan diri. Setelah dikejar orang tersebut dapat ditangkap beserta barang buktinya.
2. Tacancang Tarageh
Tacancang (tercencang), maksudnya orang yang melakukan kesalahan mendapat pukulan atau kena senjata tajam dari orang yang menangkapnya. Pukulan dan senjata tajam tadi mempunyai bekas pada tubuh orang yang melakukan kesalahan tersebut. Tarageh, maksudnya si pelaku kejahatan dapat ditangkap dan kepalanya digundul secara terburu buru dan ini dapat dijadikan sebagai satu bukti juga.
3. Talacuik Tapukua
Talacuik (terlecut), maksudnya si tertuduh kena lecut oleh orang yang menangkapnya, dan dapat dibuktikan bekasnya pada badannya. Tapukua (terpukul), maksudnya orang yang berbuat kesalahan kena pukul, dan pukulan ini membekas pada badannya.
4. Putuih Tali
Putuih tali (putus tali), maksudnya keterangan yang diberikan oleh seseorang yang membuat dirinya bebas dari tuduhan. Tetapi setelah disiasati ternyata keterangan yang diberikannya bohong sama sekali dan dia tidak dapat mengelakkan diri.
5. Tumbang Ciak
Tumbang artinya berbunyi keras, dan ciak pengertiannya hiruk pikuk. Pengertiannya ketika kejahatan dilakukan terjadi sesuatu yang menimbulkan bunyi keras. Akibat bunyi keras itu orang terpekik atau bersorak yang menimbulkan hiruk pikuk. Tujuannya agar perbutan si tertuduh diketahui oleh orang banyak.
6. Anggang Lalu Atah Jatuah
Anggang lalu atah jatuah (enggang lalu atah jatuh), arti secara kata-kata ketika burung enggang terbang melewati pohon saat itu buahnya jatuh. Ada pula yang mengatakan “enggang lalu atah jatuah”. Enggang bukan burung melainkan orang sedang mengisi atau mengayak untuk memisahkan atah dengan beras. Saat itu atah dan beras jatuh kebawah pada lobang-lobang kisaian.
Yang kedua belum ada lagi penelitian. Namun demikian keduanya mempunyai pengertian yang sama terhadap suatu peristiwa kejahatan. Maksudnya pada waktu peristiwa itu terjadi, ada orang yang lalu ditempat itu. Secara tidak langsung orang yang lalu itulah yang dituduh melakukan perbuatan tersebut.
7. Bajalan Bagageh-Gageh
Bajalan bagageh-gageh (berjalan bergegas-gegas), meksudnya ada seseorang yang kelihatan oleh orang lain berjalan terburu-buru seperti orang ketakutan di tempat kejahatanter jadi. Orang berprasangka dialah yang melakukan perbuatan tersebut.
8. Pulang Pagi Babasah-Basah
Pulang pagi babasah-basah (pulang pagi berbasah-basah), maksudnya kecurigaan timbul terhadap diri seseorang berkenaan ketika kejadian, orang tersebut keluar atau datang dari tempat tersebut dengan pakaian yang tidak terurus dan tubunya basah atau berlumpur.
9. Bajua Bamurah-Murah
Bajua bamurah-murah (menjual bermurah-murah). Maksudnya kedapatan oleh orang atau diperoleh berita, bahwa orang yang dicurigai menjadi barang dengan harga yang tidak sepantasnya. Akibatnya timbul syakwasangka, orang tersebutlah yang melakukan kejahatan itu.
10. Panyakik Dibaok Langau
Penyakik dibaok langau (penyakit dibawa langau). Maksudnya ketika terjadi suatu peristiwa yang menggemparkan masyarakat, ada orang yang meninggalkan kampung atau nagarinya secara diam-diam. Kecurigaan timbul kalau dihubungkan dengan kelakuannya selama ini.
11. Tabayang Tatabua
Tabayang tatabua (terbayang tertabur), maksudnya ketika peristiwa terjadi orangnya tidak tertangkap. Namun dari kejauahn kelihatan secara samar-samar di tempat yang gelap si pelakunya. Setelah dicocokan degan bentuk, pakaian, dan lain-lain orang amai mencurigainya, bahwa dialah pelakunya.
12. Kacondongan Mato Rang Banyak
Kacondong mato rang banyak (kecenderungan mata orang banyak), maksudnya dalam suatu peristiwa orang banyak cepat memberi tuduhan kepada seseorang, karena selama ini orang yang dicurigai sudah runciang tanduak (runciang tanduk) juga. Dengan pengertian orang yang dicurigai sudah seringkali berbuat kejahatan. Padahal belum tentu dia yang berbuat kejahatan tersebut.E.3. Cupak Nan DuoCupak nan duo (cupak yang dua). Arti cupak dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Minangkabau adalah suatu ukuran yang terbuat dari bambu dan dipergunakan untuk menakar beras. Cupak ini dibuat dari seruas bambu dan tidak bisa lebih dari satu ruas atau dikatakan sepanjang batuang (bambu) : yang dimaksudnya sepanjang ruas dari bambu tersebut.
Untuk keseragaman jumlah isi dari cupak tersebut maka dibuat kesepakatan bersama, bahwa semua cupak harus berisi seberat 12 tahil (satu tahil beratnya 16 emas), satu emas sama dengan 2 ½ gram. Pada saat sekarang tentu ukuran ini tidak dipakai lagi karena sudah ditemui alat ukur yang lain. Cupak yang telah dijadikan ukuran bersama ini dikatakan “cupak usali” atau cupak asli. Berpedoman dari cupak asli ini ada cupak yang lain dibuat orang sebagai ukuran dan disebut sebagai “cupak buatan”. Sesuai dengan falsafah alam takambang jadikan guru, maka arti tersurat dari cupak ini diberi pengertian tersirat yang ada kaitannya dengan adat Minangkabau yang dikenal sampai saat ini dengan “cupak usali dan cupak buatan”.
Cupak sepanjang betung dan adat sepanjang jalan, maksudnya segala sesuatu yang telah digariskan oleh adat menurut alur, dan patut serta mungkin, tidak boleh dikurangi atau dilebihkan, dan harus dituruti. Ibarat cupak hanya menurut ruas betung dan tidak lebih, baik ukuran maupun isinya. Demikian pula yang dimaksud dengan adat sepanjang jalan. Yaitu segala sesuatu hendaklah sepanjang adat yang berlaku dan tidak boleh menyimpang. Jadi pengertian jalan adalah jalan adat, bukanlah tempat lalu.
Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini : jika meninggal Dt. Hitam, maka gelar pusaka dan harta pusakanya jatuh kepada ahli waris atau keturunan Dt. Hitam dalam kaumnya sendiri, dan tidak boleh diwarisi oleh kaum lain. Kalau terjadi di luar itu tidak lagi bercupak sepanjang betung dan beradat sepanjang jalan.
Habis cupak karena pelilisan, habis adat berkelirahan secara arti tersurat, maksudnya mencupaki sesuatu diakhiri dengan melilisnya agar tidak mengurangi atau melebihi. Habis adat berkeliaran, maksudnya ada unsur kompromi satu sama lain sehingga sama-sama senang dan tidak ada yang dirugikan.
Sebagai contoh dapat dikemukakan saebagai berikut: dalam menjemput marapulai bisa terjadi adanya perbedaan dengan syarat-syarat berbeda. Bila dituruti adat masing-masing nagari tidak akan terdapat persesuaian, sebab lain padang, lain belalang, lain lubuk lain ikan, lain nagari lain adatnya. Karena ada kompromi akhirnya terdapat persesuaian tanpa mengurangi makna dari pada menjemput marapulai tadi.
Mengenai arti tersirat dari cupak usali dari cupak buatan dapat dikemukakan beberapa pendapat:
1. D. Djamaludin Sutan Maharajolelo mengatakan :
Adapun yang dikatakan cupak asli, yang betul seumpama sembahyang lima waktu sehari semalam dan diperlukan sembahyang jumat sekali seminggu menurut kitabullah, dengan tidak boleh ditambah dan dikurangi. Cupak buatan itu ialah putusan penghulu-penghulu dalam nagari atau luhak yang ditentukan hingga batasnya (hak), supaya genggam beruntuk duduk berpenghadap.
2. Muhammad Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu mengatakan:
Cupak usali menurut adat dikiaskan kepada ukuran yang telah ditetapkan, tidak boleh dibandingkan lagi dan berlaku selama-lamanya, karena dijadikan teladan “standar” atau “measure” yang akan ditiru atau dipedomani. Yang diaktakan cupak buatan yaitu pencaharian segala penghulu. Urang tuo-tuo dan cadiak pandai dalam nagari dipateri dengan : “tanduak dibanam - darah dikacau, dagiang dilapah, dilicak pinang, ditapuang batu”.
3. Prof. Mr. M. Nasroen
Yang paling umum penafsiran kepada cupak nan duo adalah tafsiran yang dikemukakan oleh M. Nasroen ini. Cupak usali adalah sesuatu yang seharusnya menurut alur dan patut yang kalau tidak dituruti akan terjadilah apa yang menurut fatwa adat “diasak layua dibubui mati” (dipindahkan layu dicabut mati). Demikian menurut cupak usali ialah “gantang nan papek, bungka nan dipiawai, taraju nan indak bapaliang, bajanjang naiak, batanggo turun, nan hitam tahan tapo, namun putuih tahan sasah, baukua banjangkokan, nan babarih nan bapahek, bab batakuak nan batabang”, (gantang yang pepat, bungkai yang piawai, taraju yang tidak berpaling, berjenjang naik berrtangga turun, yang hitam tahan tepa, yang putih tahan cuci, berukur berjangkakan, yang bergaris yang berpahat, yang bertakuk yang ditebang). Cupak buatan ialah sesuatunya atas putusan permufakatan, yang boleh diperlonggar dan diturun dipernaikkan menurut zaman dan keadaan.
Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan mengenai penafsiran cupak nan duo, kelihatan adanya unsur-unsur persamaan dan perbedaan. Kesamaan dalam hakekat tingkatan adanya unsur persamaan dan perbedaan. Kesamaan dalam hakekat tingkatan kekuatan yaitu cupak usali menggariskan bahwa tindakan, perbuatan bagi seorang individu maupun masyarakat tidak boleh menyimpang dengan ketentuan-ketentuan atau norma-norma yang telah diwarisi. Untuk memperkuat ketentuan ini diumpamakan kepada hukum alam, seperti dikatakan nan babarih nan bapahek, nan batakuan nan batabang (yang berbaris yang dipahat yang bertakuk yang ditebang).
Demikian pula pada persamaan penafsiran kepada cupak buatan, yaitu ketentuan-ketentuan dalam adat kemudian di atas kesepakatan penghulu-penghulu yang disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Secara tidak langsung cupak buatan suatu pengakuan, bahwa adat Minangkabau itu tidak statis, malainkan elastis yang dapat menyesuaikan diri dengan zamannya. Perbedaan hanya pada contoh-contoh yang diberikan, ada yang menitik beratkan kepada segi hukum, ada yang berkaitan dengan nilai. Contoh dapat dibuat bermacam-macam tetapi jiwa “cupaknya” satu saja. Yang dimaksud cupak tidak lain ukuran, takaran, ketentuan yang telah digariskan oleh adat.
Kalau dapat dikatakan cupak usali atau cupak buatan mengatur pelaksanaan apa-apa yang telah digariskan baik yang berupa warisan maupun yang diatur kemudian, dan ini tercermin dalam tingkah laku perbuatan masyarakat adat. Bila dikaitkan antara adat nan sabana adat dengan cupak usali adalah, adat nan sabana adat berupa ketentuan, norma yang digali berdasarkan hukum-hukum alam sedang cupak usali merupakan pelaksanaan dari padanya dan tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan.E.4. Kato Nan Ampek
Pengertian kata dalam kato nan ampek (kata yang empat), merupakan arti tersirat. Sedangkan arti sebenarnya tidak lain dari pada norma-norma, peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan yang diungkapkan dalam bentuk ungkapan-ungkapan, mamangan, petitih, petatah, peribahasa dan lain-lain. Kesemuanya itu dijadikan pedoman, dihayati serta diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan urutan sejarah terdapat atau lahirnya kata-kata yang mengandung norma-norma tadi dan bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari maka dalam adat Minangkabau kata tersebut dalam adat adalah sebagai berikut :
1. Kato Pusako
Kato pusako (kata pusaka) itu diwarisi, dengan pengertian segala ketentuan-ketentuan yang telah dituangkan dalam bentuk petatah petitih dan lain-lain merupakan peninggalan-peninggalan nenek moyang orang Minangkabau pada masa dahulu terutama dari tokoh-tokoh adatnya, yaitu Datuak Ketumanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang. Ketentuan-ketentuan yang berupa fatwa-fatwa adalah merupakan kebenaran yang harus dipedomani dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Yang termasuk kata pusaka dapat dikemukakan sebagai berikut:
Nan babarih nan bapahek,Nan baukua nan bajangkoMamahek mahuju barihTantang bana lubang katabuakManabang manuju pangkaMalantiang manuju tangkaiTantang buah kalarehKok manggayuang sabana putuihMalantiang sabana lareh
(yang bergaris yang dipahat, yang berukur yang berjangka, memahat menuju garis, tepat benar lobang yang akan tembus, menebang menuju pangkal, melempar menju tangkai, tepat benara buah akan jatuh, jika menggayung sebenar putus, kala melempar betul-betul jatuh).
Hakekat kato pusako terletak dalam “bakato sapatah sadang”. Dalam kata sepatah, “yang genting putus, yang biang tembus. Pada kata pusaka tidak ada kompromi atau toleransi, tidak ada sanggah banding, tidak ada ulur tarik, tidak ada tolak ansur. Rumah sudah tukang dibunuh, nasi masak periuk pecah”. Dengan pengertian semua apa yang dikemukakan oleh kata pusaka hendaklah dipedomani dan diamalkan secara konsekwen.
2. Kato Mufakat
Kata mufakat merupakan hasil permufakatan melalui musyawarah tentang memecahkan suatu masalah, atau hasil permufakatan itu bisa juga menghasilkan ketentuan-ketentuan yang bermanfaat bagi kehidupan bersama.
Kata mufakat juga memberikan kesempatan, bahwa sesuatunya dapat disesuaikahn dengan situasi, asal ada kemufakatan. Disini juga memperlihatkan bahwa adat Minangkabau itu bukan statis melainkan dinamis sesui dengan zamannya.
Mencari kata mufakat dikatak dalam adat sebagai berikut:
Dicari rundiang nan saiyo,Baiyo-iyo jo adiak,Batido-tido jo kakakBabana-bana jo bundoDibulekkan aia kapambuluahDibulekkan kato jo mufakatBuruak di buang jo etonganElok ditariak jo mufakat
(dicari runding yang seiya, beriya-iya dengan adik, bertidak-tidak dengan kakak, bersungguh-sungguh dengan bunda, dibulatkan air ke pembuluh, dibulatkan kata ke mufakat, buruk dibuang dengan perhitungan, elok ditarik dengan mufakat).
Bila sudah diperoleh kesepakatan barulah dilaksanakan secara konsekwen sebagaimana dikatakan, “kok lah dapek kato sabuah, kok bulek pantang basuduik, kok pipih pantang basandiang, tapauik makanan lantak, takuruang makanan kunci” (bila sudah dapat kata sebuah, bulat tidak bersudut, ceper tidak bersanding, yang terikat makanan lantang, yang terkurung makanan kunci).
Dalam mencari kata mufakat tidak dikenal sistem suara terbanyak. Oleh sebab ada perbedaan pendapat maka persoalannya ditangguhkan terlebih dahulu sehingga yang berbeda pendapat itu dapat lagi berfikir dan biasanya diadakan perembukkan.
3. Kato Dahulu Batapati
Kata dahulu ditepati mempunyai pengertian bahwa segala ketentuan yang telah disepakati, baik keputusan dalam memecahkan sesuatu masalah ataupun norma-norma yang telah disepakati untuk kepentingan hidup bersama tidak boleh menyimpang dari hasil kesepakatan tadi. Kalau terjadi penyimpangan berarti tidak ditepati apa yang telah diputuskan atau diikrarkan tersebut. Ketentuan adatnya mengatakan : “pitaruah indak diunyikan, pasan indak dituruti” (pitaruh tidak tunggui, pesan tidak dituruti).
Contoh dari kata dahulu ditepati seperti janji yang telah dibuat sebelumnya dan janji ini hendaknya ditepati oleh kedua belah pihak dan dalam adat dikatakan “janji harus ditepati, ikrar harus dimuliakan”.
4. Kato Kemudian Kato Bacari
Kata kemudian kata dicari dapat ditafsirkan atas dua pengertian. Dalam pengertian positif dapat diartikan, bahwa adanya pemikiran baru yang lebih baik dari pada yang disepakati sebelumnya dengan alasan pikiran indak sama sekali tumbuah ingatan indak sakali tibo, dengan pengertian ada kesepakatan untuk memperbaiki mengubah segala yang telah diputuskan sebelumnya asal saja ada kesepakatan bersama.
Dalam pengertian negatif yaitu adanya keinginan untuk menolak terhadap apa yang diputuskan tanpa dasar yang kuat, sedangkan sebelumya sudah diterima dan disepakati. Menurut adat orang yang bersikap seperti ini dikatakan : “kok duduaknyo alah bakisah, kok tagaknya lah bapaliang, mancaliak jo suduik mato, bajalan dirusuak labuah”. (jika duduknya sudah berkisar, tegaknya sudah berpaling, melihat dengan sudut mata, berjalan dipinggir jalan).
F. Sistem Kekerabatan
F.1. PengantarSistem kekerabatan pada masyarakat hukum adat Minangkabau oleh para ahli hukum lazim disimpulkan dalam kata-kata rumusan matrilineal, genologis dan tertorial. Pada sistem kekerabatan matrilineal ini garis keturunan ibu dan wanita : dan anak-anaknya hanya mengenal ibu dan saudara-saudara ibunya, ayah dan keluarganya tidak masuk clan anaknya karena ayah termasuk clan ibunya pula. Para ahli antropologi sependapat bahwa garis-garis keturunan matrilineal merupakan yang tertua dari bentuk garis keturunan lainnya. Salah seorang dari ahli tersebut bernama Wilken yang terkenal dengan teori evolusinya. Wilken mengemukakan proses dari garis keturunan ini pada masa pertumbuhannya sebagai berikut:1. Garis keturunan ibu2. Garis keturunan ayah3. Garis keturunan orang tua
Menurut teori evolusi garis keturunan ibulah yang dianggap yang tertua dan kemudian garis keturunan ayah, selanjutnya si anak tidak hanya mengenal garis keturunan ibunya, tetapi juga garis keturunan ayahnya. Alasan yang digunakan oleh penganut teori evolusi ini menitik beratkan terhadap evolusi kehidupan manusia.
Pada masa lalu pergaulan antara laki-laki dan wanita masih bebas artinya belum mengenal norma-norma perkawinan. Untuk memudahkan silsilah seorang anak dengan berdasarkan kelahiran. Berdasarkan alam terkembang menjadi guru dalam kenyaaan yang beranak itu adalah wanita atau betina. Dengan demikian keturunan berdasarkan perempuanlah yang mendapat tempat pertama. Dalam kenyataan sampai saat ini, masyarakat Minangkabau masih bertahan dengan garis keturunan ibu dan tidak mengalami evolusi. Disamping itu garis keturunan ibu di Minangkabau erat kaitannya dengan sistem kewarisan sako dan pusako. Seandainya garis keturunan mengalami perubahan maka akan terjadi sesuatu perubahan dari sendi-sendi adat Minangkabau sendiri. Oleh itu bagi orang Minangkabau garis keturunan bukan hanya sekedar menentukan garis keturunan anak-anaknya melainkan erat sekali hubungannya dengan adatnya.
Sebenarnya garis keturunan yang ditarik dari garis wanita bukan hanya terdapat di Minangkabau saja, melainkan juga di daerah lain pada sejumlah besar suku-suku primitif di Melanesia, Afrika Utara, Afrika Tengah, dan beberapa suku bangsa di India. Malahan ada yang sangat mirip dengan sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau, yaitu suku Babemba di Rodhesia Utara. Raymond Rifth mengemukakan, mengenai ini sebagai berikut:
Seorang laki-laki termasuk marga ibunya, dan kalau dia bicara tentang kampung asalnya, maka dimaksudkannya adalah kampung halaman ibunya dan paman-pamannya dari pihak perempuan dilahirkan. Dia mencari asal usul terutama dari silsilah nenek moyangnya dari pihak perempuan. Bagi seorang laki-laki bangsawan adalah lazim, bahwa nenek moyangnya dari pihak perempuan dapat ditunjukkan sampai keturunan yang ketiga belas, sedangkan nenek moyangnya yang laki-laki hanya sampai dua generasi saja. Pergantian kedudukan juga dilakukan menurut garis silsilah ibu. Jabatan kepala suku juga diturunkan kepada anak laki-laki saudara perempuannya.
Banyak ahli barat menulis tentang Minangkabau yang ada kaitannya dengan sistem kekerabatan Minangkabau. Salah seorang dari para ahli tersebut adalah Bronislaw Malinowsky yang mengemukakan sebagai berikut:
Keturunan dihitung menurut garis ibu
Suku dibentuk menurut garis ibu
Pembalasan dendam merupakan tata kewajiban bagi seluruh suku
Kekuasaan di dalam suku, menurut teori terletak di tangan ibu tetapi jarang dipergunakan.
Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar suku
Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya.
Perkawinan bersifat matrilokal yaitu suami mengunjungi rumah istri
Apa yang dikemukakannya di atas yang tidak ditemui sekarang adalah pembalasan dendam yang merupakan tata kewajiban seluruh suku, mungkin terjadi pada masa dahulu. Dalam membicarakan sistem kekerabatan matirilinel di Minangkabau yang akan dikemukakan pada bab selanjutnya.
F.2. Garis Kekerabatan dan Kelompok-Kelompok MasyarakatGaris keturunan dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi inti dari sistem kekerabatan matrilineal ini adalah “paruik”. Setelah masuk islam di Minangkabau disebut kaum. Kelompok sosial lainnya yang merupakan pecahan dari paruik adalah “jurai”.
Interaksi sosial yang terjadi antara seseorang, atau seseorang dengan kelompoknya, secara umum dapat dilihat pada sebuah kaum. Pada masa dahulu mereka pada mulanya tinggal dalam sebuah rumah gadang. Bahkan pada masa dahulu didiami oleh berpuluh-puluh orang. Ikatan batin sesama anggota kaum besar sekali dan hal ini bukan hanya didasarkan atas pertalian darah saja, tetapi juga di luar faktor tersebut ikut mendukungnya. Secara garis besar faktor-faktor yang mengikat kaum ini adalah sebagai berikut.
1. Orang Sekaum Seketurunan
Walaupun di Minangkabau ada anggapan orang yang sesuku juga bertali darah, namun bila diperhatikan betul asal usul keturunannya agak sulit dibuktikan, lain halnya dengan orang yang sekaum. Walaupun orang yang sekaum itu sudah puluhan orang dan bahkan sampai ratusan, namun untuk membuktikan mereka seketurunan masih bisa dicari. Untuk menguji ranji atau silsilah keturunan mereka. Dari ranji ini dapat dilihat generasi mereka sebelumnya dan sampai sekarang, yang ditarik dari garis keturunan wanita. Faktor keturunan sangat erat hubungannya dengan harta pusaka dari kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum dan juga mengenai sako.
2. Orang Yang Sekaum Sehina Semalu
Anggota yang berbuat melanggar adat akan mencemarkan nama seluruh anggota kaum, yang paling terpukul adalah mamak kaum dan kepala waris yang diangkat sebagai pemimpin kaumnya, karena perasaan sehina semalu-cukup mendalam, maka seluruh anggota selalu mengajak agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan dari anggota kaumnya. Rasa sehina semalu ini adat mengatakan : “malu tak dapek dibagi, suku tak dapek dianjak” (malu tak dapet dibagi suku tidak dapat dianjak). Artinya malu seorang malu bersama. Mamak, atau wanita-wanita yang sudah dewasa selalu mengawasi rumah gadangnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini.
3. Orang Yang Sekaum Sepandan Sepekuburan
Untuk menunjukkan orang yang sekaum maka sebuah kaum mempunyai pandam tempat berkubur khusus bagi anggora kaumnya. Barangkali ada yang perlu untuk dibicarakan berkaitan dengan pandam ini. Di Minangkabau tempat memakamkan mayat terdapat beberapa istilah seperti pandam, pekuburan, ustano dan jirek. Kuburan ini merupakan tempat kuburan umum dan disini tidak berlaku seketurunan dan siapa saja atau mamak mana asalnya tidak jadi soal. Yang disebut juga anak dagang.
“ustano” adalah makam raja-raja dengan keluarganya. Di luar dari itu tidak dibenarkan. Namun dalam kenyataan sehari-hari orang mengacaukan sebutan ustano dengan istana sebagaimana sering kita baca atau dengar. Sedangkan jirek merupakan makam pembesar-pembesar kerajaan pagaruyung dengan keluarganya. Ustano dan jirek ini terdapat di pagaruyung batusangkar. Untuk mengatakan seseorang itu sekaum merupakan orang asal dalam kampung itu, kaum keluarganya dapat menunjukkan pandamnya, di dalam adat dikatakan orang yang sekaum itu sepandam sepekuburan dengan pengertian satu pandam tempat berkubur.
4. Orang Yang Sekaum Seberat Seringan
Orang yang sekaum seberat seringan sesakit sesenang sebagian yang dikemukakan dalam adat “kaba baik baimbauan, kaba buruk bahambauan” (kabar baik dihimbaukan, kabar buruk berhamburan). Artinya bila ada sesuatu yang baik untuk dilaksanakan seperti perkawinan, berdoa dan lain-lain maka kepada sanak saudara hendaklah diberitahukan agar mereka datang untuk menghadiri acara yang akan dilaksanakan. Tetapi sebaliknya semua sanak famili akan berdatangan, jika mendengarkan kabar buruk dari salah seorang anggota keluarganya tanpa dihimbaukan sebagai contohnya seperti ada kematian atau mala petaka lain yang menimpa.
5. Orang Yang Sekaum Seharta Sepusaka
Menurut adat Minangkabau tidak dikenal harta perseorangan, harta merupakan warisan dari anggota kaum secara turun temurun. Harta pusaka yang banyak dari sebuah kaum menunjukkan juga bahwa nenek moyangnya merupakan orang asal di kampung itu sebagai peneruka pertama, dan kaum yang sedikit mempunyai harta pusaka bisa dianggap orang yang datang kemudian. Oleh sebab itu di dalam adat sebuah kaum yang banyak memiliki harta tetapi hasil tembilang emas atau dengan cara membeli, maka statusnya dalam masyarakat adat tidak sama sekali dengan orang yang mempunyai harta pusaka tinggi. Malahan orang yang seperti ini disebut sebagai orang pendatang.
Harta pusaka kaum merupakan kunci yang kokoh sebagai alat pemersatu dan tetap berpegang kepada prinsip “harato salingka kaum, adat salingka nagari” (harta selingkar kaum, adat selingkar nagari).
Selanjutnya garis kekerabatan yang berkaitan dengan kaum ini adalah jurai. Sebuah kaum merupakan kumpulan dari jurai dan tiap jurai tidak sama jumlah anggotanya. Setiap jurai membuat rumah gadang pula, tetapi rumah gadang asal tetap dipelihara bersama sebagai rumah pusaka kaum. Pimpinan tiap jurai ini disebut tungganai atau mamak rumah sebuah anggota jurai, merupakan satu kaum.
Pecahan dari jurai disebut samande (seibu) yaitu ibu dengan anak-anaknya, sedangkan suami atau orang sumando tidak termasuk orang samande. Orang yang samande diberi “ganggam bauntuk, pagang bamasieng”. (genggam yang sudah diperuntukan, dan masing-masing sudah diberi pegengan), artinya masing-masing orang yang semande telah ada bagian harta pusaka milik kaum. Bagi mereka hanya diberi hak untuk memungut hasil dan tidak boleh digadaikan, apalagi untuk menjual bila tidak semufakat anggota kaum.
F.3. PerkawinanDalam adat Minangkabau tidak dibenarkan orang yang sekaum kawin mengawini meskipun mereka sudah berkembang menjadi ratusan orang. Walaupun agama Islam sudah merupakan anutan bagi masyarakat Minangkabau, namun kawin sesama anggota kaum masih dilarang oleh adat, hal ini mengingat keselamatan hubungan sosial dan kerusakan turunan. Demikian pula bila terjadi perkawinan sesama anggota kaum mempunyai akibat terhadap harta pusaka dan sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu sampai sekarang masih tetap kawin dengan orang di luar sukunya (exogami).
Perkawinan merupakan inisiasi kealam baru bagi seorang manusia merupakan perobahan dari tingkat umur, seperti masa bayi ke kanak-kanak, dari kanak-kanak ke alam dewasa dan kemudian ke jenjang perkawinan.
Mengenai perkawinan para ahli antropologi budaya yang menganut teori evolusi seperti Herbert Spencer mengemukakan proses perkawinan itu melalui lima tingkatan. Kelima proses tingkatan itu adalah sebagai berikut:
Promisquithelt : tingkat perkawinan sama dengan alam binatang laki-laki dan perempuan kawin dengan bebas.
Perkawinan gerombolan yaitu perkawinan segolongan orang laki-laki dengan segolongan orang perempuan.
Perkawinan matrilineal yakni perkawinan yang menimbulkan bentuk garis keturunan perempuan.
Perkawinan patrilineal yakni anak-anak yang lahirkan masuk dalam lingkungan keluarga ayahnya.
Perkawinan parental yaitu perkawinan yang memungkinkan anak-anak mengenal kedua orang tuanya.
Bagi masyarakat Minangkabau sampai sekarang belum ada keterangan yang diperoleh bagaimana cara dan prosesnya sebelum agama islam masuk ke Minangkabau. Apakah ada proses perkawinan bebas dan bergerombolan ini dahulunya dan untuk itu tentu perlu penyelidikan dan penelitian khusus.Dari cerita-cerita kaba yang ada di Minangkabau digambarkan bahwa untuk mencari seorang sumando dipanjang gelanggang dan diadakan sayembara. Perkawinan dengan sayembara ini memperlihatkan cara seorang raja atau bangsawan mencari calon menantu. Hal ini tidak sesuai dengan struktur masyarakat Minangkabau yang tidak mengenal adat raja-raja, dan kemungkinan cerita dalam kaba ini merupakan pengaruh dari luar Minangkabau.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan yang berkaitan dengan perkawinan ini adalah sebagai berikut:
1. Inisiatif datang dari pihak keluarga perempuan
Pada masa dahulu bagi seorang mamak merasa malu bila kemenakannya belum juga mendapat jodoh. Sedangkan menurut ukuran sudah sepantasnya untuk kawin, malu bila dikatakan kemenakannya “gadih gadang alun balaki” (gadis besar belum bersuami).
Pada masa dahulu dibenarkan untuk menggadaikan harta pusaka tinggi bila terdapat gadih gadang alun balaki. Segala daya dan upaya dilkukan demi memperoleh jodoh kemenakan. Mencari calon suami dari kemenakan dikatakan juga mencari junjungan, untuk tempat kemenakannya menyadarkan diri. Hal ini juga tidak terlepas dari alam takambang jadi guru. Ibarat kacang panjang membutuhkan junjungan untuk membelitkan dirinya. Lazimnya pada masa dahulu si gadis tidak dinyatakan terlebih dahulu apakah ia mau kawin atau tidak, atau calon suaminya disukai atau tidak.
Hal ini dengan pertimbangan seseorang yang belum kawin masih dianggap belum dewasa. Apalagi pada masa dahulu seorang wanita sudah dicarikan suaminya dalam umur yang relatif muda, seperti umur 13, 14 atau 15. Bila sudah menjanda baru ditanya pendapatnya, karena sudah dianggap matang untuk melakukan pilihan.
Drs. M. Rajab mengenai inisiatif dari seorang mamak untuk mencari jodoh kemenakannya mengemukakan sebagai berikut: “dalam masyarakat Minangkabau pada masa dahulu inisiatif untuk mengawinkan anak kemenakan datang dari pihak keluarga perempuan, sesuai dengan sistim keibuan yang dipakai. Datuk atau mamaknya atau keduanya pada suatu ketika yang baik dan dalam suasana yang tenang dan resmi, mengajak ayah gadis tersebut berunding dan bertanya, apakah sudah terlintas pada pikirannya seorang laki-laki yang layak untuk diminta menjadi menantunya.”
Dapat disimpulkan antara mamak dengan ayah kemenakannya melakukan pendekatan terlebih dahulu. Setelah itu baru dibawa kepada anggota kaum yang pantas untuk berunding atau bermusyawarah bersama-sama. Dalam hal ini urang sumando mengajukan calonnya pula. Setelah dapat kata sepakat barulah diutus utusan untuk menjajaki keluarga laki-laki yang bakal diharapkan menjadi junjungan kemenakannya.
Perkawinan yang dilakukan atas musyawarah seluruh anggota kaum dan antara dua kaum sangat diharapkan dalam adat, karena pada lahirnya bukan hanya mempertemukan seorang gadis dengan seorang laki-laki, melainkan mempertemukan dua keluarga besar. Seandainya terjadi hal yang tidak diingini, seperti pertengkaran suami istri, perceraian dan lain-lain, maka seluruh anggota keluarga merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikannya dan menanggung segala resikonya.
Pada saat sekarang mungkin saja calon suami atau istri datang dari pihak gadis atau laki-laki, namun jalur adat harus dituruti juga. Bawalah permasalahan kepada mamak atau kaum keluarga, sehingga nilai-nilai adat tetap terpelihara. Sangat tercela bila pemuda mencari jodoh sendiri dan melangsungkan perkawinan sendiri tanpa melibatkan masing-masing anggota keluarga.
2. Calon menantu yang diidamkan
Pada umumnya orang Minangkabau pada masa dahulu mencari calon menantu mempunyai ukuran-ukuran tertentu atau syarat-syarat yang mempunyai tata nilai yang berlaku waktu itu. Yang paling disukai adalah urang babangso (orang berbangsa). Orang ini dalam keluarga laki-laki mamaknya pemangku adat atau penghulu yang disegani dalam masyarakat adat. Kalau dapat calon menantu ini pemangku adat yang berpredikat datuk, serta baik budinya. Tujuannya agar keturunannya nanti anak orang terpandang dan soal pekerjaan dan jaminan ekonomi tidak dipermasalahkan. Setelah islam masuk ke Minangkabau calon menantu yang diinginkan adalah orang yang alim serta taat beragama. Kesemuanya itu tidak lain untuk menambah martabat bagi seseorang dan anggota kaum pada umumnya.
Karena adanya perobahan sistim nilai yang terjadi maka saat sekarang kecendrungan untuk mencari calon menantu itu adalah orang yang penuh tanggungjawab dan sudah mempunyai pekerjaan yang tetap, dan tentu saja ketaatannya beragama serta budinya yang baik tetap menjadi ukuran pertimbangan.
Dahulu soal ekonomi dari calon menantu kurang dipertimbangkan bukan berarti pihak suami tidak bertanggungjawab, melainkan pada waktu itu hasil harta pusaka sawah dan ladang memadai. Tentu penduduk belum sebanyak sekarang jika dibandingkan dengan harta pusaka yang ada.
3. Calon menantu cenderung dicari hubungan keluarga terdekat.
Merupakan ciri khas juga pada masa dahulu calon suami atau istri mencari hubungan keluarga terdekat, seperti pulang kebako, atau pulang ke anak mamak. Hal ini lain tidak agar hubungan keluarga itu jangan sampai putus dan berkesinambungan pada generasi selanjutnya. Secara tersirat ada juga dengan alasan agar harta pusaka dapat dimanfaatkan bersama antara anak dan kemenakan. Hubungan perkawinan keluarga terdekat ini dalam adat dikatakan juga “kuah tatumpah kanasi, siriah pulang ka gagangnyo” (kuah tertumpah ke nasi, sirih pulang ke gagangnya).
Malahan pada masa dahulu perkawinan dalam lingkungan sangat diharuskan, dan bila terjadi seorang laki-laki kawin di luar nagarinya akan diberi sangsi dalam pergaulan masyarakat adat. Tujuan lain untuk memperkokoh hubungan kekerabatan sesama warga nagari. Sangat tidak disenangi bila seorang pemuda telah berhasil dalam kehidupannya dengan baik, tahu-tahu dia kawin diluar kampung atau nagarinya, hal ini dikatakan ibarat “mamaga karambia condong” (memagar kelapa condong), buahnyo jatuah kaparak urang (buah jatuh kekebun orang). Keberhasilan seseorang individu dianggap tidak terlepas dari peranan anggota kaum, kampung dan nagari. Oleh sebab itu sudah sepantasnya jangan orang lain yang mendapat untungnya.
4. Setelah perkawinan suami tinggal di rumah isteri
Berkaitan dengan sistim kekerabatan matrilineal, setelah perkawinan si suamilah yang tinggal di rumah istrinya. Dalam istilah antropologi budaya disebut matrilocal. Mengenai tempat tinggal di rumah istrinya, beberapa ahli mempunyai pendapat lain, seperti Firth mengatakan dengan istilah “uxorilocal” dan Mordock mengatakan “duolocal residence”, hal ini dengan alasan karena masing-masing suami istri tetap tinggal dan punya domisili yang sah di dalam kelompok tempat tinggal kelahirannya di garis keturunan masing-masing.
Sayang sekali pendapat di atas tidak menjelaskan pada zaman apa terjadinya hal yang demikian. Pada masa dahulu suami pulang kerumah istrinya pada sore hari dan subuhnya kembali kerumah orang tuanya. Hal ini mungkin terjadi bila terjadi dalam lingkungan daerah yang masih kecil, seperti sekampung, senagari dan asal tidak bersamaan suku. Namun dalam adat Minangkabau tidak mengenal istilah duorocal residence atau dua tempat tinggal bagi seorang suami sebagaimana yang dikatakan oleh ahli tersebut diatas. Sejak dahulu sampai sekarang orang Minangkabau tetap mengatakan bahwa suami tinggal di rumah istri bila berlangsung perkawinan.
5. Tali kekerabatan setelah perkawinan
Sebagai rentetan dari hasil perkawinan menimbulkan tali kerabat - tali kerabat antara keluarga istri dengan keluarga rumah gadang suami dan sebaliknya. Tali kerabat itu seperti tali induak bako anak pisang, tali kerabat sumando dan pasumandan, tali kerabat ipar, bisan dan menantu.
Tali kerabat induak bako anak pisang, yaitu hubungan kekerabatan antara seseorang anak dengan saudara-saudara perempuan bapaknya, atau hubungan seseorang perempuan dengan anak-anak saudara laki-lakinya. Saudara-saudara perempuan dari seorang bapak, adalah induak bako dari anak-anaknya. Sedangkan anak-anak dari seorang bapak merupakan anak pisang dari saudara-saudara perempuan bapaknya. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan bapak adalah “bakonya”.
Tali kekerabatan sumando dan pasumandan. Dengan adanya perkawinan maka terjadi hubungan sumando pasumandan. Bagi seluruh anggota rumah gadang istri, suaminya, menjadi urang sumando (orang semenda) seseorang istri bagi keluarga suaminya menjadi pasumandan.
Sumando berasal dari bahsa sansekerta yaitu “sandra”, sedangkan dalam bahasa Minangkabau menjadi “sando” dengan sisipan “um” menjadi sumando. Persamaan kata sando adalah gadai. Dalam kehidupan sehari-hari ada istilah pagang gadai. Bagi pihak yang menerima jaminan berupa benda harta yang digadaikan disebut sando, sedangkan orang yang memberikan hartanya sebagai jaminan dikatakan menggadaikan. Demikianlah sebagai penerima dari keluarga perempuan terhadap seorang menjadi suami anak kemenakannya dikatakan sebagai sumando. Namun demikian jangan lah diartikan secara negatif seperti terjadinya pegang gadai dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang istri yang menjadi pasumandan dari anggota rumah gadang suaminya di aberperan sebagai komunikator antara suaminya dengan tungganai dan mamak rumah gadangnya. Sedang untuk mengkomunikasikan kepentingan sendiri sebagai istri, biasanya melalui saudara-saudara perempuan suami.
Tali kekerabat ipar, bisan dan menantu. Bagi seorang suami, saudara-saudara perempuan istrinya menjadi bisannya. Sedangkan saudara-saudara laki-laki dari istrinya adalah menjadi iparnya. Sebaliknya, saudara-saudara perempuan suaminya adalah merupakan bisannya, dan saudara laki-laki suaminya menjadi iparnya. Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau menyebut ipar, bisan ini “ipa bisan” dan kadang-kadang disambung saja jadi “pabisan”.
Bagi orang Minangkabau menantu dibedakan atas dua bahagian. Pertama menantu sepanjang syarak. Bagi seorang suami istri dan saudara laki-lakinya. Istri-istri atau suami-suami anaknya merupakan menantu sepanjang syarak. Yang kedua, menantu sepanjang adat, maksudnya bagi seorang mamak beserta istri dan saudara-saudara laki-lakinya, istri atau suami kemenakan merupakan menantu sepanjang adat.
6. Sumando yang diidamkan
Nilai seorang sumando sekaligus, merupakan nilai seorang mamak di luar lingkungan sosial rumah gadang, karena orang sumando tersebut seorang mamak di rumah gadangnya. Sampai sejauh mana tingkah laku seorang sumando itu dalam melakukan perannya, orang Minangkabau mengklasifikasikannya sebagai berikut:
Sumando bapak paja atau sumando ayam gadang (ayam besar). Maksudnya orang sumando hanya pandai beranak saja seperti ayam besar, sedangkan tanggungjawab kepada anak istrinya tidak ada.
Sumando langau hijau (lalat hijau). Penampilan gagah dan meyakinkan tetapi perangai tidak baik. Suka kawin cerai dengan meninggalkan anak. Seperti langau hijau suka hinggap di mana-mana dan kemudian terbang meninggalkan bangan (kotoran).
Sumando kacang miang. Orang sumando kacang miang punya perangai yang suka memecah belahkan kaum keluarga istrinya, seperti “kacang miang” yang membuat orang gatal-gatal.
Sumando lapiak buruak (tikar buruk). Sumando lapiak buruak (tikar buruk) orang sumando seperti ini tidak menjadi perhitungan di tengah-tengah kaum istrinya. Ibarat tikar buruk hanya dipakai kalau betul-betul diperlukan kalau tidak alang kepalang perlu tikar buruk ini tidak dipergunakan.
Sumando kutu dapua. Sumando seperti ini banyak di rumah dari di luar, suka melakukan pekerjaan yang hanya pantas dilakukan oleh wanita, seperti memasak, mencuci piring, menumbuk lada, menggendong anak dan lain-lain.
Sumando niniak mamak. Sumando ninik mamak adalah sumando yang diharapkan oleh keluarga istrinya. Sumando ninik mamak di rumah gadang istrinya dia akan bersikap, nan tahu dikieh kato sampai, mengampuangkan nan taserak, mangamehi nan tacicia. (yang tahu dengan kias kata sampai mengapungkan yang terserak, mengemasi yang tercecer). Maksudnya halus budi bahasanya, suka membantu kaum keluarga istrinya, baik secara moril maupun materil. Demikian pula di rumah gadang kaumnya berfungsi mauleh mano nan putuih, senteng mambilai, kurang manukuak (mangulas mana yang putus, senteng menyambung, kurang menambah). Dengan pengertian dia suka turun tangan dan cepat tanggap menyelesaikan segala persoalan dalam anggota kaumnya.
Dengan adanya pengklasifikasian orang sumando ini bagi orang Minangkabau sendiri, terutama bagi laki-laki akan dapat berfikir jenis manakah yang akan dipakainya, seandainya dia kawin dan menjadi sumando di rumah istrinya.
F.4. Peranan Ibu Dan Bapak dalam KeluargaPerkawinan tidak menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru, sebab suami atau istri tetap menjadi anggota dari garis keturunan masing-masing. Oleh karena itu pengertian keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit yang tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau. Yang dimaksud dengan keluarga dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau, adalah paruik yang terdiri dari individu-individu yang dikemukakan diatas.
Dalam proses sosialisasi seorang individu dalam rumah gadang banyak ditentukan oleh peranan ibu dan mamak. Sedangkan ayahnya lebih berperan di tengah-tengah paruiknya pula.
Pengertian ibu dalam hal ini bukan berarti ibu dari anak-anaknya, melainkan sebagai sebutan dari semua wanita yang sudah berkeluarga dalam sebuah rumah gadang. Sedangkan untuk wanita keseluruhan orang Minangkabau menyebut perempuan. Perempuan berasal dari kata sansekerta yaitu: “empu” yang berarti dihormati. Begitu dihormati perempuan Minangkabau dapat dilihat dimana garis keturunan ditarik dari garis ibu, rumah tempat kediaman diperuntukkan bagi wanita, hasil sawah ladang juga untuk wanita dan lain-lain. Peranan seorang ibu sangat besar sekali, semasa seseorang masih bayi orang yang dikenal pertama kalinya hanya ibunya dan saudaranya seibu. Dia mencintai ibunya sebagai orang yang mengasuh dan memberinya makan. Ia dan ibunya dan saudara-saudaranya merupakan suatu kelompok yang terasing dari orang-orang di luar kelompok. Bila terjadi sesuatu hal terhadap ibunya atau saudara-saudaranya jia akan berrpihak kepadanya.
Setelah mulai besar, maka anggota seluruh rumah gadang adalah keluarga dan merupakan suatu kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama pula terhadap dunia luar yaitu dari orang-orang rumah gadang lainnya.
Setelah menanjak dewasa mulai diadakan pemisahan antara pemuda dan gadis. Bagi anak laki-laki tidak dibenrkan lagi tinggal di rumah gadang, ia dengan teman-teman sebaya tidur di surau atau di rumah pembujangan. Proses sosialisasi selanjutnya banyak diperolehnya di surau ini, karena di surau ini bukan hanya para pemuda dan remaja saja yang tinggal, tetapi juga anggota keluarga laki-laki yang sekaum dengannya dan belum kawin atau menduda dan umumnya sudah dewasa dari mereka. Surau adalah tempat mengaji, tempat belajar adat istiadat dan tempat mendengar kisah-kisah lama bersumber dari tambo alam Minangkabau. Adakalanya sebelum tidur mereka juga belajar pencak silat sebagai ilmu bela diri untuk membekali dirinya, baik untuk di kampung maupun persiapan untuk pergi kerantau nantinya. Proses sosialisasi anak laki-laki menuju remaja dan dewasa banyak ditentukan oleh peranan mamak-mamaknya dalam rumah gadang.
Anak-anak perempuan yang meningkat gadis selalu berada disamping ibunya dan perempuan-perempuan yang sudah dewasa di dalam rumah gadang. Dia diajar masak-memasak membantu ibunya di dapur, mengurus rumah tangga. Disamping itu juga diajar menjahit, menyulam. Semua kepandaian yang diajarkan oleh ibunya untuk mempersiapkan dirinya untuk berumah tangga nantinya.
Dalam sistem keturunan matrilineal, ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama memberi keturunan. Seorang suami di rumah gadang istrinya sebagai seorang sumando. Namun demikian bukanlah berarti laki-laki tersebut hilang kemerdekaannya. Ia tetap merdeka seperti biasa sebelum kawin dan boleh beristri dua, atau tiga lagi dan sampai empat, tanpa dapat dihalangi oleh istrinya. Dia boleh menceraikan istrinya, jika dia atau keluarganya tidak senang dengan kelakuan istrinya. Sebaliknya istri dapat pula meminta cerai dari suaminya jika dia tidak cinta lagi kepada suaminya, atau bilamana pihak keluarganya tidak senang melihat kelakuan menantunya atau kelakuan salah seorang keluarga menantunya.
Bila diperhatikan pula ungkapan-ungkapan adat memperlihatkan, bahwa seorang ayah atau seorang sumando di dalam kaum istrinya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam keluarga istrinya termasuk terhadap anak-anaknya, sebagaimana dikatakan “sedalam-dalam payo, sahinggo dado itiak, saelok-elok urang sumando sahingga pintu biliak” (sedalam-dalam paya, sehingga dada itik, sebaik-baik orang semenda sehingga pintu bilik). Demikian pula dikatakan orang sumando ibarat “abu di ateh tunggua” (abu di atas tunggul). Datang angin berterbangan. Ada beberapa hal yang mendukung mengapa peranan ayah begitu kecil sekali terhadap anak/istri, dan kaum keluarga istrinya waktu itu. Kehidupan waktu itu masih bersifat rural agraris yaitu kehidupan petani sebagai sumber penghidupan. Penduduk yang masih jarang, harta yang masih luas, dan memungkinkan seorang ayah tidak perlu memikirkan kehidupan sosial ekonominya. Disamping itu seorang ayah tidak perlu memikirkan tentang pendidikan anak-anaknya, serta biaya karena sekolah formal waktu itu tidak ada. Secara tradisional seorang anak meniru pekerjaan mamaknya.
Bila mamaknya bertani, maka kemenakannya dibawa pula bertani, jika mamaknya berdagang, maka kemenakannya dibawa pula untuk membantunya. Kawin cerai tidak menjadi persoalan yang penting keturunan dan martabat dari pada ayahnya. Demikian pula anak-anak perempuan pendidikannya hanya terbatas dalam lingkungan rumah gadang saja, dan proses pendidikan lebih banyak diarahkan kepada persiapan untuk menempuh jenjang perkawinan. Disamping itu karena interaksi dengan dunia luar belum ada, sehingga kemungkinan untuk merobah pola struktur yang telah ada sedikit sekali. Barangkali bagi orang Minangkabau sekarang kurang tepat bila memandang masa lalu dengan kaca mata sekarang, karena ruang lingkup waktu dan tempat yang berbeda.
Dalam proses selanjutnya terjadi perobahan peranan ayah terhadap anak dan istrinya karena berbagai faktor sesuai dengan perkembangan sejarah. Munculnya keinginan merantau dari orang Minangkabau, masuknya pengaruh islam dan pendidikan modern telah membawa perubahan-perubahan cara berfikir dalam hidup berkeluarga dan dalam tanggungjawab terhadap anak istrinya.
Bagi yang pergi merantau dia melihat struktur sosial yang berbeda dari masyarakat kampung yang ditinggalkan selama ini. Dan betapa akrabnya hubungan suami istri beserta anak-anaknya yang tinggal dalam satu rumah. Membawa istri kedaerah rantau dan hidup bersama-sama anak-anak merupakan sejarah baru, yang selama ini tidak pernah ditemui. Hidup yang bebas dengan anak-anaknya dalam rumah sendiri telah membawa gema ke kampung halaman. Bila mendapat rezeki di rantau, si ayah membuatkan rumah untuk anak istrinya di kampung untuk membuktikan keberhasilannya di rantau. Rumah yang didirikan walaupun masih ditanah kaum istrinya, tetapi sudah berpisah dari rumah gadang.
Pergeseran peranan mamak kepada ayah dipercepat lagi setelah mantapnya agama islam menjadi anutan masyarakat Minangkabau. Agama islam secara tegas menyatakan, bahwa kepala keluarga adalah ayah. Dalam permulaan abad ke XIX pengaruh barat, terutama melalui jalur pendidikan ikut juga memperkuat kedudukan dan peranan ayah ditengah-tengah anak istrinya. Namun demikian bukan berarti bergesernya sistem kekerabatan matrilineal kepada patrilineal.
Betapa cintanya seorang ayah kepada anaknya, Drs. M. Rajab mengatakan : “dan tidak jarang terjadi seorang ayah, biarpun dia seorang penghulu. Dengan diam-diam memberikan hibah kepada anak-anaknya tanpa diketahui oleh pengawas-pengawas adat lainnya. Dengan berbuat demikian sebenarnya ia melanggar hukum adat yang wajib dibelanya, tetapi karena ia mulai cinta kepada anak-anaknya maka terbuktilah bahwa kecintaan ayah kepada anak mulai bertambah kuat. Barangkali sebagi klimaks pergeseran peranan mamak kepada ayah dengan suatu konsensus yang tidak nyata telah melahirkan talibun adat yang menyatakan:
Kaluak paku kacang balimbiangAmbiak tampuruang lenggang-lenggangkanDibawo nak urang saruasoTanam siriah jo ureknyoAnak dipangku kamanakan dibimbiangUrang kampuang dipatenggangkanTenggang nagari jan binasoTenggan sarato jo adatnyo
(keluk paku kacang belimbing, ambil tempurung lenggang-lenggangkan, dibawa anak ke saruaso, tanam sirih dengan uratnya, anak dipangku kemenakan dibimbing, orang kampung dipatenggangkan, jaga nagari jangan binasa, jaga beserta dengan adatnya).
Dari talibun adat ini secara jelas dikatakan bahwa peranan ayah terhadap anaknya adalah “dipangku” dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa hubungan antara anak dengan ayahnya dekat sekali dan berada pada haribaannya. Sedangkan hubungan anak dan kemenakan adalah “dibimbing”. Secara filosofis pengertian anak dipangku kemenakan dibimbing dapat juga diartikan, bahwa anak yang dipangku lebih dekat dengan harta pencaharian. Sedangkan kemenakan dibimbing yang kakinya berada di tanah sebagai kiasan, bahwa kemenakan sumber kehidupannya masih dapat diharapkan dari tanah. Yaitu harta pusaka.
Disamping itu ayah dan kedudukannya sebagai seorang mamak tetap diharapkan oleh kemenakan sebagai pembimbing sesuatu yang dibutuhkan oleh kemenakannya meskipun tidak sepenuhnya dapat dilakukan seperti kedudukan anak dalam keluarga yang langsung setiap hari dibawah lindungan dan bimbingan orang tuanya. Meskipun kemenakan itu sebenarnya sebagai anak pada orang tuanya akan sama pula keadaannya sebagaimana bapak-bapak yang lain mempertanggungjawabkan anaknya.
Beruntunglah seorang anak di Minangkabau jika seorang bapak yang juga berfungsi sebagai mamak mengamalkan ajaran adat “anak dipangku kamanakan dibimbiang”.
F.5. Mamak Dan KemenakanTali kekerabatan mamak dan kemenakan dapat dibedakan atas empat bahagian. Keempat macam tali kekerabatan mamak dan kemenakan ini adalah sebagai berikut:
1. Kemenakan Bertali Darah
Kemenakan bertali darah, yaitu semua anak dari saudara perempuannya bagi seorang laki-laki yang didasarkan atas hubungan darah menurut garis keibuan.
2. Kemenakan Bertali Adat.
Kemenakan bertali adat, yaitu kedatangan orang lain yang sifatnya “hinggok mancankam tabang manumpu” (hinggap mencengkam terbang menumpu). Hal ini diibaratkan kepada seekor burung, jika ia akan terbang menumpukan kakinya agar ada kekuatan untuk terbang, dan mencengkram kakinya bila akan hinggap kepada dahan atau ranting. Maksudnya orang yang datang kepada sebuah nagari. Di nagari baru ini dia dan keluarganya menepat kepada seorang penghulu. Agar dia diakui sebagai kemenakan haruslah “adat diisi lembaga dituang”. Dengan pengertian dia dan keluarganya mengisi adat yang sudah digariskan. Namun statusnya dalam masyarakat adat dia tidak duduk sama rendah tegak tidak sama tinggi dengan penghulu-penghulu dalam nagari itu.
3. Kemenakan Bertali Air.
Kemenakan bertali air yaitu orang datang yang dijadikan anak kemanakan oleh penghulu pada sebuah nagari. Orang datang ini tidak mengisi adat dan lembaga di tuang.
4. Kemenakan Bertali Ameh.
Kemenakan bertali ameh yaitu orang yang dibeli untuk dijadikan kemenakan oleh penghulu. Kemenakan seperti ini tidak mengisi adat pada penghulu tersebut, dan tidak menuang lembaga pada nagari tersebut. Seorang laki-laki di Minangkabau dalam hubungan tali kekerabatan mamak kemenakan terutama yang bertali darah akan selalu memangku dua fungsi yang bersifat diagonal, yaitu sebagai kemenakan saudara laki-laki ibu dan sebagai mamak dari saudara-saudara perempuan. Hubungan tali kerabat ini diturunkan atau dilanjutkan kebawah melalui garis keturunan perempuan.
Hubungan mamak kemenakan ini diperkembangkan karena keperluan memasyarakatkan anggota-anggota rumah gadang dan menyiapkan serta menumbuhkan calon pemimpin dari lingkungan sosial yang terkecil (parui), kampung sampai kelingkungan sosial yang lebih besar yaitu nagari, agar anggota laki-laki dari lingkungan sosial itu berkemampuan dan berkembang menjalankan fungsi yang digariskan.
Sebagai calon pemimpin kepada kemenakan oleh mamak diturunkan dasar-dasar dan prinsip-prinsip tanggungjawab, meliputi fungsi peranan pemeliharaan dan serta penggunaan unsur potensi manusia atau keturunan, pemeliharaan harta pusaka. Sedangkan keluar berkaitan dengan norma-norma hidup bermasyarakat sebagai anggota kampung dan nagari.
Kemenakan laki-laki dipersiapkan sedemikian rupa oleh mamaknya, agar nantinya salah seorang dari mereka akan menjadi pucuk pimpinan di tengah kaumnya. Sehubungan dengan hal tersebut kepemimpinan seseorang itu sangat ditentukan pembinaan di tengah-tenah kaumnya oleh mamak-mamaknya.
Konsep-konsep dasar tentang pembinaan individu oleh mamak telah diwarisi secara turun temurn, dan karenanya pengetahuan si mamak harus melebihi kemenakannya, sebagaimana dikatakan “indak nan cadiak pado mamak, melawan mamak jo ilmunya, melawan malin jo kajinyo” (tidak ada yang cerdik dari mamak, melawan mamak dengan ilmunya melawan malin dengan kajinya). Dengan arti kata boleh melawan tetapi dengan pengertian positif dan kemenakan seperintah mamak (kemenakan seperintah mamak), maksudnya kemenakan mengikuti apa yang diwariskan oleh mamaknya dari generasi terdahulu, dan sekarang wajib pula bagi kemenakan untuk menerima dan mengamalkannya.
Dalam adat sudah dikiaskan agar dalam membina kemenakan jangan sampai terjadi otoriter dan kesewenangan. Hal ini dikatakan dalam adat “kemenakan manyambah lahia, mamak manyambah batin” (kemenakan menyembah lahir, mamak menyembah batin). Dengan pengertian mamak dalam membimbing kemenakan hendaklah menunjukkan sikap, tingkah laku yang berwibawa dan bukan karena kekuasaannya sebagai seorang mamak. Bimbingan terhadap kemenakan laki-laki sangat penting karena mereka dipersiapkan sebagai pimpinan di tengah kaum keluarganya dan sebagai pewaris sako (gelar kebesaran kaum) yang ada pada kaumnya. Tanpa ada kemenakan laki-laki dikatakan juga ibarat “tabek nan indak barangsang, ijuak nan indak basaga, lurah nan indak babatu” (tebat yang tidak mempunyai ransang, ijuk yang tidak mempunyai saga, lurah yang tidak mempunyai batu), dengan arti kata dari kemenakan laki-laki diharapkan sebagai pagaran dari kaumnya. Bila terjadi silang sengketa antara kelompok masyarakat lainnya pihak laki-laki yang terutama sebagai juru bicara dari kaumnya. Tanpa ada yang laki-laki mungkin orang lain akan bersilantas angan terhadap anggota kaumnya.
Disamping itu bimbingan kepada kemenakan yang perempuan tidak kalah pentingnya, karena dialah sebagai penyambung garis keturunan dan pewaris harta pusaka. Peranan ibu di rumah gadang sangat diutamakan disamping mamak laki-laki yang selalu “siang maliek-liekan, malam mandanga-dangakan, manguruang patang, mangaluakan pagi” (siang melihat-lihatkan, malam mendengar-dengarkan, mengeluarkan pagi mengurung sore), dengan pengertian tidak terlepas dari pengawasannya.
Dengan demikian tali kekerabatan mamak kemenakan merupakan tali yang menunjukkan kepemimpinan dan pewarisan keturunan yang berkesinambungan, yang diturunkan dari nenek kepada mamak, dari mamak kepada kemenakan.
G. Sistem Kepemilikan
G.1. HartaDi Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju penafsirannya kepada harta yang berupa material saja. Harta yang berupa material ini seperti sawah ladang, rumah gadang, emas perak dan lain-lain. Sebenarnya disamping harta yang berupa material ini, ada pula harta yang berupa moril seperti gelar pusaka yang diwarisi secara turun temurun. Orang yang banyak harta material, dikatakan orang berada atau orang kaya. Tetapi menurut pandangan adat, orang berada atau banyak harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka yang turun temurun yang dimilikinya. Dari status adat lebih terpandang orang atau kaum yang banyak memiliki harta pusaka ini, dan tidak karena dibeli. Sampai sekarang khusus mengenai harta pusaka berupa sawah ladang masih ada perbedaan pendapat tentang pembagian jenis harta tersebut.Perbedaan pendapat ini detemui ketika diadakan Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan dari tanggal 21 s/d 25 Juli 1968, dengan titik tolak yang diseminarkan adalah Hukum Tanah dan Hukum Waris. Sebelum seminar yang diadakan di Padang ini sebelumnya juga telah diadakan rapat lengkap adat di Bukittinggi yang permasalahannya juga berkaitan dengan materi seminar diatas. Pada pertemuan adat yang diadakan di Bukittingi telah diputuskan dengan kongkrit, bahwa harta orang Minangkabau itu hanya terbagi atas dua bahagian, yaitu harta Pusaka Tinggi dan harta Pusaka Pencaharian.
Dilain pihak, pendapat ini tidak disetujui, dan mengatakan harta di Minangkabau ada pusaka tinggi, ada pusaka rendah. Pendapat umum lebih cenderung, bahwa harta itu dibedakan atas empat bahagian, keempat pembahagian itu adalah sebagai berikut:
1. Harta Pusaka Tinggi2. Harta Pusaka Rendah3. Harta Pencaharian4. Harta Suarang
Walaupun ada perbedaan pendapat, namun demikian yang berkaitan dengan pusaka tinggi, tidak ada perbesaan pendapat.
1. Harta Pusaka Tinggi
Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Adanya harta pusaka tinggi berkaitan dengan sejarah lahirnya kampuang dan koto yang diikuti dengan membuka sawah ladang sebagai sumber kehidupan. Pembukaan tanah untuk sawah ladang ini sebagai hasil galuah taruko oleh pendiri kampung dan koto. Hasil usaha nenek moyang inilah yang diwarisi oleh generasi sekarang dan paling kurang setelah lima generasi disebut sebagai harta pusaka tinggi.
Harta pusaka tinggi yang berupa material seperti sawah ladang, kebun dan lain-lain disebut juga pusako. Disamping itu ada pula harta pusaka tinggi yang berupa moril yaitu gelar pusaka kaum yang diwarisi secara turun temurun yang disebut dalam adat sako.
Harta pusaka tinggi dikatakan juga pusako basalin (pusaka bersalin), karena persalinan terjadi dari generasi ke generasi selanjutnya.
2. Harta Pusaka Rendah
Mengenai harta pusaka rendah ada perbedaan pendapat dan hal ini bisa mengundang permasalahan dalam pewarisan. H.K. Dt. Gunung Hijau dalam kertas kerjanya waktu Seminar Hukum Adat Minangkabau mengatakan, bahwa pusaka rendah adalah segala harta yang diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri. Harta ini boleh dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan sepakat ahli waris. Pendapat ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak dan diantaranya dari Damsiwar SH., yang mengatakan bahwa yang dimaksud harta pusaka rendah oleh H.K Dt Gunuang Hijau sebenarnya adalah harta pencaharian. Selanjutnya dikatakan bahwa harta pusaka rendah itu merupakan harta tambahan bagi sebuah kaum dan ini diperoleh dengan membuka sawah, ladang atau perladangan baru, tetapi masih di tanah milik kaum. Jadi tanah yang dibuka itu sudah merupakan pusaka tinggi, hanya saja pembukaan sawah ladangnya yang baru.
Pendapat yang kedua terakhir merupakan pendapat yang umum karena dilihat dari sudut harta selingkar kaum. Maksudnya harta tambahan itu seluruh anggota kaum merasa berhak secara bersama.
3. Harta pencaharian
Harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan tembilang emas. Harta pencaharian adalah harta pencaharian suami istri yang diperolehnya selama perkawinan. Harta pencaharian yang diperoleh dengan membeli atau dalam istilah adatnya disebut tembilang emas berupa sawah, ladang, kebun dan lain-lain. Bila terjadi perceraian maka harta pencaharian ini dapat mereka bagi.
4. Harta suarang
Suarang asal katanya “surang” atau “seorang”. Jadi harta suarang adalah harta yang dimiliki oleh seseorang, baik oleh suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan. Setelah terjadi perkawinan status harta ini masih milik masing-masing. Jadi harta suarang ini merupakan harta pembawaan dari suami dan harta istri, dan merupakan harta tepatan. Karena harta ini milik “surang” atau milik pribadi, maka harta itu dapat diberikannya kepada orang lain tanpa terikat kepada suami atau istrinya. Oleh sebab itu dalam adat dikatakan “suarang baragiah, pancaharian dibagi” (suarang dapat diberikan, pencaharian dapat dibagi). Maksudnya milik seorang dapat diberikan kepada siapa saja, tetapi harta pencaharian bisa dibagi bila terjadi perceraian.
G.2. Pewarisan Harta PusakaAda yang perlu untuk dijelaskan yang berkaitan dengan pewarisan ini, yaitu waris, pewaris, warisan dan ahli waris. Waris adalah orang yang menerima pusaka. Pewaris adalah orang yang mewariskan. Warisan adalah benda yang diwariskan: Pusaka peninggalan. Sedangkan ahli waris semua orang yang menjadi waris. Hubungan antara yang mewariskan dengan yang menerima warisan dapat dibedakan atas dua bahagian, yaitu:
1. Waris Nasab atau Waris Pangkat
Waris nasab maksudnya antara si pewaris dengan yang menerima warisan terdapat pertalian darah berdasarkan keturunan ibu. Harta pusaka tinggi yang disebut pusako secara turun temurun yang berhak mewarisi adalah anggota kaum itu sendiri yaitu pihak perempuan. Hal ini sesuai dengan garis keturunan matrilineal.
Mengenai pewarisan gelar pusaka yang disebut sako sepanjang adat tetap berlaku dari mamak kepada kemenakan laki-laki. Dalam kewarisan sako ini dikatakan:
Ramo-ramo sikumbang jatiKatik endah pulanga bakudoPatah tumbuah hilang bagantiPusako lamo baitu pulo
Waris nasab yang berkaitan dengan sako dapat pula dibagi atas dua bahagian yaitu:
a. Warih Nan Salurui (waris yang selurus).
Dalam adat dikatakan saluruih ka ateh, saluruih kabawah nan salingkuang cupak adat, nan sapayuang sapatagak. (selurus keatas selurus kebawah, yang sepayung sepetagak). Artinya keturunan setali darah sehingga delapan kali keturunan atau disebut juga empat keatas, empat kebawah menurut ranji yang benar.
Sebuah contoh, jika anggota kaum sudah berkembang, yang pada mulanya dari tiga orang nenek. Turunan laki-laki dari ketiga nenek ini sama-sama berhak untuk memakai pusaka kaum yang dimiliki. Gelar pusaka kaum tadi tidak boleh pindah atau digantikan kepada lingkungan kaum lainnya, selain dari kaum keluarga ketiga nenek yang sekaum ini dalam adat dikatakan “suku dapek disakoi, pusako dipusakoi” (suku dapat disukui pusaka dapat dipusakai), maksudnya gelar pusaka dapat digantikan dan harta pusaka boleh dipusakai.
b. Warih Nan Kabuliah (waris yang dibenarkan)
Dalam adat dikatakan “jauah dapek ditunjuakkan dakek dapek dikakokkan, satitiak bapantang hilang, sabarih bapantang lupo”, (jauh dapat ditunjukkan, dekat dapat dipegang, setitik berpantang hilang, sebaris berpantang lupa). Maksudnya belahan yang asli dari sebuah kaum yang sampai sekarang masih dapat dicari asal usulnya secara terang. Dalam adat hal seperti ini disebut “gadang nan bapangabuangan, panjang nan bapangarek-an, laweh nan basibiran, anak buah nan bakakambangan”, (besar yang berpengabuan, panjang yang berpengeretan, luas yang bersibiran, anak buah yang berkekembangan).
Sebab contoh sebuah anggota kaum pindah kesebuah nagari yang berdekatan dan kemudian menetap sebagai penduduk di nagari tersebut karena sudah berkembang maka mereka ingin untuk mengangkat gelar kebesaran kaum. Pada kaum yang ditinggalkannya mempunyai gelar pusaka Datuak Marajo. Di tempat baru belahan kaum yang pindah ini dapat pula mengangkat gelar Datuak Marajo.
Sepanjang adat yang dapat memakai gelar pusaka kaum adalah orang yang ada pertalian darah. Kemenakan bertali adat, bertali budi tidak dibenarkan memakai gelar kebesaan kaum karena tidak bertali darah. Adat mengatakan “sako tatap pusako baranjak” (sako tetap, pusaka beranjak), artinya gelar pusaka tidak dapat berpindah dari lingkungan keturunan asli kecuali harta pusaka. Beranjaknya harta pusaka sperti adanya pemindahan hak yang terjadi karena pupus, gadai dan lain-lain. Gelar pusaka kaum tidak dibenarkan dipakai oleh orang di luar kaum, ini dengan alasan bila terjadi akan membawa dampak negatif dari kaum tersebut.
Adat mengatakan dimano batang tagolek, disinan cindawan tumbuah (dimana batang rebah disana cendawan tumbuh). Ketentuan adat ini mempunyai pengertian bila gelar pusaka itu dipakai oleh seseorang, maka menurut adat orang yang memakai gelar pusaka ini akan diikuti kebesarannya oleh harta pusaka yang ada pada kaum itu. Dengan arti kata semua harta pusaka tinggi yang ada pada kaum itu berada di tangannya, dan kaum tadi akan bermamak kepada penghulu baru ini yang tidak seketurunan dengannya. Kalau ini terjadi dikatakan “kalah limau dek banalu” (kalah limau karena benalu).
2. Warih Sabab atau Warih Badan (waris sebab atau waris badan).
Waris “sebab” maksudnya hubungan antara pewaris dengan yang menerima warisan tidaklah karena hubungan darah, tetapi karena sebab. Di dalam adat dikatakan “basiang dinan tumbuah, menimbang dinan ado”, bersiang bila sudah ada yang tumbuh, menimbang bila sudah ada). Waris sebab ini seperti karena bertali adat, berali buat, dan bertali budi. Waris sebab hanya yang menyangkut harta pusaka. Waris sebab ini dibedakan atas tiga bahagian, yaitu:
a. Warih Batali Adat (waris bertali adat).
Waris bertali adat seperti hubungan sesuku. Mungkin terjadi sebuah kaum punah, dengan arti keturunan untuk melanjutkan kaum itu tidak ada lagi menurut garis ke-ibuan, akhirnya harta pusaka dari kaum yang punah tersebut dapat jatuh kepada kaumyang sesuku dengannya di kampung tersebut.
b. Warih Batali Buek (waris bertali buat)
Buek artinya peraturan atau undang-undang. Waris bertali buek maksudnya waris berdasarkan peraturan yaitu peraturan sepanjang yang dibenarkan oleh adat.
Warih batali buek ini berlaku “manitiak mako ditampuang, maleleh mako di palik, sasuai mako takanak, saukua mako manjadi” (menitik maka ditampung, meleleh maka dipalit, sesuai maka dikenakan, seukur maka menjadi). Sebagai contoh seorang bapak yang sudah punah keluarganya maka atas mufakat dengan waris bertali adat si bapak dapat memberikan harta pusaka kepada anaknya, tetapi tidak gelar pusaka dari kaum.
c. Warih Batali Budi (waris bertali budi).
Menjadi waris karena kebaikan budi dari kaum yang didatanginya karena rasa kasihan dan tingakah lakunya yang baik sehingga sudah dianggap anak kemenakan, dia diberi hak atas harta pusaka namun demikian tergantung pada kata mufakat dalam kaum tersebut.
Waris menurut adat Minangkabau tidak ada istilah “putus” karena dalam warisan ini adat menggariskan “adanya” waris yang bertali adat, bertali buek, bertali budi dan hal ini bila ada kesepakatan kaum. Bila kaum itu punah warisan jatuh kepada waris yang bertalian dengan suku dan bila yang sesuku tidak ada pula harta pusaka kaum yang punah itu jatuh pada nagari. Ninik mamak nagarilah yang menentukan. Menurut Doktor Iskandar Kemal SH., bila tidak ada perut yang terdekat, anggota waris yang terakhir dapat menentukan sendiri waris yang terdekat dari orang-orang yang bertali adat untuk melanjutkan hak-hak dari perut itu, sesudah punah sama sekali, baru ditentukan oleh kerapatan adat nagari.G.3. Tanah UlayatTanah ulayat, tanah yang sudah ditentukan pemilik-pemiliknya tetapi belum diusahakan. Untuk jelasnya dapat dikemukakan yang punya tanah ulayat tersebut hanya nagari dan suku dan di luar dari harta pusaka tinggi. Tanah ulayat nagai yaitu tanah yang dimiliki bersama oleh sebuah nagari dan dikuasai secara bersama oleh penghulu-penghulu yang ada dalam nagari tersebut dan pengawasannya diserahkan kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Demikian pula tanah ulayat suku, dikuasai secara bersama oleh suatu suku dan pengawasannya diserahkan kepada kepala suku. Hak ulayat menurut hukum adat adalah hak yang tertinggi. Seseorang yang menguasai bukanlah memiliki hak ulayat, hanya dapat mempunyai hak sementara. Ketentuan-ketentuan mengenai tanah ulayat adalah sebagai berikut:
Memberi hak untuk memungut hasil warga persekutuan atas tanah dan segala yang tumbuh diatas tanah tersebut seperti mengolah tanah, mendirikan tempat pemukiman, menangkap ikan, mengambil kayu perumahan, mengembalakan ternak, mengambil hasil hutan dan lain-lain. Kesemuanya harus setahu atau seizin dari penghulu-penghulu atau yang mengawasi tanah ulayat tersebut.
Hak-hak perseorangan terhadap tanah ulayat dibatasi oleh hak persekutuan. Hak perseorang tetap diawasi dan jangan sampai terjadi pemakaian hak perseorangan terhadap tanah ulayat itu berpindah tangan seperti jual beli.
Persekutuan atau pemegang hak tanah ulayat dapat menunjuk atau menetapkan sebagian dari tanah ulayat untuk kepentingan umum. Untuk kepentingan umum ini seperti untuk lokasi pembangunan mesjid, sekolah, tempat pemakaman umum, lapangan olah raga dan lain-lain.
Tanah ulayat yang dikerjakan diberi jangka waktu. Tanaman muda tidak diadakan pembagian dengan yang punya hak ulayat, sedangkan tanaman keras yang ditanam, seperdua menjadi hak pemilik ulayat, seperdua untuk orang yang mengerjakan. Bila yang diolah tanah ulayat nagari, maka hasilnya nagari akan memanfaatkannya untuk kepentingan nagari. Dulunya untuk mendirikan balairung adat, bangunan mesjid dan lain-lain.
Apabila terjadi delik-delik berat, seperti pembunuhan di tanah ulayat dan yang mati itu bukan anggota warga yang punya ulayat, maka untuk menjaga jangan sampai terjadi permusuhan, yang punya ulayat harus membayar secara adat. Mamangannya mengatakan “luko bataweh, bangkak batambak - tangih bapujuak, ratok bapanyaba”.
Orang yang berasal dari lain nagari dapat memperoleh sebidang tanah pada tanah ulayat dan diperbolehkan manaruko atas dasar persetujuan terlebih dahulu. Walaupun sudah diberi secara adat, tetapi status tanahnya masih menjadi wilayah nagari. Sawah yang ditaruko selama enam musim kesawah boleh dimiliki seluruhnya. Setelah itu hasil tanah ulayat tadi seperduanya harus diserahkan kepada yang punya ulayat.
Pada dasarnya tanah ulayat dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan, terutama untuk kebutuhan ekonominya. Kalau pemakaian tanah ulayat bersifat produktif seperti untuk dijual hasilnya, maka disini berlaku ketentuan adat karimbo babungo kayu, kasawah babungo ampiang, kalauik babungo karang (kerimba berbunga kayu, kesawah berbunga emping, kelaut berbunga karang), dengan arti kata harus dikeluarkan sebahagian hasilnya untuk kepentingan suku dan nagari demi pembangunan nagari.
Sebenarnya tanah ulayat juga merupakan tanah cadangan bagi anak kemenakan, seandainya terjadi pertumbuhan penduduk dari tanah ulayat itulah sumber pendapatan bagi kesejahteraannya dan pembangunan nagari. Bila direnungkan secara mendalam betapa jauhnya pandangan kedepan dari tokoh-tokoh adat Minangkabau pada masa dahulunya.
G.4. Pemindahan HakTerlebih dahulu dikemukakan pengertian pemindahan hak untuk memperjelas permasalahan yang akan dibicarakan. Pemindahan hak maksudnya berpindahnya hak, baik hak memiliki, menguasai maupun memungut hasil, karena terjadinya sesuatu transaksi antara seseorang atau kelompok kepada pihak lain. Pada mulanya pemindahan hak terhadap harta pusaka tinggi tidak tertulis, tetapi sejak dikenal tulis baca dengan aksara arab dan kemudian aksara latin maka pemindahan hak itu sudah dibuat secara tertulis.
Pamindahan hak yang dikenal sampai saat sekarang ini adalah sebagai berikut:
1. Jual Beli
Menurut adat menjual harta pusaka tinggi dilarang apalagi untuk kepentingan pribadi si penjual. Menjual harta pusaka berarti tidak mengingat masa yang akan datang, terutama bagi generasi kaumnya. Adanya suatu anggapan bahwa orang yang menjual harta pusaka yang tidak menurut semestinya hidupnya tidak akan selamat, karena kutukan dari nenek moyang mereka yang sudah bersusah payah mewariskannya.
Namun demikian ditemui juga dewasa ini penjualan harta pusaka dengan berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
Tanah pusaka itu tidak produktif lagi, tidak bisa dijadikan sawah maupun ladang. Lantas dijual dan dipergunakan untuk membangun pabrik perkantoran dan perumahan. Yang penting tentu atas kesepakatan anggota kaum.Tidak ada yang mengurus sehingga terlantar. Ahli waris merantau dan tipis kemungkinan untuk pulang mengurus harta pusaka itu.Harta pusaka dijual dengan tujuan untuk dibelikan uangnya kembali kepada benda yang lain yang lebih produktif, benda itulah yang kemudian berstatus harta pusaka.Kesemuanya itu dapat terjadi bila ada kesepakatan seluruh anggota kaum baik yang dirantau maupun yang dikampung.
2. Gadai
Harta pusaka dapat digadaikan kalau berkaitan dengan kepentingan kaum atau menjaga martabat kaum. Ada ketentuan adat harta pusaka itu digadaikan bila ditemui hal sebagai berikut:
1. Adat tidak berdiri, seperti pengangkatan penghulu2. Rumah gadang ketirisan3. Gadih gadang tidak bersuami4. Mayat terbujur di tengah rumah
Gadai ini dapat dilaksanakan dengan syarat semua anggota ahli waris harta pusaka tersebut sudah sepakat. Jadi untuk menggadaikan harta pusaka syaratnya sangat berat. Dengan digadaikan harta itu dapat ditebus kembali dan tetap menjadi milik ahli warisnya. Gadai tidak tertebus dianggap hina. Disamping itu manggadai biasanya tidak jatuh pada suku lain melainkan kepada kaum “sabarek sapikua” (seberat sepikul) yang bertetangga masih dalam suku itu juga.
Si penggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan luas harta yang digadaikan dan penafsirannya atas persesuaian kedua belah pihak. Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagai sando (sandra), maka boleh ditebusi oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun kesawah tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi uang atau emas tadi.
Berkaitan dengan pegang gadai ini, perlu juga disimak bunyi pasal 7-UU 56 Prp th 1960 (undang-undang pokok agraria-UUPA) yang berbunyi:“barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen”.
Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam hal pegang gadai. Pada umumnya yang memegang gadai adalah orang yang kekurangan tanah. Seandainya dibelakukan UUPA itu tentu saja uang si pemegang tidak kembali sedangkan dia kekurangan pula dalam segi harta, tentu saja hal ini tidak adil. Oleh karena itu pegang gadai di Minangkabau masih tetap seperti semula dan masih berlangsung secara azaz kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan suatu upaya pertolongan darurat yang berfungsi sosial.
3. Hibah
Disamping pegang gadai, yang dibolehkan juga oleh adat adalah hibah. Hibah berasal dari bahasa arab “hibbah” yang artinya pemberian, misalnya pemberian seorang ayah kepada anak berupa harta pusaka. Pemberian ini timbul karena alasan kasih sayang dan tanggung jawab kepada anaknya. Ada tiga macam hibah dalam adat yaitu:
1. Hibah Laleh
Hibah laleh adalah pemberian dari seorang ayah kepada anaknya untuk selama-lamanya. Dalam adat pemberian seperti ini dikatakan “salamo dunia takambang, salamo gagak hitam, salamo aia ilia”, (selama dunia terkembang, selama gagak hitam, selama air hilir). Yang menjadi syaratnya adalah sepakat waris kaum yang bertali darah. Bila habis yang bertali darah harus sepakat waris yang bertali adat. Hibah laleh ini jarang terjadi karena tidak mungkin waris yang dikatakan di atas habis sama sekali. Kalau terjadi juga tidaklah dihibahkan seluruhnya, paling kurang sebagian kecil dari harta keseluruhan. Inipun tergantung kepada persetujuan bersama. Adat mengatakan “hibah basitahu-tahu, gadai bapamacik, jua bapalalu”, (hibah saling mengetahui, gadai berpegangan, jual berpelalu).
2. Hibah Bakeh, (hibah bekas)
Adalah pemberian harta dari ayah kepada anak. Hibah bakeh ini sifatnya terbatas yaitu selama anak hidup. Bila ada anaknya tiga orang tidak jadi soal, yang pokok bila anak-anaknya ini telah meninggal, maka harta yang dihibahkan kembali kepada kaum ayahnya. Di dalam adat hibah bakeh ini dikatakan “kabau mati kubangan tingga, pusako kanan punyo”, (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).
3. Hibah Pampeh
Hibah pampeh atau hibah pampas yaitu pemberian harta dari ayah kepada anaknya caranya yang berbeda karena kasih sayang kepada anak, si ayah mengatakan kepada anggota kaumnya, bahwa selama ini ia telah menggunakan uang anak-anaknya itu untuk biaya hidup dan biaya karena sakit-sakitan. Untuk itu buat sementara sawah sekian piring dibuat dan diambil hasilnya oleh anak-anaknya. Sawah itu jatuh kembali kepada ayahnya bila kaum ayahnya punya kesanggupan untuk mengganti uang anaknya yang terpakai. Hibah pampeh ini hanyalah merupakan pampasan dan hanya sebagai siasat dari sang ayah untuk membantu anak-anaknya (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).Muncul istilah hibah bukan berarti pemberian seorang kepada orang lain, seperti dari ayah kepada anak tidak dikenal sebelum masuknya islam ke Minangkabau. Sebelumnya dalam adat istilah pemberian berupa hibah ini adalah “agiah laleh” (agiah lalu), agiah bakeh, dan agiah pampeh.
4. Wakaf
Wakaf adalah suatu hukum islam yang berlaku terhadap harta benda yang telah diikrarkan oleh pewakaf, yaitu orang yang berwakaf kepada nadzir (orang yang menerima dan mengurus wakaf).
Kata wakaf berasal dari bahasa arab yang berarti terhenti dari peredaran, atau menahan harta yang sumber atau aslinya tidak boleh diganggu gugat, dan membuat harta itu berguna untuk kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, terhadap harta benda yang telah diwakafkan tidak boleh diambil kembali oleh pihak yang berwakaf atau ahli warisnya dan tidak boleh pula dianggap milik sendiri oleh pihak yang mengurusnya.
Wakaf yang berupa tanah di Minangkabau sering dipergunakan untuk kepentingan sosial seperti untuk pendirian surau, mesjid, panti asuhan, sekolah dan lain-lain. (Kesepakatan kaum dalam mewakafkan harta pusaka adalah syarat utama yang perlu dicapai).
J. Nilai Dasar Adat Minangkabau
J.1. Nilai - Nilai Dasar Adat MinangkabauDalam pembicaraan sehari-hari sering kita dengar kata-kata perubahan nilai, pergeseran nilai, krisis nilai dan lain-lain. Namun bila kita ditanya apa yang dimaksud dengan nilai, maka kita sukar untuk mengidentifikasikannya. Hal ini mungkin disebabkan nilai tersebut merupakan bagian yang abstrak dari kebudayaan.
Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi, explisit atau implisit yang menjadi milik khusus seorang atau ciri khusus suatu kesatuan sosial (masyarakat) menyangkut sesuatu yang diingini bersama (karena berharga) yang mempengaruhi pemilihan sebagai cara, alat dan tujuan sebuah tindakan.
Dalam proses penilaian selalu dilihat adanya penetapan nilai, pemilihan dan tindakan. Pada konsep nilai tersembunyi bahwa pemilihan nilai tersebut merupakan suatu ukuran atau standar yang memiliki kelestarian yang secara umum digunakan untuk mengorganisasikan sistem tingkah laku.
Kumpulan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat dalam suatu sistem budaya bangsa, yaitu suatu rangkaian konsepsi abstrak yang hidup dianggap penting dan berharga, turut serta apa yang dianggap remeh dan tak berharga dalam hidup. Dengan demikian sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup sekaligus berfungsi sebagai suatu sistem tata kelakuan. Sistem ini memberikan arah atau orentasi pada anggota-anggota masyarakat.
Orientasi nilai bersifat kompleks, tetapi jelas memberikan prinsip yang bersifat analitik, yaitu yang bersifat pengetahuan, perasaan, kemauan yang memberikan tata (orde) dan arah kepada arus pemikiran dan tindakan anggota-anggota suatu masyarakat, manakala prinsip-prinsip tersebut dihubungkan dengan pemecahan masalah-masalah kehidupan yang umum bagi semua manusia. Prinsip-prinsip ini beragam-beragam, tetapi keragaman tersebut bersifat hanya membedakan tingkat bagian-bagian dari semua elemen-elemen yang universal dari kebudayaan umat manusia.
Nilai-nilai dasar yang universal tersebut adalah masalah hidup, yang menentukan orientasi nilai budaya suatu maysarakat, yang terdiri dari hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat kehidupan manusia dalam ruang waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam dan hakekat hubungan manusia dengan manusia.
Variasi lain adalah perbedaan-perbedaan dalam kesadaran individu akan orientasi nilai itu, yang berada dalam kelanjutan, mulai yang bersifat implisit (khusus) sampai kepada explisit (umum). Setiap kebudayaan tersebut mempunyai pandangan terhadap kehidupan atau memberikan suatu nilai tertentu terhadap kehidupan itu, apakah hidup tersebut suatu yang beik, suatu yang buruk, atau suatu yang harus diperbaiki. Demikian pula ada penilaian terhadap pekerjaan. Apakah kerja tersebut untuk hidup, untuk kedudukan atau untuk menambah kerja. Pandangan terhadap waktu, akan menentukan penilaian suatu masyarakat dalam penggunaan waktu, akan menentukan penilaian suatu masyarakat dalam penggunaan waktu. Juga orientasi waktu tersebut akan sangat menentukan berbagai pola tingkah laku. Pertanyaan yang daat diajukan adalah sebagai berikut : “apakah suatu masyarakat sangat menghargai masa lalu, masa sekarang atau masa depan ?”. Sedangkan pandangan yang menyangkut hubungan manusia dengan alam, pilihan nilai yang dominan akan berkisar di sekitar pertanyaan : “apakah orang harus tunduk kepada alam, mencari keselarasan dengan alam, atau menundukkan alam ?”. Unsur universal yang terakhir adalah menyangkut hubungan sesama manusia. Pertanyaan : “apakah suatu masyarakat menganut pandangan, bahwa ada hirarki di antara sesama anggota, ataukan pandangan saling tergantung sesamanya, ataukan menilai tinggi ketidak ketergantungan ?”.
Jawaban nilai mana yang dominan dalam kebudayaan suatu masyarakat akan menentukan orientasi nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tersebut. Nilai yang dominan tersebut akan dirumuskan dalam norma-norma yang akan menuntun anggota-anggota suatu masyarakat dalam berfikir, yang selanjutnya menentukan perilaku anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula nilai yang dominan tersegbut akan dapat pula menentukan sikap-sikap anggota suatu masyarakat terhadap lingkungan kehidupan yang menjurus kepada pola prilaku tertentu.
Dalam hubungan kepribadian suatu masyarakat, nilai yang dominan akan disampaikan lewat media pendidikan kemasyarakatan yang bersifat non formal, sehingga menghasilkan anggota-anggota masyarakat dengan kepribadian yang relatif hampir bersamaan. Sebagaimana yang telah dikemukakan, yatiu hal yang menyangkut hubungan kebudayaan dan nilai-nilai, merupakan salah satu cara pengenalan dan klasifikasi nilai sosial budaya. Klasifikasi nilai lain, mungkin banyak sekali. Spranggers mengemukakan pembagian nilai yang dominan yang dianut suatu masyarakat dibagi berdasarkan atas nilai teoritis, nilai ekonomi, dan nilai agama.
Untuk mengetahui dan memahami nilai-nilai dasar adat Minangkabau berbagai cara dapat dilakukan, antara lain dengan mempelajari tentang masyarakat dan lingkungan atau dengan mempelajari perilaku mereka. Terlebih dahulu mereka mempelajari kata-kata (kato), dari sini akan dapat diungkapkan nilai-nilai dasar dan norma-norma yang menjadi penuntun orang Minangkabau berfikir dan bertingkah laku. Dengan kata lain perkataan pola berfikir dan prilaku orang Minangkabau, ditentukan oleh “kato” sebagai nilai dasar norma-norma yang menjadi pegangan hidup mereka, katakanlah falsafah hidup, yang menyangkut makna hidup, makna waktu, makna alam bagi kehidupan, makna kerja bagi kehidupan dan makna individu dalam hubungan kemasyarakatan.
Bertitik tolak dari pemikiran di atas, kata-kata (kato) seperti yang terkandung dan terungkap dalam prinsip-prinsip dasar atau rumusan-rumusan kebenaran, pepatah, petitih, pituah, mamangan dan lain-lain ekspedisi simbolik tentang diri mereka dalam hubungan dengan alam, dengan lingkungan sosial budaya, merupakan media yang dapat dipakai dalam mengetahui dan memahami nilai-nilai yang dominan yang dianut mereka. Dikatakan “manusia tahan kato (kias) binatang tahan palu (cambuk).
Sesuai dengan tahap perkembangan masyarakat Minangkabau, sewaktu merintis menyusun adat, mereka mengambil kenyataan yang ada pada alam sebagai sumber analogi bagi nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur kehidupan mereka. Mereka mengungkapkan hal ini dalam perumusan yang dianggap mereka sebagai kebenaran “alam takambang jadi guru” (alam terkembang jadi guru). Hukum alam menjadi sumber inspirasi yang dijadikan pedoman untuk merumuskan nilai-nilai dasar bagi norma-norma yang menuntun mereka dalam berfikir dan berbuat.
Disamping belajar dari alam, pengalaman hidup yang dapat dijadikan pula pegangan, bahwa manusia harus belajar dari pengalamannya. Belajar dari alam dan pengalaman merupakan orientasi berfikir yang dominan dalam masyarakat Minangkabau. Hal ini dengan tegas dicontohkan mereka dalam ungkapan adat yang mendasarkan pandangan kepada alam “patah tumbuah hilang baganti” (patah tumbuh hilang berganti).
Selanjutnay dikatakan pula “maambiak contoh ka nan sudah, maambiak tuah ka nan manang” (mengambil contoh kepada yang sudah, mengambil tuah kepada yang menang). Mereka menafsirkan dan melihat yang ada dalam alam ini mempunyai tujuan dan makna hidup, kerja, waktu dan kehidupan sesamanya. Semuanya itu diungkapkan dalam bentuk nilai-nilai yang dominan yang menjadi pegangan dan pedoman bagi masyarakat Minangkabau. Sekarang akan kita lihat nilai-nilai dasar yang fundamental dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
J.2. Pandangan Terhadap HidupTujuan hidup bagi orang Minangkabau, adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka orang Minangkabau mengatakan, bahwa “hiduik bajaso, mati bapusako” (hidup berjasa, mati berpusaka). Jadi orang Minangkabau memberikan arti dan harga yang tinggi terhadap hidup. Untuk analogi terhadap alam, maka peribahasa yang dikemukakan adalah :
Gajah mati meninggalkan gadiangHarimau mati maninggakan balangManusia mati meninggalkan jaso
(gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan jasa).
Dengan pengertian, bahwa orang Minangkabau itu hidupnya jangan seperti hidup hewan yang tidak memikirkan generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan setelah mati. Karena itu orang Minangkabau bekerja keras untuk dapat meninggalkan, mempusakakan sesuatu bagi anak kemenakan, dan masyarakatnya.
Mempusakakan bukan maksudnya hanya dibidang materi saja, tetapi juga nilai-nilai adatnya. Oleh karena itu semasa hidup bukan hanya kuat menunjuk mengajari anak kemenakan sesuai dengan norma adat yang berlaku. Dengan demikian diharapkan kesinambungan dari adat yang diwarisi sebagai pusaka yang diturunkan secara turun temurun. Ungkapan adat juga mengatakan “pulai batinkek nalek meninggalkan rueh jo buku, manusia batingkek turun maninggakan namo jo pusako” (pulai bertingkat baik meningalkan ruas dan buku, manusia bertingkat turun meninggalkan nama dan pusaka).
Struktur sosial Minangkabau memberi tanggungjawab yang berat kepada orang laki-laki Minangkabau, sehingga mendorong lebih lanjut untuk berusaha memenuhi tuntutan agar berjasa kepada kerabat dan kampung halamannya.
Kedatangan agama islam yang mengemukakan manusia itu makhluk tuhan dan dijadikan khalifah dimuka bumi untuk menjadi lebih dahulu memberikan makna dan nilai yang tinggi terhadap hidup. Dengan kata lain agama telah memperkokoh pandangan terhadap hidup yang telah dipunyai oleh adat sebelumnya. Nilai hidup yang lebih baik dan tinggi ini telah menjadi pendorong bagi orang Minangkabau untuk selalu berusaha, berprestasi, dinamis dan kreatif.
J.3. Pandangan Terhadap KerjaSejalan dengan makna hidup bagi orang minangkabau, yaitu berjasa kepada kerabat dan masyarakatnya, kerja merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja merupakan keharusan. Kerjalah yang sangat membuka orang sanggup meninggalkan pusaka bagi anak kemenakan. Dengan hasil kerja dapat dihindarkan ” hilang rano dek penyakik, hilang bangso tak barameh ” (hilang warna karena penyakit, hilang bangsa karena tidak beremas). Artinya harga diri seseorang akan hilang karena kemiskinan, oleh sebab itu bekerja keras salah satu cara untuk menghindarkannya.
Juga dikemukakan oleh adat ” ameh pandindiang malu, kain pandindiang miang ” (emas pendinding malu, kain pendinding maian). Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan, sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya atau keluarganya. Banyaknya seremonial adat seperti perkawinan dan lain-lain membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan. Orang minangkabau disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh fatwa adat sebagai berikut :
Kayu hutan bukan andalehElok dibuek ka lamari tahan hujan barani bapanehBaitu urang mancari rasaki
(kayu hutan bukan andalas, elok dibuat untuk lemari, tahan hujan berani berpanas, begitu orang mencari rezeki)
Dari etos kerja ini, anak-anak muda yang punya tanggung jawab di kampung disuruh merantau. Mereka pergi merantau untuk mencari apa-apa yang mungkin dapat disumbangkan kepada kerabat di kampung, baik materi maupun ilmu. Misi budaya ini telah menyebabkan orang minangkabau terkenal dirantau sebagai makhluk ekonomi yang ulet.
Menghadapi masa tua harus mempersiapkan diri ketika muda, jangan disia-siakan waktu untuk bekerja. Dan berusaha agar di masa tua tidak kecewa dalam hidup. Peribahasanya mengatakan : “waktu ado jan dimakan, lah abih baru dimakan” (waktu ada jangan dimakan, sudah habis baru dimakan). Arti dari peribahasa ini adalah ketika ada tenaga dan masih muda bekerjalah dankumpulkanlah harta sebanyak mungkin, tetapi jangan lupa menyisakan untuk masa tua. Bila tiada maksudnya tiada tenaga lagi atau sudah tua, maka baru hasil simpanan dan usaha semasa muda dinikmati.
J.4. Pandangan Terhadap WaktuDalam kehidupan sehari-hari sering kali kita mendengan “waktu adalah uang atau waktu sangat berharga”. Mungkin ungkapan ini diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu “time is money”.
Sebenarnya bagi orang Minangkabau waktu berharga ini bukanlah soal baru, malahan sudah merupakan pandangan hidup orang Minangkabau. Orang Minangkabau harus memikirkan masa depannya dan apa yang akan ditinggalkannya sesudah mati. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan waktu untuk maksud yang bermakna, sebagamana dikatakan “duduak marawik ranjau, tagak maninjau jarah” (duduk merawit ranjau, berdiri meninjau jarah). Ungkapan ini mengumpamakan kepada seorang prajurit, bila dia duduk diisi waktunya dengan meraut ranjau yang akan dipasang menghadapi musuh, bila berdiri hendaklah meninjau jarah (meninjau jauh ke daerah yang luas sehingga bisa melihat musuh yang tiba-tiba dapat saja menyerang).
Tidak disukai oleh adat, bagi orang yang tidak menentu dan selalu dalam keraguan, hal ini dikatakan dalam ungkapannya “duduak sarupo urang kamanjua, tagak sarupo urang kamambali” (duduk seperti orang yang akan menjual, berdiri seperti orang yang akan membeli).
Waktu yang terbuang percuma saja juga tidak diingini, sebagaimana dikatakan “siang ba habih hari, malam ba habih minyak” (siang berhabis hari, malam berhabis minyak). Dimensi waktu, masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang merupakan ruang waktu yang harus menjadi perhatian bagi orang Minangkabau. Maliek contoh ka nan sudah (melihat contoh kepada masa lalu) merupakan keharusan. Bila masa lalu tidak menggembirakan dia akan berusaha memperbaikinya. Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarah merupakan manifestasi untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya pada masa sekarang.
Mambangkik batang tarandam (membangkit batang terendam), merupakan refleksi dari masa lalu sebagai pedoman untuk berbuat pada masa sekarang. Sedangkan mengingat masa depan adat menfatwakan “bakulimek sabalun habih, sadiokan payuang sabalum hujan” (berhemat sebelum habis, sediakan payung sebelum hujan). Kehati-hatian untuk menghadapi masa depan juga adat menginginkan sebagaimana yang dikatakan :
Hari paneh kok tak balinduangHari hujan kok tak bataduahHari kalam kok tak basuluahJalan langang kok tak bakawan
(hari panas jika tidak berlindung, hari hujan jika tidak berteduh, hari kelam jika tidak bersuluh, jalan lengang jika tidak berteman).
Perspektif masa depan yang tinggi bagi orang Minangkabau juga terlihat dengan kuatnya mereka memelihara sistem pemilikan komunal mereka. Dengan cara memelihara tanah komunal, warih di jawek, pusako ditolong (waris diterima, pusaka ditolong) mengungkapkan nilai dasar yang menekankan identitas Minangkabau.J.5. Hakekat Pandangan Terhadap AlamOrang Minangkabau menjadikan alam sebagai guru, sebagaimana yang dikatakan dalam mamangan adatnya sebagai berikut:
Panakiek pisau sirawikAmbiak galah batang lintabuangSalodang ambiak kanyiruSatitiak jadikan lauikSakapa jadikan gunuangAlam takambang jadi guru
(panakik pisau seraut, ambil galah batang lintabung, silodang jadikan nyiru, setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung, alam terkembang jadikan guru).
Alam Minangkabau yang indah, bergunung-gunung, berlembah, berlaut dan berdanau, kaya dengan flora dan fauna telah memberi inspirasi kepada masyarakatnya. Mamangan, petatah, petitih, ungkapan-ungkapan adatnya tidak terlepas dari pada alam.
Alam mempunyai kedudukan dan pengaruh penting dalam adat Minangkabau, ternyata dari fatwa adat sendiri yang menyatakan bahwa alam hendaklah dijadikan guru, seperti dikatakan, bahwa adat itu adalah:
Sakali aia gadangSalaki tapian barubahNamun aia kailia juo sakali gadang bagantiSakali peraturan barubahNamun adat baitu juo
(sekali air besar, sekali tepian berubah, namun air ke hilir juga, sekali besar berganti, sekali peraturan berubah, namun adat begitu juga).
Menurut pandangan hidup orang Minangkabau ada unsur-unsur adat yang bersifat tetap ada yang bisa berubah. Yang tetap itu biasa dikatakan “nan indak lapuak dek hujan, nan indak lakan di paneh”, (yang tidak lapuk karena hujan, yang tidak lekang karena panas).
Unsur-unsur itulah yang dalam klasifikasi adat termasuk “adat nan sabana adat” (adat yang sebenar adat), sedangkan yang lainnya tergolong “adat nan teradat, adat nan diadatkan dan adat istiadat” yang dapat dirubah.
Yang dimaksud dengan adat nan sabana adat yang tidak lapuk karena hujan, dan tak lekang karena panas sebenarnya disebut cupak usali, yaitu ketentuan-ketentuan alam atau hukum alam, atau kebenarannya yang datang dari Allah SWT. Oleh karena itu adat Minangkabau falsafahnya berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan dalam alam, maka adat Minangkabau itu akan tetap ada selama alam ini ada.
J.6. Pandangan Terhadap SesamaDalam hidup bermasyarakat, orang Minangkabau menjunjung tinggi nilai egaliter atau kebersamaan. Nilai ini dinyatakan mereka dengan ungkapan “duduak samo randah, tagak samo tinggi” (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi).
Dalam kegiatan yang menyangkut kepentingan umum sifat komunal dan kolektif mereka sangat menonjol. Mereka sangat menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Hasil permufakatan merupakan otoritas yang tertinggi. Hal ini dinyatakan oleh orang Minangkabau dengan ungkapan :
Kamanakan barajo ka mamakMamak barajo ka panghuluPanghulu barajo ka mufakatMufakat barajo ka aluaAlua barajo ka patuik jo mungkinPatuik jo mungkin barajo kanan banaBana badiri sandirinyo (itulah nan manjadi rajo)
(kemenakan baraja kepada mamak, mamak baraja ke penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, mufakat beraja kepada alur, alur beraja kepada patut dan mungkin, patut dan mungkin beraja kepada yang benar, yang benar itulah yang menjadi raja).
Kekuasaan yang tertinggi (otoritas) menurut orang Minangkabau bersifat abstrak, yaitu nan bana (kebenaran). Kebenaran tersebut harus dicari melalui musyawarah yang dibimbing oleh alur, patut dan mungkin. Penggunaan akal sangat diperlukan oleh orang Minangkabau dan sangat menilai tinggii manusia yang menggunakan akal. Nilai-nilai yang dibawa oleh islam mengutamakan akal bagi orang muslim, dan islam melengkapi penggunaan akal dengan bimbingan iman. Dengan sumber nilai yang bersifat manusiawi disempurnakan dengan nilai yang diturunkan dalam wahyu, lebih menyempurnakan kehidupan bermasyarakat orang Minangkabau.
Orang Minangkabau mengakui hirarki, yaitu ada rakyat dan ada pemimpin. Namun pemimpin dalam konsepsi mereka adalah orang yang dipilih dalam kerabat mereka, yaitu yang terbaik dari segi kualifikasi yang ditentukan oleh adat. Dalam hal ini mereka yaitu yang terbaik dari segi kualifikasi yang ditentukan oleh adat. Dalam hal ini mereka mempersonifikasikan pemimpin dalam pribadi dan kualifikasi seorang penghulu (syarat-syarat penghulu). Dengan demikian pada hakekatnya sumber kekuasaan penghulu itu adalah rakyatnya (kemenakannya).
Dalam ungkapan adat dikatakan “tumbuahnyo ditanam, gadangnyo dilambuak”, (tumbuhnya ditanam, besarnya dilambuk). Karena sumber kekuasaan dari bawah, maka diingatkan “ingek-ingek urang di ateh, nan dibawah kok maimpok” (ingat-ingat orang di atas, yang dibawah kalau menimpa). Dengan arti kata karena pemimpinm itu dipilih oleh anak kemenakan, maka yang diangkat jadi pemimpin iitu jangan sampai tidak memperhatikan kemenakannya, sebab kalau tidak demikian kepemimpinannya bisa dicabut kembali.
Menurut adat pandangan terhadap seorang diri pribadi terhadap yang lainnya hendaklah sama walaupun seseorang itu mempunyai fungsi dan peranan yang saling berbeda. Walaupun berbeda namun saling membutuhkan dan saling dibutuhkan sehingga terdapat kebersamaan. Dikatakan dalam mamangan ” nan buto pahambuih lasuang, nan binguang ka disuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang”, (yang buta penghembus lesung, yang tuli pelepas bedil, yang lumpuh penunggu rumah, yang kuat pembawa beban, yang bingung akan disuruh-suruh, yang cerdik lawan berunding). Hanya saja fungsi dan peranan seseorang itu berbeda dengan yang lain, tetapi sebagai manusia setiap orang itu hendaklah dihagai karena semuanya saling isi mengisi. Saling menghargai agar terdapat keharmonisan dalam pergaulan, adat menggariskan “nan tuo dihormati, samo gadang baok bakawan, nan ketek disayangi” (yang tua dihormati, sama besar bawa berkawan dan yang kecil disayangi). Ketika agama islam masuk konsep pandangan terhadap sesama ini dipertegas lagi.
Nilai egaliter yang dijunjung tinggi oleh orang Minangkabau mendorong mereka untuk mempunyai harga diri yang tinggi. Nilai kolektif yang didasarkan pada struktur sosial matrilineal yang menekankan tanggungjawab yang luas seperti dari kaum sampai kemasyarakat nagari, menyebabkan seseorang merasa malu kalau tidak berhasil menyumbangkan sesuatu kepada kerabat dan masyarakat nagarinya. Interaksi antara harga diri dan tuntutan sosial ini telah menyebabkan orang Minangkabau untuk selalu bersifat dinamis.
K. Elok Nagari Dek Pangulu
K.1. Elok Nagari Dek PenghuluPenghulu telah didirikan semenjak dari nagari asal Pariangan Padang Panjang. Dalam pemerintahan Kerajaan Pasumayam Koto Batu yang dipimpin oleh Sri Maharaja Diraja, telah didirikan dua orang penghulu pertama di Pariangan Padang Panjang, beliau itu adalah : Datuk Bandaro Kayo di Pariangan dan Datuk. Maharajo Basa di Padang Panjang.Begitulah selanjutnya sampai ke Kerajaan Dusun Tuo, Kerajaan Sungai Tarab (Bungo Satangkai), Kerajaan Bukit Batu Patah, dan Kerajaan Pagaruyung, begitu pula di luhak yang baru didirikan, maka dibesarkanlah penghulu di tiap-tiap nagari yang bru ditempati itu.
Penghulu-penghulu itulah yang akan memimpin anak nagari dalam segala seluk-beluk kehidupan mereka, penghulu itulah yang akan ” pa-i dahulu, pulang kudian “, penghulu itulah ” nan maelo parang jo barani, maelo karajo jo usaho, elo sarato tumpia, suruah sarato pa-i “. elok nagari dek panghulu, maksudnya adalah bahwa penghulu-penghulu itulah yang memimpin segala pekerjaan yang baik-baik dalam nagari.
Nagari terdiri dari labuah, tapian, balai dan musajik. Elok labuah dek batampuah, elok tapian dek rang mudo, elok balai dihiasi, elok musajik dek tuanku. Walaupun telah dibagi-bagi demikian rupa tentangan elok labuah, elok tapian, elok balai dan elok musajik kepada masing-masing fungsional di nagari, tetapi di atas itu semua penghululah yang memimpin semua pekerjaan untuk eloknya segala sarana nagari tersebut. Bahkan tidak itu saja, malainkan berbagai kebaikan dalam perilaku, budi pekerti, sopan santun dalam pergaulan bermasyarakat, penghululah yang sebagai pelopor untuk menegakkannya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki nagari dengan masyarakatnya peranan penghulu adalah sangat penting sekali. Kembali sekali lagi setelah penghulu-penghulu dahulu membuka nagari, maka untuk menyelamatkan nagari inipun, penghulu sekarang harus berada digaris depan sebagai pelopor.
K.2. Sistem Kepemimpinan Setelah IslamBila orang menyebut kepemimpinan Minangkabau, maka fikirannya akan tertuju bahwa kepemimpinan masyarakat Minangkabau didasarkan kepada sistem tungku tigo sajarangan (tungku tiga sejarangan). Tungku tiga sejarangan ini adalah sebagai berikut :
Kepemimpinan ninik mamak
Kepemimpinan alim ulama
Kepemimpinan cerdik pandai
Ketiga bentuk kepemimpinan ini lahir dan ada, tidak terlepas dari perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau sendiri. Mulanya hanya ada kepemimpinan di bidang adat saja, namun kemudian setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau dan akhirnya agama Islam ikut memberi corak terhadap pandangan hidup orang Minangkabau. Dengan kedatangan pengaruh agama Islam lahirlah pimpinan di bidang keagamaan yang disebut alim ulama. Baik karena kenyataan maupun karena diakui, alim ulama diikut sertakan memimpin kesatuan-kesatuan sosial masyarakat di dalam adat. Unsur pimpinan yang ketiga adalah cerdik pandai. Orang cerdik pandai sama lahirnya dengan kepemimpinan ninik mamak dalam arti menjadi penghulu kepala kaum. Orang-orang yang pintar dari sebuah kaum banyak jumlahnya. Pintar dalam pengetahuan adat dan pengetahuan umum lainnya. Mereka inilah yang digolongkan kepada golongan cerdik pandai walaupun merreka tidak pernah menempuh pendidikan sekolah. Dengan kata lain kepemimpinan cerdik pandai ini sudah ada sebelumnya, dan tidak benar kalau dikatakan kepemimpinan cerdik pandai muncul setelah adanya pendidikan formal seperti sekarang.
Ketiga corak kepemimpinan tadi mempunyai perbedaan terutama sekali statusnya dalam masyarakat adat. Kepemimpinan ninik mamak merupakan kepemimpinan tradisional, dia sesuai dengan pola yang telah digariskan oleh adat. Kepemimpinan secara berkesinambungan, dengan arti kata “patah tumbuah hilang baganti” dalam kaum masing-masing, suku dan nagari. Seseorang tidak akan dapat berfungsi sebagai ninik mamak dalam masyarakat adat, seandainya dalam kaum keluarga sendiri tidak mempunyai gelar kebesaran kaum yang diwarisinya.
Kepemimpinan alim ulama dan cerdik pandai dapat diperoleh oleh siapa saja tanpa membedakan asal usul dan keturunan. Kepemimpinan dan kharisma seorang alim ulama dan cerdik pandai tidak terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu, dan malahan peranannya jauh di luar masyarakat nagarinya. Stratifikasi secara tegas terhadap tiga corak kepemimpinan tersebut sulit dibedakan lantaran ketiga corak kepemimpinan tersebut bisa terdapat pada diri seseorang. Betapa banyaknya sekarang ninik mamak yang juga cerdik pandai serta sebagai alim ulama.
Ketiga sistem kepemimpinan tadi dalam masyarakat minankabau disebut “tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin”. Ketiga unsur kepemimpinan ini saling melengkapi dan menguatkan. Tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin juga merupakan filosofi dalam kepemimpinan masyarakat Minangkabau. Ketiga unsur kepemimpinan ini berat sama dipikul, ringan sama dijinjing dalam membina dan memimpin anak kemenakan semenjak dahulu di Minangkabau.
K.3. Tingkat - Tingkat KepemimpinanDalam membicarakan tingkat-tingkat kepemimpinan ini tercakup dua hal yang mendasar, yaitu siapa yang dipimpin dan siapa yang memimpin. Pengertian yang dipimpin dalam adat Minangkabau tidak lain adalah anak kemenakan sendiri dan di sini dapat diterjemahkan sebagai rakyat, sedangkan pemimpin adalah ninik mamak atau orang yang berfungsi sebagai pimpinan yang telah digariskan oleh adat.Untuk membicarakan tingkat-tingkat kepemimpinan ini baik juga dipedomani talibun adat yang mengatakan :
Rang gadih mangarek kukuPangarek pisau sirauikParuik batuang tuonyoBatuang tuo elok ka lantainagari ba ampek sukudalam suku babuah paruikkampuang banan tuorumah batunganai
(anak gadis memotong kuku, dikerat dengan pisau siraut, pisau siraut peraut betung tua, betung tua baik untuk lantai, nagari mempunyai empat suku, dalam suku berbuah perut, kampung bertua, rumah bertungganai).
Dari talibun adat di atas yang akan dikemukakan adalah tungganai, suku dan nagari, sedangkan kampung tanpa dikaitkan kesalah satu suku tertentu dan hanyalah mengandung arti teritorial semata-mata.
Paruik (perut)
Paruik, tiap suku berbuah paruik dan orang separuik bertali darah. Dahulu orang yang separuik tinggal dalam satu rumah yang disebut dengan rumah gadang. Sebagai pemimpin dari peruik adalah kepala paruik atau disebut juga tungganai. Kepala peruik adalah laki-laki yang tertua dalam paruik tersebut atau laki-laki lain yang dipilih menurut adat yang berlaku. Biasanya kepala paruik inilah yang memakai gelar kebesaran paruik atau sebagai seorang penghulu yang bergelar datuk. Kedatangan pengaruh islam kemudian istilah paruik ini lebih dikenal dengan sebutan kaum. Kepala paruik ini lebih dikatakan sebagai kepala kaum. Pada dewasa ini yang umum dipakai adalah kaum. Kepala kaum orang yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting oleh anggota kaum. Persoalan yang ada dalam kaum maupun antara kaum dengan kaum yang lain menjadi tanggungjawab kepala kaum untuk menyelesaikannya bersama-sama dengan anggota kaum lainnya. Pengawasan terhadap harta pusaka tinggi sebagai milik kaum merupakan tugas dari pada kepala kaum dan hal ini sesuai dengan ketentuan adat yang mengatakan “warih dijawek, pusako ditolong”. Menggadai atau menjual harta pusaka harus sepakat anggota kaum dan ketegasan dari kepala kaum dalam mengambil sesuatu keputusan sangat diperlukan sekali dalam permusyawaratan. Orang yang sekaum terdiri pula dari ibu-ibu dengan anak-anaknya yang merupakan samande. Orang yang samande memperoleh bagian dari harta pusaka tinggi milik kaum. Harta yang dimilikinya ini merupakan “ganggam bauntuak, pagang bamasiang”. Kepadanya hanya diberi hak untuk memungut hasil, sedangkan hak milik masih tetap atas nama kaum. Harta yang ganggam bauntuak ni jika digadaikan harus mendapat persetujuan dari kepala kaum dan anggota kaum yang lainnya. Apabila sebuah kaum telah berkembang, maka bagian-bagiannya disebut jurai. Jurai-jurai ini turun dari rumah itu diawasi oleh mamak rumahnya. Mamak rumah ini disebut pula tungganai menurut kebiasaan dalam satu-satu nagari. Jurai-jurai yang ada masih tetap dalam satu kesatuan kaum dan sebagai pimpinannya tetap kepala kaum.
2. Suku
Suku, merupakan unit yang mendasar dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Berdasarkan sejarah orang Minangkabau pada mulanya mengenal empat buah suku yaitu koto, piliang, bodi, dan chaniago. Berdasarkan penyelidikan L. C. Westenenk dari empat suku ini telah menjadi 96 suku yang berbeda-beda yang tersebar di seluruh nagari di Minangkabau. Walaupun sudah banyak pecahan suku namun tetap masuk kepada suku asal, yaitu kepada koto piliang dan bodi chaniago. Di nagari yang mempunyai sistem adat koto piliang kepala-kepala suku dipilih menurut sistem keturunan langsung. Sedangkan di nagari-nagari yang memakai sistem adat bodi chaniago kepala suku di pilih secara demokratis. Penghulu-penghulu suku koto piliang dipimpin oleh seorang penghulu pucuak dan sifatnya turun-temurun. Sedangkan pada bodi chaniago di kepalai oleh penghulu andiko atas pilihan bersama secara demokratis, dengan mengindahkan “ketentuan gadang balega”. Penghulu-penghulu suku yang dipimpin oleh penghulu pucuak atau penghulu andiko mempunyai tanggungjawab keluar dan kedalam terhadap segala permasalahan yang ada dalam sukunya. Bila terjadi persengketaan antara kaum dengan kaum atau antara suku dengan suku lainnya maka penghulu-penghlu yang sepesukuan turun tangan untuk menyelesaikannya. Demikian pula bila ada permasalahan yang ada permasalah yang patut untuk dibawa ketingkat nagari, maka sebagai juru bicaranya adalah kepala suku yaitu penghulu pucuak atau penghulu andiko sesuai dengan sistem adat yang dipakainya. Membawa permasalahan dari tingkat terbawah ketingkat nagari haruslah berjenjang naik, sedangkan dari tingkat nagari segala yang harus disampaikan kebawah hendaklah bertangga turun. Kepemimpinan dalam suku harus menanamkan rasa kesatuan dan persatuan, mereka harus sehina semalu sebagaimana yang dikatakan ” malu nan indak dapek dibagi, suku tak dapek dianjak “, karena orang sesuku seketurunan, maka dalam soal perkawinan dahulunya dilarang orang kawin sesuku dan bahkan sampai sekarang hal ini pada banyak nagari masih dipegang teguh. Dahulu orang sepesukuan tinggal dalam daerah yang sama, sehingga ada kampung caniago, kampung jambak yang maksudnya orang yang tinggal di kampung tersebut bersuku chaniago atau suku jambak. Penduduk suku mempunyai daerah yang disebut ulayat suku. Ulayat suku meliputi daerah yang telah didiami dan diolah oleh anggota suku ditambah dengan daerah yang belum diolah seperti hutan, bukit dan lain-lain. Ulayat suku yang belum diolah hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan anggota suku. Untuk mengambil kayu bangunan atau hasil lainnya yang berada pada ulayat suku harus setahu penghulu-penghulu suku.
3. Nagari
Nagari, organisasi politik dan sosial yang tertinggi adalah nagari. Pemerintahan nagari dijalankan oleh sebuah majelis ninik mamak pemangku adat. Mereka bermusyawarah dalam sebuah penghulu yang disebut rapek nagari atau kerapatan adat. Keanggotaan dari kerapatan adat pada sebuah nagari ditentukan oleh adat yang dipakai pada nagari tersebut. Majelis ninik mamak yang duduk sebagai pemimpin nagari punya kekuasaan di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hukum adat tidak mengenal pemisahan kekuasaan. Segala persoalan-persoalan yang tidak putus dari tingkat paruik dan suku akan dibawa kekerapatan ninik mamak nagari. Majelis ninik mamak nagari juga bertanggungjawab terhadap kekayaan nagari yang berupa tanah atau hal ulayat nagari.
Dari uraian di atas kelihatan suatu strata kepemimpinan menurut adat yang kita ambil dalam lingkup nagari sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat. Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan, yang memegang peranan dalam kepemimpinan secara adat yang berjenjang naik bertangga turun adalah mamak rumah atau tungganai dengan harta ganggam bauntuak, mamak kepala kaum dengan harta pusaka tinggi kaum, kerapatan ninik mamak yang sesuku dengna harta ulayat suku, majelis kerapatan ninik mamak nagari dengan harta ulayat nagari. Jadi jelas kepemimpinan itu diikuti dengan kekayaannya yang merupakan hak dan tanggungjawab juga.K.4. Penghulu Dalam masyarakat adat minangkabau penghulu merupakan sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuk. Mengangkat kebesaran adat dikatakan mengangkat datuk, melainkan mengangkat penghulu. Istilah penghulu berasal dari kata “hulu”, artinya kepala. Yang dimaksud kepala di sini adalah pimpinan. Jadi pengertian penghulu adalah sama dengan pimpinan. Dengan demikian seorang penghulu bisa pula tidak seorang datuk tetapi dia pemimpin.
Sebagai pimpinan penghulu bertanggungjawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku dan nagarinya. Penghulu bertanggungjawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat dan hal ini dikatakan kewajiban penghulu ” kusuik manyalasai, karuah mampajaniah “. Kedudukan penghulu tidak sama dengan kedudukan dan fungsi seorang feodal, penghulu tidak dipusakai oleh anaknya seperti dalam masyarakat feodal, melainkan oleh kemenakannya yang bertali darah.
Drs. M. D. Mansoer mengatakan : Seorang penghulu adalah ninggrat jabatan, dengan hak-hak istimewa (prerogatives) yang melekat pada gelar pusaka yang dipakainya sebagai penghulu. Yang diturunkan kepada kemenakan separuik, sekaum atau sepesukuannya dan dipilih sebagai penggantiannya, ialah fungsi “ninggrat jabatan dengan hak-hak prerogatives yang inhaerent” pada jabatannya.
Sebagai penghulu ia disebut “datuk”, baik ia sebagai penghulu paruik maupun sebagai panghulu suku. Menurut adat bodi caniago seluruh penghulu sama dan sederajat kedudukannya, semua dinamakan penghulu andiko. Andiko berasal dari kata sansekerta yaitu “andika” yang berarti memerintah. Penghulu seandiko artinya setiap penghulu mempunyai wewenang dan memerintah di dalam sukunya, sampai ke dalam nagari masing-masing.
Menurut Prof. M. Nasroen, penghulu itu digadangkan makonyo gadang, sebagaimana dikatakan :
Tumbuahnyo di tanamTingginya dianjuangGadangnyo diamba
Maksudnya jabatan penghulu itu diperolah oleh seseorang karena diangkat oleh anggota kaumnya sendiri. Tingginya dianjung, besarnya dipelihara dengan pengertian sebelum dia diangkat dan memegang jabatan penghulu dia sudah besar dan tinggi juga di dalam kaumnya. Karena kelebihannya ini pilihan jatuh kepada dia atau dikatakan juga “tinggi menyentak rueh”.
Penghulu sebagai pemimpin haruslah baalam leba, badado lapang, dengan pengertian haruslah berjiwa besar dan berpandangan luas dalam menyelesaikan suatu masalah haruslah punya prinsip ” tak ada kusuik nan indak salasai, karuah nan indak kajaniah “. Dalam mencari penyelesaian harus bijaksana dan di umpamakan seperti menarik rambut dalam tepung ” tapuang indak taserak, rambuik indak putuih “.
Seorang penghulu diibaratkan ” aie janiah, sayak nan landai, bak kayu di tangah padang, ureknyo tampek baselo, batangnya tampak basanda, dahannya tampek bagantuang, buahnya ka dimakan, daunnyo tampek balinduang “, (air yang jenih sayak yang landai, seperti kayu di tengah padang, uratnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, buahnya untuk dimakan, daunnya tempat berlindung).
Kesimpulan yang dapat diambil, bahwa penghulu sebagai pemimpin, kedudukan dan peranannya sangat besar sekali di tengah-tengah masyarakat. Penghulu dikatakan juga tiang nagari, kuat penghulu maka kuat pulalah nagari dan juga dikatakan elok nagari dek panghulu, elok tapian dek rang mudo.
Dalam memimpin sukunya, penghulu suku dibantu oleh tiga orang pembantu yaitu manti, malin dan dubalang. Manti urusan administrasi, malin urusannya menyangkut bidang keagamaan, dan dubalang dikatakan urang ampek jinih. Menurut Prof. M. Nasroen tugas dari urang nan ampek jinih adalah :” penghulu itu adalah sebagai bumi, di atas mana sesuatunya berdiri. Manti adalah sebagai angin yang menyampaikan sesuatunya, malin adalah ibarat air yang menghanyutkan yang kotor. Dubalang adalah sebagai api yang membakar segala kejahatan dan bertindak dengan keras “.
Tiap jenis berperanan menurut bidang masing-masing, seperti dikatakan penghulu taguah di adat, manti taguah di buek, malin taguah di agamo, dubalang taguah di nagari, kato pangulu manyalasai, kato manti kato panghubuang, kato malin kato hakikat, kato dubalang kato mandareh.
Syarat-syarat menjadi penghulu
Karena seorang penghulu adalah sebagai pemimpin dalam masyarakat, mulai dari tingkat kaum, suku dan nagari, maka ketentuan untuk menjadi seorang penghulu telah digariskan oleh adat sebagai berikut:
Laki-laki
Baik zatnya maksudnya berasal dari orang keturunan yang baik-baik.
Kaya dalam arti kaya akal, budi dan pengetahuan dalam bidang adat.
Baligh berakal maksudnya dewasa dan berpendirian teguh serta tegas dalam tiap-tiap tindakan.
Adil, maksudnya menempatkan sesuatu pada tempatnya, dikatakan manganti samo barek, tibo dimato indak dipiciangkan, tibo diparuik indak dikampihkan (menimbang sama berat, tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan).
Arif bijaksana artinya mempunyai perasaan halus, paham akan yang tersirat, pikiran tajam dan cendikia, menurut petatah adat:
tahu di bayang kato sampaitahu di ranggeh ka malintiangtahu di tunggua ka manaruangtakilek ikan dalam aialah tantu jantan batinonyokilek baliuang alah ka kakikilek camin alah ka muko
Siddiq, maksudnya benar penghulu itu, tiadalah akan merobah dia akan suatu kebenaran.
Tabligh maksudnya menyampaikan sesuatu yang baik kepada umum.
Amanah maksudnya dipercaya, tiadalah merobahi penghulu itu akan suatu kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Fatanah, maksudnya seorang penghulu haruslah cerdik cendikia dan tiadalah dia dungu dan bebal.
Pemurah artinya pemurah pada nasehat, murah pada melarang mudharat.
Tulus dan sabar artinya beralam luas berpadang lapang.
Prosedur pengangkatan penghuluSeseorang itu diangkat menjadi penghulu memakai gelar pusaka kaumnya yang telah diwariskan secara turun temurun merupakan hasil mufakat kaum. Musyawarah serta mufakat anggota kaum merupakan hasil yang prinsip, sebab kalau tidak demikian maka kebesaran kaum tersebut akan tetap terbenam, atau dilipat. Seringkali terjadi hal yang demikian, karena tiak ada kesatuan pendapat terutama anggota-anggota keluarga dalam jurai-jurai pada kaum tersebut.
Hal ni sangat merugikan kaum tersebut. Patah tumbuh hilang berganti merupakan isyarat kepada orang minangkabau agar yang patah cepat ditumbuhkan, yang hilang itu cepat dicarikan gantinya.
Bila sudah diperdapat kebulatan suara anggota kaum, maka dibawalah hasil kesepakatan kaum ini ke kerapatan ninik mamak yang sesuku. Seandainya ninik mamak yang sesuku telah menyepakatinya pula maka dibawa ke sidang kerapatan nagari, yang juru bicaranya datuk sesuku dari kaum tadi. Kerapatan nagari sifatnya menerima apa yang telah disepakati calon penghulu yang diajukan oleh kaum dan sukunya. Kerapatan nagari harus mengetahui semua calon penghulu baru ini nantinya akan dibawa sehilir semudik dalam urusan nagarinya, sebab penghulu baru ini nantinya akan dibawa sehilir semudik dalam urusan nagari. Prosedur pengangkatan penghulu tiap-tiap nagari bisa saja berbeda sesuai dengan adat salingka nagari, harato salingla kaum, namun prosedur berjenjang naik sampai ketingkat nagari tidak bisa diabaikan karena adat mengatakan maangkek panghulu sakato nagari, maangkek rajo sakato alam.
Malewakan penghuluMalewakan penghlu maksudnya menyampaikan kepada masyarakat ramai mengenai diri seorang yang memakai gelar kebesaran kaumnya. Untuk itu diadakan alek penghulu. Acara pengangkatan penghulu dan peresmiannya merupakan acara adat terbesar di minangkabau. Besarnya acara ini tergantung pada kemampuan keluarga kaum yang mengadakan acara tersebut. Pada helat upacara pengangkatan penghulu ini disembelih kerbau. Anak nagari dan penghulu-penghulu dalam nagari diundang pada hari peresmian ini. Upacara peresmian ini adakalanya sampai berhari-hari dan ini tergantung kepada kemampuan kaum keluarga yang mengadakan acara tersebut.
Daging kerbau yang dimasak sebagai lauk pauk tidak memakai bumbu masakan biasa tetapi khusus masakan untuk pengangkatan penghulu. Ada yang menyebutnya gulai anyang, dan beberapa nagari ada yang menyebutnya gulai kancah, gulai sirah, gulai balado dan lain-lain, namun kesemuanya tanpa santan.
Makna tersirat dari kerbau yang disembelih ini adalah ” tanduak ditanam, dagiang dilapah, kuah dikacau “. Tanduk ditanam punya makna agar penghulu yang diangkat ini membuang sifat-sifat yang buruk yang mungkin melukai orang lain. Daging dilapah maknanya sari daging dimakan dan tulangnya dibuang. Hal ini berarti, bahwa dalam diri seseorang penghlu harus ada sifat-sifat yang baik dan membuang sifat-sifat yang buruk. Kuah dikacau mengibaratkan agar penghulu itu pandai mempergunakan sesuatunya menurut sifat dan keadaannya. Gulai kerbau yang dimasak tidak pakai santan mengibaratkan, indak lamak karano santan, indak kuniang karano kunik, artinya seorang penghulu itu kebesarannya bukan lantaran orang lain, melainkan besarnya itu lantaran dari dirinya sendiri.
Jenis pengangkatan penghulujenis pengangkatan penghulu ini timbul, karena adanya perbedaan pelaksanaan, cara memperoleh dari siapa dan oleh siapa kesemuanya ini melahirkan jenis-jenis pengangkatan penghulu.
Beberapa jenis pengangkatan penghluu yang telah dikumpulkan, adalah sebagai berikut :
Mati batungkek budi mati bertongkat budi, maksudnya bila seseorang penghulu meninggal dunia, maka pada hari itu juga dicarikan gantinya. Setelah pemakaman dilewakan di makam tersebut siapa yang akan menggantikan penghulu yang meninggal tersebut. Cara seperti ini juga diaktakan melewakan di tanah tasirah. Syaratnya sekata kaum, dan disetujui oleh penghulu-penghulu suku dan nagari.
Hiduk bakarilahan ada ketentuan dalam adat, bahwa gelar pusaka itu dapat digantikan atau diserahkan kepada kemenakan selagi penghulu tersebut masih hidup. Hal ini bisa terjadi bila penghulu itu sudah tua sehingga tidak dapat lagi menjalankan tugasnya. Dalam adat dikatakan “kok lurahlah dalam, bukiklah tinggi, jalan tak tatampuah, alek tak taturuik”dalam pelaksananaanya harus menurut prosedur yang berlaku dan adat setempat, jadi bukan selesai pada kaum saja. Pengangkatan penghulu hidup berkelirahan hanya terdapat dalam sistem adat bodi chaniago, sedangkan pada adat koto piliang pengganti penghlu bisa dilakukan bila seseorang penghulu itu sudah meninggal dunia “samati kuciang, sahilang ngeong”.
Gadang menyimpang hal ini dapat terjadi bila jumlah anggota keluarga dalam sebuah kaum sudah sedemikian besarnya. Untuk kelancaran urusan anak kemenakan, maka diangkat seorang penghulu yang gelarnya hampir serupa dengan gelar yang asli, jika gelar pusakanya datuk bandaro, maka gelar yang baru datuk bandaro kayo. Kedudukan kedua datuk ini semula tidak sama, karena yang baru diangkat ini khusus dalam urusan dalam kaumnya sendiri, sedangkan urusan ke luar tetap datuk yang pertama. Namun lama kelamaan mereka semakin menggalang kebersamaan dan pada akhirnya mereka “duduk sama rendah, tegak sam tinggi”.
Mangguntiang siba baju bila anak kemenakan yang asalnya inggok mancakam, tabang manumpu telah berkembang dan sudah mungkin mengatur kaumnya sendiri, maka kaumnya dapat diberi gelar pusaka suku oleh kaum yang menjadi tepatannya. Pengangkatan dan pemberian gelar ini bila gelar pusaka di tempat asalnya tidak diketahui lagi, dan sepakat kaum yang ditepati, suku dan nagari. Namun prosedur sepanjang adat tetap berlaku.
Pantangan (larangan) penghulu,
penghulu sebagai pemangku adat nan didahulukan salangkah, nan ditinggikan sarantiang mempunyai pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukannya sebagai penghlulu. Pantangan ini gunanya untuk menjaga martabat dan wibawa penghulu itu di tengah-tengah anak kemenakan.Pantangan-pantangan penghulu tersebut adalah sebagai berikut :
Marah, penghulu harus bersifat sabar, sebab dalam kehidupan sehari-hari anak kemenakan banyak tingkahnya yang tidak sesuai dengan ajararan adat dan moral. Dalam menghadapi hal-hal yang tidak baik ini, seorang penghulu harus bijaksana dan pandai membawakan diri, seperti dikatakan juga harimau dalam paruik, kabiang juo nan dikaluakan (harimau dalam perut, kambing juga yang dikeluarkan). Seorang penghulu harus menjauhi sifat-sifat yang suka menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan sifat-sifat yang suka menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan baju untuk menentang seseorang berkelahi. Biasanya seorang penghulu yang bijaksana kalau ada hal-hal yang membuatnya marah akan menyerahkan perseolannya pada dubalang.
Berlari-lari, walaupun bagaimana terburu-burunya seorang penghulu karena sesuatu hal, baginya terlarang untuk berlari-lari, apalagi berlari kencang. Berlari-lari membuat dirinya seperti kanak-kanak. Seorang penghulu dapat menyuruh anak kemenakannya kalau ada yang perlu untuk dituruti dengan segera.
Menjinjing dan membawa beban, menjinjing dan memikul beban tidak pada tempatnya bagi seorang penghulu. Kalau ini terjadi akan hilang wibawa penghulu tersebut karena dia mempunyai anak kemenakan ayang dapat membantunya.
Memanjat-manjat, pantangan bagi seorang penghulu memanjat pohon, apalagi pohon kelapa, wibawanya akan hilang apabila hal ini dia lakukan.
Hak dan kewajiban penghulu sebagai seorang penghulu tidaklah hanya dibebani dengan kewajiban-kewajiban saja, tetapi juga mempunyai hak di tengah-tengah suku dan nagarinya.Hak penghulu tersebut adalah sebagai berikut:
Memutuskan sesuatu permasalahan secara tegas dan tepat. Di tengah-tengah kaumnya seorang penghulu berhak untuk mengambil suatu keputusan yang tegas dan tepat mengenai sesuatu permasalahan, tetapi tidak ditinggalkan unsur-unsur musyawarah dengan seluruh anggota kaum. Dia tidak ragu-ragu bertindak dan mengatur sesuatu yang bertujuan baik untuk kepentingan kaum. Seorang penghulu tidak membeo saja apa yang diingini oleh anggota kaumnya. Kelebihannya sebagai seorang pemimpin harus ditunjunkkannya dalam sikap dan tindakannya.
Memperoleh sawah kagadangan. Karena tugas penghulu tersebut cukup sibuk, baik urusan kedalam maupun keluar yang menyangkut dengan kaumny, sudah jelas dia tidak mempunyai waktu lagi untuk mencari nafkah, maka penghulu mempunyai hak untuk mendapatkan sawah kagadangan (sawah kebesaran) milik kaumnya. Hasil sawah kagadangan ini diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menetapkan hak dan kewajiban kemenakan. Dalam kerapatan suku dan nagari seorang penghulu mempunyai hak suara untuk menyampaikan sesuatu berupa usul dan pendapat demi kepentingan suku, nagari dan anak kemenakan pada umumnya. Seseorang penghulu secara mufakat dan bersama-sama pada tingkat nagari, untuk menetapkan atau memutuskan sesuatu yang akan diberlakukan pada anak kemenakannya.
Memperoleh hasil ulayat. Penghulu pada suku dan nagari juga mempunyai hak untuk mendapatkan hasil dari ulayat suku dan nagari, seagaimana diaktakan : karimbo babungo kayu, kasawah babungo ampieng, kalauik babungo karang (kerimba berbunga kayu, kesawah berbunga emping, kelaut berbunga karang).
Disamping hak, penghulu mempunyai pula kewajiban-kewajiban yang telah digariskan oleh adat. Ada empat kewajiban yang dimiliki oleh penghulu dalam memimpin anak kemenakan. Keempat kewajiban itu adalah sebagai berikut:
Menuruik alue nan lurus (menurut alur yang lurus), yang dikatakan menurut alur yang lurus, yaitu tiap-tiap sesuatu yang akan dilaksanakan oleh penghulu hendaklah menurut garis-garis kebenaran yang telah digariskan oleh adat. Penghulu berkewajiban untuk tidak menyimpang dari kebenaran tersebut dan kebenaran itu dapat dibuktikannya, seperti ungkapan adat mengatakan “luruih manahan tiliak, balabeh manahan cubo, ameh batuah manahan uji”. Alur yang lurus ini dapat pula dibedakan atas dua bahagian, yaitu alur adat dan alur pusaka. Alur adat yaitu peraturan-peraturan di dalam adat minangkabau yang asalnya peraturan tersebut disusun dengan kata mufakat oleh penghulu-penghulu atau ninik mamak dalam satu nagari. Sedangkan alur pusaka artinya semua peraturan-peraturan yang telah ada dan diterima dari nenek moyang dt. Ketumanggungan dan dt. Perpatih nan sabatang. Alur pusaka ini di dalam adat dikatakan “hutang babaia, piutang batarimo. Salah batimbang, mati bakubua”.
Manampuah jalan nan pasa (menempuh jalan yang pasar), yang dikatakan manampuah jalan nan pasa yaitu peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Seorang penghulu hendaklah meletakkan atau melaksanakan apa yang telah digariskan oleh adat dan tidak boleh menyimpang dari yang telah digariskan adat, yaitu balimbago, bacupak, dan bagantang (berlembaga, bercupak, dan bergantang).
Mamaliharo harato jo pusako (memelihara harta pusaka), penghulu berkewajiban harta pusaka, seperti dikatakan warih dijawek, pusako ditolong. Harta pusaka merupakan kawasan tempat anak kemenakan berketurunan mencari kehidupan, tempat beribadah dan berkubur. Harta pusaka yang dipelihara seperti pandam perkuburan, sawah ladang, labuh tapian, korong dengan kampung, rumah tangga, balai dan mesjid. Harta pusaka yang berupa adat istiadat yang telah diwarisi turun-temurun dari nenek moyang juga dipelihara dan ditolong untuk dilanjutkan pada generasi selanjutnya.
Mamaliharo anak kemenakan (memelihara anak dan kemenakan). Penghulu berkewajiban memelihara anak kemenakan “siang mancaliak-caliakkan, malam mandanga-dangakan, barubah basapo, batuka baanjak, hilang bacari, luluih basalami”
Dalam hal-hal yang umum penghulu juga mempunyai kewajiban yang sama terhadap anak-kemenakan penghulu lainnya, jika mereka bersalah perlu di tegur dengan batas-batas tertentu adanya.
Tambo Minangkabau
Alam MinangkabauDitulis oleh Ibrahim Dt. Sangguno Dirajo
Dewasa ini sangat minim sekali informasi mengenai adat yang kita dapati, seringkali kita mendengar Tambo alam Minangkabau, tapi kita tidak seperti apa isi tambo itu sebenaAmrnya. Begitu juga dengan adat Minangkabau seperti apa adat tersebut. Mulai dari tulisan ini kami dari admin akan memuat tulisan dari Ibrahim Dt. Sangguno Dirajo dalam bukunya Curaian Adat Minangkabau. Serta ucapan terimakasih kepada penerbit Kristal Multimedia Bukittinggi yang telah berkenan memberi ijin untuk menyadur isi buku tersebut.Sedikit tentang penulis Ibrahim dilahirkan di sungayang Sumatera Barat pada tahun 1858. Pendidikan dimulai di Sekolah Government di Batusangkar, tamat tahun 1868. Pada tahun 1870 beliau menjadi juru tulis Tuanku Titah di Sungai Tarab. Tuangku ini ahli dibidang adat Minangkabau. Maka saat itu beliau tertarik dan memperdalam pengetahuan dibidang Adat Minangkabau sehingga beliau diangkat menjadi Penghulu Andiko pada tahun 1913 dengan gelar datuak Sangguno Dirajo.
I. Pulau AndalasMenurut bunyi Tambo Alam Minangkabau, adapun orang yang pertama datang mendiami pulau andalas adalah ninik kita Sri Maharaja Diraja namanya. Beliau datang datang kemari dari tanah besar Voor Indie, tanah Rum kata orang tua tua, dan beliau kesini bersama dengan ke enambelas orang laki laki perempuan dari kasta Cateri. Selain itu dibawanya juga Kucing Hitam, Harimau Campo, Kambing Hutan dan Anjing Muk Alam.Dikatakan Kucing Hitam, Harimau Campo dan lain lainnya itu, sekali kali bukanlah bangsa binatang, tetapi manusia biasa juga. Mereka dijuluki dengan nama nama seperti itu sesuai dengan tingkah laku dan perangai mereka. Semuanya perempuan dan dipelihara oleh ninik Maharaja diraja seperti memelihara anaknya sendiri.Ninik Sri Maharaja Diraja berlayar dari tanah besar itu dengan sebuah perahu kayu jati. Mula mula mereka berlayar melalui pulau Jawa yang saat itu belum terlihat tanah pulau Jawa itu. Yang tampak hanya puncak gunung Serang dan dipulau itu perahu beliau tertumpuk batu karang sehingga mengalami kerusakan dan tidak bisamelanjutkan perjalanan. Pada saat itu menitahlah ninik Sri Maharaja Diraja kepada mereka yang berada diatas kapal itu “Barangsiapa yang dapat memperbaiki kapal ini seperti sediakala, akan hamba ambil sebagai menantu”Mendengar titah itu beb erapa cerdik pandai segera berunding, mencari akal agar dapat memperbaiki perahu itu. Maka dengan karunia Allah, maka lima orang tukang segera bekerja dan kapal itu dapat diperbaiki kembali. Sri Maharaja merasa senang dan suka hati serta memuji kepandaian para tukang tersebut.Kemudian perjalanan dilanjutkan sampai pada suatu kektika mereka melihat sebuah gosong tersembunyi di dalam laut. Tergilang gilang kelihatan dari jauh kira kira sebesar telur ayam, hilang timbuldilamun ombak.Setelah sampai disitu kiranya ada tanah lebar dengan datarannya, berlabuhlah ninik Sri Maharaja Diraja diatas gosong itu. Gosong itu adalah puncak gunung merapi yang sekarang ini. Disanalah berdiam ninik Sri Maharaja Diraja bersama dengan para pengikutnya. Itulah ninik kita yang mula mula mendiami pulau Andalas ini, hingga menjadi juga oleh yang tua tua dengan memakai pantun ibarat :
Dimana mulanya terbti pelitaDibalik tanglun nan berapiDimana mulanya ninik kitaIalah di puncak gunung Merapi
Kata orang yang menceritakan, takkala ninik Sri Maharaja Diraja berada di puncak gunung Merapi itu beliau berdo’ a supaya disusutkan air laut.Dengan karunia Tuhan air laut semakin hari semakin susut juga dan bertambah lebar tanah daratan sehingga nyatalah tempat tempat itu adanya diatas gunung yang sangat besar.Kata sahibulhikayat, takkala beliau masih berdiam dipuncak gunung itu, dengan takdir Tuhan orang orang yang bernama Kucing hitam, Harimau campo, Kambing hutan dan Anjing Muk Alam masing masing melahirkan seorang anak perempuan. Begitu pula istri Ninik Sri Maharaja Diraja melahirkan seorang anak perempuan pula. Sekalian semua anak itu dipelihara oleh ninik Sri Maharaja Diraja dengan kasih sayang yang tiada dibedakan. Kemudian kelak setelah anak anak itu besar, mereka dinikahkan dengan 5 tukang yang memperbaiki kapal tadi.
II. Galundi Nan Bersela dan Guguk AmpangSetelah beberapa lama mereka berdiam dipuncak gunung itu, air laut sudah berangsur susut juga dan bertambah besar juga tanah daratan, maka sekalian orang itu berpindah kesebuah lekung dipinggang gunung Merapi itu.Oleh Sri Maharaja Diraja tempat itu diberi nama Labuhan Sitembaga. Disitulah pada masa dahulu ada Sirengkak nan Berdengkang. Disitu pulauntuk pertama kalinya orang menggali sumur untuk tempat mandi dan tempat mengambil air minum, karena disekitar tidak ada air tawar, yang ada hanya air laut.Selanjutnya mereka membuat sepiring sawah bernama sawah setampang benih. Disebut setampang benih karena dengan padi yang setampang itu sudah mencukupiuntuk makan orang disaat itu, karena mereka belumbanyak. Padi itu pula menjadi asal padi yang ada sekarang. Sepanjang cerita orang tua tua.Lama kelamaan tumbuh pula Galundi nan Bersela, air laut bertambah susut juga dan daratan bertambah luas, maka Cateri Bilang Pandai mencari tanah yang lebih baik untuk mereka huni.Ditemukan sebuah guguk disebelah kanan dari Galundi nan Bersela tadi, dan sekalian orang yang berada di Galundi berpindah ke ketempat baru itu. Tempat itu diberi nama oleh ninik Sri Maharaja Diraja serta Cateri Bilang Pandai dengan nama Guguk Ampang.
III. Nagari Pariangan dan Padang PanjangTidak berapa lama antaranya, orang orang yang menetap di Guguk Ampang berpindah pula dengan membuat setumpak tanah yang datar di baruh Guguk Ampang itu.Tanah disini lebih baik daripada tanah di Ampang Gadang. Mereka pun berbondong bondong membuat tempat tinggal ditempat yang baru ini dan oleh ninik Sri Maharaja Diraja beserta Cateri Bilang Pandai tempat ini diberi nama Perhurungan. Guguk Ampang tadi pada saat ini bernama kampung Guguk Atas. Lama kelamaan orangpun bertambah kembang juga, dan kampung Perhurungan bertambah maju. Orang semakin hari semakin riang pula.Atas prakasa ninik Sri Maharaja Diraja beserta cerdik pandai masa itu, dibuat semacam permainan anak negeri seperti Pencak Silat, Tari Payung dan bermacam peralatan untuk gung dan talempong, gendang, serunai rabab, kecapi dan lain lain sehingga menjadikan orang bertambah riang juga disetiap waktu.Suasana masyarakat yang selalu dalam keadaan riang itu, menimbulkan keinginan dari ninik Sri Maharaja Diraja dan Cateri Bilang Pandai untuk menganti nama kampung menjadi Pariangan.Kemudian karena bertambah kembang juga, seorang hulubalang ninik Sri Maharaja Diraja pergi membuat tempat tinggal dekat sebuah batu besar disuatu tanah disebelah kanan pariangan. Karena tempat itu baik pula, berdatangan orang pariangan membuat tempat tinggal disitu.Lama kelamaan tempat itu menjadi sebuah kampung yang ramai pula. Oleh Cateri Bilang Pandai kampung itu diberi nama Padang Panjang. Sebab yang pertama sekali menemukan daerah itu adalah hulubalang yang menyandang gelar Pedang nan Panjang. Kampung Pariangan dan Padang Panjang semakin hari semakin ramai, dan kedua kampung ini dibawah hukum ninik Sri Maharaja Diraja.Pada suatu hari bermusyawarahlah segala isi kampung Pariangan dan Padang Panjang untuk mendirikan sebuah Balairung tempat raja duduk menghukum (memerintah) beserta orang besar lainnya Datuk Suri Diraja, Cateri Bilang Pandai yang bernama Indra Jati. Balairung itu didirikan didalam kampung Pariangan, dihiasi dengan lapik lalang.Ruangan hanya sebuah saja sehingga sampai saat ini disebut orang Balai Saruang. Disitulah tempat ninik Sri Maharaja Diraja dan orang orang besarnya menghukumwaktu itu.
IV. Penghulu PertamaLama pula antaranya orangpun bertambah ramai pula. Pada suatu hari bermusyawarah pula ninik Sri Maharaja Diraja dengan Datuk Suri Diraja dan Cateri Bilang Pandai, serta segala orang banyak dari kampung Pariangan dan Padang Panjang di Balai Saruang tadi.Musyawarah itu adalah untuk memilih orang yang akan menjadi yang memerintah dan menghukum dibawah raja.Adapun orang yang akan ditanam jadi ketua adalah orang yang akan menjadi penghulu orang banyak itu, dengan fungsi antara lain :
Kusuk yang akan menyelesaikanKeruh yang akan menjernihkanSesat yang akan menghimbauTerluncur yang akan menghelakan
Itulah orang yang akan memimpin orang banyak, dibawah ninik Sri Maharaja Diraja.Didalam permusyawaratan itu dicapai kata sepakat yakni akan menanam dua orang ketua, seorang di Pariangan dan seorang di Padang Panjang. Hasil kesepakatan itu dikembalikanke kepada ninik Sri Maharaja diraja dan beliau menyetujui.Pada kesempatan itu Datuk Suri Diraja bertitah “Berbahagialah kamu sekalian, telah sama sama sepakat untuk menanam dua orang ketua yang akan menjadi penghulu oleh kamu sekalian. Apa nama pangilan dan apa nama pangkatnya bagi keduanya ?”Mendengar titah Datuk Suri Diraja itu, tidak ada yang dapat menjawab sebab belum ada kata mupakat tentang itu. Sekalian orang banyak itu memohon kepada ninik Sri Maharaja Diraja untuk kembali bermusyawarah untuk menetapkan apa nama panggilan dan pangkat bagi keduanya tadi.Tetapi setelah beberapa saat lamanya mereka duduk timbang menimbang, hasilnya nihil sama sekali. Akhirnya sekalian orang banyak itu memulangkan kata kepada ninik Sri Maharaja Diraja.“Telah puas kami bersama sama mencari nama pangkat dan nama pangilan bagi ketua kami, namun tidak dapat oleh kami, melainkan sebuah kata ketua saja. Oleh sebab itu kami serahkan saja kepada Tuanku semua, apa yang baik bagi Tuanku, kami akan menurut saja.”Setelah itu bertitahlah ninik Sri Maharaja Diraja kepada sekalian orang banyak itu : “Adapun orang akan kita jadikan ketua itu tentulah akan dipilih dari kita yang hadir disini, yaitu orang yang lebih pandai dan baik tingkah lakunya. Sebab orang itu, pergi tempat kita bertanya, pulang tempat kita beberita. Orang itulah yang akan memelihara buruk baiknya kita sekalian, tempat kita mengadukan segala hal yang baik dan buruk.Orang itu yang akan menimbang mudharat danmanfaat diatas kita sekalian serta menghukum barang sesuatunya buruk dan baik.Oleh sebab itu sepanjang pendapat hamba, patutlah kita muliakan benar orang itu dengan semulia mulianya daripada kita yang banyak ini. Kita tuakan orang itu dengan kata mupakat bersama dan tuanya kita samakan dengan orangtua ninik mamak kita yaitu ‘datuk’ namanya. Dengan demikian kepadanya kita panggil Datuk meskipun umurnya lebih muda daripada kita.Kita wajib menghormatinya, apa titahnya kita junjung, apa perintahnya kita turut, agar sentosa kita dari marabahaya selama hidup didunia ini. Jikalau kita tidak bertindak dan tiada turut menurut, niscaya tiadalah kita mendapat keselamatan”Mendengar penitahan ninik Sri Maharaja Diraja itu, senanglah hati sekalian orang banyak itu. Panggilan Datuk sampai sekarang tidak berubah. Itulah asal mulanya maka segala penghulu itu dipanggil Datuk dan disebut orang juga ninik mamak, ninik daripada mamaknya orang banyak. Setelah putus kata mupakat, diadakan helat jamu di kampung Pariangan dan Padang Panjang.Pada masa itu ditetapkan kedua penghulu tadi seorang di Pariangan bergelar Datuk Bandaharo Kayo dan seorang lagi di Padang Panjang bergelar Datuk Maharaja Besar. Itulah penghulu pertama yang ada dipulau andalas ini, yang disebut juga pulau Perca.Adapun Datuk Suri Diraja bukanlah penghulu yang diangkat orang, beliau diberi nama seperti itu hanya karena beliau berkarib dengan raja. Beliau dipanggil datuk karena tuanya saja, dan lagi beliau adalah orang cerdik pandai, lubuk akal lautan budi, tempat orang berguru dan bertanya pada waktu itu di Pariangan Padang Panjang, serta menjadi guru oleh ninik Sri Maharaja Diraja.Dengan bertambah ramainya orang di Pariangan dan Padang Panjang, oleh ninik Sri Maharaja Diraja dengan mupakat segala isi kampung diberi nama Nagari Parangan Padang Panjang. Sampai saat ini nama itu tidak pernah dirubah orang dan itulah nagari tertua di pulau Andalas ini.Dari pernikahan ninik Sri Maharaja Diraja dengan adik datuk Suri Diraja yang bernama Tuan Putri Indah Jalia, lahirlah seorang yang bernama Sutan Paduka Besar.
V. Sungai Tarab Nagari TuaSeiring dengan perkembangan waktu, masyarakat di Nagari Pariangan bertambah ramai juga, sedang nagari itu tidak begitu luas sehingga sudah penuh sesak oleh orang banyak. Maka bermusyawarahlah ninik Sri Maharaja Diraja dengan segala orang besarnya untuk memindahkan sebagian orang kedaerah baru.Setelah bulat mupakat, mendakilah ninik Sri Maharaja Diraja ke puncak gunung merapi hendak melihat dimana tanah yang baik dan subur akan tempat memindahkan orang orang itu. Setibanya beliau dipuncak gunung merapi, memandanglah beliau kesegala arah. Pandang jauh dilayangkan pandangan dekat di tukikkan.Kelihatan oleh beliau setumpuk tanah tanah gosong yang ditumbuhi rimba di baruh gunung kearah selatan yang kelihatannya tanahnya berpasir. Gosong gosong itu adalah puncak puncak bukit yang tersembur dari permukaan laut waktu itu.Setelah itu beliau kembali turun, dan bersama sama dengan Cateri Bilang Pandai beliau pergi melihat tanah itudengan berlayar. Pelayaran beliau itu hanya menepi gunung merapi saja dan akhirnya beliau sampai ditepi pantai, lalu berlabuh dan langsung memeriksa tanah tadi.Didapati oleh beliau tanah itu lebih luas dari Pariangan Padang Panjang dan nampaknya lebih baik dan lebuh subur.Disebelah mudik tanah itu ada pula sebidang padang pasi yang amat luas yang sangat baik untuk tempat orang bermain dan bergembira.Setelah ada keyakinan bagi ninik Sri Maharaja Diraja dan Cateri Bilang Pandai, lalu keduanya kembali ke Pariangan Padang Panjang untuk menjeput orang orang yang akan mendiami tempat tersebut.Beliau membawa tujuh karib bai’id beliau laki laki dan perempuan, begitupun Cateri bilang pandai membawa pula enam belas orang, yaitu delapan pasang suami istri.Setelah mereka tiba ditanah tadi, mereka mulai membuka ladang, berladang mencencang melateh, membuat teratak ditempat itu. Lama kelamaan teratak menjadi sebuah dusun bernama dusun Gantang Tolan dan dusun Binuang Sati.Kemudian dusun itu bertambah lama bertambah ramai pula. Maka dibuat orang pula dipinggir dusun itu sebuah koto tempat berkampung, berumah tangga. Dari koto itulah orang orang berulang ulang keladangnya yang didusun tadi.Semakin lama didalam koto tadi orang semakin bertambah ramai juga, lalu koto itupun dijadikan nagari, diberi nama nagari Bunga Setangkai. Kenapa bunga setangkai, sebab sewaktu ninik Sri Maharaja Diraja sampai disitu beliau mendapatkan setangkai bunga yang sangat harum baunya, dan dibawah bunga itu ada pula sebuah batu luas dan datar. Panjangnya tujuh tapak ninik Sri Maharaja Diraja, batu itu diberi nama oleh beliau “Batu Tujuh Tapak” Sampai sekarang batu itu masih ada didalam nagari Bunga Setangkai.Adapun padang pasir yang di mudik nagari Bunga Setangkai, lama-kelamaan ditumbuhi oleh kayu-kayuan, sehingga kemudian menjadi rimba yang berkampung kampung. Pada akhirnya daerah itu menjadi koto, lalu menjadi nangari yang diberi nama Pasia Laweh, takluk kepada nagari Bunga Setangkai.Didalam nagari Bunga Setangkai dibuat orang sebuah balairung tempat ninik Sri Maharaja Diraja dan Cateri Bilang Pandai menghukum. Dekat balairung itulah ninik Sri Maharaja Diraja membuat istana tempatdiam.Kemudian keluarlah sebuah mata air dibawah sebuah pohon yang bernama tarab dihalaman istana ninik Sri Maharaja Diraja. Air yang keluar sangat jernih dansejuk serta besar sehingga menjadi suatu anak sungai, oleh sebab itu Cateri Bilang Pandai memberi nama Sungai Tarab.Karena Sungai itu sangat termasyhur nama Bunga Setangkai dilupakan orang sehingga nagari itu berubah nama jadi nagari Sungai Tarab.Didalam nagari Sungai Tarab ditanam orang delapan orang penghulu yang diambil dari dalam kaum orang yang delapan pasang, yang mula mula mencencang melateh nagari tersebut. Penghulu yang delapan itu memerintah orang dalam nagari Sungai Tarab dan menguasai masing masing kaumnya. Penhulu itu bernama “Datuk nan Delapan Batur” Yakni delapan batu kedudukan dahulu.Kemudian setiap penghulu itu membuat pula sebuah balairung sehingga disebut orang pula delapan balai kedudukan Datuk Nan Delapan Batu.Delapan balai kemudian menajdi delapan suku yang terbagi atas 2 kampung. Satu kampung di mudik (Sungai Tarab) dengan lima balai dan satu lagi di hilir dengan 3 balai sehingga kampung ini disebut TigaBatur.Setelah berkoto, bernagari dan berpenghulu yang akan memelihara orang didalam Sungai Tarab, ninik Sri Maharaja diraja merasa senang sekali dan beliau beserta Cateri Bilang Pandai kembali lagi ke Pariangan Padang Panjang.Meninggalnya Ninik Sri Maharaja DirajaNinik Sri Maharaja Diraja meninggal di Pariangan Padang Panjang, yaitu beberapa lalu kemudian setelah beliau kembali dari Sungai Tarab. Sepeninggal beliau jabatan raja di pariangan Padang Panjang tidak ada karena beliau tidak mempunyai waris. Posisi beliau dijabat oleh karib beliau yang ada di Sungai Tarab. Adapun yang memerintah di Pariangan Padang Panjang sepeninggal ninik Sri Maharaja Diraja adalah Datuk Bandaharo Kayo, Datuk Maharaja Besar, Datuk Suri Diraja, Cateri Bilang Pandai dan Cateri Rino Sudah. Sedangkan yang memerintah di Sungai Tarab dipegang oleh Datuk Delapan Batur, dibantu oleh Cateri Bilang Pandai mewakili karib ninik Sri Maharaja yang belom dewasa.Tuan Putri JamilanSetelah beberapa lama ninik Sri Maharaja Diraja meninggal dunia, Tuan Putri Indah Jalia janda beliau kawin dengan Indra Jati yang bergelar Cateri Bilang Pandai.Dari perkawinan itu beliau berputra enam orang, dua orang laki laki, pertama bernama Sutan Balun dan yang kedua bernama Sikalab Dunia dan empat orang perempuan bernama: Putri Reno Sudi, Putri Reno Mandi, Putri Reno Judah dan si bungsu Puteri Jamilan. Tuan Putri Jamilan ini kawin dengan karib ninik Sri Maharaja Diraja yang menjadi raja di Sungai Tarab itu.
VI. Datuk Katumanggungan, Datuk Perpatih nan Sabatang, dan Datuk Sri Maharaja Nan Banaga Naga.Menurut bunyi Tambo Alam Minangkabau dan curaian orang tua tua, setelah dewasa anak ninik Sri Maharaja Diraja yang bernama Sutan Paduka Besar dan anak anak Cateri Bilang Pandai bernama Sutan Balun dan Sikalab Dunia, atas kesepakatan anak nagari Pariangan Padang Panjang dan anak nagari Sungai Tarab, diangkat menjadi penghulu.Sutan Paduka Besar bergelar datuak Katumanggungan, Sutan Balun bergelar Datuak Parapatiah Nan Sabatang, dan Sikalab Dunia bergelar Datuak Sri Maharaja nan Banaga naga.Beliau beliau itulah penghulu ninik kita, yang sangat cerdik pandai, lubuk akal lautan budi, lagi keramat ketiganya. Meliau bertiga menata adat lembaga untuk kita orang Alam Minangkabau.Kata ahli adat, setelah Sutan Balun diangkat jadi penghulu, beliau pergi berlayar keluar Pariangan Padang Panjang, hendak pergi tamasya ke pulau Langgapuri(Serindip Cylon).Dalam perjalanan kembali pulang, ditengah lautan beliau mendapat sebatang kayu yang berisi lengkap didalamnya segala perkakas untuk pertukangan seperti kapak, lading, pahat dan perpatih. Oleh sebab itu dia digelari Datuk Perpatih Nan sabatang Kayu, kemudian ditetapkan dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang saja.Adapun kayu yang berisi alat perkakas ditemukannya itu berasal dari peninggalan nabi Nuh. Perkakas itu diletakkan orang dalam lobang sebuah pohon kayu dan hanyut ke laut.Dengan karunia Allah kayu itulah yang didapatkan oleh Datuk Parapatiah Nan Sabatang. Benar atau tidaknya cerita ini wallahu ‘alam.Diceritakan kembali, sesudah ninik yang bertigaitu diangkat orang jadi penghulu, semenjak itulah beliau berusaha mencari ikhtiar memperbaiki nagari dan memperluas jajahan di tanah Alam Minangkabau serta berusaha membuat bermacam macam aturan adat lembaga yang akan dipakai orang didalam Nagari yang telah beliau dirikan itu, untuk penjaga kesentosaan dan keselamatan orang yang berada didalam nangari.Adat lembaga yang beliau tinggalkan menjadi pegangan bagi masyarakat Minangkabau sampai sekarang, adat lembaga itu amat baik dan sempurna aturannya, tidak dapat disanggah oleh jauhari pun, mempunyai akal budi yang sempurna. Bila ada orang yang merubah atau merusak warisan beliau itu, tak dapat tidak pastilah mendatangkan kesusahan dan kerugian besar bagi dirinya serta bagi segala orang di dalam nagari sampai kepada anak cucunya.
VII. Nagari Limo KaumKata ahli adat, pada suatu ketika ninik Parapatiah nan Sabatang bersama lima pasang suami istri berlayar keluar dari nagari Pariangan Padang Panjang menuju tanah lapang yang ditumbuhi rimba berkampung kampung. Di situ kelima pasang tadi mencencang melateh membuat ladang dan dusun tua. Disitu ninik Parapatiah Nan Sabatang membuat rumah dibawah kayu bodi nago taram, kemudian dibuatnya pula sebuah balai di dusun tua itu yang berparit dan berpagar batu.Sebab itu balai tadi dinamakan balai batu, lalu dibuat pula sebuah kubu dibaruh dusun tua tadi, yang dinamai kubu raja.Lama kelamaan berkembang pula orang yang lima pasang tadi. Karena orang sudah ramai dibuat pula lima buah kampung seedaran dusun tadi, yang bernama kampung Balai Batu, Kampung Kubu Rajo, Kampung Belah Labuh, Kampung Dusun Tua(Kota Gadis) dan Kampung Kampai (Piliang). Kelima kampung ini akhirnya dinamakan Kampung Lima Kaum.Kemudian menyusul pula dua belas pasang suami istri dari Pariangan Padang Panjang yang dipimpin oleh seorang Penghulu yang bergelar Datuk Tan Tejo Maharaja Nan Gadang. Penghulung badanya besar dan panjang kira kira sepuluh hasta panjangnya.Sampai sekarang masih ada kubur beliau di kampung Pariangan, yang dikenal juga dengan kubur Datuk Tan Tejo Gurahana.Mereka sampai di nagari yang bernama Jambu sekarang ini dan tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke nagari Limo Kaum karena tidak ada jalan kesana. Lalu berkata Datuk Tan Tejo kepada orang yang dibawanya itu, katanya : “Kaniaklah (Kemarilah) kita berbalik” lalu surutlah mereka kembali sampai kesebuah dusun yang mereka beri nama Keniak.Rupanya yang dimaksud dengan “ka niak” oleh datuk Tan Tejo tadi adalah kampung tabek sekarang ini. Disitu mereka berladang dan membuat taratak. Datuk Tan Tejo membuat sebuat tebat besar, lalu dibuat orang pula setumpak sawah dekat tebatnya itu dan di mudik sawah itu dibuat pula sebuah taratak, lama kelamaan taratak menjadi dusun dan dusun menjadi kampung pula, yang bernama kampung sawah tanah. Akhirnya kedua belas pasang itu terbagi dua. Sebagian tinggal bersama beliau dikampung Tebat dan sebagian lagi menetao dikampung Sawah Tangah.Lama kelamaan berkembang pula orang dikampung Tabek dan kampungSawah Tangah itu. Datuk Tan Tejo mendirikan sebuah balai dikampung Tabek yang tonggaknya dari teras jilatang dan parannya dari akar lundang, sedang tabudnya dibuat dari batang pulut pulut, yang digetang dengan jangat tuma dan gendangnya dari padang seliguri.Itulah keganjilan yang dibuat oleh Datuk Tan Tejo Maharaja Nan Gadang. Sampai kini tonggak jilatang dan gendang saliguri masih ada dikampung Tabek dan kampung Sawah Tangah. Selanjutnya karena telah berkembang kampung Tabek dan kampung Sawah Tangah dijadikan orang menjadi sebuah nagari yang bernama Nagari Tabek Sawah Tangah.Oleh karena Nagari Tabek Sawah Tangah itu menjadi ramai dan sesak pula, mamak pecahan orang orang yang dua belas tadi pergi berladang merambah rimba kecil di kepala dusun tua tempat ninik Parapatiah Nan Sabatang tadi, tempat itu dinamai orang Parambahan.Dari parambahan itu dibuat sebuah labuh arah ke kubu raja, tetapi mereka tidak berhasil karena karena terlalu susah, jalan mendaki dan menurun serta berbelok belok. Dan labuh itu diberi nama Taratak labuh.Karena telah menjadi ramai pulang orang di taratak labuh, Parambahan dan Tabek Sawah Tangah merekapun semakin berkembang dantelah menbuat 12 koto disekitar nagari limo kaum. Kedua belas koto itu menurut penitahan ninik Parapatiah Nan Sabatang, yaitu :
1. Labuah2. Parambahan3. Silebuk4. Ampalu5. cubadak6. Sianyang7. Rambatan8. Padang Magek9. Ngungun10. Panti11. Pabaluran12. Sawah jauh
Lama kelamaan koto nan duabelas ini ramai pula. Oleh ninik Parapatiah nan Sabatang ke dua belas koto ini sampai ke Tabek Tangah sawah dijadikan satu dengan orang yang berada di Limo Kaum dengan nama Limo Kaum dua Belas Koto. Kemudian dipecah lagi menjadi Limo Kaum Dua Belas Koto dan Sembilam Koto Didalam.Adapun koto yang sembilan itu ialah dua-dua satu bilang : Tabek Bata dan Sela Goanda; Beringin dan Koto baranjak; Lantai Batu dan Bukit Gombak; Sungai Tanjung dan Barulak serta Raja Dani.Oleh Ninik Parapatiah Nan Sabatang masyarakat nagari Lima Kaum yang Dua Belas Koto itu sampai ke Tabek Sawah Tangah diberi pula satu pucuk pimpinan yaitu Penghulu dengan gelar Datuk Bendahara Kuning, berkedudukan di kubu raja Lima Kaum.Setelah teratur nagari Limo Kaum Dua Belas Koto itu, maka senanglah Hati Ninik Parapatiah nan Sabatang dan beliau kembali ke Pariangan Padang Panjang.
VIII. NAGARI SUNGAYANGKata orang yang menceritakan, tidak berapa lama kemudian ninik Parapatiah nan Sabatang berlayar pula membawa tujuh pasang suami istri. Mereka sampai pada suatu tanah menanjung kedalam sungai. Karena tanah itu baik dan subur, mereka menetap disana dan berladang membuat taratak. Tempat itu beliau beri nama Pangkal Bumi.Kemudian menyusul pula duapuluh tiga pasang suami istri dari Pariangan Padang Panjang yang ingin mencari penghidupan disana karena di Pariangan sudah penuh sesak.Mereka menetap di daerah antara Pangkalan Bumi dan Sungai Tarap. Mereka bersama sama dengan yang tujuh pasang suami istri berladang dan membuat taratak.Tempat mereka menambatkan perahu atau (jung) nya, dinamakan “Tembatan Ajung”, lalu disingkat menjadi tabek Ajung. Sedangkan Pangkal bumi berubah nama jadi Ujung Tanah.Lama kelamanaan berkembang pula orang orang yang di Taratak dan di lading padi tadi, taratak itu menjadi dusun yang ramai, lalu dibuat orang dua buah koto dipinggir taratak itu, yang bernama Tanjung dan Sungai Mangiang, sebab mata air yang mengalir disana kerapkali jadi mangiang (pelangi) dan dari kedua koto itulah orang pulang pergi ke taratak dan ladangnya masing masing. Hingga kini disitu masih adatempat yang bernama taratak dan lading.Kemudian sesuai dengan perkembangan manusia, koto itu dijadikan orang nagari, oleh ninik Parapatiah Nan Sabatang nagari itu diberi namaTanjung Sungayang Nan Batujuah., karena yang menetap di Nagari itu adalah orang yang dua puluh tiga pasang ditambah tujuh pasang tadi.Keturunan mereka sampai kini masih ada di nagari itu. Itulah orang yang berhutan tinggi dan berhutan rendah dan mereka ada berpangkat sepanjang adat di dalam Nagari itu.Kata ahli adat, sesudah sumur digali nagari nagaridicecak dalam nagari Sungai Tarab, Lima Kaum dan Tanjung Sungayang, dan di setiap nagari itu orang sudah begitu ramai, maka bermupakatlah Datuk Katumanggugan, Datuk Parapatiah Nan Sabatang, Datuk Ssri Maharaja nan banaga naga hendak mencari tanah yang baik untuk memindahkan orang nagari tersebut. Setelah putus mupakat, beliau bertiga berlayar bertiga menjalani teluk dan rantau.Setelah tampak tanah tanah yang dianggap baik ketiganya kembali lagi. Lalu dengan tiga buah perahu, setiap perahu memuat lima puluh orang laki laki dan perempuan, mereka menuju ketempat tempat yang sudah dilihat tadi. Disetiap tempat itu beliau tempatkan sepasang, lima pasang, ada yang enam dan delapan pasang tergantung dengan besar kecilnya tanah yang akan didiami itu.Lama kelamaan orang orang itupun berkembang pula dan tempat orang orang itu dari taratak menjadi dusun, dusun menjadi koto, dan kemudian menjadi nagari. Demikianlah caranya ninik moyang kita dalam memperluas daerahnya di pulau perca ini.Oleh karena asal orang orang itu dari nagari Sungai Tarab, Lima Kaum, Tanjung Sungayang dalam Tambo Alam Minangkabau nagari yang tiga ini disebut nagari tertua di alam Minangkabau ini.Setelah selesai menempatkan orang orang didaerah yang baru itu, maka kembalilah ketiga ninik tadi ke Pariangan Padang Panjang. Mereka mulai bekerja membuat ketetapan hukum yang akan dipakai disetiap nagari yang baru tadi.Setelah itu mereka memohon kepada bapak beliau yang bernama Indra Jati bergelar Cateri Bilang Pandai untuk pergi memeriksa keadaan orang orang di nagari yang baru itu dan sekaligus menetapkan penghulunya masing masing.Permintaan anak anaknya dipenuhi oleh Cateri Bilang Pandai. Berangkatlah beliau ke nagari nagari yang baru itu dan disetiap nagari diangkat seorang penghulu untuk setiap kaumnya.Penghulu inilah “kusut yang akan menyelesaikan, keruh yang akan menjernihkan” serta memelihara orang orang itu dari hal hal yang buruk dan baik dengan mendirikan pusaka Alam Minangkabau.Barangsiapa yang diangkat menjadi penghulu diwajibkan terlebih dahulu mengisi adat menuai lembaga kepada segala orang yang ada didalam nagari itulah yang mengendangkan jadi penghulu.Begitu juga barang siapa yang akan menjadi raja, wajib pula mengisi adat menuang lembaga kepada isi alam takluk jajahannya, memberi makan-minuman orang orang yang datang diwaktu raja dinobatkan serta memotong kerbau dan sapi seberapa cukupnya. Selain itu raja itu wajib mengeluarkan emas nan sesukat seulang aling, nan sekundi kundi, sepating setali bajak namanya sebagai pengisi adat kepada penghulu dan orang orang yang patut. Sebab orang orang itulah yang merajakannya.Karena banyaknya penghulu yang diangkat, banyak pula gelar penghulu ditiap tiap suku atau nagari, namun gelar itu tidak boleh sama. Kalau ada yang sama itu namanya sudah dibelah (dipecah)
IX. Luhak nan Tigo, Laras Nan DuoPada suatu ketika ninik yang bertiga ini naik pula ke puncak gunung merapi. Disana beliau menemukan tiga buah akar yang berjurai jurai. Sejurai menghadap kearah timur, Sejurai jatuh kebarat dan sejurai lagi jatuh ke utara. Maka memandanglah beliau kearah timur nampak rimba berkampung kampung.Ditepi rimba itu sudah diisi oleh orang, begitu juga ketika beliau memandang kearah barat dan utara, banyak pula tanah yang sudah dihuni orang. Sedangkan disebelah selatan kelihatan puncak puncak gunung yang tersembur dari dalam laut.Maka mupakatlah ketiga ninik itu untuk turun melihat tanah dan keadaan orang yang sudah didiami itu. Ninik Katumangguangan berjalan ke arah barat, Ninik Parapatiah Nan Sabatang berjalan kearah timur, dan Ninik Sri Maharaja berjalan kearah utara.Sekembalinya dari nagari nagari itu beliau kembali lagi dan bertemu di Pariangan Padang Panjang lalu ninik bertiga menceritakan pengamatan yang sudah dilakukan di daerah itu.Diceritakan oleh Ninik Parapatiah Nan Sabatang tanah berbukit bukit dan berlurah lurah, airnya jernih ikannya jinak dan buminya dingin.Diceritakan pula oleh ninik Katumanggungan tanah yang disebelah barat gunung merapi airnya keruh ikannya liar, buminya hangat dan orangnya keras hati, suka bermusuh musuhan dan selalu berkelahi pada masing masing kaum.Oleh ninik Sri Maharaja Nan Banaga Naga diceritakan bahwa bahwa tanah sebelah utara gunung airnya manis ikannya jinak, buminya tawar dan dulu orang yang ditempatkan sebanyak lima puluh orang telah berkurang lima pasang, hilang dipadang ribu ribu tampa tahu kemana perginyaorang itu.Kemudian bermupakatlah ninik yang bertiga menceritakan itu kepada mamaknya datuk Suri diraja. Oleh datuk Suri diraja diberi nama :-Luhak Tanah Datar untuk tanah yang sebelah timur gunung merapi yaitu tanah yang dijalani ninik Parapatiah nan Sabatang.-Luhak Agam untuk daerah yang dijalani oleh ninik Katamanggungan.-Luhak Limapuluh untuk daerah yang dijalani oleh ninik Sri Maharaja nan Banaga Naga.Itulah asalnya maka alam Minangkabau ini terbagi atas tiga luhak. Masing masing luhak ini diperintah oleh ninik yang bertiga tadi. Selanjutnya oleh datuk Datuk Katamanggungan dan Datuk Parapatiah Nan Sabatang ketiga luhak dibagi jadi dua kelarasan, yaitu:-Laras Koto Piliang, Pemerintahan Datuk Katumanggungan-Laras Bodi Caniago, Pemerintahan Datuk Parapatiah nan Sabatang.Nagari nagari yang masuk kedalam laras koto Piliang adalah : Tanjung Gadang Mudik sampai Laut nan Sedidih, gunung merapi hilir, keliling gunung semuanya, sedangkan yang masuk bodi caniago adalah daerah Mudik hingga Padang Tarab Hilir.Meskipun sudah dibagi, disetiap nagari itu selalu menyela orang yang dua kelarasan itu tetapi yang paling banyak adalah kelarasan koto piliang.Perbedaan jumlah pengikut ini mengakibatkan terjadinya perselisihan antara datu Katumanggungan dan datuk Parapatiah nan Sabatang. Perselisihan kedua orang besar itu tidak dapat didamaikan oleh isi Alam Minangkabau karena keduanya sama sama keras.Selanjutnya terjadilah peperangan yang akhirnya dimenangkan oleh laras koto piliang karena jumlah mereka lebih banyak dibandingkan pengikut kelarasan bodi caniago.Pada masa itu berdirilah pusaka perang, siapa yang kalah harus mengisi penampun abu, bila tidak ada yang menang atau seri hanya berjabat tangan.Dengan kalahnya laras Bodi Chaniago, maka ia mengisi penampun abu kepada laras Koto Piliang dibayar dengan enam ekor kuda oleh datuk datuk lima kaum dua belas koto dan tiga ekor kuda putih dari datuk nagari nan tiga, yaitu oleh datuk Nagari Tanjung Sungayang dan Tanjung Gadang, semua kuda diberi bertali cindai, dibawa kedelapan batur yakni nagari Sungai Tarab.Menurut cerita orang tua, kekalahan laras Bodi Chaniago membuat datuk Parapatiah Nan Sabatang merasa sakit hati. Beliau berniat hendak membunuh datuk Katumangguangan.Pada suatu malam beliau menjarah ke dalam nagari Sungai Tarab mencari Datuk Katumangguangan namum tidak bertemu. Dengan perasaan marah dan kecewa itu maka ditikamnya lah satu batu besar dikampung Kurimbang Batu Halang dengan kerisnya yang bernama Ganja Erak sehingga batu itu tembus.Lalu dihentakkan lagi dengan tongkat besinya sehingga tembus pula. Batu yang ditikam itu sampai kini masih terdapat di tepi sawah di Ulak Kampung Budi yang tidak seberapa jauh dari Kampung Kurimbang Batu Halang. Begitu juga dengan batu yang ditikam di Lima Kaum sampai sekarang masih ada dikampung Balai Batu. Kedua batu dinamakan orang Batu Batikam.Nagari Pariangan Padang Panjang tidak termasuk kepada nagari yang dibagi menjadi dua kelarasan. Sebab nagari itu adalah nagari tertua dalam Alam Minangkabau. Sehingga masyarakat disana mempunyai satu kelarasan yang diberi nama oleh ninik yang berdua Laras Nan Panjang.Nagari yang termasuk kedalam laras Nan Panjang adalah sehiliran batang Bengkawas sampai ke Guguk sikaladi Hilir, terus ke bukit tembesi bertupang mudik. Oleh orang orang tua laras Nan Panjang itu disebutkan :
Pisang sikelat-kelat hutanPisang tembatu bergetahKoto piliang dia bukanBodi Chaniago dia entah
Setelah Datuk Katumangguangan memenangkan peperangan itu, beliau memberi nama nagari Lima Kaum dua belas koto itu dengan nama Gadjah Gadang Patah Gadingnya, dan nagari Tanjuang Sungayang beliau namakan Tanjung Sungayang nan bertujuh.Nagari tempat beliau menetap diberi nama Sungai Tarab Darussalam. Pemberian nama nama baru itu sangat menyakitkan hati Datuk Parapatiah Nan Sabatang. Begitulah yang dicceritakan oleh orang orang tua, benar tidaknya wallahu’alam.Permupakatan antara Datuk Katumangguangan, datuak Parapatiah nan Sabatang dan Datuk Sri Maharaja nan Banaga naga tentang menetapkan hukum setta cupak gantang yang akan dipakai dalam luhak nan tiga laras nan dua adalah sebagai berikut :Cupak yang dipakai gantang yang dipicahan kepada setiap luhak di dalam laras nan dua adalah cupak yang dua belas tail isisnya, dan gantang yang kurang dua puluh lima tail genap isinya, serta emas yang enam belas emas berat timbangannya, yang se emas empat kupang, sekupang enam kundi merah, hitam bagian tampuknya. Setali tiga uang, yang seuang satu kundi, yang seteang setenganh kundi, itulah yang dipalut kata mupakat ninik yang bertiga tadi.Meskipun sudah ada kesepakatan selalu ada perbedaan pendapat diantara ninik yang bertiga itu. Misalanya menurut pendapat datuak Katumangguangan setias orang yang terpidana wajib bersumpah baginya.Namum oleh datuk Parapatiah nan sabatang sumpah itu tidaklah perlu, karena semua itu adalah anak cucu kita juga. Oleh datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga perbedaan itu tidak satupun disetujui maka pada waktu itu tidak tercapai kata sepakat.Dengan takdir Allah, maka keluarlah seekor ular dari laut. Ular itu menangkap salah seorang anak datuk Katumangguangan dan dibawanya ke banir kayu jati. Maka gemparlah orang pada masa itu, ninik yang bertiga kehilangan akal karena anak telah di lilit ular.Bertanya Datuk Katumangguangan kepada ninik yang berdua “apa akal kita untuk mengambil anak itu ?”Menyahut Datuk Parapatiah Nan Sabatang”Habis budi hamba melihat anak kita itu, jika dibunuh ular itu maka niscaya matilah anak kita. Berkatalah datu Sri Maharaja nan Banaga Naga: “Menurut pendapat hamba, kita ambil ranting jawi-jawi, kita lontarkan kepada banir kayu itu, supaya ular itu lari.”Maka dibuat orang lah sebagaimana yang dikatakan Datuk Sri Maharaja nan Banaga naga itu, lalu ranting jawi jawi itu dilontarkan orang sekuat kuatnya kepada banir kayu tempat ular tadi. Ular itu terkejut lalu lari meninggalkan anak Datuk Katumangguangan dengan tiada kurang satu apapun.Dengan kejadian itu Datuk Katumangguangan dan Datuk Parapatiah nan Sabatang bertambah segan kepada datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga karena ketajaman akalnya.Ular yang dipalut tidak matiPamalu tiada patahTanah yang dipalu tiada lembang.Datuk yang berdua menyadari akibat yang timbul apabila mereka terus berbantah bantahan, karena selalu berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum yang akan dipakai dalam masyarakat.Mereka sepakat bahwa hukum itu harus di uji dan dibanding, setiap tandingannya dipakai pada tempatnya masing masing.Adapun hukum yang akan dipakai di luhak nan tiga, laras nan dua terus ke Batang Rantau, ada tiga perkara :1. Hukum kitabullah2. Hukum ijtihat3. hukum serta saksiSetelah putus mupakat itu, maka menghadaplah ninik yang bertiga itu kepada Daulat yang dipertuan Agung ninik Sri Maharaja diraja untuk menyatakan hukum itu. Sebelum hukum itu diberlakukan ketiga ninik diminta untuk bersumpah bahwa hukum itu akan dipakai terus turun temurun dan tidak boleh diubah ubah selamanya.Setelah itu berjalanlah Daulat yang dipertuan Agung keluhak dan laras, kesetiap nagari untuk memasyarakatkan hukum yang sudah ditetapkan itu. Ditanam kayu nan sabatang disetiap nagari untuk tempat mempertaruhkan hukum yang adil, syarak yang dilazimkan dan adat yang kawi.Yang dimaksud kayu nan sabatang itu adalah orang orang sebagai penghulu atau kadhi atau orang orang besar yang akan menghukum didalam tiap tiap nagari, sebagai wakil raja bila raja berhalangan, atau sebagai raja apabila dinagari itu tidak ada raja.Dengan demikian penghulu yang dijadikan pucuk atau kepala suku, kepala payung dan kadhi didalam suatu nangari, bukan saja sebagai kepala kaumnya masing masing, tetapi berfungsi juga sebagai raja yang akan memegang kata, memegang hukum yang sudah ditetapkan oleh kerapatan penghulu penghulu
X. Pulau Perca disebut Alam Minangkabau.Kata ahli adat setelah Datuk Katumangguangan dan datuak Parapatiah nan Sabatang mendirikan luhak nan tiga dan membagi laras nan dua yaitu koto Piliang dan Bodi Chaniago.Kira kira 5 tahun kemudian, datanglah seorang nakhoda dari laut membawa seekor kerbau panjang tanduk serta runcing. Ia menetap di bukit Gombak dan memandikan kerbaunya disungai emas. Perahu nakhoda itu ditambatkan di kaki bukit Patah.Sewaktu bertemu dengan kedua ninik Datuk Katumangguangan dan Datuk Parapatiah nan Sabatang, ia menantang beliau untuk bertaruh mengadu kerbau, jikalau kalah kerbau kami, miliki oleh datuk segala isi perahu kami.Tantangan nakhoda itu diterima oleh ninik yang berdua orang besar besar: “Baiklah, tetapi beri janji kami selama tujuh hari.”Dalam tujuh hari bemupakatlah isi luhak nan tiga laras nan dua, lalu dicari se ekor anak kerbau yang sedang kuat menyusu. Dibuat orang topang besi bercabang sembilan dan runcing ujungnya. Besi serampang itu bernama minang.Setelah sampai tujuh hari, maka semalam-malam hari yang ketujuh anak kerbau tidak dicampur dengan induknya. Setelah hari pagi, tupang besi tadi dipasang di mulut anak kerbau tadi, lalu dibawa ketengah medan yang sudah dihiasi sebagai tempat pertarungan kedua kedua kerbau itu yakni di balai Sidusun. Semua orang laki perempuan tumpah ruah ke medan itu, begitu juga segala isi perahu dan nakhoda tadi keluar membawa kerbau besarnya itu.Setelah tiba ditengah medan itu, kedua kerbau itu dilepas orang. Sebentar itu juga anak kerbau yang sudah kelaparan berlari kekerbau besaryang dikiranya sebagai induknya untuk menyusu.Sekali saja anak kerbau itu menyusu, maka larilah kerbau besar itu, keluar perutnya berjurai jurai, lalu matilah kerbau itu.Melihat kerbaunya sudah mati, nakhoda tadi pergi ke laut dan pulang ke negerinya. Mungkin karena sangat malunya, sangkar ayam tertinggal ditepi sungai, dekat medan mengadu kerbau tadi. Ditempat itu sekarang ada sebuah kampung bernama kampung “Sangkayan”, yang asalnya dari sangkar ayam nakhoda itu.Sesudah mengadu kerbau itu bermupakatlah segala orang luhak nan tiga laras nan dua memberi nama pulau perca ini dengan nama alam Minangkabau, sampai sekarang tidak berubah rubah.
Cateri Reno sudah, menerka kayu tataran naga pihak.Menurut bunyi Tambo alam minangkabau, tidak berapa lama setelah mengadu kerbau tadi nakhoda itu kembali lagi dengan membawa kayu tataran naga pihak, dimana ujung dan pangkalnya sama besar, sulit ditebak mana ujung mana pangkalnya.Dia pun menetapkan bukit gombak, lalu ia masuk kedalam nagari Lima Kaum dan bertemu dengan datu Suri Diraja.Ia mengajak datuk Suri di Raja berteka teki dengan taruhan limapuluh kati emas. Oleh datuk Suri diraja teka teki itu diterima dengan syarat harus dilaksanakan ditengah medan.Lalu datuk Suri Diraja menghimpun segala orang yang patut patut, ia pun berkata ” Timbang olehmu akan kayu itu ditengahnya. Mana yang berat itulah pangkalnya dan yang ringan itulah ujungnya”.Setelah sampai waktunya, maka berdatanganlah segala orang besar besar dan patut patut ke medan yang baik itu, yaitu Dusun Tua namanya. Begitu juga segala isi nagari laki laki perempuan datang bersama sama ke medan itu. Setelah cukup semuanya, bertanya Cateri Reno kepada nakhoda itu :“Apa maksud tuan datang kemari ?”Sahut nakhoda itu :“Kami sengaja datang kemari karena kami dengar disini banyak orang cerdik pandai. Segala orang itulah yang hendak kami jelang. Jika Datuk suka, cobalah datuk terka akan kayu kami ini, mana ujung dan mana pangkalnya.” Sambil mengeluarkan kayu yangia bawa.“Apabila terterka oleh kami, apa yang akan menjadi hukumnya?” tanya Cateri Reno.Dijawab oleh nakhoda “Miliki oleh Datuk segala isi perahu kami.”Setelah taruhan ditampin, maka kayu tataran naga pihak itu diambil oleh Cateri Reno sudah. Tepat ditengah tengah kayu itu di ikatnya dengan tali yang halus dan kuat. Setelah itu ujung tali pengikat itu diangkatnya keatas, kelihatan oleh orang banyak kayu itu berat sebelah. Lalu diterkalah oleh Cateri Reno menunjukkan kepada nakhoda itu, katanya “yang berat itu adalah pangkalnya dan yang ringan adalh ujung kayu itu.”Nakhoda itu sangat malu atas kekalahannya ini ditinggalkan segala taruhan tadi dan iapun kembali kelaut pulang ke negerinya. Sungai Mas tempat ia menambatkan perahunya diberi nama Kepala Padang Ganting.Sepeninggal nakhoda tadi, taruhan tadi dibagi oleh orang luhak nan tiga laras nan dua, sebagian kepariangan Padang Panjang, dan sebagian lagi dibagi tiga, sebagian tinggal di lima kaum, sebagian di Sungai Tarab dan sebagian lagi untuk Tanjung Sungayang.
Cateri Reno Sudah Menerka Dua Ekor Burung Yang SerupaTidak puas dengan kekalahannya itu, nakhoda kapal balik lagi ke pulau perca dengan membawa dua ekor burung, satu jantan dan lainnya betina. Kedua ekor itu sama rupa bulunya, sama besarnya dan bunyinya pun serupa.Nakhoda menetap di nagari Tanjung Sungayang dan perahunya ditanbatkannya di Pangkal Bumi disitu pula bertemu kembali dengan Cateri Reno Sudah. Pada kesempatan itu ia kembali mengajak berteka teki.Cateri Reno Sudah menanyakan apa lagi yang akan diterkanya, dan dijawab oleh nakhoda itu yaitu menerka kedua ekor burung yang dibawanya.Ada dua ekor burung yang sama rupa dan bangunnya. Terkalah oleh Datuk mana yang jantan dan mana yang betina.”Menyahut Cateri Reno Sudah : “Kalau begitu kata tuan , teka teki ini kami terima, tetapi harus dilakukan ditengah medan agar dapat disaksikan oleh orang banyak.Syarat itu diterima oleh nakhoda tadi dan merekapun menetapkan perjanjian kapan teka teki itu dilaksanakan. Sementara itu pergilah orang besar besar dan patut patut menghadap kepada Datuk Suri Diraja dan menceritakan hal itu. Datuk Suri Diraja berkata :” Beri makan kedua burung itu pada satu tempat, mana yang cepat makannya dan kuat, tandanya burung jantan, sedangkan yang lemah adalah burung betina.”Setelah tiba waktunya, maka berhinpunlah segala orang di medan yang sudah dihiasi yaitu balai gadang namanya terletak diantara Tanjung dan Sungayang. Setelah itu bertanya lagi Cateri Reno Sudah kepada Nakhoda tadi: Apakah kehendak tuan datang ke negeri kami ini?”Sahut nakhoda itu: Saya membawa dua ekor burung, cobalah terka oleh datuk mana yang burung jantan mana yang betina”Setelah itu Cateri Reno Sudah mengambil kedua burung itu, lalu diberinya makan pada suatu tempat yang sempit.Kedua burung itupun berebut makan sampai berdesak desakan, edar mengedar dan tendang menendang. Tidak lama setelah itu terlihat salah satu keletihan, dan oleh Cateri Reno Sudah ditunjuknya sebagai burung betina dan yang masih kuat ditunjuk sebagai burung Jantan.Maka kalahlah nakhoda itu sehingga tiada termakan nasi olehnya, setelah itudiambilnya kedua burung tadi, lalu dikurungnya dan dibawanya kembali ke dalam perahunya. Dari sana ia bertolak dan perahu itu ditinggalkan ditepi bukit, dan dia dengan segala anak buahnya pergi menuju ke kampung Minangkabau yaitu kekaki bukit batu patah.Disana mereka bersumpah untuk tidak kembali lagi ke pulau perca ini, karena orang disini banyak yang pintar cerdik pandai. Setelah itu ia pulang kenegerinya dan tidak pernah muncul lagi ke alam Minangkabau.
XI. Adityawarman Datang ke Pulau PercaMenurut kata ahli adat, pada masa itu datang orang berlayar dari laut menepat ke nagari Pariangan Padang Panjang, lalu ke galundi nan bersela sela dan bertemu dengan datuk yang bertiga yakni Datuk Katumangguangan, datuak Parapatiah nan Sabatang dan Datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga. Orang yang datang itu dimuliakan oleh datuk yang bertiga itu dengan patutnya.Mereka datang beramai ramai dalam satu kapal lengkap dengan hamba sahayanya (bangsa sekawak), yang menjadi orangsuruhan oleh kepala kapal itu, bernama Adityawarman bergelar Sri Paduka Berhala.Disaat itu timbul perbantahan diantara ninik yang bertiga mengenai Adityawarman. Datuak Katumangguangan mengatakan bahwa dia adalah Raja, sedangkan menurut Datuk Parapatiah nan Sabatang orang itu bukan raja melainkan manti saja, dan menurut Datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga orang itu hanya seorang utusan raja.Akhirnya datuk yang berdua menurut kepada apa yang dikatakan Datuk Katumangguangan karena beliau berniat akan mengambil orang itu sebagai semendanya, akan suami dari adiknya yang bernama Tuan Putri Reno Mandi.Rencana Datuk Katumangguangan itu diterima oleh Adityawarman, hingga bulatlah perundingan masa itu dikawinkanlah Adityawarman dengan Tuan Putri Reno Mandi menurut sepanjang adat yang patut.Semenjak itu Adityawarman yang bergelar Sri PadukaBerhala itu dianggap oleh orang Pariangan Padang Panjang seperti rajanya. Sungguhpun ia datang dari tanah jawa, tetapi asal usulnya ia datang dari hindustan, keturunan raja juga. Dia dan teman temannya itu berdiam di Pariangan Padang Panjang menurut adat lembaga orang dalam nagari itu, menetap selamanya sebagai bumi putera disana.Kelak anak cucu Adityawarman yang menjawat waris Datuk Katumangguangan, Datuk Parapatiah nan Sabatang, Datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga dan Datuk Suri Diraja.Menurut Tambo adat alam Minangkabau, asal orang Minangkabau yang telah berkembang biak diseluruh pulau andalas (tanah Alam Minangkabau) itu ialah :Pertama sekali yang datang adalah Ninik Sri Maharaja Diraja, dengan menbawa orang Kasta Cateri menepat diatas puncak gunung merapi, semasa alun baralun bumi akan bersentak turun. Langit akan bersentak naik. Pada masa baru laut semata mata tanah pulau andalas ini, yang ada baru puncak gunung merapi yang ada tanah daratannya. Keturunan bangsa Cateri ini yang terbilang cerdik pandai. Mereka suka berkelompok sesama kasta Cateri.Selanjutnya datang bangsa Hindustan yang datang bersama Adityawarman. Kesukaannya berkumpul sehindu hindu atau sesama bangsa hindustan saja. Termasuk juga bangsa sekawak yang ikut dengan rombongan Adityawarman, yang menjadi orang hamba sahaya. Bangsa sekawak ini semenjak datang jadi hamba sahaya orang turun temurun yang disebut juga budak, atau istilah adatnya kemenakan bawah lutut dari tuannya.Mereka dapat diperjual belikan, dijadikan hadiah dan persembahan kepada orang besar besar, untuk pembayar hutang.Dikatakan bangsa kasta Cateri tadi adalah asal raja raja dan orang cerdik pandai, dan orang orang bangsa hindustan itu bangsa penghulu besar batuah di dalam tiap tiap nagari. Pada saat itu kedua keturunan itu tidak dapat lagi dibedakan karena sudah lama bercampur baur menjadi satu.Kedua keturunan ini sudah tarik menarik, semenda menyemenda dan sama sama berpenghulu kedua belah pihak, yang adatnya tiada berkurang sedikit juga.Kedua bangsa itulah yang dikatakan orang baik turun temurun diseluruh minagkabau ini, yang teratur adat lembaganya oleh ninik yang bertiga.
XII. Amanat Ninik Yang BertigaAmanat Datuk Suri DirajaBerkata Datuk Suri Diraja kepada segenap pwnghulu dan orang orang patut di Pariangan Padang PanjangDengarlah ibarat kata hamba oleh segala penghulu dan orang yang mempunyai bicara:
Sutan Kayo di Koto alamKayu mati diperumahannyaJika engkau kaya didalam alamAkan mati juga kesudahannyaBerbuak kayu di Koto AlamBuahnya tindih bertindihJika engkau bertuah didalam alamHanya tuah itu silih bergantiKayu Pantai di Koto AlamPantainya sandi basandiJika engkau pandai didalam alamPatah tumbuh hilang berganti.
Pikirkanlah sungguh sungguh oleh segala yang mempunyai bicara akan ibarat kata hamba itu.Selanjutnya disaat Datuk Suri Diraja akan meninggal beliau berkata kepada segala raja raja dan segala penghulu dari laras koto piliang dan laras bodi chaniago :“Adapun kita segala yang disungkup langit, yang ditanahi bumi lalu ke mekah dan medinah sekalian, sedikitpun tiada yang lebih dan kurangnya. Jika dikatakan lebih ada kekurangannya, dikatakan kurang ada kelebihannya, dikatakan tinggi ada rendahnya dikatakan rendah ada tingginya.Jika dikatakan raja lebih tinggi dan orang besar besar itu ada kelebihannya, terlalu rendah pada bathinnya karena barang siapa yang hendak menjadi raja atau orang besar besar itu, hanya mengisi adat menuang lembaga kepada alam, kepada setiap luhak atau laras atau nagari, itulah rendahnya. Oleh sebab itu janganlah engkau berdengki dengkian, karena malu belum dibagi oleh ninik Datuk Katumangguangan dan Datuk Parapatiah nan Sabatang.Meskipunsawah ladang, emas perak, segala ternak dan pakaian juga dibagi, demikian pula didalam laras Koto Piliang dan Bodi chaniago, jika tanah sudah berkabung, padi sudah bergantang, jarum sudah terbentuk seorang, hanya malu yang belum dibagi.Oleh sebab itu janganlah engkau bercerai berai sepeninggal kami. Payung yang mempunyai kerajaan adalah Datuk Katumangguangan. Jika berang laras Bodi Caniago kepada larasnya, mengadunya ke laras Koto Piliang, begitu pula sebaliknya, itulah sumpah ninik moyang berdua, yang tiada lapuk oleh hujan tiada lekang oleh panas, digali dalam digantung tinggi, itulah mulanya jadi persemandanan laras Koto Piliang dan laras Bodi chaniago.Bagi laras Bodi Chaniago, penghulunya oleh yang sekata, tuahnya karena mupakat, celakanya oleh bersilang, apabiladapat kerja semupakat, jadilah barang kerjanya, barang ke mana mana, maksudnyapun sampai.Adapun laras Koto Piliang orang beraja: apabila hendak menyusun larasnya berkirim surat kepada Datuk Pamuncak Alam di Sungai Tarab, Datuk Indomo di Saruaso dan tuan Khadi di Padang Ganting diatas daulat yang dipertuan. Maka barang apa apa kerjanya pun jadi berkat pekerjaannya.
Pamuncak alam di Sungai TarabPayung panji di SaruasoSuluah bendang di Padang GantingCermin cina di Singkarak SaningbakarHarimau Campo di BatipuahTangkai alam di Pariangan Padang PanjangPasak kungkung di Sungai JambuRaja besar di Bukit Batu Patah
Jika berkata dengan orang yang tahu, lebih bak santan dengan tanguli, dan berkata dengan orang yang tidak tahu, lebih bak antan pencungkil duri. Oleh sebab itu baik baiklah engkau mencari salak silik, baik baiklah engkau mencari kata pusaka, supaya selamat kamu dialam ini.
Amanat datuak KatumangguanganDisampaikan saat beliau akan meninggal dunia didepan segala penghulu dan orang orang besar dalam laras Koto Piliang:
Sekali kali hindarkan perceraian dengan orang laras bodi Chaniago, karena merekalah yang mengisi cukai adat lembaga kepada kita. Merekalah yang mendirikan kerajaan kita, dan kalau dihiasinya akan tempat kita duduk. Payung ubur ubur itu milik orang laras Bodi chaniago, maka dari itu janganlah kamu bercerai sepeninggal kami berdua.
baik baiklah engkau memelihara isi alam, isi nagari, segala anak kemenakan, pikir benar sungguh sungguh supaya kalian jangan kena sumpah ninik moyang.
berbuatlah seperti lauttiada penuh oleh air, seperti bumi tiada penuh oleh tumbuh tumbuhan. Apabila kalian jadi penghulu dalam laras Koto Piliang janganlah memakan menghabiskan, jangan menebang merebahkan, jangan mencencang memutuskan, karena bicara tiada sekali dapat.
Jadikan nabi Allah jadi suri teladan. Kasih kalian kepada isi alam sebagai kasih nabi kepada umatnya. Hati adalah palinggam Allah, teraju palinggam mata, sebab itu peliharalah lidahmu dengan baik, begitu pula kaki dan mulutmu. Jika tertarung panyambahan badan tanggungannya, mulut emas padahannya, tertarung kaki inai padahannya.
Memutih padi orangdi Kamang, melekang panas sehari, berbelok belok alang samat, ranting berbelok kepangkalnya.
berdentung gegar dilaut, merentang rupanya kilat, kalang kambut rupanya langit, berputar rupanya angin timur.
pikir jualah sungguh sungguh, lemak liuk kayu akar kelimpang, itulah patut bicara.”Datuk Katumangguangan meninggal di koto Ranah yakni di Kampung Minangkabau sampai sekarang kuburan beliau masih ada disana dikenal dengan kubur yang dipertuan yang bersusu empat.
anat Datuak Parapatiah Nan SabatangPesan ini disampaikan kepada penghulu yang berempat dan yang berlima sekota, serta orang orang cerdik pandai dan orang orang bertuah dalam laras Bodi Caniago, beliau berkata:“Rasanya umurnya hamba tidak akan lama lagi, hamba hendak pergi ke Solok Selayo, entah kembali entah tidak, oleh sebab itu hendaklah pegang pitaruh hamba oleh segala penghulu dan orang cerdik pandai :Pertama hendaklah kalian kasih kepada nagari, kepada isi nagari, kepada orang orang kaya, kepada orang orang bertuan, kepada tukang, kepadan segala penghulu, kepada orang yang mempunyai bicara meskipun ia kanak kanak sekalipun.Apabila dia mempunyai bicara, ikuti olehmu karena ia itulah tangkai nagari dan tangkai alam janganlah kalian ubahi sepeninggal hamba supaya selamat apa apa yang kalian kerjakan.Malu orang kepada kalian yang mempunyai bicara ada enam perkara :
1. Kuat melawan kepada yang benar.2. Kuat membelanjakan kepada segala yang baik.3. Memperbaiki parit pagar keliling nagari4. Kuat mengusahakan pekerjaan5. Tahu kepada yang benar6. Kuat menyelesaikan yang kusut dalam nagari dantahu dengan basa basi.
Apabila terpakai niscaya jadilah kalian panglimabesar dalam nagari, menjadi ikutan segala isi alam dan luhak, dan kalian lah penghulu pilihan dalam alam ini.Kata empat yang dipakai :
1. Janganlah berdengki dengkian2. Jangan hina menghinakan3. Jangan bertolong tolongan kepada maksiat4. Jangan menghasut orang dalam nagari untuk berkelahi.
Jagalah dua belas perkara yang akan dipakai :
1. Kuat memberi makan isi nagari2. Benci kepada segala kejahatan3. Banyak harta4. Banyak ilmu pengetahuan yang baik5. Berhati baik kepada orang banyak6. Giat berusaha7. menerima umpat puji dengan lapang dada8. Kasih sayang kepada orang teraniaya9. Pandai berbicara10. Pasihat lidah11. Tahu kepada yang benar12. Ingat ingat pada kata kias
Setelah beramanat itu Datruak Parapatiah Nan Sabatang berjalan ke negeri Malaka, berdiam dinegeri Sembilan dan beliau meninggal di Negeri Sembilan itu. Sepanjang cerita orang kuburan beliau masih ada disana yang oleh orang Negeri Sembilan dinamakan Kuburan Patih.Masyarakat di negeri sembilan itu beradat seperti kita orang alam Minangkabau juga, berpusaka kepada kemenangan menurut aturan Ninik Parapatiah nan Sabatang.
Disadur oleh : Dewis NatraSumber : Buku Curaian Adat MinangkabauPenerbit : Kristal Multimedia Bukittinggi
Rumah Gadang
Rumah Gadang Oleh Zulfikri, Rangkayo Mulie
Rumah Gadang Minangkabau merupakan rumah tradisional hasil kebudaya an suatu suku bangsa yang hidup di daerah Bukit Barisan di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera bagian tengah. Sebagaimana halnya rumah di daerah katulistiwa, rumah gadang dibangun di atas tiang (panggung), mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupakan arsitektur yang khas yang membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di daerah garis katulistiwa itu.Sebagai suatu kreatifitas kebudayaan suku bangsa, ia dinyatakan dengan rasa bangga, dengan bahasa yang liris, serta metafora yang indah dan kaya. Juga ia diucapkan dengan gaya yang beralun pada pidato dalam situasi yang tepat.
Bunyinya ialah sebagai berikut :
Rumah gadang sambilan ruang,salanja kudo balari, sapakiak budak maimbau,sajariah kubin malayang.Gonjongnyo rabuang mambasuik,antiang-antiangnyo disemba alang.
Parabuangnyo si ula gerang,batatah timah putiah,barasuak tareh limpato,Cucurannyo alang babega,saga tasusun bak bada mudiak.
Parannyo si ula gerang batata aia ameh,salo-manyalo aia perak.Jariaunyo puyuah balari,indah sungguah dipandang mato,tagamba dalam sanubari.
Dindiang ari dilanja paneh.Tiang panjang si maharajo lelo,tiang pangiriang mantari dalapan,tiang dalapan, tiang tapi panagua jamu,tiang dalam puti bakabuang.
Ukiran tonggak jadi ukuran,batatah aia ameh,disapuah jo tanah kawi,kamilau mato mamandang.
dama tirih bintang kemarau.Batu tala pakan camin talayang. cibuak mariau baru sudah.Pananjua parian bapantua.
Halaman kasiak tabantang,pasia lumek bagai ditintiang.Pakarangan bapaga hiduik,pudiang ameh paga lua,pudiang perak paga dalam,batang kamuniang pautan kudo,Lasuangnyo batu balariak,alunyo linpato bulek,limau manih sandarannyo.
Gadih manumbuak jolong gadang,ayam mancangkua jolong turun,lah kanyang baru disiuahkan,Jo panggalan sirantiah dolai,ujuangnyo dibari bajambua suto.
Ado pulo bakolam ikan,aianyo bagai mato kuciang,lumpua tido lumuikpun tido,ikan sapek babayangan,ikan gariang jinak-jinak,ikan puyu barandai ameh.
Rangkiangnyo tujuah sajaja,di tangah si tinjau lauik, panjapuik dagang lalu,paninjau pancalang masuak,di kanan si bayau bayau,lumbuang makan patang pagi,di kiri si tangguang lapa,tampek si miskin salang tenggang,panolong urang kampuangdi musim lapa gantuang tungku,lumbuang Kaciak salo nanyalo,tampek manyimpan padi abuan.
Maksudnya :
Rumah gadang sembilan ruang,selanjar kuda berlari,sepekik budak menghimbau,sepuas limpato makan,sejerih kubin melayang.Gonjongnya rebung membersit,anting-anting disambar elang.
Perabungnya si ular gerang,bertatah timah putih,berasuk teras limpato.Cucurannya elang berbegar,sagar tersusun bagai badar mudik.
Parannya bak si bianglala,bertatah air emas,sela-menyela air perak.Jeriaunya puyuh berlari,indah sungguh dipandang mata,tergambar dalam sanubari.
Dinding ari dilanjar panas.Tiang panjang si maharajalela,tiang pengiring menteri delapan,tiang tepi penegur tamu,tiang dalam putri berkabung.
Ukiran tonggak jadi ukuran,bertatah air emas,disepuh dengan tanah kawi,kemilau mata memandang.
Damar tiris bintang kemarau.Batu telapakan cermin terlayang,Cibuk meriau baru sudah,penanjur perian ber pantul.
Halaman kersik terbentang,pasir lumat bagai ditinting.Pekarangan berpagar hidup,puding emas pagar luar,puding merah pagar dalam.Pohon kemuning pautan kuda.Lesungnya batu berlari,alunya limpato bulat.Limau manis sandarannya.
Gadis menumbuk jolong gadang,ayam mencangkur jolong turun,sudah kenyang baru dihalaukan,dengan galah sirantih dolai,ujungnya diberi berjambul sutera.
Ada pula kolam ikan,airnya bagai mata kucing,berlumpur tidak berlumut pun tidak,ikan sepat berlayangan,ikan garing jinak-jinak,ikan puyu beradai emas.
Rangkiangnya tujuh sejajar,di tengah sitinjau laut,penjemput dagang lalu,peninjau pencalang masuk,di kanan si bayau-bayau,lumbung makan petang pagi,di kiri si tanggung lapar,tempat si miskin selang tenggang,penolong orang kampung,di musim lapar gantung tungku,lumbung kecil sela-menyela,tempat menyimpan padi abuan.
Arsitektur
Masyarakat Minangkabau sebagai suku bangsa yang nenganut falsafah “alam takambang jadi guru”, mereka menyelaraskan kehidupan pada susunan alam yang harmonis tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang mereka sebut “bakarano bakajadian” (bersebab dan berakibat) yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan. Buah karyanya yang menumental seperti rumah gadang itu pun mengandung rumusan falsafah itu. Bentuk dasarnya, rumah gadang itu persegi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah Iandai seperti badan kapal. Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang membesar ke atas (trapesium terbalik) sisinya melengkung kedalam atau rendah di bagian tengah, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang juga sisi segi tiga itu melengkung ke arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup mereka. Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah gadangnya kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga pula. Jadi, garis alam Bukit Barisan dan garis rumah gadang merupakan garis-garis yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara estetika. Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya. Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin. Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.
Ragam Rumah Gadang
Rumah gadang mempunyai nama yang beraneka ragam menurut bentuk, ukuran, serta gaya kelarasan dan gaya luhak. Menurut bentuknya, ia lazim pula disebut rumah adat, rumah gonjong atau rumah bagonjong (rumah bergonjong), karena bentuk atapnya yang bergonjong runcing menjulang. Jika menurut ukurannya, ia tergantung pada jumlah lanjarnya. Lanjar ialah ruas dari depan ke belakang. Sedangkan ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang. Rumah yang berlanjar dua dinamakan lipek pandan (lipat pandan). Umumnya lipek pandan memakai dua gonjong. Rumah yang berlanjar tiga disebut balah bubuang (belah bubung). Atapnya bergonjong empat. Sedangkan yang berlanjar empat disebut gajah maharam (gajah terbenam). Lazimnya gajah maharam memakai gonjong enam atau lebih.Menurut gaya kelarasan, rumah gadang aliran Koto Piliang disebut sitinjau lauik. Kedua ujung rumah diberi beranjung, yakni sebuah ruangan kecil yang lantainya lebih tinggi. Karena beranjung itu, ia disebut juga rumah baanjuang (rumah barpanggung). Sedangkan rumah dan aliran Bodi Caniago lazimnya disebut rumah gadang. Bangunannya tidak beranjung atau berserambi sebagai mana rumah dan aliran Koto Piliang, seperti halnya yang terdapat di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto. Bodicaniago Surambi papek (Ragam Luhak Agam) Bodicaniago Rajo Babandiang (Ragam Luhak Limo Puluah Koto) Koto Piliang Sitingjau Lauik (Ragam Luhak Tanah Datar)Rumah kaum yang tidak termasuk aliran keduanya, seperti yang tertera dalam kisah Tambo bahwa ada kaum yang tidak di bawah pimpinan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang, yakni daRI aliran Datuk Nan Sakelap Dunia di wilayah Lima Kaum, memakai hukumnya sendiri.
Kedudukan kaum ini seperti diungkapkan pantun sebagai berikut :
Pisang si kalek-kalek utan,Pisang tambatu nan bagatah.Koto Piliang inyo bukan,Bodi Caniago inyo antah.
Maksudnya :
Pisang si kalek-kalek hutan,Pisang tambatu yang bergetah,Koto Piliang mereka bukanBodi Caniago mereka antah.
Rumah gadang kaum inii menurut tipe rumah gadang Koto Piliang, yaitu memakai anjung pada kedua ujung rumahnya. Sedangkan sistem pemerintahannya menurut aliran Bodi Caniago. Rumah gadang dari tuan gadang di Batipuh yang bergelar Harimau Campo Koto Piliang yang bertugas sebagai panglima, disebut rumah batingkok (rumah bertingkap). Tingkapnya terletak di tengah puncak atap. Mungkin tingkap itu digunakan sebagai tempat mengintip agar panglima dapat menyiapkan kewaspadaannya. Rumah Batingkok (Bertingkat) yang pernah ada di Baso pada abad yang laluRumah di daerah Cupak dan Salayo, di Luhak Kubuang Tigo Baleh yang merupakan wilayah kekuasaan raja, disebut rumah basurambi (rumah berserambi). Bagian depannya diberi serambi sebagai tempat penghulu menerima tamu yang berurusan dengannya.
Jika menurut gaya luhak, tiap luhak mempunyai gaya dengan namanya yang tersendiri. Rumah gadang Luhak Tanah Datar dinamakan gajah maharam karena besarnya. Sedangkan modelnya rumah baanjuang karena luhak itu menganut aliran Kelarasan Koto Piliang. Rumah gadang Luhak Agam dinamakan surambi papek (serambi pepat) yang bentuknya bagai dipepat pada kedua belah ujungnya. Sedangkan rumah gadang Luhak Lima Puluh Koto dinamakan rajo babandiang (raja berbanding) yang bentuknya seperti rumah Luhak Tanah Datar yang tidak beranjung).
Pada umumnya rumah gadang itu mempunyai satu tangga, yang terletak di bagian depan. Letak tangga rumah gadang rajo babandiang dari Luhak Lima Puluah Koto di belakang. Letak tangga rumah gadang surambi papek dari Luhak Agam di depan sebelah kiri antara dapur dan rumah. Rumah gadang si tinjau lauik atau rumah baanjuang dan tipe Koto Piiang mempunyai tangga di depan dan di belakang yang letaknya di tengah. Rumah gadang yang dibangun baru melazimkan letak tangganya di depan dan di bagian tengah.
Dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding. Tangga rumah gadang rajo babandiang terletak antara bagian dapur dan rumah. Dapur rumah gadang surambi papek, dibangun terpisah oleh suatu jalan untuk keluar masuk melalui tangga rumah.
Fungsi Rumah Gadang
Rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar, melainkan karena fungsinya. Dalam nyanyian atau pidato dilukiskan juga fungsi rumah gadang yang antara lain sebagai berikut.
Rumah gadang basa batuah,Tiang banamo kato hakikaik,Pintunyo basamo dalia kiasannya,Banduanyo sambah-manyambah,Bajanjang naiak batanggo turun,Dindiangnyo panutuik malu,Biliaknyo aluang bunian.Maksudnya :
Rumah gadang besar bertuah,Tiangnya bernama kata hakikat,Pintunya bernama dalil kiasan,Bendulnya sembah-menyembah,Berjenjang naik, bertangga turun,Dindingnya penutup malu,Biliknya alung bunian.
Selain sebagai tempat kediaman keluarga, fungsi rumah gadang juga sebagai lambang kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara. Bahkan juga sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.
Sebagai tempat tinggal bersama, rumah gadang mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Setiap perempuan yang bersuami memperoleh sebuah kamar. Perempuan yang termuda memperoleh kamar yang terujung. Pada gilirannya ia akan berpindah ke tengah jika seorang gadis memperoleh suami pula. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Sedangkan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing. Penempatan pasangan suami istri baru di kamar yang terujung, ialah agar suasana mereka tidak terganggu kesibukan dalam rumah. Demikian pula menempatkan perempuan tua dan anak-anak pada suatu kamar dekat dapur ialah karena keadaan fisiknya yang memerlukan untuk turun naik rumah pada malam hari.
Sebagai tempat bermufakatan, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama.
Sebagai tempat melaksanakan upacara, rumah gadang menjadi penting dalam meletakkan tingkat martabat mereka pada tempat yang semestinya. Di sanalah dilakukan penobatan penghulu. Di sanalah tempat pusat perjamuan penting untuk berbagai keperluan dalam menghadapi orang lain dan tempat penghulu menanti tamu-tamu yang mereka hormati.
Sebagai tempat merawat keluarga, rumah gadang berperan pula sebagai rumah sakit setiap laki-laki yang menjadi keluarga mereka. Seorang laki-laki yang diperkirakan ajalnya akan sampai akan dibawa ke rumah gadang atau ke rumah tempat ia dilahirkan. Dan rumah itulah ia akan dilepas ke pandam pekuburan bila ia meninggal. Hal ini akan menjadi sangat berfaedah, apabila laki-laki itu mempunyai istri lebih dari seorang, sehingga terhindarlah perseng ketaan antara istri-istrinya.
Umumnya rumah gadang didiami nenek, ibu, dan anak-anak perempuan. Bila rumah itu telah sempit, rumah lain akan dibangun di sebelahnya. Andai kata rumah yang akan dibangun itu bukan rumah gadang, maka lokasinya di tempat yang lain yang tidak sederetan dengan rumah gadang.
Fungsi Bagian Rumah
Rumah gadang terbagi atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus. Seluruh bagian dalam merupakan ruangan lepas, terkecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga, dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Lanjar yang terletak pada bagian dinding sebelah belakang biasa digunakan untuk kamar-kamar. Jumlah kamar tergantung pada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Kamar itu umumnya kecil, sekadar berisi sebuah tempat tidur, lemari atau peti dan sedikit ruangan untuk bergerak. Kamar memang digunakan untuk tidur dan berganti pakaian saja. Kamar itu tidak mungkin dapat digunakan untuk keperluan lain, karena keperluan lain harus menggunakan ruang atau tempat yang terbuka. Atau dapat diartikan bahwa dalam kehidupan yang komunalistis tidak ada suatu tempat untuk menyendiri yang memberikan kesempatan pengembangan kehidupan yang individual. Kamar untuk para gadis ialah pada ujung bagian kanan, jika orang menghadap ke bagian belakang. Kamar yang di ujung kiri, biasanya digunakan pengantin baru atau pasangan suami istri yang paling muda. Meletakkan mereka di sana agar mereka bisa terhindar dari hingar-bingar kesibukan dalam rumah. Kalau rumah mempunyai anjung, maka anjung sebelah kanan merupakan kamar para gadis. Sedangkan anjung sebelah kiri digunakan sebagai tempat kehormatan bagi penghulu pada waktu dilangsungkan berbagai upacara. Pada waktu sehari-harii anjung bagian kin itu digunakan untuk meletakkan peti-peti penyimpanan barang berharga milik kaum.
Lanjar kedua merupakan bagian yang digunakan sebagai tempat khusus penghuni kamar. Misalnya, tempat mereka makan dan menanti tamu masing masing. Luasnya seluas lanjar dan satu ruang yang berada tepat di hadapan kamar mereka.
Lanjar ketiga merupakan lanjar tengah pada rumah berlanjar empat dan merupakan lanjar tepi pada rumah belanjar tiga. Sebagai lanjar tengah, ia digunakan untuk tempat menanti tamu penghuni kamar masing-masing yang berada di ruang itu. Kalau tamu itu dijamu makan, di sanalah mereka ditempatkan. Tamu akan makan bersama dengan penghuni kamar serta ditemani seorang dua perempuan tua yang memimpin rumah tangga itu. Perempuan lain yang menjadi ahli rumah tidak ikut makan. Mereka hanya duduk-duduk di lanjar kedua menemani dengan senda gurau. Kalau di antara tamu itu ada laki-laki, maka mereka didudukkan di sebelah bagian dinding depannya, di sebelah bagian ujung rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemani nya berada di bagian pangkal rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemaninya berada di bagian pangkal rumah. Pengertian ujung rumah di sini ialah kedua ujung rumah. Pangkal rumah ialah di bagian tengah, sesuai dengan letak tiang tua, yang lazimnya menupakan tiang yang paling tengah.
Lanjar tepi, yaitu yang terletak di bagian depan dinding depan, merupakan lanjar terhormat yang lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan.
Ruang rumah gadang pada umumnya terdiri dari tiga sampai sebelas lanjar. Fungsinya selain untuk menentukan kamar tidur dengan wilayahnya juga sebagai pembagi atas tiga bagian, yakni bagian tengah, bagian kiri, dan bagian kanan, apabila rumah gadang itu mempunyai tangga di tengah, baik yang terletak di belakang maupun di depan. Bagian tengah digunakan untuk tempat jalan dari depan ke belakang. Bagian sebelah kiri atau kanan digunakan sebagai tempat duduk dan makan, baik pada waktu sehari-hari maupun pada waktu diadakan perjamuan atau bertamu. Ruang rumah gadang surambi papek yang tangganya di sebuah sisi rumah terbagi dua, yakni ruang ujung atau ruang di ujung dan ruang pangka atau ruang di pangka (pangka = pangkal). Dalam bertamu atau perjamuan, ruang di ujung tempat tamu, sedangkan ruang di pangkal tempat ahli rumah beserta kerabatnya yang menjadi si pangkal (tuan rumah).
Kolong rumah gadang sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian dan atau juga tempat perempuan bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.
Tata Hidup dan Pergaulan dalam Rumah Gadang
Rumah gadang sangat dimuliakan, bahkan dipandang suci. Oleh karena itu, orang yang mendiaminya mempunyai darah turunan yang murni dan kaum yang bermartabat. Stelsel matrilineal yang dianut memberi cukup peluang bagi penyegaran darah turunan ahli rumah bersangkutan, yakni memberi kemungkinan bagi pihak perempuan untuk memprakarsai suatu perkawinan dengan cara meminang seorang laki-laki pilihan. Laki-laki pilihan ditentukan kekayaannya, ilmunya dan atau jabatannya. Oleh karena jabatan penghulu itu sangat terbatas dan ditentukan dengan cara “patah tumbuh, hilang berganti”, maka orang lain akan lebih menumpu ke arah memperoleh ilmu atau kekayaan.
Sebagai perbendaharaan kaum yang dimuliakan dan dipandang suci, maka setiap orang yang naik ke rumah gadang akan mencuci kakinya lebih dahulu di bawah tangga. Di situ disediakan sebuah batu ceper yang lebar yang disebut batu telapakan, sebuah tempat air yang juga dan batu yang disebut cibuk meriau, serta sebuah timba air dari kayu yang bernama taring berpanto.
Perempuan yang datang bertamu akan berseru di halaman menanyakan apakah ada orang di rumah. Kalau yang datang laki-laki, ia akan mendeham lebih dahulu di halaman sampai ada sahutan dan atas rumah. Laki-laki yang boleh datang ke rumah itu bukanlah orang lain. Mereka adalah ahli rumah itu sendiri, mungkin mamak rumah, mungkin orang semenda, atau laki-laki yang lahir di rumah itu sendiri yang tempat tinggalnya di rumah lain. Jika yang datang bertamu itu tungganai, ia didudukkan di lanjar terdepan pada ruang sebelah ujung di hadapan kamar gadis-gadis. Kalau yang datang itu ipar atau besan, mereka ditempatkan di lanjar terdepan tepat di hadapan kamar istri laki-laki yang menjadi kerabat tamu itu. Kalau yang datang itu ipar atau besan dari perkawinan kaum laki-laki di rumah itu, tempatnya pada ruang di hadapan kamar para gadis di bagian lanjar tengah. Waktu makan, ahli rumah itu tidak serentak. Perempuan yang tidak bersuami makan di ruangan dekat dapur. Perempuan yang bersuami makan bersama suami masing-masing di ruang yang tepat di hadapan kamarnya sendiri. Kalau banyak orang semenda di atas rumah, maka mereka akan makan di kamar masing-masing. Makan bersama bagi ahli rumah itu hanya bisa terjadi pada waktu kenduri yang diadakan di rumah itu.
Kalau ada ipar atau besan yang datang bertamu, mereka akan selalu diberi makan. Waktu makan para tamu tidaklah ditentukan. Pokoknya semua tamu harus diberi makan sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Yang menemani tamu pada waktu makan ialah kepala rumah tangga, yaitu perempuan yang dituakan di rumah itu. Perempuan yang menjadi istri saudara atau anak laki-laki tamu itu bertugas melayani. Sedangkan perempuan perempuan lain hanya duduk menemani tamu yang sedang makan itu. Mereka duduk pada lanjar bagian dinding kamar.
Para tamu datang pada waktu tertentu, lazimnya pada hari baik bulan baik, umpamanya pada hari yang dimuliakan seperti hari-hari besar Islam atau dalam hal urusan perkawinan. Kaum keluarga sendiri yang datang untuk mengikuti permufakatan tentang berbagai hal tidak diberi makan. Hanya sekadar minum dengan kue kecil. Bertamu di luar hal itu dinamakan bertandang sekadar untuk berbincang-bincang melepas rindu antara orang bersaudara atau bersahabat.
Orang laki-laki yang ingin membicarakan suatu hal dengan ahli rumah yang laki-laki, seperti semenda atau mamak rumah itu, tidak lazim melakukannya dalam rumah gadang. Pertemuan antara laki-laki tempatnya di mesjid atau surau, di pemedanan atau gelanggang, di balai atau di kedai. Adalah janggal kalau tamu laki-laki dibawa berbincang-bincang di rumah kediaman sendiri.
Tata Cara Mendirikan Rumah Gadang
Sebagai milik bersama, rumah gadang dibangun di atas tanah kaum cara bergotong-royong sesama mereka serta dibantu kaum yang lain. Ketentuan adat menetapkan bahwa rumah gadang yang bergonjong empat dan selebihnya hanya boleh didirikan pada perkampungan yang berstatus nagari atau koto. Di perkampungan yang lebih kecil, seperti dusun atau lainnya, hanya boleh didirikan rumah yang bergonjong dua. Di teratak tidak boleh didirikan rumah yang bergonjong.
Himpunan orang sekaum yang lebih kecil dan suku, seperti kaum sepayung, kaum seperut, atau kaum seindu, dapat pula mendirikan rumah gadang masing-masing.
Pendirian rumah gadang itu dimulai dengan permufakatan orang yang sekaum. Dalam mufakat itu dikajilah patut tidaknya maksud itu dilaksanakan, jika dilihat dari kepentingan mereka dan ketentuan adat. Juga dikaji letak yang tepat serta ukurannya serta kapan dimulai mengerjakannya. Hasil mufakat itu disampaikan kepada penghulu suku. Kemudian penghulu suku inilah yang menyampaikan rencana mendirikan rumah gadang itu kepada penghulu suku yang lain.
Semua bahan yang diperlukan, seperti kayu dan ijuk untuk atap, diambil dari tanah ulayat kaum oleh ahlinya. Setelah kayu itu ditebang dan dipotong menurut ukurannya, lalu seluruh anggota kaum secara beramai-ramai membawanya ke tempat rumah gadang itu akan didirikan. Orang-orang dari kaum dan suku lain akan ikut membantu sambil membawa alat bunyi-bunyian untuk memenahkan suasana. Sedangkan kaum perempuan membawa makanan. Peristiwa ini disebut acara maelo kayu (menghela kayu).
Pekerjaan mengumpulkan bahan akan memakan waktu yang lama. Kayu untuk tiang dan untuk balok yang melintang terlebih dahulu direndam ke dalam lunau atau lumpur yang airnya terus berganti agar kayu itu awet dan tahan rayap. Demikian pula bambu dan ruyung yang akan digunakan. Sedangkan papan dikeringkan tanpa kena sinar matahari.
Bila bahan sudah cukup tersedia, dimulailah mancatak tunggak tuo, yaitu perkerjaan yang pertama membuat tiang utama. Kenduri pun diadakan pula khusus untuk hal ini. Sejak itu mulailah para ahli bekerja menurut kemampuan masing-masing. Tukang yang dikatakan sebagai ahli ialah tukang yang dapat memanfaatkan sifat bahan yang tersedia menurut kondisinya, Indak tukang mambuang kayu (tidak tukang membuang kayu), kata pituah mereka. Sebab, setiap kayu ada manfaatnya dan dapat digunakan secara tepat, seperti ungkapan berikut ini.
Nan kuaik ka jadi tonggak,Nan luruih jadikan balabeh,Nan bungkuak ambiak ka bajak,Nan lantiak jadi bubuangan,Nan satampok ka papan tuai,Panarahan ka jadi kayu api,Abunyo ambiak ka pupuak.
Maksudnya :
Yang kukuh akan jadi tonggak,Yang lurus jadikan penggaris,Yang bungkuk gunakan untuk bajak,Yang lentik dijadikan bubungan,Yang setapak jadikan papan tuas,Penarahannya akan jadi kayu api,Abunya gunakan untuk pupuk.
Selanjutnya pada setiap pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga, seperti ketika batagak tunggak (menegakkan tiang), yaitu pekerjaan mendirikan seluruh tiang dan merangkulnnya dengan balok-balok yang tersedia, diadakan pula kenduri dengan maimbau (memanggil) semua orang yang patut diundang. Demikian pula pada waktu manaikkan kudo-kudo (menaikkan kuda-kuda) kenduri pun diadakan lagi dengan maksud yang sama.
Apabila rumah itu selesai diadakan lagi perjamuan manaiki rumah (menaiki rumah) dengan menjamu semua orang yang telah ikut membantu selama ini. Pada waktu perjamuan ini semua tamu tidak membawa apa pun karena perjamuan merupakan suatu upacara syukuran dan terima kasih kepada semua orang.
Ukiran
Semua dinding rumah gadang dari papan, terkecuali dinding bagian belakang dibuat dari bambu. Papan dinding dipasang vertikal. Pada pintu dan jendela serta pada setiap persambungan papan pada paran dan bendul terdapat papan bingkai yang lurus dan juga berelung. Semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding penuh ukiran. Ada kalanya tiang yang tegak di tengah diberi juga sebaris ukiran pada pinggangnya.
Sesuai dengan ajaran falsafah Minangkabau yang bersumber dari alam terkembang, sifat ukiran nonfiguratif, tidak melukiskan lambang-lambang atau simbol-simbol. Pada dasarnya ukiran itu merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis nielingkar atau persegi. Motifnya tumbuhan merambat yang disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akar itu berbentuk Iingkaran. Akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan, dan juga sambung-menyambung. Cabang atau ranting akar itu berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Ada keluk yang searah di samping ada yang berlawanan. Seluruh bidang diisi dengan daun, bunga, dan buah.
OIeh karena rambatan akar itu bervariasi banyak, maka masing-masing diberi nama. Pemberian nama itu tergantung pada garis yang dominan pada ukiran itu. Pada dasarnya nama yang diberikan ialah seperti berikut.
1. Lingkaran yang berjajar dinamakan ula gerang karena lingkaran itu menimbulkan asosiasi pada bentuk ular yang sedang melingkar.
2. Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena bentuknya yang berseluk atau berhubungan satu sama lain.
3. Lingkaran yang berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak (tangguk) atau jarek (jerat) karena menyerupai jalinan benang pada alat penangkap hewan.
4. Lingkaran yang sambung-bersambung dinamakan aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar ganda yang paralel dinamakan kambang (kembang = mekar).
5. Lingkaran bercabang atau beranting yang terputus dinamakan kaluak (keluk).
6. Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat). Ukuran atau bentuk tingkatan lingkaran itu sama atau tidak sama.
Dari motif pokok itu dapat dibuat berbagai variasi antara lain ialah seperti berikut.
1. Mengkombinasikannya motif segi empat.2. Menyusun dalam kombinasi rangkap.3. Memperbesar atau mempertebal bagian-bagian hingga lebih menonjol dari yang lain4. Memutar atau membalikkan komposisi.
Di samping motif akar dengan berbagai pola itu, ada lagi motif akar yang tidak memakai pola. Ukirannya mengisi seluruh bidang yang salah satu bagian sisinya bergaris relung.Motif lainnya ialah motif geometri bersegi tiga, empat, dan genjang. Motif ini dapat dicampur dengan motif akar, juga bidangnya dapat diisi ukiran atau dihias ukiran pada bagian luarnya.
Motif daun, bunga, atau buah dapat juga diukir tersendiri, secara benjajaran.Ada kalanya dihubungkan oleh akar yang halus, disusun berlapis dua, atau berselang-seling berlawanan arah, atau berselang-seling dengan motif lainnya.
Oleh karena banyak variasi dan kombinasi, serta banyak pula komposisinya yang saling berbeda maka masing-masing diberi nama yang berfungsi sebagai kode untuk membedakan yang satu dengan yang lain.
Nama bagi motif daun, bunga, dan buah boleh dikatakan semua menggunakan nama daun, bunga, dan buah yang dipakai sebagai model ukiran, seperti daun sirih, sakek (anggrek), kacang, dan bodi. Dalam hal bunga ialah cengkih, mentimun, lada, kundur, kapeh. Dalam hal buah ialah manggis, keladi, rumbia, rambai. Ada kalanya hiasan ukiran pengganti bunga atau buah itu dipakai motif dan benda perhiasan lainnya, seperti manik, jambul, mahkota, tirai-tirai, bintang; dan kipas. Ada kalanya pula motif daun dinama dengan nama hewan, seperti itik, tetadu, kumbang, dan bada (ikan).
Nama ukiran geometri bersegitiga pada umumnya disebut dengan pucuk rebung atau si tinjau lauik. Nama pucuk rebung diambil karena pucuk rebung memang runcing seperti segitiga dan si tinjau laut mengingatkan pada atap rumah gadang dengan nama yang sama jika dilihat dari samping. Ukiran segi empat dinamakan siku. Ukiran segi empat genjang dinamakan sayat gelamai karena bentuknya seperti potongan gelamai yang disayat genjang.
Nama yang diberikan pada ukiran yang bermotif akar disesuaikan dengan polanya. Setiap nama umumnya terdiri dari dua kata, seperti akar cina (akar terikat), akar berpilin, akar berayun, akar segagang, akar dua gagang. Akar dua gagang lazim pula disebut kembang manis. Akar yang berjalin dinamakan seperti alat penangkap hewan, yakni seperti jala terkakar (terhampar), jerat terkakar atau tangguk terkakar. Akar yang saling berkaitan dinamakan seluk laka karena bentuknya sebagai laka yang berupa alat untuk tempat belanga yang berisi masakan.
Nama ukiran yang dibuat bervanasi dengan berbagai kombinasi dan perubahan komposisi dan penonjolan bagian-bagiannya umumnya memakai nama hewan, seperti tupai, kucing, harimau, kuda, ular dan rama-rama. Nama hewan itu Iazimnya ditambah dengan suatu kata yang melukiskan keadaan, seperti rama-rama bertangkap, kucing tidur, kijang balari, gajah badorong, kelelawar bergayut.
Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding rumah gadang. Pada papan yang tersusun secara vertikal, motif yang digunakan ialah ukiran akar. Pada papan yang dipasang secara horisontal, digunakan ukiran geometris. Pada bingkai pintu, jendela, dan pelapis sambungan antara tiang dan bendul serta paran, dipakai ukiran yang bermotif lepas. Sedangkan pada bidang yang salah satu sisinya berelung, dipakai motif ukiran akar bebas. Ada kalanya dipakai motif kumbang, mahkota, dan lain lainnya sebagai hiasan pusat.
Pemberian nama tampaknya tidak mempunyai pola yang jelas. Umpamanya, motif yang sama tetapi berbeda jenis ukiran yang mengisi bidangnya akan memperoleh nama yang tidak ada hubungannya sama sekali, seperti antara singo mandongkak (singa mendongkak) dan pisang sasikek (pisang sesisir). Ukiran yang bernama kaluak paku (keluk pakis) jika disalin melalui lantunan kaca akan berubah namanya menjadi kijang balari. Demikian pula ukiran yang bernama ramo-ramo (rama-rama) jika disalin melalui lantunan kaca namanya berubah menjadi tangguak lamah (tangguk lemah).
Rangkiang Setiap rumah gadang mempunyai rangkiang, yang ditegakkan di halaman depan. Rangkiang ialah bangunan tempat menyimpan padi milik kaum. Ada empat macam jenisnya dengan fungsi dan bentuknya yang berbeda. Jumlah rangkiang yang tertegak di halaman memberikan tanda keadaan penghidupan kaum. Bentuk rangkiang sesuai dengan gaya bangunan rumah gadang. Atapnya bergonjong dan dibuat dari ijuk. Tiang penyangganya sama tinggi dengan tiang rumah gadang. Pintunya kecil dan terletak pada bagian atas dan salah satu dinding singkok (singkap), yaitu bagian segi tiga lotengnya. Tangga bambu untuk menaiki Rangkiang dapat dipindah-pindahkan untuk keperluan lain dan bila tidak digunakan disimpan di bawah kolong rumah gadang.
Keempat jenis Rangkiang itu ialah:
1. Si tinjau lauik (si tinjau taut), yaitu tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk membeli barang atau keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri. Tipenya lebih langsing dan yang lain, berdiri di atas empat tiang. Letaknya di tengah di antara rangkiang yang lain.
2. Si bayau-bayau, yaitu tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk makan sehari-hari. Tipenya gemuk dan berdiri di atas enam tiangnya. Letaknya di sebelah kanan.
3. Si tangguang lapa (si tanggung lapar), yaitu tempat menyimpan padi cadangan yang akan digunakan pada musim paceklik. Tipenya bersegi dan berdiri di atas empat tiangnya.
4. Rangkiang Kaciak (rangkiang kecil), yaitu tempat menyimpan padi abuan yang akan digunakan untuk benih dan biaya mengerjakan sawah pada musim berikutnya. Atapnya tidak bergonjong dan bangunannya lebih kecil dan rendah. Ada kalanya bentuknya bundar. Balairung dan Masjid
Balairung ialah bangunan yang digunakan sebagai tempat para penghulu mengadakan rapat tentang urusan pemerintah nagari dan menyidangkan perkara atau pengadilan. Bentuknya sama dengan rumah gadang, yaitu diba ngun di atas tiang dengan atap yang bergonjong-gonjong, tetapi kolongnya lebih rendah dan kolong rumah gadang. Tidak berdaun pintu dan berdaun jendela. Ada kalanya balairung itu tidak berdinding sama sekali, sehingga penghulu yang mengadakan rapat dapat diikuti oleh umum seluas-luasnya. Balairung (Balai Adat) Dari Kelarasan Koto Piliang yang terdapat di Batipuh, beberapa Km dari Padang Panjang
Seperti dalam hal rumah gadang, maka kedua kelarasan yang berbeda aliran itu mempunyai perbedaan pula dalam bentuk balairung masing-masing. Balai rung kelarasan Koto Piliang mempunyai anjung pada kedua ujungnya dengan Iantai yang lebih tinggi. Lantai yang lebih tinggi digunakan sebagai tempat penghulu pucuk. Anjungnya ditempati raja atau wakilnya. Pada masa dahulu, lantai di tengah balairung itu diputus, agar kendaraan raja dapat langsung memasuki ruangan. Lantai yang terputus di tengah itu disebut lebuh gajah. Sedangkan balairung kelarasan Bodi Caniago tidak mempunyai anjung dan lantainya rata dan ujung ke ujung.Balairung dari aliran ketiga, seperti yang terdapat di Nagari tabek, Pariangan, yang dianggap sebagai balairung yang tertua, merupakan tipe lain. Balairung ini diberi labuah gajah, tetapi tidak mempunyai anjung. Bangunannya rendah dan tanpa dinding sama sekali, sehingga setiap orang dapat melihat permufakatan yang diadakan di atasnya.Tipe lain dan balairung itu ialah yang terdapat di Nagari Sulit Air. Pada halaman depan diberi parit, sehingga setiap orang yang akan masuk ke balai rung harus melompat lebih dahulu. Pintu balairung diletakkan pada lantai dengan tangganya di kolong, sehingga setiap orang yang akan naik ke balairung itu harus membungkuk di bawah Iantai.Balairung hanya boleh didirikan di perkampungan yang berstatus nagari. Balainya pada nagari yang penduduknya terdiri dan penganut kedua aliran kelarasan, bentuknya seperti balairung Koto Piliang, tetapi dalam persidangan yang diadakan di sana lantai yang bertingkat tidak dipakai. Ini merupakan suatu sikap toleransi yang disebutkan dengan kata “habis adat oleh kerelaan”. Mesjid Bodi Chaniago Mesjid KotopiliangApabila balairung digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, maka masjid merupakan pusat kegiatan kerohanian dan ibadah. Masjid hanya boleh didirikan di nagari dan koto. Bentuk bangunannya selaras dengan rumah gadang, yakni dindingnya mengembang ke atas dalam bentuk yang bersegi empat yang sama panjang sisinya. Atapnya lancip menjulang tinggi dalam tiga tingkat. Di samping masjid, juga didapati pula semacam bangunan yang dinamakan surau. Jika masjid adalah milik nagari, maka surau adalah milik kaum. Surau digunakan juga sebagai asrama kaum laki-laki, duda, dan bujangan. Di surau itulah tiap kaum memberikan pendidikan ilmu pengetahuan kepada anak-anak muda.
Perkawinan
UPACARA ADAT PERNIKAHAN DAERAH MINANGKABAUSumber : NAZIL BASIR & ELLY KASIMJl. Jl. Beton No.68. Kmp. Ambon Kel. Kayu Putih Jakarta Timur.
Tel. 4716318 / 4890725 Fax. 4528403
Daerah minangkabau yang terletak disebelah barat pulau sumatera, dengan mayoritas penduduknya muslim memiliki upacara adat pernikahan yang sangat beragam antara satu luhak adat dengan luhak adat lainnya. Namun adanya kesepakatan antara satu luhak adat dengan luhak adat lainnya untuk saling menerima tatacara pernikahan yang mereka anggap baik dan menarik untuk dilaksanakan.
Proses upacara perkawinan adat istiadat minangkabau dapat dibuat menjadi suatu urutan sebagai berikut :
I. Maresek / penjajakanII. Maminang / batimbang tandoIII. Minta izin / Mahanta SiriahIV. Babako / BabakiV. Malam BainaiVI. Manjapuik MarapulaiVII. Pemberian GelarVIII. Penyambutan di rumah anak daro I. Maresek
Awal dari sebuah perkawinan jika menjadi urusan keluarga, bermula dari penjajakan. Di Minangkabau sendiri kegiatan ini di sebut dengan berbagai istilah. Ada yang menyebut maresek, ada yang mengatakan marisiak, ada juga yang menyebut marosok sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Tapi tujuan dan artinya sama yaitu melakukan penjajakan pertama.Tata cara pelaksanaannya berbeda-beda di Sumatera Barat. Ada nagari-nagari di mana perempuan yang datang dahulu melamar. Tapi ada juga nagari-nagari di mana pihak laki-laki yang melakukan pelamaran. Namun sesuai dengan system kekerabatan matrilineal yang berlaku di Minankabau, maka yang umum melakukan lamaran ini adalah pihak keluarga perempuan.Pelaksanaan penjajakan tidak perlu ayah-ibu atau mamak-mamak langsung dari si anak gadis yang akan di carikan jodoh itu yang datang. Biasanya perempuan-perempuan yang sudah berpengalaman untuk urusan-urusan semacam itu yang di utus terlebih dahulu. Tujuannya adalah mengajuk-ajuk apa pemuda yang dituju telah ada niat untuk dikawinkan dan kalau sudah berniat apakah ada kemungkinan kalau dijodohkan dengan anak gadis si A yang juga sudah berniat untuk berumah tangga.Jika mamak atau ayah bundanya nampak memberikan respon yang baik, maka angin baik ini segera di sampaikan kembali oleh si telangkai tadi kepada mamak dan ayah bunda pihak si gadis.Urusan resek-maresek ini tidak hanya berlaku dalam tradisi lama, tetapi juga berlaku sampai sekarang baik bagi keluarga yang masih berada di Sumatera Barat, maupun bagi mereka yang sudah bermukim di rantau-rantau.Terutama tentu saja bagi keluarga-keluarga yang keputusan-keputusan penting masih tergantung kepada orang-orang tua mereka. Untuk kasus-kasus yang semacam ini, tentang siapa yang harus terlebih dahulu melakukan penjajakan, tidaklah merupakan masalah. Karena di sini berlaku hokum sesuai dengan pepatah petitih :
Sia marunduk sia bungkuakSia malompek sia patahArtinya siapa yang berkehendak,tentulah dia yang harus mengalah
Seringkali resek-maresek ini tidak selesai satu kali, tapi bisa berlanjut dalam beberapa kali perundingan. Dan jika semuanya telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakan masing-masing dan segala persyaratan untuk itupun telah di setujui oleh pihak keluarga laki-laki dengan telangki yang, maka barulah selanjutnya di tentukan untuk mengadakan pertemuan secara lebih resmi oleh keluarga kedua belah pihak. Acara inilah yang di sebut acara maminang. II. Maminang/Batimbang TandoPada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan dijodohkan itu dengan dipimpin oleh mamak mamaknya datang bersama-sama kerumah keluarga calon muda yang dituju. Lazimnya untuk acara pertemuan resmi pertama ini diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang wanita yang patut-patut dari keluarganya. Dan biasanya rombongan yang datang juga telah membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih berkata-kata, jika sekiranya si mamak sendiri bukan orang ahli untuk itu.Untuk menghindarkan hal-hal yang dapt menjadi penghalang bagi kelancaran pertemuan kedua keluarga untuk pertama kali ini, lazimnya si telangkai yang marisiak, sebelumnya telah membicarakan dan mencari kesepakatan dengan keluarga pihak pria mengenai materi apa saja yang akan di bicarakan pada acara maminang itu. Apakah setelah meminang dan pinangan di terima lalu langsung di lakukaan acara batuka tando atau batimbang tando ?Batuka tando secara harfiah artinya adalah bertukar tanda. Kedua belah pihak keluarga yang telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakannya itu, saling memberikan tanda sebagai ikatan sesuai dengan hokum perjanjian pertunangan menurut adat Minagkabau yang berbunyi ;Btampuak lah buliah dijinjing,.Batali lah buliah diirik.Artinya kalau tanda telah dipertukarkan dalan satu acara resmi oleh keluarga belah pihak, maka bukan saja antar kedua anak muda tersebut telah ada keterikatan dan pengesahan masyarakatan sebagai dua orang yang telah bertunangan, tetapi juga antar kedua keluarga pun telah terikatan untuk saling mengisi adat dan terikat untuk tidak dapat memutuskan secara sepihak perjanjian yang telah disepakati itu.Barang-barang yang dibawaBarang-barang yang dibawa waktu meminang, yang utama adalah sirih pinang lengkap. Apakah di susun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak menjadi soal. Yang penting sirih lengkap harus ada. Tidaklah di sebut beradat sebuah acara, kalau tidak ada sirih pinang lengkap harus ada. Tidaklah di sebut beradat sebuah acara, kalau tidak ada sirih diketengahkan.Pada daun sirih yang dikunyah menimbulkan dua rasa di lidah, yaitu pahit dan manis, terkandung symbol-simbol tentang harapan dan kearifan manusia akan kekurangan-kekurangan mereka. Lazim saja selama pertemuan itu terjadi kekhilafan-kekhilafan baik dalam tindak-tanduk maupun dalam perkataan, maka dengan menyuguhkan sirih di awal pertemuan, maka segala yang janggal itu tidak akan jadi gunjingan. Sebagaimana dalam pasambahan siriah disebutkan :
Kok siriah lah kami makanManik lah lakek di ujuang lidahPahik lah luluih karangkuanganJika sirih sudah kami makanYang manis lekat di ujung lidahYang pahit lolos ke kerongkongan.
Artinya orang tidak lagi mengigat-mengigat segala yang jelek, hanya yang manis saja pada pertemuan itu yang akan melekat dalam kenangannya.Kalau disepakati sebelumnya bahwa pada acara maminang tersebut sekaligus juga akan dilangsungkan acara batuka tando atau batimbang tando maka benda yang akan dipertukarkan sebagai tanda itu juga dibawa dalam wadh yang sudah dihias. Yang dijadikan sebagai tanda untuk dipertukarkan lazimnya adalah benda-benda pusaka, sepertikeris, atau kain adat yang mengandung nilai sejarah bagi keluarga.Karena nilai sejarahnya inilah maka barang -barang yang dijadikan sebagai tanda itu sangat berharga bagi keluarga yang bersangkutan dan karena itu pula maka setelah nanti akad nikah dilangsungkan, masing-masing tanda ini harus di kembalikan lagi dalam suatu acara resmi oleh kedua belah pihak.
Urutan AcaraPembicaran dalam acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak atau wakil dari pihak keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak keluarga pemuda. . Bertolak dari penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya ada empat hal secara simultan yang dapat dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak saat itu.Namun menurut yang lazim di kampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu yang direkayasa oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini akan berlangsung berkali-kali sebelum urutan ketentuan di atas dapat dilaksanakan. Karena pihak keluarga pemuda pasti tidak dapat memberikan jawaban lagsung pada pertemuan pertama itu. Orang tuanya atau ninik mamaknya akan meminta waktu dengan keluarga-keluarganya yang patut-patut lainnya. Paling -paling pada pertemuan tersebut, pihak keluarga pemuda menentukan waktu kapan mereka memberikan jawaban atas lamaran itu.Acara maminang yang berlangsung di kota-kota umumnya sudah dibuat dengan scenario yang praktis berdasqrkan persetujuan kedua keluarga, sehingga urutan-urutan seperti kami cantukan diatas dapat dilaksanan secara simultan dan diselasaikan dalam satu kali pertemuan.Tata CaraSetelah rombongan keluarga pihak wanita dipersilakan naik ke atas rumah dan didududkan di sekitar seprai yang telah ditata dengan makanan-makanan kecil, maka mamak atau jurubicara dari pihak keluarga wanita yang datang yang kan memulai pembicaraan menurut tata adat sopan santun Minang yang disebut pasambahan.Sambah yang dilakukan dengan mengakat kedua telapak tangn dihadpan wajah ini, harus ditujukan kepada ninik mamak atau orang yang memang sudah ditentukan oleh keluarga pihak pria yang telah ditunjuk untuk itu.Yang menjadi inti pembicaraan pertama ialah pasambahan siriah, di mana jurubicara pihak keluarga yang datang menyuguhkan sirih lengkap yang dibawahnya untuk dicicipi oleh semua yang patut -patut dalam keluarga pihak laki-laki. Sirih yang disuguhkan itu juga tidak harus dimakan; dengan memegang atau mengupil secuil daun sirih itu saja juga sudah dianggap sah.Setelah itu barulah juru bicara pihak yang datang menanyakan apakah mereka sudah boleh menyampaikan maksud dan tujuan dari kedatangan mereka itu.Lazimnya menurut adat, permintaan dari yang datang ini tidak langsung dipenuhi oleh keluarga yang menunggu.Bagaimanapun sesuai dengan basa-basi, sebelum pembicaraan dimulai, pihak tuan rumah ingin menyuguhkan makanan dan minuman yang telah terhidang sebagai pelepas lelah bagi tamu-tamunya. Dalam hal ini berlaku hokum pepatah petitih adat yang mengatakan :
Jikok manggolek dinan dataJikok barudiang sudah makanJikalau berbaring di tempat yang rataKalau berunding sesuadh makan
Selesa makan dan minum, juru bicara keluarga yang datang akan mengulangi lagi permintaannya apakah sudah dibolehkan menyampaikan maksud kedatangan mereka.Jika lamaran telah diterima, maka dilangsungkanlah acara batuka tando. Tanda dari pihak keluarga perempuan yang meminang diserahkan olek ninik mamaknya kepada ninik mamak keluarga pria. Dan dari ninik mamak ini baru diteruskan kepada ibu dari calon mempelai wanita. Begitu pula sebaliknya.1. Melamar : Menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak kelurga si gadis kepada pihak keluarga si pemuda.2. Batuka tando : Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing3. Baretong : Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam penjumpatan calon pengantin pria waktu akan dinikahkan.4. Manakuak Hari : Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan
Bila seorang pemuda telah ditentukan jodoh dan hari perkawinannya, maka kewajiban yang pertama menurut adat yang terpikul langsung ke diri orang yang bersangkutan, ialah memberitahu dan mohon restu kepada mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara ayahnya ; kepada kakak-kakanya yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang dihormati dalam kelurganya.Acara ini pada beberapa daerah di Sumatera barat di sebut minta izin.Bagi calon pengantin wanita, kewajiban ini tidaklah terpikul langsung kepada calon anak daro, tetapi dilaksanakan oleh kaum keluarganya yang wanita yang telah berkeluarga , acara ini disebut mahanta siriah. Atau menghantar sirih.Tata caraPada hari yang telah ditentukan calon mempelai pria dengan membawa seorang kawan ( biasanya teman dekatnya yang telah atau baru berkeluarga) pergi mendatangi langsung rumah isteri dari keluarga-keluarga yang patut dihormati.Kemudian menjelaskan segala rencana perhelatan yang akan diadakan oleh orang tuanya.Lalu minta izin (mohon doa) restu dan kalu perlu minta petunjuk dan sifat yang diperlukan dalam rencana perkawinan.Terakhir tentu memohon kehadiran orang bersangkutan serta seluruh keluarganya pada hari-hari perhelatan tersebut.Tata busanaUntuk melaksanakan acara ini calon pengantin pria diharuskan untuk mengenakan busana khusus. Ada dua pilihan untuk itu yang lazim berlaku sampai sekarang di beberapa daerah di Sumatera Barat :1. Mengenakan celana batik dengan baju ganting cina berkopiah hitam dan menyandang kain sarung pelekat (atau sarung bugis )2. Mengenakan celana batik degan kemeja putih yang diluarnya dilapisi dengan jas, kerah kemeja ke luar menjepit leher jas. Tetap memakai kopiah dengan kain sarung pelekat yang disandang di bahu atau dilingkarkan di leher.Dahulu si calon mempelai pria juga di haruskan untuk membawa salapah (semacam tempat untuk rokok daun nipah dengan tembakaunya) sekarang ditukar dengan rokok biasa. Sebab tujuan membawa barang tersebut hanyalah sebagai suguhan pertama sebelum membuka kata .Bagi keluarga calon pengantin wanita yang bertugas melaksanakan acara ini yang disebut mahanta siriah, yaitu peralatan yang dibawa sesuai dengan namanya yaitu seperangkat daun sirih lengkap bersadah pinang yang telah tersusun rapi baik di letakkan diatas carano maupun di dalam kampia (tas yang terbuat dari daun pandan). Sebelum maksud kedatangan disampaikan maka sirih ini terlebih dahulu yang disuguhkan kepada orang yang didatangi.
IV. Babako -BabakiPelaksanaan acara ini dalam rentetan tata cara perkawinan menurut adat Minangkabau memang dilaksanakan oleh pihak bako. Yang disebut bako, ialah seluruh keluarga dari pihak ayah. Sedangkan pihak bako ini menyebut anak-anak yang dilahirkan oleh keluarga mereka yang laki-laki dengan isterinya dari suku yang lain dengan sebutan anak pusako. Tetapi ada juga beberapa nagari yang menyebutnya dengan istilah anak pisang atau anak ujung emas.Dalam sisitim kekerabatab matrilineal di Minangkabau, pihak keluarga bapak tidaklah begitu banyak terlibat dan berperan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakasanakan dalam lingkungan keluarga anak pusakonya. Menurut ketentuan ketentuan adat setidaknya ada empat peristiwa dalam kehidupan seorang anak pusako dimana pihak bako ikut berkewajiban untuk mengisi adat atau melaksanakan acaranya secara khusus.Empat peristiwa tersebut ialah :1. Waktu melaksanakan acara turun mandi atau memotong rambut anak pusako beberapa waktu setelah dilahirkan.2. Waktu perkawinannya.3. Waktu pengangkatannya jadi penghulu (kalau dia laki-laki)4. Waktu kematiannya.Khusus pada waktu perkawianan anak pusako, keterlibatan pihak bako ini terungkap dalam acara adat yang disebut babako-babaki. Dalam acara itu, sejumlah keluarga ayah secara khusus mengisi adat dengan datang berombongan kerumah calon mempelai wanita dengan membawa berbagai macam antaran.Hakikat dari acara ini ialah bahwa pada peristiwa penting semacam itu, pihak keluarga ayah ingin memperlihatkan kasih sayangnya kepad anak pusako mereka dan merasa harus ikut memikul beban sesuai dengan kemampuan mereka.Karena itulah dalam acara ini rombongan pihak bako waktu datang kerumah anak pusakonya membawa berbagai macam antaran.Acara ini dilaksanakan beberapa hari sebelum acara akad nikah dilangsungkan. Untuk efisiensi waktu dan biaya terutama di kota-kota besar, acara babako-babaki ini sekarang sering distalikan pelaksanaannya dengan acara malam bainai.Sore harinya pihak bako datang dantetap tinggal di rumah anak pusakonya itu untuk dapat mengikuti acara bainai yang akan dilang-sungkan malam harinya.Tata caraMenurut tradisi di kampung, gadis anak pusako yang akan kawin biasanya dijemput dulu oleh bakonya dan dibawa kerumah keluarga ayahnya itu. Calon anak daro ini akan bermalam semalam di rumah bakonya, dan pada kesempatan itu yang tua-tua akan memberikan petuah dan nasehat yang berguna bagi si calon pengantin sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan berumah tangga nanti.Arak-arakan bako mengahantar anak pusako ini diiringkan oleh para ninik mamak dan ibu-ibu yang menjunjung berbagai macam antaran dan sering pula dimeriahkan dengan iringan pemain-pemain musik tradisional yang ditabuh sepanjang jalan.Keluarga ibu juga mempersiapkan penyabutab kedatngan rombongan bako ini dengan tidak kalah meriahnya. Mulai dari penyambutan dihalaman dengan tari gelombang sampai kepada penyediaan hidangan-hidangan di atas rumahBarang yang dibawa bako1. Sirih lengkap dalam carano (sebagai kepla adat )2. Nasi kuning singggang ayam (sebagai makanan adat)3. Perangkat busana. Bisa berupa bahan pakaian atau baju yang telah dijahit,selimut dan lain-lain.4. Perangkat perhiasan emas5. Perangkat bahan mentah yang diperlukan di dapur untuk persiapan perhelatan, seperti beras, kelapa binatang-binatang ternak yang hidup, seperti ayam kambing atau kerbau.6. Perangkat makanan yang telah jadi, baik berupa lauk pauk maupun kue-kue besar atau kecil.Menurut tradisi di kampung dulu, bawaan pihak bako ini juga dilengkapi dengan berbagai macam bibit tumbuh-tumbuhan yang selain mengandung arti simbolik juga dapat dipergunakan oleh calon anak daro dan suaminya sebagai modal untuk membina perekomonian rumah tangganya nanti.Lazim juga dibeberapa daerah di Minangkabau, air harum racikan dari haruman tujuh macam bunga dengan sitawa sidingin dan tumbukan daun inai yang akan dipergunakan dalam acara mandi-mandi dan bainai, langsungkan disiapkan dan ikuti dibawa dalam arak-arakan keluarga bako ini.
V. Malam BainaiBainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pegantin wanita. Bisa dilakukan oleh siapa saja. Mandi-mandi dilaksanakan oleh perempuan-perempuan tua, maka acara Bainai bisa oleh yang muda-muda pria dan wanita. Jumlahnya juga harus ganjil, 7 atau 9 orang.Tumbukan halus daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku.Filosofinya : Melindugi si calon pengantin wanita dari segala kejadian yang dapat mengganggu lancarnya perjalanan acara-acara yang akan dilaksanakan, baik yang didatangkan oleh manusia yang dengki maupun oleh setan-setan.Ada kepercayaan orang-orang tua tempo dulu, keinginan-keinginan jahat dari seseorang dapat dimasukan melalui ujung-ujung jari. Karena itu ujung-ujung jari harus dilindungi dengan warna merah. Tapi lepas dari itu, pekerjaan memerahkan kuku bagi wanita sekarang ternyata juga merupakan bagian dari element kecantikan.Lazimnya dan seterusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum besok paginya calon anak daro melangsungkan akad nikah.Tujuan :1. Untuk membersihkan dan mensucikan si Calon Pengantin secara lahiriah dan badaniah. Serta untuk melakukan berbagai usaha agar si calon Pengantin nampak lebih cantik dan cemerlang selam pesta-pesta perkawinannya.2. Untuk memberi kesempatan seluruh keluarga terdekat berkumpul menunjukan kasih saying dan memberikan doa restunya kepada si Calon Pengantin .Tata cara1. Babako-Babaki :Keluarga pihak ayah yang dalam sistim kekerabatan Matrilinial Minang disebut Bako yang berperan penting dalam acara ini. Mereka datang lebih awal membawa segala perlengkapn yang diperlukan untuk acara serta sekalian membawa barang-barang bawaan pemberian pihak Bako untuk si Calon Anak daro. Penyerahan segala barang-barang bawaan bako ini kepada pihak keluarga pengantin wanita dilakukan secara resmi.Filosofinya : Ringan sama dijinjing-Berat sama dipikul.2. Sitawa Sidingin :Jika semua keluarga terdekat telah hadir termasuk juga keluarga-keluarga terdekat Calon Pengantin Pria, maka dilangsungkan acara mandi-mandi secara simbolis dengan memercikkan air dengan ramuan 7 kembang. Air ini dipercikan kecuali oleh Ayah Bundanya juga oleh perempuan-perempuan tua atau sudah berkeluarga dilingkungan kelurga Bako- keluarga Ayah-Ibu dan keluarga Calon Besan. Jumlahnya harus ganjil-7 atau 9 orang.Si calon Pengantin wanita didudukan pada satu tempat khusus dengan dipayungi dengan paying kuning oleh seorang dari saudara-saudara kandungnya yang laki-laki.Filosofinya : kehormatan dan keselamatan seorang wanita berada dibawah lindungan saudaranya yang laki-laki yang dalam struktur kekeluargaan Minang akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan nanti.Selain itu 2 orang Wanita saudara-saudara ibunya akan mendampingi dengan memegang kain Simpai .Filosofinya : Keluarga-keluarga wanita dari pihak ibu ikut bertanggung jawab melindungi ponakan-ponakannya yang wanita dari segala aib dan gunjingan orang.3. Manapak Jajakan kunigan :Di beberapa nagari di Sumatera Barat acara malam bainai ini sering juga diawali lebih dahulu dengan acara mandi-mandi yang akan dilaksanakan khusus oleh wanita-wanita di siang hari atau sore harinya.Maksudnya kira-kira sama dengan siraman dalam tradisi Jawa..Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai tujuan dan makna sebagai berikut :1. Untuk mengungkapkan kasih saying keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan masa remajanya.2. Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina kehidupan baru berumah tangga.3. Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara yang sacral, yaitu akad nikah,4. Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.Acara mandi-mandi secara simbolik ini harus diawali oleh ibunya dan diakhiri oleh Ayahnya. Setelah itu kedua ibu-Bapak menggandeng puterinya dengan penuh kasih saying secara pelan-pelan membawa menapak di atas kain jajakan kuning yang terentang antara tempat acara mandi-mandi dengan pelaminan dimana acara Bainai yang dilaksanakan.Filosofinya : Bimbingan terakhir dari seorang ayah dan ibu yang telah membesarkan puterinya dengan penuh kehormatan, karena setelah menikah maka yang akan membimbingnya lagi adalah suaminya.Demikianlah seluruh rangkaian acara malam bainai dan upacara ini seluruhnya dipandu oleh 2 orang wanita yang dalam istilah Minang disebut UCI-UCI.
VI. Manjapuik MarapulaiDiselenggarakan pada waktu menjemput calon mempelai pria ke rumah orang tuanya untuk dibawa kerumah calon pengantin wanita.Hal-hal lain di luar ini, itu tergantung kepada adat istiadat daerah masing-masing yang berbeda-beda, serta perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Umpamanya untuk daerah pesisir Sumatera Barat seperti padang Pariaman, berlaku ketentuan untuk membawa payung kuning tujuh tungketan, tombak jingo janggi, pedang (kalau si calon pengantin prianya bergelar Marah, Sidi dan Bagindo ).Tujuan dari manjapuik marapulai ini untuk menghormati calon menantu dan calon besan sesuai dengan adat Minang yang mengkategorikan mereka dalam keluarga yang harus diperlakukan secara lebih khusus dengan aturan ” Ereng-Gendeng” - “Kato Malereng- Datang bajapuik-Tibo basonsong.Tata Caranya :1. manjapuik :Keluarga-keluarga terdekat pihak calon pengantin wanita termasuk menantu-menantu berpasangan suami isteri (minimal 5 pasangan ) dengan dipimpin seorang Ninik Mamak yang ahli berpetatah petitih sambil membawa 2 orang Pasundan berangkat menurut waktu yang telah ditentukan menuju rumah calon mempelai pria..Secara umum menurut ketentuan adat yang lazim, dalam menjemput calon pengantin pria ini pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa tiga bawaan wajib, yaitu :Pertama : Sirih lengkap dalam cerana menandakan datangnya secra beradat.Kedua : Pakaian pengantin lengkap dari tutup kepala sampai ke alas kaki yang akan dipakai oleh calon pengantin pria.Ketiga : Nasi kuning singgang ayam dan lauk-pauk yang telah dimasak serta makanan dan kue-kue lainnya sebagai buah tangan.2. Sambah Manyambah :Setalah sampai di rumah calon mempelai pria dan telah dipersilakan duduk diatas rumah ninik mamak juru bicara calon mempelai wanita membuka kata dengan mempersembahkan sirih kepada keluarga yang patut-patut diatas rumah itu terlebih dahulu. Kemudian baru menyampaikan maksud kedatangan yang ditujukan kepada wakil-ninik mamak calon mempelai pria yang telah ditujuk untuk itu. Pengutaran maksud dan jawabannya dilakukan dengan pepatah petitih Minang. Inilah yang disebut acara : “Sambah menyambah”.Filosofinya : Untuk sebuah acara yang sacral semacam perkawinan tentulah diperlukan pembicaraan dan sikap yang lebih tertib dan sopan santun seremonial dibandingkan dengan pembicaraan-pembicaraan keseharian.3. Mananyokan gala :Pada kesempatan tersebut selain dari mengutarakan maksud kedatangan dan basa-basi lainnya yang penting lagi kalau calon menantu tersebut juga berasal dari minang maka waktu itu juga dengan sambah manyambah langsung ditanyakan siapa gelar yang telah diberikan oleh ninik mamak kaum kepada anak kemenakan mereka yang akan dikawinkan itu. Tapi kalau calon menatu tersebut bukan orang Minang, maka acara pemberian gelar diberikan oleh keluarga Ayah calon anak daro selesai acara akad nikah.Filosofihnya : Untuk semenda-semenda dari Minang di sebut “Ketek banamo-Gadang bagala ” Sedangkan untuk semenda-semenda diluar Minang, disebut : Inggok mancangkam Tambang basitumpu.4. Tari Galombang & Carano.Jika acara di rumah calon mempelai pria telah selesai si calon telah didandani lalu diiringkan bersama-sama menuju rumah Calon mempelai wanita. Disini dilakukan penyambutan Adat sebagai berikut :w Payung KuningSeturunnya dari mobil calon mempelai pria harus segera disambut dengan memayunginya dengan payung kuning.Filosofinya : Calon pengantin pada hari perkawinanya. Ditinggikan sarantiang didahulukan salangkah artinya harus diperlakukan sebagai orang penting dengan segala atributnya.w Tari GalombangLalu disambut oleh pemuda-pemuda dalam lingkungan kampung si Calon anak Daro dengan Tri Galombang.Filosofinya : Tibo basongsong - dan keselamatan orang datang harus dijaga oleh pemuda-pemuda tsb yang dalam pola kekerabatan di Minang disebut “Parik Paga dalam Nagari”. Merekalah yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban kampung halamannya termasuk menjaga keselamatn tamu-tamu yang datang.w Persembahan CaranoPenyambutan yang dilakukan dijalan raya dimuka rumah calon mempelai wanita ini dilanjutkan lagi dengan Tari Carano oleh sejumlah Dara-dara minang yang disebut Limpapeh Rumah Nan Gadang. Mereka mempersembahkan sirih lengkap dalam Carano Adat kepada Orang tua dan ninik mamak keluarga Calon mempelai pria dan terakhir kepada si calon sendiri.Filosofihnya : tagak Adat - tagak Carano. Sirih lengkap dalam wadahnya yang disuguhkan kepada orang-orang yang dihormati itu berarti acara dilaksanakan secara ber-adat.w Pasambahan Manyarahkan Anak kamananSelesai penyambutan dengan tari-tarian ini, maka dipintu ke pekarangan rumah calon mempelai wanita dilangsungkan lagi acara sambah-manyambah antara 2 ninik mamak yang telah ditunjuk untuk mewakil kedua keluarga itu. Persembahan dengan pepatah petitih minang ini bertujuan pokok dimana pihak keluarga calon pengantin pria menitipkan anak kemenakannya untuk dikawinkan dan mohon untuk dapat diterima diperlakukan pula sebagai anak kemenakan kandung sendiri dalam keluarga calon mempelai wanita.Filosifnya ; tatungkuik samo makan tanah-talilantang samo minum ambun. Artinya perlakukan calon menantu itu sebagai anak kemenakan sendiri. Sakit sama merasakan sakit-senang sama menikamati kesenangan.w Manapak Kain Jajaka PutihMenapak kedalam pekarangan sebelum masuk kedalam rumah, dilakukan lagi penyambutan adat oleh perempuan- perempuan tua dilingkungan keluarga calon mempelai wanita. Mereka juga memegang wadah yang berisi beras kuning untuk ditaburkan kepada calon mempelai pria. Ini bermakna doa restu dari seluruh keluarga yang menunggu bagi calon menantu mereka. Setelah itu secara simbolik dituangkanlah beberapa tetes air kesepatu calon menantu untuk selanjutnya dikembangkan kain jajakan putih yang terbentang dari tempat tsb sampai ke tempat dimana acaraakad nikah akan dilangsungkan. Kain jajakan putih ini hanya boleh diinjak dan dilalui oleh Si calon Pengatin.Filosofihnya : Perkawinan harus dilakukan hanya dengan niat yang suci dan hati yang bersih sesuci yang datang , sesuci itu pula hati yang menerima.
VII. Pemberian GelarSesuatu yang sangat khas Minangkabau ilah bahwa setiap laki-laki yang telah dianggap dewasa harus mempunyai gelar. Ukuran dewasa seorang laki-laki ditentukan apabila ia telah berumah tangga. Oleh karena itulah untuk setiap pemuda Minang, pada hari perkawinannya ia harus diberi gelar pusaka kaumnya.Penyembutan gelar seorang menantu, walaupun dengan kata-kata Tan saja untuk Sutan atau kuto saja untuk Sutan Mangkuto, telah mengungkapkan adanya sikap untuk menghormati sang menantu atau semendanya itu dan telah terbiasa memanggil nama.Setiap kelompok orang seperut yang disebut satu suku didalam sistim kekerabatan Miangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada kemenakan-kemenakannya yang laki-laki. Gelar inilah yang diberikan sambut bersambut kepada pemuda-pemuda sepersukuan yang akan berumah tangga. Pada umumnya gelar untuk pemuda-pemuda yang baru kawin ini diawali dengan Sutan. Ada ketentuan adat yang tersendiri dalam menempatkan orang semenda dan menantu-menantu dari suku lain ini didalam struktur kekerabatan Minangkabau. Bagaimanapun para orang semenda ini, jika telah beristerikan perempuan Minang, maka mereka itu oleh pihak keluarga mempelai wanita ditegakkan sama tinggi dan kedudukan sama rendah dengan menantu dan orang semendanya yang lain.
Bila akad nikah dilangsungkan dirumah calon mempelai wanita, bukan di masjid, maka acara penyambutan kedatangan calon mempelai pria dengan rombongannya dihalaman rumah calon pengantin wanita akan menjadi peristiwa besar . Acara ini disebut sebagai acara baralek gadang dengan menegakkan marawa-marawa Minang sepanjang jalan sekitar rumah.Tata caraAda empat tata cara menurut adat istiadat Minang yang dapat dilakukan oleh pihak keluarga calon mempelai wanita dalam menyambut kedatangan calon mempelai pria yang dilangsungkan pada empat titik tempat yang berbeda pula dihalaman rumahnya.Pertama, memayungi segea calon mempelai pria dengan paying kuning tepat pada waktu kedatangannya pada titik yang telah ditentukan di jalan raya di depan rumah. Atau kalau rombongan datang dengan mobil, pada titik tempat calon mempelai pria ditentukan untuk turun dari mobilnya dan akan melanjutkan perjalanan menuju rumah dalam arak-arakan berjalan kaki.Kedua, penyambutan dengan tari gelombang Adat timbal balik oleh pemuda-pemuda yang disebut parik paga dalam nagari dengan memberiakan penghormatan pertama dan menjaga kiri kanan jalan yang akan dilewati oleh rombongan.Pada satu titik di pertengahan jalan kedua barisan gelombang ini kan bersobok dan pimpinannya masing-masing akan melakukan sedikit persilatan. Kemudian acara dilanjutkan dengan barisan dara-dara limpapeh rumah nan gadang yang menyonsong mempersembahkan sirih lengkap dalam carano adat bertutup dalamak secara timbal balik dalam gerakan menyilang antara yang datang dan yang menanti.Ketiga, sambah-menyambah antar jurubicara pihak tuan rumah dengan jurubicara rombongan calon mempelai pria yang dilangsungkan tepat di depan pintu gerbang sebelum masuk ke pekarangan rumah calon mempelai wanita. Menurut adanya sambah-manyambah di luar rumah ini diawali oleh jurubicara pihak calon pengantin wanita sebagai sapaan kehormatan atas datangnya tamu-tamu kerumah mereka.Keempat, penyambutan oleh perempuan-perempuan tua tepat pada titik sebelum calon mempelai pria memasuki pintu utama rumah. Perempuan-perempuan inilah menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning sambil berpantung dan kemudian setelah mempersilahkan naik manapiak bandua maningkek janjang, mencuci kaki calon menantunya dengan menuangkan sedikit air ke ujung sepatu calon mempelai pria.Tata BusanaDua orang yang jadi jurubicara untuk sambah menyambah boleh berpakaian yang sama dengan keluarga.Yaitu pakai sarung dan berkemeja dilapisi jas di luarnya, yang penting kepalanya harus tertutup dengan kopiah hitam. Boleh juga dikenakan busana model engku damang atau yang sekarang juga sering disebut sebagai jas dubes. Atau kalau dia hanya memakai kemeja dan pantaloon biasa maka di lehernya harus dikalungkan kain pelekat yang kedua ujungnya terjuntai ke dada. Sedangkan kepala harus memakai kopiah.
ACARA ADAT SESUDAH AKAD NIKAH1. Sambah Bakti :Selesai acara akad nikah secara Islam maka dilanjutkan lagi dengan beberapa acara adat. Yang pertama kedua pengantin yang sudah syah menjadi suami isteri itu wajib melakukan Sembah bakti kepada Ayah Bunda dan ayah ibu mertua masing-masing dan terhadap nenek kakek dari kedua belah pihak.Filosofinya : Sejak detik itu kekempat orang tua dan nenek kakek masing-masing telah berstatus sama sebagai Ayah Bunda dan nenek kakek mereka berdua untuk juga diberikan perhatian dan kasih saying yang tidak berbeda.2. Mamasang CincinSecara bersilang oleh Ibuda masing-masing dilakukan pemasangan cincin kawin kepada masing-masing menantunya dijari manis kanan.Filosofinya : Basuluah bulan matoari-bagalanggang mato urang banyak. Batampuak bullah dijinjiang - batali buliah diirik. Artinya : Dengan disaksikan orang banyak mereka telah dinyatakan sayah terikat sebagai suami isteri.3. Malewakan gala.Kalau untuk menantu yang berasal dari Minang, gelar adat yang yang diberikan oleh kaumnya disampaikan secara resmi dalam kesempatan ini langsung oleh ninik mamak atau yang mewakili keluarga pengantin pria. Untuk menantu yang bukan berasal dari Minang. Gelar ini disebutkan secara resmi oleh wakil keluarga Ayah bpengantin Pria.Filosofinya : Seorang semenda harus lah dihormati oleh keluarga pengantin Wanita dan tidaklah layak untuk memanggilnya hanya dengan menyebut namanya saja. Itu dapat dilakukan terhdap anak-anak kecil, sedangkan pemuda yang sudah kawin menurut tata tertib adat disebut sudah “gadang” sudah bisa dibawa berunding. “Ketek banamo-Gadang bagala”. Dan gelar ini juga harus disebutkan secara resmi ditengah-tengah orang ramai. Inilah yang disebut acara “Malewakan gala Marapulai”.4. Balatuang kaniang.Dengan disaksikan orang banyak kedua kening pengantin itu dipersentuhkan.Filosofinya : Mereka sudah syah menjadi Muhrim. Dan persentuhan kulit tidak lagi membatalkan uduk mereka.5. Mangaruak nasi kuning.Kedua pengantin saling berebutan mengambil daging ayam yang tersembunyi didalam tumpukan nasi kuning. Dan bagian apa dari daging ayam itu yang mereka dapat bersama-sama dipertontonkan kepada tamu-tamu.Maknanya : Menurut kepercayaan orang-orang tua dulu bagian-bagian apa dari daging ayam itu yang terpegang oleh masing-masing pengantin bisa meramalkan tentang posisi masing-masing nanti didalam mengelola kehidupan rumah tangga mereka.Acara ini dilanjutkan dengan acara saling suap menyuapkan makanan tersebut. Terlebih dahulu si suami mengambil sejemput besar nasi kuning itu dan menyerahkan kepada si isteri. Si Isteri hanya memakannya secuwil saja dan menyimpan sisanya.Filosofinya : Si Isteri didalam berumah tangga harus bisa berhemat dan tidak menghabiskan begitu saja semua rejeki yang diberikan oleh suaminya.6. Bamain Coki.Kedua suami baru itu dituntun untuk bermain coki, sejenis permainan semacam catur. Tapi sekarang memang banyak dipergunakan adalah papan catur itu sendiri.Filosofinya : Suami Isteri dalam kehidupan berumah tangga harus bisa mengatur taktik dan strategi , bukan untuk saling mengalahkan tetapi yang penting bisa saling mengikuti pola main masing-masing demi untuk kebahagian dan kelanggengan perkawinan.Manjalang/ Mahanta NasiSesuai acara akad nikah yang dilanjutkan dengan basadiang di rumah kediaman mempelai wanita, maka sebuah acara lagi yang dikategorikan sebagai perhelatan besar dalam tata cara adat istiadat perkawinan di Minangkabau, ialah acara manjalang..Tujuannya dan maksudnya , yaitu kewajiban untuk mengisi adat setelah akad nikah dari pihak keluarga mempelai wanita kepada keluarga mempelai pria.Sesuai dengan judulnya mahanta nasi maka rombongan keluarga mempelai wanita yang datang kerumah ayah ibu mempelai pria wanita yang datang kerumah ayah ibu mempelai pria ini memang diharuskan untuk membawa berbagai macam makanan.Semua bawaan ini ditata diatas diulang-ulang tinggi yang tertutup kain dalamak dan dibawa dengan dijunjung diatas kepla dalam barisan oleh wanita-wanita yang berpakaian adat. Prosesi inilah yang disebut dengan istilah manjujuang jamba.Arak-arakan manjalang atau mahanta nasi dari rumah mempelai wanita ke rumah orang tua mempelai pria ini selain diikuti oleh wanita-wanita yang berpakaian adat atau berbaju kurung , juga diikuti oleh para ninik mamak yang mengenakan lengkap busana-busana adat sesuai dengan fungsinyadi dalam kaum. Adalah kewajiban adat bagi ayah ibu pengantin pria setelah acara selesai, sebelum tamu-tamu pulang, untuk mengisi beberapa wadah bekas pembawaan makanan keluarga pengantin wanita yang telah kosong.PelaminanSecara kasat mata siapapun dapat melihat adanya pengaruh-pengaruh kebudayaan India dan kebudayaan India dan kebudayaan Cina pada corak dan motif ornamen-ornamen kain sulamannya. Hal ini lebih ditegaskan lagi, jika kita mengetahui bahwa benang emas yang dipergunakan untuk menyulam kain-kain adat Minang juga disebut benang macao.Umpamanya untuk keturunan puti-puti kelambu yang dipergunakan harus berlapis tujuh. Dan semakin banyak banta gadang yang dipasang berarti semakin tinggi pula derajat orang yang dikawinkan, dan lain-lain sebagainya.Sebagaimana kita menjaga identitas produk-produk kebudayaan Minang lainnya, maka untuk pelaminan pun ada hal-hal yang ensensial yang tidak boleh kita buang dan kta tinggalkan. Hal-hal yang ensensial yang memberi cirri Minang pada pelaminan itu ialah :1. bahan-bahan yang dipergunakan baik untuk tabia maupun yang lain-lainnya ialah kain-kain bersulam benang emas atau perak dengan motif ukiran Minang.2. Harus mempunyai banta-banta gadang.3. Ada tirai (langik-langik) diatas tempat bersandingnya yang menggantungkan mainan angkin dan karamalai.4. Ada lalansia, kulumbu balapih dan banta-banta kopek pada bilik utamannya.5. Mempunyai galuangan dan kain jalin dengan butun-butun pengapit biliknya.Hiasan Kepala Anak DaroSuntiang GadangBentuk hiasan kepala pengantin Wanita Minang yang dipakai secara umum sekarang, namanya suntiang gadang, berasal dari daerah Padang/Pariaman. Kata gadang berarti besar. Ini untuk membedakan, karena ada juga suntiang ketek (kecil) yang biasa dipakai oleh pendamping-pendamping pengantin yang disebut pasundan.Penyusunan kembang-kembang sunting ini diatas kepala pengantin wanita mengikuti deret ganjil. Paling tinggi sebelas tingkat, dan paling rendah tujuh tingkat. Sedangkan sunting untuk para pasundan, dimulai dari deret lima sampai tiga.Ada empat jenis nama kembang goyang yang disusun susun diatas kepala untuk membentuk sunting Minang tersebut. Lapisan-lapisan paling bawah dinamakan bungo arunai yang deretan terdiri dari tiga sampai lima lapis. Kemudian deretan bungo gadang yang deretannya terdiri dari tiga sampai lima lapis lagi. Dan yang paling diatas ialah deretan kambang goyang. Sedangkan bagian-bagian yang jatuh ke arah pipi kiri dan kanan, disebut kote-kote.Busana Pengantin MinangBentuk utama dari busana tradisional wanita Minang adalah baju kurung.Empat macam baju kurung.1. Pertama, baju kurung batabueHiasan bunga-bunganya yang terbuat dari lempengan-lempengan loyang kecil berwarna emas dijahitkan bertabur di sekitar baju. Motif lempengan itu bermacam-macam. Ada yang berbentuk bunga, kupu-kupu atau wajik-wajik dan lain-lain sebagainya dalam ukuran kecil.2. Kedua, baju kurung balapakDibuat dari kain songket tenunan benang katun dengan benang emas atau perak.3. Ketiga, baju kurung basulamHiasan bunga-bunganya disulamkan kekain dengan mempergunakan benang-benang warna warni. Model sulaman ini sering juga disebut sulaman kepala peniti.4. keempat, baju kurung batarawang.Hiasan bunga-bung di buat dengan mencongkel atau melobangi bagian-bagian tertentu dari kain yang akan dijadikan baju.Sedangkan pengantin Pria, mengenakan baju model roki sebutan untuk jas dan celananya. Karena baju jas itu terbuka maka untuk penutupdada dipakai rompi dengan ikatan tali ke punggung. Sedangkan pinggang memakai kain samping dari bahan songket balapak.Yang umum dipakai sekarang oleh pengantin Pria Minang adalah tutup kepala berbentuk saluak. Karena itu disebut saluak marapulai.Tari GalombangTarian yang dipergunakan untuk menyambut pengantin yang sesuai dengan adat istiadat Minang ialah tari galombang.Dua macam galombangPola galombang adat timbal balik . Jika perhelatan mereka langsungkan dirumah-rumah dengan pekarangan yang luas atau kalau jalan raya di depan rumah mereka dapat ditutupi dari lalu lintas kendaraan lain selama berlangsungnya upacara acara tersebut.Pola Galombang sapihak biasanya untuk pesta-pesta yang diadakan di gedung-gedung, maka maka dalam penyambutan datangnya pengantin dan keluarga lazimnya dinanti dengan barisan satu arah .Ada empat macam lagu tradisional yang lazim dipergunakan untuk mengiringi tari galombang dan persembahan sirih ini.
- Lagu talempong Tupai baguluik untuk mengiringi gerakan maju penari-penari galombang.- Lagu saluang lubuak sao untuk mengiringi gerak maju dara-dara yang membawa carano.- Lagu bansi Palayaran untuk mengiringi tarian dara-dara yang membawa mempersembahkan sirih pada tamu-tamu.- Lagu talempong si kambang manih untuk mengiringi tarian gembira ketika penari-penari galombang dan persembahan sirih mengelu-elukan kedatangan pengantin di akhir penyambutan.
Pepatah, Petitih, Mamang, Bidal, Pantu, Gurindam
BIDANG SOSIAL BUDAYAIdrus Hakimy Dt Rajo Panghulu
1. Anak nalayan mambaok cangkua, mananam ubi ditanah darek. Baban sakoyan dapek dipikua, budi saketek taraso barek.Beban yang berat dapat dipikul, tetapi budi sedikit terasa berat
Anak ikan dimakan ikan, gadang ditabek anak tenggiri. Ameh bukan perakpun bukan, budi saketek rang haragoiHubungan yang erat sesama manusia bukan karena emas dan perak, tetapi lebih diikat budi yang baik.
Anjalai tumbuah dimunggu, sugi sugi dirumpun padi. Supayo pandai rajin baguru, supayo tinggi naikan budi.Pengetahuan hanya didapat dengan berguru, kemulian hanya didapat dengan budi yang tinggi
Alu tataruang patah tigo, samuik tapijak indak mati.Sifat seseorang yang tegas bertindak atas kebenaran dengan penuh bijaksana
Tarandam randam indak basah, tarapuang apuang indak hanjuik.Suatu persoalan yang tidak didudukan dan pelaksanaannya dilalaikan.
Anjuik labu dek manyauak, hilang kabau dek kubalo.Karena mengutamakan suatu urusan yang kurang penting hingga yang lebihpenting tertinggal karenanya.
Anguak anggak geleng amuah, unjuak nan tidak babarikan.Sifat seseorang yang tidak suka berterus terang dan tidak suka ketegasandalam sesuatu.
Alua samo dituruik, limbago samo dituang.Seorang yang mentaati perbuatan bersama dan dipatuhi bersama.
Alang tukang binaso kayu, alang cadiak binaso Adat, alang arih binaso tubuah.Seseorang yang pengetahuannya tidak lengkap serta keahliannya tidak cukupdalam mengerjakan sesuatu.
Alat baaluah jo bapatuik makanan banang siku-siku, kato nan bana takbaturuik ingiran bathin nan baliku.Seseorang yang tidak mau dibawa kejalan yang benar menandakan mentalnyatelah rusak
Alah bauriah bak sipasin, kok bakiek alah bajajak, habih tahun bagantimusim sandi Adat jangan dianjakWalaupun tahun silih berganti musim selalu beredar, tetapi pegangan hidupjangan dilepas.
Adat biaso kito pakai, limbago nan samo dituang, nan elok samo dipakainan buruak samo dibuang.Yang baik sama dipakai, yang buruk sama ditinggalkan.
Anak-anak kato manggaduah, sabab manuruik sakandak hati, kabuik taranghujanlah taduah, nan hilang patuik dicari.Sekarang suasana telah baik, keadaan telah pulih, sudah waktunyamenyempurnakan kehidupan.
Anggang nan datang dari lauik, tabang sarato jo mangkuto, dek baik budinan manyam buik, pumpun kuku patah pauahnyo.Seseorang yang disambut dengan budi yang baik dan tingkah laku yang sopan,musuh sekalipun tidak akan menjadi ganas.
Anjalai pamaga koto, tumbuah sarumpun jo ligundi, kalau pandai bakatokato, umpamo santan jo tangguli.Seseorang yang pandai menyampaikan sesuatu dengan perkataan yang baik, akan enak didengar dan menarik orang yang dihadapi.
Atah taserak dinan kalam, intan tasisiah dalam lunau, inyo tabanguleklah tingga, nak umpamo langgau hijau.Seseorang yang menceraikan istrinya yang sedang hamil, adalah perbuatantidak baik.
Aia diminum raso duri, nasi dimakan raso sakam.Seseorang yang sedang menanggung penderitaan bathin.
Adaik rang mudo manangguang rindu, adaik tuo manahan ragam.Sudah lumrah seorang pemuda mempunyai suatu idaman, dan lumrah seorang yang telah tua menahan banyak karena umurnya.
Alah limau dek mindalu, hilang pusako dek pancarian.Kebudayaan asli suatu bangsa dikalahkan oleh kebudayaan lain.
Adat dipakai baru, jikok kain dipakai usang.Adat Minang Kabau kalau selalu diamalkan dia merupakan ajaran yang bisaberguna sepanjang zaman.=B=
Basuluah mato hari, bagalanggang mato rang banyak.Suatu persoalan yang sudah diketahui oleh umum didalam suatu masyarakat.
Baribu nan tidak lipuah, jajak nan indak hilang.Satu ajaran yang tetap berkesan, yang diterima turun temurun.
Bariak tando tak dalam, bakucak tando tak panuah.Seseorang yang mengaku dirinya pandai, tetapi yang kejadiannya sebaliknya.
Bajalan paliharolah kaki, bakato paliharolah lidah.Hati-hatilah dalam berjalan begitu juga dalam melihat, sehingga tidak menyakiti orang lain.
Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang.Setiap pekerjaan yang dikerjakan secara bersama.
Baguru kapadang data, dapek ruso baling kaki, baguru kapalang aja, nanbak bungo kambang tak jadi.Suatu pengetahuan yang tanggung dipelajari tidak lengkap dan cukup, kurangbisa dimamfaatkan.
Bakato bak balalai gajah, babicaro bak katiak ula.Suatu pembicaraan yang tidak jelas ujung pangkalnya.
Bapikia kapalang aka, ba ulemu kapalang paham.Seseorang yang mengerjakan sesuatu tanpa berpengetahuan tentang apa yangdikerjakannya.
Bak kayu lungga panggabek, bak batang dikabek ciek.Suatu masyarakat yang berpecah belah, dan sulit untuk disusun dan diperbaiki.
Batolan mangko bajalan, mufakat mangko bakato.Dalam masyarakat jangan mengasingkan diri, dan bertindak tanpa mufakat.
Bak kancah laweh arang, bapaham tabuang saruweh.Seseorang yang besar bicaranya, dan tidak bisa merahasiakan yang patutdirahasiakan.
Bak balam talampau jinak, gilo ma-angguak-anguak tabuang aia, gilomancotok kili-kili.Seseorang yang sifatnya terlalu cepat mempercayai orang lain, tanpamengetahui sifat orang lain tersebut.
Bakarih sikato muno,patah lai basimpai alun ratak sabuah jadi tuah,jikok dibukak pusako lamo, dibangkik tareh nan tarandam lah banyak ragi nan barubah.Karena banyaknya yang mempengaruhi kebudayaan kita yang datang dari luar,kemurnian kebudayaan Adat istiadat mulai kabur dari masyarakat.
Batang aua paantak tungku, pangkanyo sarang sisan, ligundi disawahladang sariak indak babungolai. Mauleh jokok mambuku, mambuhua kalau manggasan, kalau budi kelihatan dek urang, hiduik nan indak baguno lai.Seseorang dalam masyarakat yang telah kehilangan kepercayaan, karenatindakannya yang kurang teliti dalam suatu hal. Sehingga kehilangankepercayaan terhadap dirinya.
Basasok bajarami, bapandam pakuburan, soko pusako kalau tadalami,mambayang cahayo diinggiran.Kalau ajaran adat dapat didalami dan difahami, serta diamalkan olehmasyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi tinggi mutunya
Basasok bajarami, bapandam pakuburan.Adalah syarat mutlak bagi satu negri di Minang Kabau
Bapuntuang suluah sia, baka upeh racun sayak batabuang, paluak pangku Adat nan kaka, kalanggik tuah malambuang.Kalau ajaran Adat Minang Kabau benar-benar dapat diamalkan oleh anggotamasyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang tinggiperadabannya dan kuat persatuannya.
Bajalan batolan, bakato baiyo, baiak runding jo mufakat. Turuikpanggaja urang tuo, supayo badan nak salamaik.Hormati dan turuti nasehat Ibu Bapak dan orang yang lebih tua umurnya darikamu, Insya ALLAH hidupmu akan selamat.
Barakyat dulu mangko barajo, jikok panghulu bakamanakan. Kalau duduakjo nan tuo pandai nan usah dipanggakkan.Sewaktu duduk bersama orang tua, baiak orang tua umurnya dari kita,janganlah membanggakan kepandaian kita sendiri.
Bakato bapikiri dulu, ingek-ingek sabalun kanai, samantang kito urangnan tahu, ulemu padi nan kadipakai.Seseorang yang pandai dalam hidup bergaul, dia selalu umpama padi berisi,makin berisi makin tunduk, bukan membanggakan kepandaian.
Banyak diliek jauah bajalan, lamo hiduik banyak diraso. Kalau kitodalam parsidangan marah jo duko usah dipakai.Didalam duduk rapat dalam suatu persidangan, tidak boleh berhati murung, dantidak boleh bersifat marah.
Biopari kato ibarat, bijaksano taratik sopan, pacik pitaruah buhuaarek, itu nan ijan dilupokan.Nasehat yang baik jangan dilupakan, pegang erat-erat untuk diamalkan.
Barieh balabiah limo puluah, nan warieh bajawek juo, kaganti camingujalo tubuah, paukua baying-bayang maso.Ajaran Adat kalau didalami dia akan dapat menjadi ukuran kemajuan zamandibidang moral manusia.
Baitu barieh balabiahnyo, dari luhak maso dahulu, kok tidak disigidipanyato, lipuah lah jajak nan dahulu.Tentang Adat Minamg Kabau sebagai kebudayaan daerah kalau tidak dibina dandikembangkan, maka hilanglah kebudayaan yang asli di Minang Kabau, karenadi- pengaruhi kebudayaan asing.
Buruak muko camin dibalah.Seseorang yang membuat kesalahan karena kebodohannya, tetapi yangdisalahkannya orang lain atau peraturan.
Banggieh dimancik, rangkiang disaliangkan.Marah kepada satu orang tetapi semua orang yang dimusuhi.
Barajo Buo Sumpu Kuduih tigo jo rajo Pagaruyuang, Ibu jo bapak pangkanyo manjadi anak rang bautang.Kesalahan seorang anak, akan banyak tergantung kepda didikan kedua ibubapaknya.
Bak cando caciang kapanehan, umpamo lipeh tapanggang.Seseorang yang tidak mempunyai sifat ketenangan, tetapi selalu keluh kesahdan terburu buru.
Bak lonjak labu dibanam,umpamo kacang diabuih ciek.Seseorang yang mempunyai sifat angkuh dan sombong, sedang dia sendiri tidaktahu ukurannya dirinya.
Bak ayam manampak alang, umpamo kuciang dibaokkan lidieh.Seseorang yang sangat dalam ketakutan, sehingga kehidupannya kucar kacir.
Bak caro tontoang diladang, umpamo pahek ditokok juo barunyo makan,urang-urang ditanggah sawah digoyang dulu baru manggariek.Seseorang yang tidak tahu kepada tugas dan kewajibannya sehingga selalumenunggu perintah dari atasan, tidak mempunyai inisiatif dalam kehidupan.
Bak sibisu barasian, takana lai takatokan indak.Seseorang yang tidak sanggup menyebut dan mengemukakan kebenaran, karena mempunyai keragu-raguan dalam pengetahuan yang dimiliki.
Bak baruak dipataruahkan, bak cando kakuang dipapikekkan.Seseorang hidup berputus asa, selalu menunggu uluran tangan orang lain,tidak mau berusaha dan banyak duduk bermenung.
Bak manjamua ateh jarami, jariah abieh jaso tak ado.Pekerjaan yang dikerjakan tanpa perhitungan, sehingga menjadi rugi dan siasia.
Bak balaki tukang ameh, mananti laki pai maling.Menunggu suatu yang sulit untuk dicapai, karena kurang tepatnya perhitungandan ha- rapan yang tak kunjung tercapai.
Baulemu kapalang aja, bakapandaian sabatang rokok.Seseorang yang tidak lengkap pengetahuan dalam mengerjakan sesuatu, ataukurang pengetahuannya.
Bunyi kecek marandang kacang, bunyi muluik mambaka buluah.Seseorang yang besar bicara tetapi tidak ada memberi hasil.
Baguno lidah tak batulang, kato gadang timbangan kurang.Pembicaraan yang dikeluarkan secra angkuh dan sombong, tidak memikirkanorang lain akan tersinggung.
Bak bunyi aguang tatunkuik, samangaik layua kalinduangan.Seseorang yang tidak bisa bicara karena banyak takut dan ragu dalampendirian.
Bak itiak tanggah galanggang, cando kabau takajuik diaguang.Seseorang yang sangat tercegang dan takjub dengan sesuatu, sehingga tidaksadarkan diri sebagai seorang manusia.
Bungkuak saruweh tak takadang, sangik hiduang tagang kaluan.Seseorang yang tidak mau menerima nasehat dan pendapat orang lain, walaupun dia dipihak yang tidak benar sekalipun.
Bumi sampik alam tak sunyi, dio manjadi upeh racun.Biasanya orang yang disebut dalam no.61 diatas menyusah dan menjadi batu penarung.
Bak umpamo gatah caia, bak cando pimpiang dilereng, iko elok etankatuju.Sifat seorang laki-laki atau perempuan yang tidak mempunyai pendirian danketetapan hati dalam segala hal.
Basikelah anggan kanai, basisuruak jikok kanai, tasindoroang nyatokanai.Sifat yang harus dihindarkan, seorang yang tidak mau bertanggung jawab atassegala perbuatannya.
Budi nan tidak katinjauan, paham nan tidak kamaliangan.Seseorang yang tidak mau kelihatan budi, dan selalu hati-hati dalam berbuatbertindak dalam pergaulan.
Bak basanggai diabu dingin, bak batanak ditungku duo.Suatu pekerjaan yang sia-sia dan kurang mempunyai perhitungan.
Bak taratik rang sembahyang, masuak sarato tahu, kalua sarato takuik.Seseorang yang mengerjakan sesuatu dengan penuh ketelitian dan menguasai segala persoalannya.
Bak galagak gulai kincuang, bak honjak galanggang tingga.Seseorang yang berlagak pandai dalam sesuatu, tetapi yang sebenarnya kosongbelaka.
Bak ayam lapeh malam, bak kambiang diparancahkan.Seorang yang kehilangan pedoman hidup serta pegangan, berputus asa dalamsesuatu.
Bak balam talampau jinak, gilo maangguak tabuang aia, gilo mancotokkili kili.Seseorang yang mudah dipuji sehingga kalau telah dipuji bisa terbuka segalarahasia.
Bagai kabau jalang kareh hiduang, parunnyuik pambulang tali, tak tantudima kandang nyo.Seseorang yang keras kepala tak mau menerima nasehat orang lain, sedangkandia sendiri tak memahami tentang sesuatu.
Bak umpamo badak jantan, kuliek surieh jangek lah luko, namun lenggokbaitu juo.Seorang yang tidak tahu diri, sudah tua disangka muda, ingin kembali carayang muda.
Bak ma eto kain saruang, bak etong kasiak dipantai.Suatu persoalan yang tidak berujung berpangkal dan tidak ada keputusannyadalam masyarakat.
Barundiang siang caliak-caliak, mangecek malam agak-agakBerbicaralah dengan penuh hati-hati dan jangan menyinggung orang lain.
Bak manungkuih tulang didaun taleh, bak manyuruakan durian masak.Suatu perbuatan jahat walaupun bagaimana dia pandai menyembunyikannya,lambat laun akan diketahui orang lain juga.
Bilalang indak manjadi alang, picak-picak indak jadi kuro-kuro. Walaudisapuah ameh lancuan, Kilek loyang kan tampak juo.Setiap penipuan yang dilakukan dan ditutup dengan kebaikan, dia akankelihatan juga kemudian.
Bak mandapek durian runtuah, bak mandapek kijang patah.Seseorang yang mendapat keuntungan dengan tiba-tiba, yang tidak dikira padamulanya.
Bagai sipontong dapek cicin, bak mancik jatuah kabareh.Nikmat yang diperdapat sedang orang yang bersangkutan lupa dari mana asalmula- nya,dan menjadikan dia lupa diri.
Bak kabau dicucuak hiduang umpamo langgau di ikua gajah.Seseorang yang selalu menurut kemauaan orang lain, tanpa mengeluarkanpendapat hatinya.
Bak mamaga karambia condong, bak ayam baranak itiak.Pengetahuan seseorang yang tidak dapat dimamfaatkan dan berfaedah bagidirinya, tetapi menguntungkan kepada orang lain.
Bak mangantang anak ayam, umpamo basukek baluik hiduik.Suatu masyarakat karena kurang keahlian sulit untuk disusun dan dikoordinir.
Bak mahambek aia hilia, bak manahan gunuang runtuah.Mengerjakan suatu pekerjaan berat yang harus dikerjakan bersama, dikerjakansendirian, dan tidak mempunyai keahlian pula tentang itu.
Bak mancari jajak dalam aia, bak mancari pinjaik dalam lunau.Mencari sesuatu yang mustahil didapat, walaupun sesuatu itu ada.
Bak manatiang minyak panuah, bak mahelo rambuik dalam tapuang.Suatu pekerjaan yang dikerjakan dengan hati-hati dan teliti, karenamemikirkan akibatnya.
Bak aia didaun kaladi, bak talua diujuang tanduak.Sesuatu yang sulit menjaganya dalam pergaulan, kalau hilang atau jatuhhilang semua harapan, seperti kehilang budi dari seseorang.
Bak manggadangkan anak ula, umpamo mamaliharo anak harimau.Seseorang yang didik dari kecil dengan ilmu pengetahuan, tetapi kelaksetelah dia besar dibalas dengan perbuatan yang jahat.
Bak aia jatuah ka kasiak, bak batu jatuah ka lubuak.Sesuatu persoalan yang diajukan, tetapi dilupakan buat selamnya, yangseharusnya perlu lu ditekel dengan segera.
Bak bagantuang di aka lapuak, bak bapijak didahan mati.Seseorang yang mengantungkan nasib pada orang yang sangat lemah ekonomi dan pemikirannya.
Bak ayam indak ba induak, umpamo siriah indak ba junjuang.Suatu masyarakat atau anak-anak yang tidak ada yang akan memimpin ataumemeli-haranya.
Bak malapehkan anjiang tasapik, bak mangadangkan anak harimau.Seseorang yang ditolong dengan perbuatan baik diwaktu dia dalam kesempitantetapi setelah dia terlepas dari kesulitan, dia balas dengan kejahatan.
Bak api didalam sakam, aia tanang mahannyuik kan.Seseorang yang mempunyai dendam diluar tidak kelihatan, tetapi setelahterjadi kejahatan saja baru diketahui.
Bak tapijak dibaro angek, bak cando lipeh tapanggang.Seseorang yang sifatnya tergesa-gesa, berbuat tanpa memikirkan akibat.
Bak maungkik batu dibancah, bak manjujuang kabau sikua.Suatu pekerjaan yang sukar dikerjakan, dan kalau dikerjakan menjadi sia-sia,bahkan menimbulkan kesulitan.
Baban barek singguluang batu, kayu tapikua dipangkanyoSuatu pekerjaan yang dikerjakan tetapi tidak ada keuntungan materil yangdiharapkan (social)
Bak kudo palajang bukik, umpamo gajah paangkuik lado.Suatu pekerjaan bersamasalah seorang dari orang yang berjasa dalam pekerjaanitu tidak diberi penghargaan sewajarnya.
Bak banang dilando ayam, bak bumi diguncang gampo.Suatu kerusuhan dan kekacauan yang timbul dalam suatu masyarakat yang sulituntuk diatasi.
Bak baluik di gutiak ikua, bak kambiang tamakan ulek.Seseorang yang mempunyai sifat dan tingkah laku yang kurang sopan dan tidakmemperdulikan orang lain yang tersinggung karena perbuatannya.
Babana ka ampu kaki, ba utak ka pangka langan.Seseorang yang mudah tersinggung dan mudah berkelahi karena hal kecil.
Baumpamo batuang tak bamiyang, bak bungo tak baduri.Seseorang yang tidak mempunyai sifat malu dalam hidup, baik laki 2 danperempuan
100. Basilek dipangka padang, bagaluik diujuang karieh, kato salalubaumpamo, rundiang salalu bamisalan.Pepatah, petitih, mamang, bidal, pantun dan gurindam Adat Minang Kabau,selalu mempunyai arti yang tersurat dan tersirat ( berkias )
101. Bakato sapatah dipikiri, bajalan salangkah madok suruik.Setiap yang akan dikatakan hendaklah dipikirkan lebih dahulu, sehinggaperkataan itu tidak menyinggung orang lain.
102. Bajalan paliharolah kaki, maliek paliharolah mato.Menurut adat berjalan dan melihat, bahkan setiap gerak dan perilakuhendaklah di- awasi, jangan sampai merussak perasaan orang lain.
103. Bukik putuih rimbo kaluang, dirandang jaguang dihanggusi. Hukum putuih badan tabuang, dipandang gunuang ditangisi.Seseorang yang berpantun diwaktu dia akan menjalani hukuman karena melawan penjajah Belanda.
=C=
104. Camin nan tidak namuah kabua, palito nan tidak kunjuang padam.Ajaran Adat/Syarak di Minangkabau bagaimanapun tetap dicintai dan dihormati oleh masyarakatnya
105. Cadiak jan bambuang kawan, gapuak nan usah mambuang lamak, tukang nan tidak mambuang kayu.Dalam pergaulan hendaklah bisa mempergunakan semua orang, jangan denganjalan bertindak sendiri, walaupun cukup mempunyai kecerdasan.
106. Condong jan kamari rabah, luruih manantang barieh Adat.Didalam pergaulan hendaklah mempunyai pendirian yang kokoh, dan selaludijalan yang benar.
107. Cupak basitalago panuah, undang maisi kandak, bak kain pambaluik tubuah, paralu dipakai tak buliah tidak.Adat dan Syarak di Minangkabau adalah dua ajaran yang mutlak dipakai dandiamalkan.
108. Capek kaki ringan tangan, capek kaki indak panaruang, ringan tanganbukan pamacah.Sifat pemuda-pemudi yang terpuji dan dikehendaki oleh Adat dan agama diMinang kabau. Yakni tangkas dan kesatria tetapi tidak melampaui kesopanan.
109. Cadiak malam biguang siang, gilo maukia kayu tagak.Seseorang yang panjang angan-angan, tetapi satupun tak dapat dikerjakannya,rencana tinggal rencana, mempunyai sifat pemalas.
110. Cancang tadadek jadi ukia, kuah talenggang ateh nasi.Suatu pekerjaan yang tidak terduga salah melaksanakannya, tetapi karenakeahliannya dapat menjadi baik.
111. Cinto banyak parisau ragu, budi manunggu di ulemu, paham babisiakdidalam bathin.Sifat seseorang yang selalu mengelamun, tetapi tak berani melahirkan maksudhati.
112. Caliak anak pandang minantu, mato nan condoang ka nan elok.Seorang ibu/bapak hendaklah mencari menantunya yang sesuai dengan anaknya.
113. Calak-calak ganti asah, pananti tukang manjalang datang, panunggu dukun manjalang tibo.Seseorang yang dapat bertindak sementara tenaga yang diharapkan dan ditunggu datang, (memberikan pertolongan pertama)
114. Cabua samo dibuang, usua samo dipamain.Setiap kita harus menjauhi perbuatan cabul, dan selalulah mempergunakaninformasi dengan sebaik-baiknya.
=D=
115. Dek ribuik rabahlah padi, dicupak datuak tumangguang, hiduik kalau tidak babudi, duduak tagak kamari tangguang.Seseorang yang tidak berbudi pekerti yang baik maka hidupnya dalammasyarakat serba susah dan sukar mendapat teman.
116. Dicancang pua manggarik andilau.Seorang membikin malu semua keluarga merasa malu.
117. Dimudiak tubo dilapeh, dihilia lukah mananti, ditanggah jalo takambang, dilua parangkok makan.Suatu pekerjaan dalam masyarakat, atau suatu persoalan yang tidak dapatmengelak- kan diri dari padanya.
118. Dek ketek taanjo-anjo, lah gadang tabao-bao, lah tuo tarubah tido,sampai mati manjadi paranggai.Setiap pekerjaan yang dibiasakan mengerjakannya semenjak kecil baik atauburuk, sukar untuk merobahnya, bahkan sampai mati tetap akan merupakanpakaian.
119. Dimano kain kabaju, diguntiang indaklah sadang, lah takanak mangkodiungkai, di- mano nagari namuah maju, Adat sajati nanlah hilang, dahan jo rantiang nan dipakai.Kamajuan suatu negri di Minangkabau, tidak akan dapat dicapaidengan baik,kalau kiranya ajaran Adat diamalkan tidak sepenuh hati, atau tinggal sebutan.
120. Dalam aia buliah diajuak, dalam hati siapo tahu.Manusia bisa mengetahui yang lahir, yang bathinnya dalam hati manusia hanya Tuhan yang mengetahuinya.
121. Dimano bumi dipijak, disinan langik dijunjuang, dimano sumua dikalidisinan aia disauak, dimano nagari diunyi disinan Adat dipakai.Ajaran Adat Minangkabau dapat diamalkan dimana saja, asal pandaimenyesuaikan diri dengan masyarakat yang kita gauli.
122. Darah samo dikacau, dagiang samo dilapah, tanduak samo ditanam.Meresmikan penggangkatan atau penobatan suatu jabatan didalam Adat sepertimelantik penghulu.
123. Dihannyuik ka aia dareh, dibuang katah lakang.Membuang segala sifat-sifat yang jelek dan meninggalkan segala perbuatanyang ter- cela, tidak ingin mengulang kembali.
124. Dibaok ribuik dibaok angin, dibaok pikek dibaok langgau, muluik jo hati kok balain pantangan Adat Minangkabau.Lain dimulut lain dihati, tidak sesuai kata dengan perbuatan adalah larangandalam Adat Minangkabau.
125. Dikaji Adat nan ampek, itu pusako tanah Minang. Nak tuah cari sapakaik, nak cilako bueklah silang.Bersatu teguh dan kuat, bercerai dan berpecah belah adalah kelemahan dankehancuran.
126. Ditiliak duduak hukum Adat, ateh bainah nan duo baleh. Sarintiakkudarat jo iradat, dikurasai soko mangko nyo jaleh.Untuk memahami dan mendalami ajaran Adat dan filsafatnya perlu menghendaki ketekunnan dan mau memahami arti yang tersirat.
127. Diatua cupak nan duo, dikaji kato nan ampek, dalam tambolah tasuo,paham disinan mangko dapek.Kalu untuk mendalami ajaran Adat dan filsafatnya jangan hanya sekedarmenangapi arti lahir kata, tetapi perlu dipahami arti yang tersirat dibelakangnya.
128. Dibilang kato nan ampek, partamo kato pusako, sanang hati santosotampek, disinan ado raso mardeka.Kemerdekaan itu baru dapat dirasakan hasilnya apabila pembangunan dibidangkesejahteraan hidup dan tempat kediaman telah cukup dan selesai.
129. Dubalang kato mandareh, pagawai kato basipaik, antaro masin jo padeh, disinan raso mangkonyo dapek.Setelah dibandingkan ajaran Adat Minangkabau dengan Adat Adat lain, makadisana baru jelas nilainya yang baik.
130. Dek rajin pandai nan datang, dek malu buruak tasuo, hari pagi manantipatang, insyaflah diri dengan tubuah.Ingatlah didalam hidup, muda akan menjadi tua, tua akan kembali kepadaasalnya yakni kembali kepada tanah.
131. Deta batiak basaluak timbo, pakaian bangsawan rang di Minang. Dekcadiak niniak nan baduo, dituka bantuak deta datang.Kebijaksanaan yang baik yang dapat diamalkan dalam pergaulan hidup, menjamin hubungan baik sesama angota masyarakat yang datang dan yang menanti.
132. Dibukak buhua deta datuak, disamek kain saluak timbo. Kok gapuak lamak tak dibu-ang, dek pandai alam santoso.Kebijaksanaan dalam pergaulan, pandai menyesuikan diri menimbulkan hubungan yang harmonis sesama anggota masyarakat.
133. Dibaliak pandakian ado panurunan, dibaliak panurunan ado pandakian.Dibalik kesusahan ada kemudahan, dibalik penderitaan ada kesenangan.
134. Ditiliak barieh jo balabeh, jo papatah pakaian rang panghulu. Supayobudi samo marateh, nak tantu ruweh jo buku.Kalau budi diamalkan dalam pergaulan, dapat menentukan seseorang baik danburuk.
135. Didalam luhak nan tigo, untuak padoman dalam hiduik, kato kiasandidalamnyo, indaklah paham kok indak dirunuik.Ajaran Adat Minangkabau banyak mengandung kiasan dan perumpamaan, tidaklah dapat dipahami kalau tidak benar didalami.
136. Dimaso tuo mangucambah, bukanlah tuo manyularo, sungguah kasumba alah merah tibo disago nan nyato bana.Tentang sumber pepatah budi merah sago jadi pilihan, walaupun ada yang merah selain dari sago.
137. Dimano asa titiak palito, dibaliak telong nan batali, dari mano asaniniak moyang kito iyo dilereang gunuang marapi.Orang Minang asal mula keturunannya ialah dilereng gunung merapi Pariangan Padang Panjang.
138. Diagak mangko diagiah, dibaliak mangko dibalah.Setiap pekerjaan yang akan dikerjakan hendaklah dipikirkan semasak-masaknya,dan buatlah rencana kerja.E=
139. Elok baso tak katuju, baik baso tak manantu.Seseorang yang kurang perhitungan dalam pergaulan terlalu royal dengankawan.
140. Elok diambiak jo etongan, buruak dibuang jo mufakaik.Didalam Adat setiap yang tidak baik, dibuang baik-baik dengan perhitungandan musyawarah, begitupun yang baik perlu diambil dengan mufakat.
141. Elok sairiang jo juru mudi, elok saiyo jo sakato, kok pandai bamainbudi, nan lia jinak malakok.Kalau pergaulan dilengkapi dengan budi yang baik dan tinggi, segalakesukaran dapat diatasi.
142. Elok nan tidak mangalua, gadang nan indak mangatanggah.Seseorang yang tidak berani mengeluarkan pendapatnya dalam pergaulan.
143. Elok bak karabang talua itiak, eloknyo tabuang juo, indak babaliak naiklai.Orang pandai dan cerdik, tetapi tidak mempergunakan kepandaiannya dankecerdasan untuk kepentingan orang banyak.
144. Elok tungkuih tak barisi, gadak agak tak manyampai.Seseorang yang lagaknya seperti orang pandai terlalu jelimet tetapi tidakberhasil.
145. Elok nagari dek panghulu, elok tapian dek nan mudo, elok masajik dektuanku, elok rumah dek bundo kanduang.Baik suatu negari karena pimpinannya, begitupun Masjid, tepian karena pemuda pemudi yang tinggi budinya.
=F=
146. Faham insyaf faham nan haniang, faham sangko didoroang hati.Keinsyafan yang sungguh datang dari hati akan menimbulkan kecintaan untukberbuat kebaikan.
147. Faham sak barisi antah, faham waham bambao lalai.Keragu-raguan karena kurang keinsyafan, ia akan membawa kepada kelalaiandalam suatu pekerjaan yang dilaksanakan.
148. Faham yakin ulemu tatap, ujuik satu pangang bunta.Keyakinnan akan membawa ketetapan hati, dan tekun menghadapi sesuatupekerjaan.
149. Faham arieh balawan banyak, faham cadiak maangan urang.Mempunyai faham yang terlalu arief menimbulkan sak wasangka, dan cerdik yang tidak dengan pengetahuan akan selalu merugikan diri sendiri.
150. Faham waham mambao lalai, faham mati mangunyah bangkai.Ragu membawa kelalaian, cemburu buta merugikan diri sendiri.=G=
151. Gadang ombak caliak kapasianyo, gadang kayu caliak kapangkanyo.Menilai seseorang jangan dari pakaiannya, tetapi nilailah daripengetahuannya dan budi pekertinya.
152. Gadang buayo dimuaro, gadang garundang dikubangan.Seseorang akan berkuasa dalam lingkungan dan bidangnya masing-masing.
153. Gadang sendok tak mambao, gadang suok tak manganyang, gadang antak indak lalu.Orang yang besar bicara takabur dan sombong, biasanya tidak sebesar apa yangdi- bicarakannya yang dapat dibuatnya.
154. Gadang tungkuih tak barisi, gadang galogok tak bamalu.Seseorang yang berlagak sombong dan angkuh biasanya dia kurang mempunyairasa malu.
155. Galogok kuciang kanaiak, bak mancik palajang atah.Seseorang yang senantiasa tergesa-gesa dalam setiap pekerjaan, tetapihasilnya sangat mengecewakan.
156. Gadang tungkuih tak barisi, tungkuih elok pangabek kurang.Seseorang yang bertampang pandai dan pintar, tetapi sebenarnya isi kosongdari segala-galanya
157. Gadanglah aia banda baru, nampak nan dari mandi angin. Elok nan usang dipabaru, pado mancari ka nan lain.Dari pada mencari sesuatu yang baru, lebih baik memelihara dan memperbaikiyang telah ada.
158. Gadiang tak ado nan tak ratak, tak ado mingkudu nan tak bagatah.Sifat tersalah dan lupa itu adalah sifat bagi manusia, kecuali yang qadimhanya sifat ALLAH.
159. Gadang jan malendo, panjang jan malindih.Kalau menjadi orang yang memegang kekuasaan jangan berbuat sekehendak hati.
160. Gadang kayu gadang bahan, ketek kayu ketek bahannyo.Berbuatlah dalam masyarakat, baik berkorban dan bekerja sesuai dengankemampuan kita masing-masing.
161. Gadang agiah baonggok, ketek agiah bacacah.Setiap pembahagian dalam bersama hendaklah disesuaikan dengan hasi yangdiperoleh.
162. Gayuang basambuik, kato bioso bajawab, himbau basahuti.Kebaikan orang lain hendaklah dibalas dengan kebaikan dengan ikhlas danjujur.
163. Gabak dihulu tando kahujan, cewang dilangiek tando kapaneh.Ada suatu alamat dan tanda-tanda menunjukkan mara bahaya akan datang, atau kerusuhan akan terjadi.
164. Garuih tak namuah hilang walau nan luko lah sambuah bana.Suatu kejahatan yang dibuat seseorang yang sulit dilupakan oleh orangbanyak.
165. Geleang kapalo bak sipatuang inggok, lonjak bak labu dibanam.Seseorang yang talen dan gagah yang dibuat-buat karena sombong danangkuhnya.
166. Gadang maimpok, panjang malindieh, laweh nak manyawok.Sifat seseorang berkuasa yang ingin memperbudak orang lain dalam segala hal.
167. Guruah patuih panubo limbek, pandan tajamua disubarang, tujuah ratuih carikan ubek badan batamu mangkonyo sanang.Seseorang yang sakit karena cinta dan rindu kepada sesuatu atau kepadaseseorang, dia akan sembuh kapan dapat bertemu atau tercapai yangdicintainya.
168. Gadih panagak ateh janjang, gadih pancaliak bayang-bayang.Larangan bagi seorang anak gadis di Minangkabau.
169. Galundi disawah ladang, sarik indak babungo lai, budi kalau nampak dek urang, hiduik indak baguno lai.Baik laki-laki atau perempuan kalau budi telah kelihatan dalam pergaulan,sulit untuk dipercaya buat selama-lamanya.
170. Gilo dimabuak bayang-bayang, gilo maukia kayu tagak.Seseorang yang selalu hidup dalam khayalan tetapi tak mau berusaha.
171. Galang dicinto galang buliah, niaik sampai cinto basuo.Seseorang yang memperoleh nikmat yang selama ini menjadi idamannya.=H=
172. Habih sandiang dek bagesoh, habih miyang dek bagisia.Pergaulan bebas antara muda dan mudi, akan menghilangkan rasa malu antaradua insan yang berlainan jenis.
173. Habih bisa dek biaso, habih gali dek galitik.Pekerjaan yang dilarang oleh adat dan syarak akan merupakan kebiasaanmengerjakannya, kalau rasa malu telah hilang dari diri seseorang.
174. Hati gajah samo dilapah, hati tunggau samo dicacah.Rasa social dalam hidup bergaul, harus melaksanakan pembahagian keuntungan dengan adil melihat kepada keuntungan yang diperoleh sesuai dengan usaha masing masing.
175. Hawa nan pantang karandahan, nafasu nan pantang kakurangan.Nafsu itu seperti lautan tak penuh karena air dan sampah.
176. Hanyuik sarantau sagan badayuang, karano tidak mambao galah. Kanan jo kiri tak malenggong, mudharat mamfaat tak takana.Seseorang dalam pekerjaannya tidak memikirkan kerugian dan kesakitan oranglain.
177. Hati ibo mambao jauah, sayang dikampuang ditinggakan, hati lukomangkonyo sambuah, tacapai niaik jo tujuan.Seseorang yang rajin berusaha untuk mencapai cita-citanya, dia belum merasapuas kalau belum dapat dicapainya.
178. Hujan batu dikampuang kito, hujan ameh dikampuang urang, walau bak mano misikin misikin awak, bacinto juo badan nak pulang.Kecintaan seseorang kepada kampung halaman tumpah darahnya, walau senang badan dirantau orang namun kampung teringat juga
179. Harok diburuang tabang, punai ditangan dilapehkan.Seseorang yang mengharapkan sesuatu yang belum tentu didapatnya, tetapi diatelah membuang apa yang dimilikinya.
180. Hari sahari diparampek, hari samalam dipatigo.Seseorang yang pandai mempergunakan waktu dalam hidupnya.
181. Hutang lansai dek babaia, ketek utang dek angsuran.Hutang wajib dibayar, dan dia akan bertambah kecil kalau tetap diangsurmembayar.
182. Hulu baiak pandai batenggang, hulu malang salah galogok.Seseorang akan bahagia kalau pandai bertengang dalam hidup, tetapi bahayamudah terjadi kalau tidak mempunyai perhitungan.
183. Haniang saribu aka, pikia palito hati.Seseorang yang tenang dalam menghadapi kesulitan akan mudah mengatasikesulitan karena pikiran itu pelita hati.
184. Hukum jatuah sangketo sudah, dandam habih kasumat putuih.Terciptanya perdamaian dalam masyarakat.
185. Habih dayo badan talatak, habih paham aka baranti.Berusahalah sejauh kemampuan yang ada pada kita dalam masyarakat.
186. Hilang raso jo pareso, habih malo jo sopan, hewan babantuak manusia.Kalau raso pareso telah lenyap dari seseorang, walaupun hilang sendirinya,bukan disebut manusia lagi, tetapi hewan yang berbentuk manusia.
187. Hari baiak dibuang-buang, hari buruak dipagunokan.Seseorang yang senang tiasa membuang waktu yang baik, dan memakai waktu yang banyak untuk hura hura.=I=
188. Iduik batampek, mati bakubua, kuburan hiduik dirumah tanggo, kuburan mati ditanggah padang.Seseorang harus mempunyai tempat kediaman, dan kalu mati perlu dikuburkan.
189. Inggok mancakam batang, tabang manumpu dahan.Perpindahan masyarakat dari suatu negeri kenegeri lain, diperlukanpenyesuaian diri dengan masyarakat yang ditempati.
190. Ingek-ingek sabalun kanai, bakulimek sabalun habih.Dalam bergaul perlu ada kehati-hatian jangan sampai berbuat kesalahan.
191. Iman nan tak buliah ratak, kamudi nan tidak buliah patah.Ke-Imanan harus dijaga jangan sampai tergelincir, dan kemudian harus dijagajangan sampai patah, karena kedua-duanya menjadikan karam seseorang dalamkehidupan dan kehilangan pedoman.
192. Isi kulik umpamo lahia, gangam arek pagangan taguah.Sesuaikanlah kata dengan perbuatan, dan itulah yang harus diamalkan didalam hidup.
193. Indomo di Saruaso, Datuak Mangkudun di Sumaniak, sabab anak jatuah binaso, ibu bapak nan kurang cadiak.Kemelaratan dan kesesatan seorang anak adalah disebabkan kelalaian keduaorang ibu bapaknya.
194. Ilang tak tantu rimbonyo, hanyuik tak tantu muaronyo.Sesuatu persoalan yang tidak tentu penyelesaiannya dan hilang begitu saja.=J=
195. Jalan dialiah dek rak lalu, cupak dipapek dek rang manggaleh.Secara tidak disadari kebudayaan asli kita dipenggaruhi oleh kebudayaan danadat istiadat asing.
196. Janji biaso mungkia, titian biaso lapuak.Peringatan agar jangan mudah berjanji dengan seseorang, hendaklah dikuatkankata-kata Insya Allah.
197. Jan dicampuakan durian jo antimun, jan dipadakekkan api jo rabuak.Selalulah hati-hati terhadap pergaulan muda mudi, karena pergaulan bebasakan mengakibatkan rusaknya moral antara keduanya.
198. Jan taruah bak katidiang, jan baserak bak anjalai.Setiap yang akan dikatakan hendaklah dipikirkan terlebih dahulu, karenalidah tidak bertulang, membicarakan orang lain.
199. Jauah nan buliah ditunjuakkan, dakek nan buliah dikakokkan.Sesuatu bukti dan keterangan yang dapat dikemukakan dan ditunjukkan dengan nyata.
200. Jalan pasa nan kadituruik, labuah goloang nan kaditampuah.Selalulah kita berbuat dan bertindak atas kebenaran dan menurutundang-undang yang berlaku.
201. Jatuah mumbang jatuah kalapo, jatuah bairiang kaduonyo. Rusak adaikhancua pusako habih kabudayaan nan usali.Kalau tidak hati-hati dan tidak dibina dan dikembangkan kebudayaan asli(Adat Minagkabau) hancurlah kebudayaan asli kita.
202. Jikok panghulu bakamanakan, maanjuang maninggikan. Pandai nan usah dilagakkan manjadi takabua kasudahannyo.Pengetahuan dan kepintaran jangan dibanggakan karena mengakibat hati menjadi takbur jadinya.
203. Jauah cinto mancinto, dakek jalang manjalang.Rasa kekeluargaan yang tak kunjung habis, walau jauh dimata tapi dekatdihati.
204. Jangek suriah kuliklah luko, namun lenggok baitu juo.Seseorang yang tidak tahu diri walaupun dia telah jatuh hina karenaperbuatannya, tetapi dia tetap membanggakan diri.
205. Jan disangko murah batimbakau, maracik maampai pulo, jan disangko murah pai marantau, basakik marasai pulo.Hidup dirantau orang tidaklah semudah hidup dikampung halaman tempat kitadilahirkan, karena jauh handai tolan.
206. Jauah bajalan banyak diliek, lamo hiduik banyak diraso.Jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak pengalaman.=K=
207. Kuaik rumah karano sandi, rusak sandi rumah binaso, Kuat bangso karano budi, Rusak budi hancualah bangso.Ketinggi suatu bangsa akan ditentukan oleh kepribadian bangsa itu sendiri.Kalau budi bangsanya telah hancur, akibat kehancuran bangsa itu sendiri.
208. Kilek baliuang lah ka kaki, kilek camin lah ka muko.Suatu perbuatan dan perkataan yang telah difahami maksud dan tujuannya.
209. Kalau hari lah paneh lah lupo kacang jo kuliknyoMelupakan jasa baik orang lain yang pernah menolong kita, Tetapi kapan kitatelah mendapat kesenangan atau yang dicitakan melupakannya.
210. Kalau karuah aia di hulu sampai ka muaro karuah juo.Pada umumnya keturunan menentukan corak dan kelakuan yang pernah dimiliki oleh ibu bapaknya.
211. Kalau kuriak induaknyo rintiak anaknyo.Ibu bapak yang baik akan melahirkan anak-anak yang baik pula dan sebaliknya.
212. Kasingka talalu ampang, kapitungguah talampau unjua.Seseorang yang memiliki pengetahuan serba tanggung sehingga tidak dapatdimam- faatkannya.
213. Kato iduik banyawa iduik, kato mati bapambunuahan.Suatu keterangan yang diberikan ternyata ada kebenarannya, dan suatuketerangan yang tidak terbukti kebenarannya.
214. Kuaik katam karano tumpu, kuaik sapik karano takan.Suatu pekerjaan atau kewajiban yang dikerjakan karena terpaksa, bukan karenakesadaran.
215. Ka bukik samo mandaki kalurah samo manurun.Suatu pekerjaan yang dikerjakan secara bersama dan didorong oleh kesadaran.
216. Kasuri tuladan kain, kacupak tuladan batuang.Suatu pekerjaan begitupun tingkah laku dan peranggai yang dapat dicontoholeh orang lain.
217. Kacak langan lah bak langan, kacak batih lah bak batih.Seseorang yang baru saja mendapatkan suatu nikmat tetapi senantiasadipergunakan dengan hati bangga dan sombong.
218. Kalau tasungkuik pado nan tinggi, jikok basanda pado nan gadang.Sesuatu perbuatan hendaklah dilandaskan kepada Agama, Adat dan Undang-Undang Pemerintah.
219. Kato panghulu manyalasai, mandareh kato dubalang. Adaik kok kurangtakurasai, dunia manjadi takupalang.Ajaran Adat Minangkabau yang sejati kalau tidak diamalkan olehmasyarakatnya, hilanglah budi didalam diri.
220. Kalau dek pandang sapinteh lalu, banyak pahamnyo tagaliciak, pandai tak rago dek ba guru, salam tak sampai pado kasiah.Ajaran Adat tidak dapat dipahami, apalagi untuk diamalkan kalau sekiranyahanya dengan mendengar pepatah petitih, tampa mendalaminya.
221. Katiko taimpik nak diateh, katiko takuruang nak dilua, bajalan baduonak ditangah bajalan surang nak dahulu.Pepatah ini mengandung arti: bagaimana sulitnya memimpin masyarakat yangjiwa-nya sangat kritis dan koreksi.
222. Kahilia jalan ka Padang, ka mudiak jalan ka Ulakan, kok musuah indakdihadang, tasuo nan indak ba ilakkan.Tidak mau bermusuhan dalam hidup bermasyarakat tetapi kalua datang dengantiba-tiba tidak pula dielakkan.
223. Kahilia jalan ka Sumani, sasimpang jalan ka Singkarak, saukua mangkomanjadi, sasuai mangko takanak.Sesuatu hendaklah dengan musyawarah untuk mufakat. Satu pendapat dan satu tujuan.
224. Kaduo kato mufakat, sakato urang kasadonyo, elok sapahan sahakikat,santoso kito salamonyo.Satu pendapat dan satu gerak, satu tujuan akan melahirkan kesentosaan dankebahagiaan dalam masyarakat.
225. Kaampek kato kamudian, patuik bana kato dicari, taruah naraco jokatian, paniliak langgam nan tadiri.Didalam diri manusia yang berpengetahuan dan diamalkannya, ada neraca yang menentukan baik dan buruk.
226. Kato rajo kato basahajo, kato titah kato balimpahan, dari duo capailahtigo, jangan sakali disudahi.Setiap manusia perlu mempunyai cita-cita yang tinggi dan mulia, tetapi harusdicapai dengan cara ber angsur-angsur.
227. Kato panghulu manyalasai, kato alim kato hakikat, talamun patuik kitokakeh, lahia jo bathin nak saikek.Perlu penggalian adat dan agama Islam secara mendalam , sehingga lahir danbathin dapat sesuai.
228. Kato bapak kato panggaja, kato kalipah dari mamak, mujua indak dapek kito kaja, malang tak dapek kito tulak.Keuntungan tak dapat dikejar-kejar, begitupun mara bahaya dan musibah tidakkuasa manusia menolaknya.
229. Kato guru kato batuah, kato saudaro paringatan, kuncilah bathin jantaruah, budi nan jan sampai nampak.Keteguhan bathin menyimpan rahasia seseorang, menjadikan orang yang teguhini mulia budinya.
230. Kato parampuan kato manuruik, mangambiak hati suami, labiahkan rusuah jo takuik, jarek sarupo jo jarami.Rusuh hati jangan kelihatan, takut paham tergadai, hati-hati dalam berbicarakarena banyak musuh dalam selimut.
231. Kato adaik pahamnyo aman, malangkapi rukun dengan syarat, kalau elok pegang padoman, santoso dunia jo akhirat.Ajaran adat dan agama Islam kalau benar-benar diamalkan, menjaminkeselamatan dunia akhirat.
232. Koroang kampuang didalam jurai, baitu limbago sajak dahulu, dunialah lamo inyo pakai, raso pareso nyolah tahu.Orang yang tua harus dihormati, karena ketuaannya dia telah banyak merasakan pahit manis dalam kehidupan.
233. Kalau adaik dalam nagari, bulek sagiliang picak satapiak, sabareksaringan kasadonyo Urang mulia dalam nagari, muluik manih basonyo baiak, sakati limo nilai haragonyo.Kemuliaan dalam pandangan adat terletak pada budi baik dan indah bahasanyaseseorang.
234. Karano indak mambao galah, mananti takadia kasamonyo, mudarat mufaat tak dikana, alamaik binaso kasudahannyo.Senantiasalah kita dalam hidup bergaul memikirkan mudarat dan mamfaat, agar sentosa hidup bersama. Kalau tidak dipikirkan alamat hidup akan sengsara.
235. Kato manti kato bahubuang, kato dubalang kato mandareh. Jauhari pandai manyam- buang, nan singkek buliah diuleh.Orang jauhari bijaksana pandai mencari jalan keluar dalam suatu kesulitanyang datang secara tiba-tiba.
236. Kiniko coraklah barubah, alam mardeka lah tabantang, sadang manggali kasajarah usahokan galian dek basamo.Kemerdekaan telah tercapai, kita harus menggali sejarah kebudayaan bangsasecara bersama.
237. Kok alah sampai di hulu, balunlah pulo sacukuiknyo. Dek kokoh niniaknan dahulu kunci nan limo pambukaknyo.Nenek moyang di Minangkabau pemikirannya jauh memandang kedepan untuk masa anak cucu, dengan mempergunakan panca indra yang lima.
238. Kito di alam Minangkabau lah patuik tasintak pulo, katiko baluntalampau elok diru- nuik sitambo lamo.Sudah masanya sekarang kita mengali dan mengembangkan adat Minangkabausebagai rangkaian dari kebudayaan nasional.
239. Kauak indak sahabih gauang, awai indak sahabih raso, paham pahamnyo nan tak lansuang, batuka tujuan mukasuiknyo.Adat Minangkabau selama ini tidak pernah mendapat pengalian dan pembinaan, akibatnya banyak orang salah pengertian tentang tujuan adat itu.
240. Kalau pai tampak pungguang, jikok babaliak tampak muko.Kalau pergi hendaklah memberi tahu, jika kembali hendaklah memberi khabar.
241. Kalau indak pandai bakato-kato, bak alu pancukia duri, kalau pandaibakato-kato bak santan jo tangguli.Seseorang yang tak pandai berbicara secara baik, sama dengan alu pencongkelduri tetapi kalau pandai umpama santai dengan tengguli.
242. Kato papatah caro Minang, patitiah luhak nan tigo. Nan turun dariParpatiah nan sabatang, manjadi kato pusako.Ajaran adat Minangkabau yang disusun oleh Dt. Parpatih nan Sabatang,merupakan ajaran yang dapat mengikuti perkembangan zaman.
243. Kito nan bukan cadiak pandai, ulemu di Tuhan tasimpannyo. Kok senteang batolong bilai tandonyo kito samo sabanso.Kalau dijumpai kekilafan dan kesalahan tolong maaf dan betulkan, karenakhilaf itu sifat manusia, tandanya kita orang satu bangsa.
244. Kito nan bukan cadiak pandai, hanyo manjawek pituah dari guru. Pituah guru nan di- pakai, nak jadi paham jo ukuran.Nasehat guru dan pelajaran yang diajarkannya kepada murid, adalah menjadipedoman dalam kehidupan.
245. Kalau ketek dibari namo, urang gadang dibari gala, nak tapek adaik jolimbago, faham adaik nak nyato bana.Kalau dapat mendalami ajaran adat kita akan mendapatkan mutiara yangberharga didalamnya yang berguna untuk hidup bergaul dalam masyarakat.
246. Kaluah kasah papek nan ampek, sarato anggota katujuahnyo, panca indra mananggu- angkan, batang tubuah marasokan.Sesuatu perbuatan tanpa pemikiran dan pertimbangan akan menimbulkanpenyiksaan terhadap bathin kita sendiri.
247. Kalau balaia banakodoh, jikok bajalan jo nan tuo.Mengerjakan suatu pekerjaan hendaklah dengan yang ahlinya, memasuki suatunegeri hendaklah dengan orang yang mengetahuinya.
248. Kuaik dari paga basi, kokoh nan dari paga tembok.Pagar yang paling kokoh ialah pagar sesuatu dengan budi yang baik.
249. Kato sapatah dipikiri, bajalan salangkah madok suruik.Pikirkanlah semasak-masaknya apa yang akan kita sampaikan kepada orang lainsehingga tidak menyinggung perasaannya.
250. Karantau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, dirumah baguno balun.Pergilah merantau kenegeri orang, cari ilmu pengetahuan, serta cari matapenghidupan, untuk kemudian dibawa dan dikembangkan dikampung halaman.
251. Kasiah sayang dapek dicari, tampek hati jarang basuo.Untuk mencari istri paling mudah, yang sulit mencari istri untuk menjaditeman sehidup semati.
252. Kalauik riak maampeh, kapulau riak mamutuih, kalau mangauik iyo bana kameh, kalau mancancang iyo bana putuih.Setiap pekerjaan yang kita kerjakan, begitupun pengetahuan yang kitapelajari jangan patah ditengah.
253. Kalau tali kaia panjang sajangka, lauik dalam usah didugo.Kalau pengetahuan baru seujung kuku jangan dicoba mengurus pekerjaan yangsulit.
254. Kulik maia ditimpo bathin, bathin ditimpo galo-galo, dalam lahia ado ba bathin, dalam bathin bahakikat pulo.Ajaran adat Minangkabau bukan sekedar lahiriyah, tetapi banyak mengandungarti dan makna yang tersirat, yang menuju kepada mental manusia.
255. Kacimpuang pamenan mandi, rasian pamenan lalok.Mimpi itu kebanyakan sesuatu yang terangan-angan diwaktu bangun. =L=
256. Lain geleang panokok asiang kacundang sapik.Gelagat seseorang atau suasana yang menunjukkan tanda-tanda akan terjadisesuatu yang tak diingini.
257. Lah samak jalan kapintu, lah tarang jalan kadapua.Seorang suami yang tidak kenal lagi pada tugasnya sebagai mamak darikemenakan, tetapi semata tahu kepada si istri saja.
258. Limpato batang sitawa, digulai cubadak mudo, lah biaso kito tasalah,karano pangana indak sakali tibo.Kekilafan dan kesalahan adalah sifat seorang manusia, karena pemikirannyatidak secara serentak.
259. Lauik gadang kalau dihadang, sadiokan sampan jo pandayuang.Hiduik didunia mangupalang, sagalo karajo kamari cangguang.
260. Limpapeh rumah nan gadang, umbun puruik pegangan kunci.Kaum wanita di Minangkabau adalah merupakan tiang kokoh diatas rumah tangga dan nageri, dan kunci tentang kebaikan dan keburukan suatu negeri.
261. Lauik banyak nan sati, rantau banyak nan batuah.Kalau pergi berjalan kerantau orang hendaklah pandai menyesuaikan diri dalampergaulan.
262. Lah bacampua lamak jo galeme, indak babedo sadah jo tapuang.Dalam suatu masyarakat tidak ada lagi batas-batas dalam pergaulan menurutnorma adat dan agama.
263. Lahia jo bathin saukuran, isi kulik umpamo lahia.Seseorang yang baik dan jujur sesuai kata dan perbuatannya.
264. Labuah luruih jalannyo pasa jan manyipang suok jo kida.Sudah aturan dan undang-undang dan sudah cukup norma adat dan agama, jangan menyimpang dari itu.=M=
265. Mumbang jatuah kalapo jatuah, indak babedo kaduonyo.Setiap yang bernyawa akan menemui ajalnya baik tua ataupun muda, kecil danbesar.
266. Malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio.Setiap pekerjaan hendaklah pertengahan, jangan berlebih-lebihan, begitupundalam tingkah dan laku.
267. Mukasuik hati mamaluak gunuang, apo dayo tangan indak sampai.Seseorang yang mempunyai cita-cita tinggi, tetapi tidak ada kemampuan untukmencapainya.
268. Mancabiak baju didado, manapuak aia didulang.Seseorang yang berbicara tetapi tidak disadarinya bahwa dia telah memberimalu diri dan keluarganya sendiri.
269. Malakak kuciang didapua, manahan jarek dipintu.Perbuatan seseorang yang tidak baik yang dilakukan kepada keluarga sendiri.
270. Mancari dama ka bawah rumah, mamapeh dalam balanggo.Mencari keuntungan kedalam lingkungan anak kemenakan sendiri.
271. Mairikkan galah jo kaki, manjulaikan aka bakeh bagayuik, malabiahkanlantai bakeh bapinjak.Seseorang yang ingin menjadikan orang lain tersalah, dengan jalan anjurandan petunjuknya.
272. Mandapek samo balabo, kahilangan samo barugi.Rasa social dan kerja sama yang baik yang harus diamalkan dalam pergaulan.
273. Manyauak di ilia-ilia, bakato dibawah-bawah.Bergaul dalam masyarakat, begitupun dirantau orang hendaklah merendahkandiri.
274. Mancaliak jo suduik mato, bajalan di rusuak labuah.Seseorang yang telah merasa malu, karena perbuatan yang tidak benar telahdiketahui orang.
275. Mancaliak tuah ka nan manang, maliek contoh ka nan sudah, manuladan ka nan baik.Selalulah kita melihat hasil yang baik dan dapat pula kita laksanakan, yakniyang telah positif baik.
276. Mamakai hereang jo gendeang, mamakai raso jo pareso.Seseorang yang memakai perasaan malu dan mempunyai kesopanan yang baik.
277. Muluik manih talempong kato, baso baiak gulo dibibia.Seseorang yang berbicara dengan lemah lembut dan baik susunan bahasanya.
278. Maliang cilok taluang dinding, tikam bunuah padang badarah. Ibo di adat katagiliang turuikkan putaran roda.Kebudayaan asli jangan sampai hilang, sesuaikan diri dan aturan adat beradatserta istiadat dengan kemajuan.
279. Malu batanyo sasek dijalan, sagan bagalah hanyuik sarantau.Seseorang yang tidak mau bertanya tentang suatu pekerjaan yang tidak/belumdike Karena ajaran adat itu pada umumnya berkiasan, tidak mudah dipahamitanpa diketahuinya akan mengalami kesulitan.
280. Minangkabau dahulunyo, Adaiknyo tuah disakato, kalau dipandangkato-kato, dipahamkan makonyo nyato. dida lami sungguh-sungguh.
281. Maniah nan jan lakeh di raguak, pahik nan jan lakeh di luahkan.Sesuatu pelajaran dan pengetahuan dari orang lain pikirkan dahulusemasak-masaknya, benar atau tidaknya.
282. Mati harimau tingga balang, mati gajah tingga gadiang.Manusia mati hendaknya meninggalkan jasa yang baik untuk anak dan keluraga seta masyarakat.
283. Mati samuik karano manisan, jatuah kabau dek lalang mudo.Biasanya manusia itu banyak terpedaya oleh mulut manis dan budi bahasa yang baik.
284. Marangkuah tungua ka dado, maraiah suatu ka diri.Setiap suatu yang dirasakan oleh orang lain hendak dapat dirasakan oleh kitasendiri
285. Mampahujankan tabuang garam, mampaliakkan rumah indak basasak.Seseorang yang membukakan aibnya sendiri kepada oaring lain.
286. Manjujuang balacan dikapalo, mangali-gali najih dilubang.Seseorang yang senang membukankan aib orang lain.
287. Managakkan banang basah, manaiakkan banda sundai.Seseorang yang menolong orang lain, sedang orang lain itu dipihak yang tidakbenar.
288. Musang babulu ayam, musuah dalam salimuikSeseorang yang berpurak menolong dan berpihak kepada kita, tetapi diasebenarnya ingin mengetahui pendirian kita dan musuh kita.
289. Manusia manahan kieh, binatang Manahan palu.Manusia yang sempurna selalu mengetahui kata-kata kiasan di Minangkabau.
290. Murah kato takatokan, sulik kato jo timbangan.Berbicara sangat mudah, tetapi sulit memelihara perkataan yang akanmenyinggung perasaan orang lain.
291. Marabah sadundun dengan balam, sikok barulang pai mandi, sambahsadundun jo salam, kato harok dibinisi.Biasanya dalam pergaulan hidup, Tanya diberi kata berjawab, gayungbersambut.=N=
292. Nan kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago, nan baiak iyo budi, nan indah iyo lah baso.Yang paling berharga dalam kehidupan bergaul adalah budi pekerti yang baik,serta sopan santun.
293. Nak urang koto hilalang, nak lalu kapakan baso, malu jo sopan kok nyohilang, habih lah raso jo pareso.Kalau sifat malu telah hilang dalam diri seseorang, hilang segala perasaansopan santun.
294. Nan bungkuak dimakan saruang, nan bengkok dimakan tali.Setiap sifat dan tindak tanduk yang tidak jujur dan benar, akan senantiasaada ganjarannya (hukum karma)
295. Nan luruih katangkai sapu, nan bungkuak katangkai bajak, satampokkapapan tuai, nan ketek kapasak suntiang, panarahan kakayu api, abunyo kapupuak padi.Didalam ajaran adat tidak ada bahan yang tidak berguna, tidak ada orang yangtidak dapat dimamfaatkan.
296. Nan buto pahambuih lasuang, nan pakak pamasang badia, nan lumpuah pahunyi rumah, nan patah pangajuik ayam, nan bingguang kadisuruah-suruah, nan cadiak bao baiyo, nan kayo bakeh batenggang.Semua orang dapat dimamfaatkan, mulia hina, kaya dan miskin, sempurna,cacat, pandai dan bodoh. Sistim yang terdapat dalam adat Minangkabau.
297. Nan condoang makanan tungkek, nan lamah makanan tueh.Dalam adat manusia lemah harus dibimbing dan dibantu, lebih-lebih kaumwanita, yang qudrat hayatinya lemah dari kaum lelaki.
298. Nan landai batitih, nan condong baraiah, nan lamah baindiak.Dilarang didalam adat orang yang memperlakukan si lemah semau-maunya.
299. Nak mulia tapek-i janji, nak taguah paham dikunci.Kalau ingin jadi orang yang dimuliakan selalu tepati janji, dan tidak sukamembuka rahasia.
300. Nak tinggi naiak kan budi, nak haluih baso jo basi.Kalau ditinggikan orang dalam masyarakat peliharalah budi, dan pakailah basabasi.
301. Nan salajang kudo balari, nan sahentak kuciang malompek.Panjang rumah adat yang menjadi kebanggaan masyarakatnya.
302. Nan basasok bajarami, nan bapandan bapakuburan, soko pusako kalautadalami, mambayang cahayo di-inggiran.Mendalami ajaran adat Minang dan filsafatnya serta dapat diamalkan dalampergaulan akan menggangkat martabat kemanusianya.
303. Nan tuo dihormati, nan ketek di sayangi, samo gadang baok bakawan.Selalulah menghormati orang tua, lebih-lebih ibu dan bapak dan orang tuaumurnya dari kita, sayangi anak-anak, hormat menghormat sama sebaya.
304. Nan suku babuah paruik, korong kampuang didalam jurai, dek urang tuo lah lamo hiduik, dunialah lamo inyo pakai.Menghormati orang tua dari kita umurnya, bukan tergantung kepada ilmu dankepandaiannya saja, tetapi karena ketuaannya.
305. Nagari bapaga undang, kampuang bapaga buek, tiokmlasuang ba ayamgadang, salah tampuah buliah diambok.Patuhilah norma-norma yang berlaku didalam masyarakat, karena setiapmasyarakat mempunyai normanya sendiri-sendiri.
306. Niniak moyang di duo koto, mambuek barih jo balabeh, Bulek dek tuah lah sakato, nak tantu hinggo jo bateh.Patuhilah keputusan bersama yang telah dibuat oleh pemuka kita, olehmasyarakat dan sipembuat peraturan sendiri.
307. Nan barek samo dipikua, nan ringan samo dijinjiang.Didalam adat selalu dianjurkan agar setiap pekerjaan yang baik dikerjakansecara bersama.
308. Nan sakik iyolah kato, nan padiah iyolah rundiang. Dek tajam nampak nan luko, dek kato hati taguntiang.Perkataan yang menyakiti lebih berbahaya dari pisau yang tajam.
309. Nan sakik iyo lah kato, nan malu iyolah tampak.Kata-kata yang berbisa, sama dengan rasa seseorang yang tahu harga dirinyamendapat malu.
310. Nan mudo biaso bimbang, manaruah rambang jo ragu, kalau batimbo ameh datang, lungga lah ganggam nan dahulu.Meniru-niru kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian kita, akanmenghilangkan kemurnian kebudayaan sendiri dan kehilangan pegangan.
311. Nan dikatokan kato pusako, iyolah kato undang-undang. Dek lamo taknamuah lupo manjadi padoman pagi jo patang.Bagi orang Minang yang memahami ajaran yang terkandung didalam adatnya,tidak bisa diabaikan dan dilupakan, bahkan menjadi pegangan dan pedomandalam hidup.
312. Nak elok lapangkan hati, nak haluih baso jo basi.Agar menjadi orang baik dan disegani selalulah bersifat sabar, dan baik budibahasa.
313. Nak luruih rantangkan tali, luruih bana dipacik sungguah.Selalulah bersifat lurus dan tulus ikhlas dalam pergaulan, yakni selalubersifat benar dan jujur.
314. Naiaklah dari janjang, turunlah dari tango.Selalulah berbuat sesuai aturan dan undang-undang yang berlaku, menurut adat dan agama Islam serta pemerintah.
315. Nanang saribu aka, haniang ulu bicaro, pikia palito hati, dek saba banamandatang.Ketenangan dalam berpikir, menimbulkan aspirasi yang baik, dan kesabaranmendatangkan kebenaran.
316. Nak tahu digadang kayu caliak kapangkanyo, nak tahu digadang ombak caliak kapasianyo.Kalau ingin menilai kebesaran atau kebaikan seseorang bergaullah dengan dia.
317. Nan bak mananti aia ilia, nan bak manutuik manggih langkeh.Seseorang yang mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin dapat diperolehnya.
318. Nan bak banang dilando ayam, nan bak bumi diguncang gampo.Suatu musibah yang datang menimpa dengan tiba-tiba, yang tidak diduga samasekali sehingga timbul kekacauan dan kepanikan.
319. Nan elok dek awak katuju dek urang, sakik dek awak sakik dek urang.Berbuatlah dalam segala perbuatan gerak dan perilaku yang disenangi olehorang banyak.
320. Nan mudo pambimbiang dunia, nan capek kaki ringan tangan, acang-acang dalam nagari.Pemuda harapan bangsa ditangan pemuda terletak maju mundurnya bangsa dimasa depan.
321. Nak jan jauah panggang dari api, latakkan sasuatu ditampeknyo.Agar suatu tindakkan dalam masyarakat tepat pada sasarannya maka serahkanlah sesuatu kepada ahlinya.
322. Nan tahu dikayu tinggi alang, nan tahu diposo-poso ayam, nan tahudikili-kili banting.Yang mengetahui diseluk beluk dan sifat masyarakat suatu negeri adalah paracende- kiawan negeri tersebut.=O=
323. Ombak barayun manuju pantai, riak nyato manuju tapi. Indak guno jadirang pandai, kalau baulemu indak babudi.Tak ada arti menjadi seorang pandai kalau tidak mempunyai budi pekerti,karena hancur masyarakat karena kepandaiannya.
324. Ombak ditantang manuju pulau, laia dikambang manantang angin.Untuk mencapai suatu tujuan dan cita-cita senantiasa mengalami cobaan danrintangan
325. Olok-olok mambao sansai, garah-garah jadi binaso.Perbuatan dan tingkah laku yang tidak pada tempatnya, akan membawa akibatyang merugikan.
326. Olak olai rang basiang, sorak sorai rang karimbo.Suatu kebiasaan diwaktu beramai-ramai bekerja, timbul kelakar dan gembira,untuk kegairahan dalam bekerja.=P=
327. Pulau pandan jauah ditangah, dibaliak pulau angso duo, hancua badandikanduang tanah, budi baiak dikana juo.Budi bukan hanya diingat sampai mati tetapi akan diperhitungkan dan diingatdibalik lahad.
328. Pisang ameh baok balaia, masak sabuah didalam peti, hutang ameh dapek dibaia, hutang budi dibao mati.Hutang emas dan perak dapat dibayar tetapi hutang budi dibawa mati.
329. Pucuak pauah sadang tajelo, panjuluak buah ligundi, nak jauah silangsangketo, pahaluih baso jo basi.Agar terjauh dari silang sengketa dalam pergaulan perbaikilah budi danbahasa, pakai sifat sopan dan santun.
330. Pado pai suruik nan labiah, samuik tapijak indak mati, alu tataruangpatah tigo.Kata kiasan terhadap pemuda pumudi Minang yang mempunyai ketenangan tetapi tegas dan bijaksana tentang ketangkasannya dan tinggi budinya.
331. Padi disisiak jo hilalang, tapuang dicampua jo sadah.Perbuatan kebaikan dicampur dengan perbuatan kejahatan.
332. Padi ditanam padi tumbuah, lalang ditanam lalang tumbuah.Kebaikan yang diperbuat oleh seseorang akan berbalas dengan kebaikan, begitujuga sebaliknya.
333. Padi dikabek jo daunnyo, batang ditungkek jo dahannyo.Kebijaksanaan yang dipakai oleh seseorang didalam memimpin anak kemenakan, untuk menggongkosinya dicari suatu usaha.
334. Papek dilua runciang didalam, talunjuak luruih kalingkiang bakaiek.Sifat yang sangat tercela, mulut manis tetapi hati jahat, dan berbisa.
335. Pikia palito hati, tanang hulu bicaro.Pikiran yang mempunyai pertimbangan adalah penangkal lampu yang menerangi bagi hati, dan ketenangan akan mengeluarkan bicara yang berguna.
336. Pilin kacang nak mamanjek, pilin jariang nak barisi.Seseorang yang berusaha dengan cara yang tidak benar untuk mendapatkansesuatu.
337. Panjeklah batang tinggi-tinggi, basuo pucuak silaronyo, kalilah urekdalam-dalam basuo urek tunggang jo isinyo.Seseorang yang benar-benar mendalami ajaran adat Minangkabau, denganmenelaah kalimat demi kalimat dari filsafatnya, dia akan peroleh mutiaraberharga untuk kehidupan.
338. Putiah manahan sasah, hitam manahan tapo.Yang dikatakan kebenaran boleh tahan uji, asal orang yang waras semuamengatakan benar.
339. Padang gantiang baranah-ranah, kahilia jalan kapianggu, sasimpang jalan kasikabu Duduak samo randah tagak samo tinggi dalam adat Minangkabau.Didalam ajaran adat manusia tidak berkasta, tetapi yang membedakan budi danjabatan yang dipilih bersama.
340. Pulai batingkek naiak, maninggakan ruweh jo buku, manusia batingkekturun, maninggakan barih jo balabehSetiap pribadi menurut ajaran adat Minangkabau haruslah berusahameninggalkan jasa yang baik terhadap anak cucu dan masyarakat.
341. Partamo banamo Minang, Minangkabau namo kaduo, nan kayo mandi baranang, nan bansaik bandi batimbo.Didalam menghadapi kerja bersama haruslah ikut serta setiap orang menurutkemampuannya masing-masing untuk pengorbanan
342. Partamo cupak usali, kaduo cupak buatan. Kalau dulu disasali manjadituah panda- patan.Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.
343. Patah de mamapek, maja de mangilia, dek harum talalu angik.Sesuatu pekerjaan yang dikerjakan, atau pengajaran terhadap seseorangterlalu melampaui batas hingga tidak mencapai hasil yang diharapkan.
344. Pucuak dicinto ulam tibo, sumua dikali aia dapek.Seseorang yang mencinta sesuatu yang dirindukan tiba-tiba datang dengansegera.
345. Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak kaniru, satitiak jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang alam takambang jadi guru.Adat Minangkabau dipelajari oleh nenek moyang dahulunya, dari ketentuan alam terkembang jadi guru.
346. Partamo lareh nan tinggi, kaduo lareh nan bunta, kalau tak pandai kitomambimbiang indak katantu sah jo bata.Bagi seorang bapak/mamak di Minangkabau kalau tidak memberikan bimbingansungguh-sungguh terhadap anak kemenakan, tidaklah diketahuinya sah danbatal.
347. Pandai mangulai ambuang-ambuang, bak umpamo gulai kincuang, baunnyo maimbau imbau, tapi rasonyo amba sajo.Seseorang yang senantiasa berjanji muluk, tetapi sekalipun tidak terpenuhi.
348. Pangka kusuik ujuang bakaruik, ikua kupiak kapalo randah.Seseorang yang selalu bersifat ragu dan engan karena kurang pengetahuan danpengecut.
349. Pandai batanam tabu dibibia, pandai baminyak aia.Orang yang selalu bermulut manis, tetapi di hatinya bersarang dengki dankianat.
350. Pusek jalo kumpulan ikan, pucuak usah tarateh, urek ijan taganjak.Pimpinan seperti ibu dan bapak, guru, merupakan tumpukan dari segala contohbaik dan buruk bagi anak-anaknya.
351. Pasa jalan dek batampuah, lanca kaji dek ba ulang.Pengetahuan didapat dengan dipelajari, untuk lebih praktis harus diamalkandalam kehidupan.
352. Pandai karano batanyo, tahu karano baguru.Pengetahuan diperdapat karena belajar, pendidikan dan banyak bertanya kepadaorang yang tahu.
353. Panjang namuah dikarek senteng namuah dibilai, singkek namuah diuleh, kurang namuah ditukuak.Sebaik-baik manusia mau menerima nasehat dari pada orang lain dan menggakui kelemahannya.=R=
354. Rarak kalikih dek minalu, tumbuah sarumpun jo kayu kalek. Kok habih raso jo malu bak kayu lungga pangabek.Kalau rasa malu telah hilang dari manusia, maka manusia itu sulit untukdiarahkan kepada kebaikan, dan sulit untuk menyusun masyarakat.
355. Ratak indak mambao caro, rannyuak nan indak mambao hilang.Persengketaan dalam rumah tangga dan keluarga, jangan mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan.
356. Rumah tampak jalan indak tantu, angan lalu faham tatumbuak.Seseorang yang ingin mendapatkan sesuatu, tetapi tidak mendapat jalan danpengetahuan untuk mencapainya.
357. Raso aia kapamatang, raso minyak kakuali, nan bakabek rasan tali, nanbabungkuih rasan daun.Seseorang yang mempunyai hubungan kekeluargaan, sedarah, sekampung,senagari, senegara, dia akan selalu berpihak dalam pembelaan keluarga.
358. Rumah indak batungganai, kappa nan indak banangkodoh.Masyarakat atau keluarga yang tidak mempunyai pemimpin, sama halnya seumpama kapal tanpa nakhoda.
359. Rumah gadang bari bapintu, nak tarang jalan kahalaman, kalau dikumpa saleba kuku jikok dikambang saleba alam.Ajaran adat Minangkabau akan dapat dimamfaatkan untuk mengatur masyarakat, semenjak dari yang kecil seperti keluarga, sampai kepada yang lebih besar seperti negara dan dunia.
360. Riwayaik jambi lah tasabuik, panjang tajelo disilukah, barih balabehmangkonyo cukuik, sampai ka hulu baru sudah.Ajaran adat Minangkabau dengan segala persoalannya dapat dipahami apabila didalami. Adat sebagai kebudayaan dan adat sebagai budi pekerti.
361. Rupo mangatokan harago, kurenah manunjuakan laku, walau nan lahia tampak dek mato, nan bathin tasimpan dalam itu.Kalau dipelajari ajaran adat yang dihimpun dalam pepatah petitih, mamang dan bidal, mengandung arti lahir dan bathin.
362. Raso dibaok naiak, pareso dibaok turun.Pembinaan pribadi yang baik hendaklah dimulai dalam lingkungan anakkemenakan.
363. Raso kabarek dilapehkan, raso kasulik dielakkan, bak cando mangganggam baro.Seseorang yang tidak bertanggung jawab kepada tugas dan kewajibannya.=S=
364. Surang makan cubadak, sadonyo kanai gatahnyo, saikua kabau bakubang sakandang kanai luluaknyo.Sesuatu perbuatan yang tercela menurut adat dan agama di Minangkabau yangdikerjakan oleh seorang anggota masyarakat, maka malu dirasakan ole seluruhanggota kaum yang lain.
365. Sio-sio- nagari alah, kalau cilako utang tumbuah.Pekerjaan yang sia-sia dan berbahaya akan mengakibatkan kerugian bersama,berbuat salah mengakibatkan terjadinya hutang.
366. Sayang di anak dilacuti, sayang di kampuang ditinggakan.Kalau sayang kepada anak jangan dibiarkan dia mengerjakan yang tidak baik,harus dimarahi. Kalau cinta sama kampung harus ditinggalkan untuk mencaripengetahuan untuk disumbangkan akhirnya kelak.
367. Sadang manyalam minum aia, sadang badiang nasi masak.Sesuatu pekerjaan yang dapat dikerjakan sambil lalu, dengan tidak mengurangikepada pekerjaan yang sedang dilakukan.
368. Senteang bilai mambilai, panjang karek mangarek.Hendaklah memberikan pertolongan kepada teman yang sedang dalam kesusahan, dan memberi nasehat kalau dia terlanjur.
369. Satitiak jadikan lauik, sakapa jadikan gunuang.Berusahalah dengan dasar pengetahuan yang ada untuk melanjutkan mencapaipengetahuan yang lebih tinggi.
370. Suri tagantuang ditanuni, luak taganang kito sauak.Tentang ajaran adat yang secara mutlak dilaksanakan, tanpa dimusyawarahkan.
371. Sakalam kalam hari sabuah bintang bacahayo juo.Tidak seluruh orang keluar dari garis kebenaran, sekurang-kurangnya satuorang ada yang menegakkannya.
372. Sabanta sakalang hulu, salapiak sakatiduran.Dua orang berteman secara akrab yang sulit untuk dipisahkan.
373. Sandi banamo alua adat, tonggak banamo kasandaran.Hikmah rumah adat di Minangkabau, yang sendinya kebenaran bersama, sandaran kuat hukum adatnya.
374. Sasiuak namuah ka api, salewai namuah ka aia.Seseorang yang ingin mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak baik.
375. Satali pambali kumayan, sakupang pambali katayo, sakali lancuangkaujian, salamo hiduik urang indak picayo.Haruslah bersifat jujur dan benar dalam pergaulan, kalau kelihatankecurangan satu kali selamanya orang tidak percaya lagi.
376. Syarak banamo lazim, adat nan banamo kewi, habih tahun baganti musim, buatan nan usah diubahi.Bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, kesengsaraan yang dialami, tetapikeputusan bersama jangan dirobah.
377. Siang manjadi tungkek, malam manjadi kalang.Hendaklah pegang dan amalkan setiap pelajaran yang baik dan nasehat orangtua.
378. Sungguahlah kokoh adat Minang, mambuek adat jo limbago, malangnyo panjajah datang, rusaklah adat dibueknyo.Adat Minang yang kuat dan kokoh dulunya telah banyak dirusak oleh penjajahdizaman lampau.
379. Satuntuang tabu dek ulek, satuntuang sajo kito buang.Seorang berbuat salah jangan semua keluarga dibencii.
380. Sirauik tajam batimba, tak ujuang pangka manganai, sudu-sudu batimba jalan, ditakiak kanai gatahnyo. Kalauik tuah takaba, bumi jo langik nan mananai. Duduak dikampuang jan umbilan, kandang buek tumpuan tanyo.Seharusnya setiap orang Minangkabau mengetahui tentang seluk beluk filsafatadatnya, karena semua bangsa mengenal keunikan adat Minangkabau itu,terutama tentang sistim kekerabatannya dan matrilinialnya.
381. Siriahlah pulang kagagang, pinanglah suruik katampuaknyo. Karih baliak kasaruangnyo, baju tasaruang ka nan punyo, ameh pulang katambangnyo.Suatu benda berharga yang sudah lama tidak ditemui, sekarang kembali kepadayang empunya semula, seperti merebut tanah air dari tangan penjajah, sampaikita merdeka.
382. Sadang baguru kapalang aja, lai bak bungo kambang tak jadi. Kunun kok dapek dek mandangga, tidak didalam dihalusi.Setiap menuntut pengetahuan jangan putus ditengah, dan kurang mamfaatnyadengan mendengar saja, kalau dibandingkan dengan belajar sesungguhnya.
383. Sabab karano dek baitu, tumbuahlah niaik dalam hati, nak manuruik tambo nan dahulu sajarah adat nan usali.Kalau ajaran adat telah dapat dipahami kemana masyarakat hendak dibawa olehajaran adat itu maka akan timbullah hasrat untuk mendalamnya.
384. Sangajo guno diuraikan, kahadapan nan basamo, untuak nak samodipikiakan, nak samo dirunuak nan tujuan.Penggugah hati para pembaca terutama putra Minang untuk mendalami filsafat adatnya.
385. Satinggi-tinggi malantiang, mambubuang ka awang-awang, suruiknyokatanah juo. Sahabih dahan jo rantiang, dikubak dikulik batang, tarehpanguba barunyo nyato.Adat Minangkabau tidak akan bisa dipahami secara baik, apalagi untukdihayati dan diamalkan tanpa mendalami sungguh-sungguh.
386. Santan babaleh jo tubo, nikmat babaleh jo sansaro.Kebaikan yang pernah diberikan seseorang kepada orang lain, tetapibalasannya dengan yang buruk.
387. Saumpamo aua jo tabiang, umpamo ikan jo aia.Pergaulan yang baik saling bantu membantu dan kuat menguatkan, dan salingmembutuhkan.
388. Sikujua baladang kapeh, kambanglah bungo karawitan. Kok mujua mandeh malapeh bak ayam pulang kapautan.Setiap orang pergi merantau mengharapkan kehidupan yang baik dan pendapatan yang akan dibawa kekampung halaman.=T=
389. Tak lakang dek paneh tak lapuak dek hujan, dianjak tak layua, dibubuiktak mati.Kebenaran yang dikandung oleh Adat Minangkabau, karena ajarannya bersumber dari ketentuan alam yang disusun jadi pepatah yang senantiasa kebenarannya tidak dapat dibantah.
390. Tabujua lalu tabalintang patah.Untuk mempertahankan kebenaran hendaklah dengan kegigihan yangsungguh-sungguh.
391. Tarandam-randam indak basah, tarapuang-apuang indak hanyuik.Sesuatu perkara yang tidak jelas duduknya, selesai tidak diusutpun tidak.
392. Tak ujuang pangka mangganai, saragi baliak batimba.Seseorang yang mempunyai pengetahuan dan alat-alat yang lengkap, yang dapat dipakai serba guna.
393. Tasingguang kanai miangnyo, tagisia kanai rabehnyo.Kesalahan yang dibikin oleh seseorang, merembet-rembet kepada orang lain.
394. Tak siriah pinang mamalan, tak pasin anguakpun tibo.Seseorang yang pandai mengikat seseorang dengan suatu perhitungan.
395. Tak laju bandiang mamacah, tak lalu dandang di aia, digurun ditajakkan juo.Seseorang yang berpikiran jahat kepada orang lain, dia selalu berusaha untukmelaksanakan dimana dan kapan saja.
396. Tatungkuik samo makan tanah, tatilantang samo minum ambun, tarapuang samo hanyuik, tarandam samo basah.Kerja sama yang baik dalam masyarakat, kesatuan hati dan pikiran, kesatuanpendapat dan gerak adalah pokok utama.
397. Titiak buliah ditampuang, maleleh buliah dibaliak.Hasil kerja sama yang baik ini akan dapat dinikmati bersama oleh orangbanyak.
398. Tagak indak tasundak, malenggang indak tapampeh.Seseorang pemimpin yang punya wewenang penuh dan wibawa.
399. Talalok talalu mati, manyuruak talalu hilang.Seorang pandai yang meinsulirkan diri dari masyarakat dan tak inginbertanggung jawab.
400. Tinggi lonjak gadang galapuah, nan lago dibawah sajo.Sifat seseorang yang senantiasa segala pandai dihadapan orang yang tak tahu,tetapi sebenarnya kosong belaka.
401. Tampek bagantuang nan lah sakah, bakeh bapijak nan lah taban.Kehilangan orang yang akan membimbing dan membela, sianak kehilanganayahnya.
402. Talangkang carano kaco, badarai carano kendi, padi nan samo ranggantangkan. Bacanggang karano budi, bacarai karano baso, itu nan samo rang pantangkan.Berpisah dan berpecah hati satu dengan yang lain akibat budi telah rusak dankarena kurang sopan sangat tidak di ingini dalam adat Minangkabau dalambergaul dengan siapa saja.
403. Hiduik batungkek batang bodi, mati bapuntiang ditanah sirah. Jikokpandai bamain budi, dalam aia badan indak basah.Dalam pergaulan kalau budi selalu diamalkan dan menjadi perhatian terhadapdiri dan orang lain, keuntungannya sangat banyak sekali.
404. Taparosok kudo kabanda, bari baganto kapalonyo. Elok rundiangan kato babana, supayo sagalonyo elok balaku.Lebih baik dalam hidup bergaul suka berterus terang, dari pada memakai sifattidak jujur.
405. Tambo sapantun bungka jalo, tuangan amuahnyo hilang, tapi pusako lamo baitu juo.Adat sebagai kebudayaan mungkin berobah, dari yang kurang kepada yang lebih sempurna, tetapi budi akan tetap seperti semula.
406. Tungku nan tigo sajarangan, tali nan tigo sapilin.Tiga aturan di Minangkabau yang harus ditaati oleh masyarakat, yakni Adat,Syarak dan Pemerintah.
407. Tumbuah dicupak dililisi, tibo diundang dikurasai, kalau takilan dalamhati, lah patuik kini dikurasai.Ketiga-tiga aturan yang berjalin menjadi satu dalam diri orang Minangkabau,perlu sama-sama diperdalam dan dipelajari.
408. Talangkah suruik, sasek kumbali, baitu faham handaknyo, kato rang tuo indak dituruik binaso badan kasudahannyo.Segala nasehat dan pelajaran yang baik dari orang tua harus dituruti kalautidak kita sendiri akan binasa.
409. Tiok nagari basuku-suku, nan suku babuah paruik, kato adaik mangkobaitu,urang tuo lah lamo hiduik.Ajaran adat menekankan yang demikian karena orang tua hidupnya telah lama,pengalamannya telah banyak.
410. Tunggau disubarang lautan nampak, gajah dipalupuak mato indakkalihatan.Seseorang yang tahu menyalahkan orang lain, tetapi lupa melihat kesalahannyasendiri.
411. Tak sio-sio tampuo basarang randah, kalau indak ado ba-ado.Jangan disangka sesuatu yang dibiarkan begitu saja nampaknya, tetapi pastiada orang yang mengangawasinya.
412. Tagisia labiah bak kanai, tasingguang labiah bak jadi.Seseorang yang dalam perasaannya, dan jauah jangkauan pikirannya terhadapkemungkinan kemungkinan yang akan terjadi.
413. Tasisiah atah jo bareh, basibak kumpai jo kiambang.Dalam duduk bersama akan nyata bedanya antara orang berpengetahuan danber-ilmu dari pada orang yang tidak berpengetahuan.
414. Tabik pantang tarubah, biaso jadi parangai, lah tuo jadi pakaian.Sifat yang baik dan buruk kalau telah dibiasakan semenjak kecil akanberbekas sampai dihari tua.
415. Tibo dikandang kabau manguek, tibo dikandang kambiang mambebek,dikandang bantiang malanguah.Setiap kita harus pandai menyesuaikan diri dimana saja kita berada, denganmengetahui adat istiadat setempat.
416. Tak baban batu digaleh, umua habih jaso indak ado.Seseorang yang mengerjakan pekerjaan yang tidak mendatangkan hasil.
417. Tunjuak luruih kalingkiang bakaik, papek dilua runciang didalam.Orang yang selalu bermuka baik dan bermulut manis tetapi hatinya busuk dandengki.
418. Taranbau diimpik janjang, lah seso sansaro tibo.Seseorang yang mendapat kesengsaraan yang datang bertubi-tubi.
419. Tangsi curup muaro aman, lebong dibukak dek maskapai. Bundo kanduang taguahkan iman, malapeh anak dagang sansai.Kata-kata pantun seorang anak diwaktu hendak berpisah dengan kampunghalaman.
=U=
420. Ukua jo jangko kok indak tarang, susunan niniak moyang kito. Dek rancak kilek loyang datang, intan disangko kilek kaco.Kebudayaan asli akan dikalahkan setidak-tidaknya akan dipengaruhi olehkebuda yaan asing, kalau kiranya tidak mencintai dan mengamalkan kebudayaan sendiri.
421. Urang tuo saundang-undang, panghulu sabuah hokum, candiko pandaibatenggang, budiman sifat panyantun.Sifat yang harus dimiliki oleh orang tua da pemimpin, cendekia dan parabudiman.
422. Uraian barih jo balabeh, sahinggo durian ditakuak rajo, supayo budi samo marateh, usaho galian dek basamo.Untuk kembali kebudayaan menjadi kecintaan dan penghayatan masyarakat, perlu kerja sama yang baik semua pihak.
423. Umpamo jawi balang puntuang, didulukan inyo manyipak, dikamudiankan inyo mananduak.Sifat seseorang yang tidak baik, mau menang sendiri, yang tidak memikirkankeselamatan orang lain, yang jadi persoallan baginya selalu dia kemukakan,sedang dia tidak mempunyai kemampuan.
424. Umpamo kancah laweh arang, umpamo tabu saruweh.Seseorang suka bicara tanpa memikirkan orang lain tersinggung, banyak bicaratapi tidak bisa kerja.
425. Urang pambagih gadang hutang, urang pandareh lakeh kanai, urang pancameh mati jatuah, urang pandingin mati hanyuik.Sifat dalam bertindak dan berbuat tanpa dipikirka semasak-masaknya selalutergesa gesa, menemui akibat yang tidak baik.
426. Urang pamanggok lapa paruik, urang parentak gadang kanai.Seseorang yang mudah tersinggung, dan pemarah juga sifat yang harusdihindarkan.
427. Usua samo dipamain, cabua samo dibuang.Setiap kejadian harus diselidiki lebih jauh dan dihindarkan membuat kerjacabul.
428. Undang-undang nan duo baleh, ganti tuladan dek panghulu, itulah suri nan tarantang Cupak kok dipapek rang mangaleh, jalan kok diasak rang lalu, tikamkan karih nan dipinggang.Kebudayaan asli bangsa harus kita pertahankan dengan segala tenaga dankekuatan yang ada walau dengan nyawa sekalipun.
429. Urang Makkah mambao taraju, urang Bagdad mambao talu, dimakan bulan puaso. Rumah gadang basandi batu, adat basandi dengan alua, itulah kaganti rajo.Ajaran Adat Minangkabau dikiaskan dengan kenyataan, seperti rumah bersendibatu kuat dan kokoh dan bersendi alur atau kebenaran yang tidak adabandingannya yakni ( Syarak ).
430. Ula lalok nan usah dijagokan, aia nan tanang usah dikaruahi.Janganlah berbuat pekerjaan yang sia-sia dan berbahaya, dan menimbulkankekeru- han dalam masyarakat.
431. Umua panjang batungkek sabuak, usah takasiah dalam hiduik.Pikirkanlah ekonomi dan kesayangan orang dihari tua, jangan bersifat borosdalam hidup.
432. Usang-usang dibarui, lapuak-lapuak dikajangi.Adat sebagai kebudayaan dan sebagai budi pekerti, terus dikembangkan dandibina.
:: Perang Kamang 1908 ::
Perang Kamang 1908 adalah perang terbuka yang meledak 15 Juni 1908 dan merupakan salah satu puncak dari kemelut suasana anti penjajahan rakyat Sumatera Barat menentang penjajahan Belanda. Di sini akan terlihat gambar nyata dari bentuk semangat dan pengorbanan rakyat Kamang, baik kalangan adat, agama, cerdik pandai, pemuda dan kaum ibu dalam menulang punggungi perlawanan mengusir Belanda, yang dari segi politis dapat dikatakan sebagai bukti sumbangan yang pernah ditujukan bangsa Indonesia.
Hal ini tercermin dari kunjungan Menko Keamanan dan Pertahanan Jendral A.H.Nasution tanggal 15 Juni 1963, yang sekaligus meresmikan Makan ahlawan Perang Kamang. Juga dari sambutan Wakil Perdana Menteri Pertama/Ketua MPRS Chairul Saleh tanggal 15 Juni 1962 dan Menteri Penerangan DR.H.Abdul Gani tanggal 15 Juni 1964.
Namun sebelum masuk pada uraian detik-detik jalannya Perang Kamang 15 Juni 1908 dalam bentuk penyerbuan besar-besaran pasukan rakyat terhadap Belanda, terlebih dahulu ada hal yang sangat penting digarisbawahi:
- Bahwa apa yang akan dikemukakan di sini, adalah semata-mata berdasarkan data dan fakta yang terkumpul, khusus yang berkaitan dengan perlawanan rakyat Kamang (Kamang Hilir sekarang)
- Bahwa dengan tujuan sengaja tidak ingin keluar dari pokok tulisan semula yaitu memproyeksikan setiap rangkaian peristiwa pada Kamang sebagai subyek sejarah, maka sasaran intinya lebih dititikberatkan, ke arah bentuk eksistensi seluruh rakyat Kamang dan pimpinanya menghadapi penjajahan. Jadi bukan Kamang sebagai lokasi/orang dari mana saja yang mungkin ikut langsung sebagai pendukung peristiwa.
Masalah ini perlu ditekankan, mengingat kelarsan Kamang mempunyai kawasan meliputi Kanagarian Kamang (sekarang Kamang Hilir), Kanagarian Surau Koto Samiak (sekarang Kamang Mudiak), Suayan dan Sungai Balantiak, dengan pusat pemerintahan kelarasan dimana seluruh aktivitas kepemimpinan lembaga adat, keagamaan dan lain-lain diatur, terletak di Tangah Kanagarian Kamang Hilir. Dengan demikian, semoga tidak akan timbul salah pengertian apalagi versi mengenai gambaran yang ingin diuraikan berikut ini:
J. Westernnenk secara berturut-turut masih berusaha mendatangi rakyat Kamang, bahkan tak terhitung lagi. Tetapi perundingan-perundingan atau lebih tepat disebut perdebatan mengenai persoalan itu ke itu juga, malah lebih menambah kebencian dan memperkukuh semangat aksi rakyat terhadap Belanda, yang pada masa itu sebenarnya sedang mengalami goncangan politik, yang rata-rata melanda negara-negara Eropah Barat.
Di samping kropos dalam tubuh sendiri, kritik sebagian kaum militan dan rakyat progresif Belanda terhadap pelaksanaan peraturan blasting di Indonesia, berangsur menjurus ke arah kampanye-kampanye kemanusiaan yang dimotori golongan liberal. Dari berbagai tuntutan yang muncul kemudian tergambar, sebagian dari masyarakat Belanda cenderung kurang setuju atas sikap pemerintah dalam menangani masalah-masalah tanah jajahan sebarang lautan, termasuk Indonesia. Semua ini sering menjadi bahan pertengkaran sengit di Parlemen Belanda dan sangat membuat pusing pemerintah. Kemudian ditambah lagi oleh pengaruh politik militerasme Jerman, yang seakan membuat seluruh Eropah Barat terpanggang dalam tungku pemanas, gelisah dan senantiasa diliputi pikiran curiga satu sama lain.
Tetapi bagi Belanda tidak mungkin lagi menarik garis politik lain di tengah suasana demikian, lebih lagi disebabkan oleh kian tajamnya gerakan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri. Di sinilah dalam keadana yang selama ini telah menukar manusia jadi hewan, dihargai sikap rakyat yang mulai menyadari kemampuan mereka yang tersembunyi untuk menghadapi segala rintangan, sehingg dengan sendirinya mulai menghargai kehormatan diri dan bangsa. Sedikit demi sedikit malah kini siap berbalik untuk menginjak-nginjak lawan.
Di Kamang, kesibukan terlihat dimana-mana. Siang dan malam merek terus memasang telinga atas setiap perkembangan yang terjadi, kemudian membicarakannya pada setiap kesempatan yang ada sebelum tiba pada kesimpulan akhir. Seluruh dusun seakan dipenuhi musik dencingan golok yang sedang diasah. Dari yang kecil sampai yang tua, laki-laki dan perempuan semuanya bermandi peluh karena mesti menggunakan seluruh tenaga untuk dapat menyelesaikan pekerjaan membuat senjata tradisional, sementara kaum ibu saling berbisik memandang bangga ke arah suami atau anak-anak mereka. Dan para pemuda pilihan terus melatih diri dengan giat, tanpa kenal lelah. Pada pokoknya masa itu suasana Kamang benar-benar dipenuhi warna perang yang kalau dituliskan satu persatu niscaya tidak akan habis-habisnya.
Namun, ada sebuah adegan yang sangat mengesankan ketika seorang anak berumur 6 tahun bertanya kepada ibunya yang saat itu sedang istirahat setelah berlatih silat di halaman masjid Taluak: “Kalau ibu dan ayah pergi berperang mati, dengan siapakah saya tinggal lagi? Sang ibu yang bernama Siti Anisah, termenung sejurus, memandang pada tubuhnya yang bermandikan keringat, kemudian pada suaminya Nan Basikek yang masih berlatih di tengah gelangang dan mengelus kepala si Anak dengan kasih sayang, seolah terbayang akan hari depan yang gelap, lalu menjawab: “Semua orang akan menjadi ayah ibumu, selagi dia membenci penjajahan.” Si anak bingung, tapi siti Anisah cepat-cepat mendekapnya, takut timbul pertentangan di dalam bathinnya. Sebutir air mata jatuh tanpa disadarinya di atas kepala si anak. Dan kemudian benar begitulah kenyataanya, dalam pertempuran 15 Juni 1908, Siti Anisah tersebut gugur sebagai Kesuma Bangsa.
Si anak yang bernama Ramaya inilah nantinya yang pada tahun 1926 tampil sebagai pemimpin pemberontakan bersejarah yang terkenal dengan “Pemberontakan Kamang 1926”. Semetnara itu Kari Mudo sebagai pelopor generasi muda, juga tidak tinggal diam. Secara berturut-turut dalam waktu berjarak lama, dia mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pemuka masyarakat Kamang, termasuk Laras Garang Dt. Palindih, Penghulu Kepala Dt. Siri Marajo, pemimpin perlawanan Dt.Rajo Penghulu, Dt.Mangkudun, St.Pamernan dan banyak lagi yang lain-lain, bahkan pernah dihadiri oleh J.Wstennenk sendiri. Dan pada kesempatan lain dia juga berusaha memenuhi Dt. Mudo di Payakumbuh, Syekh Koto Baru, Pado Kayo di Suayan untuk meminta petuah sekaligus penangkal untuk persiapan menghadapi perperangan yang diperkirakan tidak lama lagi. Akhirnya saat ituun tiba. Tetapi apa yang menajdi penyulut perang ini, terdapat berbagai versi yang agak berbeda. Oleh karena itu kita cenderung berpegang pada Buku Pemberontakan Pajak 1908 karangan Rusli Amran.
Hari Senin pagi tanggal 15 Juni 1908, sebagai hari perlawanan paling hebat di Sumatera Barat dalam menentang sistem blasting telah diawali ketika seorang warga masyarakat Magek datang ke kantor Laras Warido dengan maksud untuk membayar blasting.
Dia langsung dihadang serombongan warga setemapt dan diancam akan dibunuh kalau rencana itu diteruskan juga, karena perbuatan ini terang-terangan melanggar tekad bersama untuk menentang Belanda. Mengetahui duduk masalahnya, Laras Kenagarian Magek Warido sangat marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Dia langsung berangkat ke Bukittinggi untuk melaporkan peristwia itu kepada J.Westennenk dn meminta supaya para pembangkang segera ditangkap. Hari itu juga melalui telepon, J.Westennenk menghubungi Gubernur Sumatera Barat Hecler untk mohon petunjuk mengenai tindakan yang harus diambil. Hanya sepatah kata yang dicetuskan Hecler sesuai dengan penggarisan Gubernur General Van Heutez yaitu, serbu!
J.Westennenk lantas mengumpulkan 160 orang pasukan pilihan yang kemudian dibagi menjadi 3 kelompok. Menjelang sore mereka segera bergerak dari Bukittinggi menuju Kamang dari tiga jurusan:
1. Pasukan pertama yang terdiri dari 30 orang, masuk dari Gadut terus menuju Pauh, dipimpin dua orang letnan yaitu Heine dan Cheriek.
2. Pasukan kedua, yang terdiri dari 80 orang serdadu dipimpin J.Westennenk bersama Kapten Lutsz, Letnan Leroux, Letnan Van Keulen, Dahler dan Aspiran Kontrolir Beeuwkes, masuk dari Tanjung Alam terus ke Tilatang.
3. Sedangkan pasukan ketiga yang berkekuatan 50 orang serdadu di bawah pimpinan Letnan Boldingh dan Letnan Schaap, masuk lewat Biaro dan terus menuju Salo.
Di sepanjang jalan terjadilah perlawanan rakyat di antaranya yang cukup hebat dalah yang dilakukan Dt.Parpatiah di Magek, dimana dalam pertempuran itu Dt. Parpatiah sendiri tewas ditembus senjata lawan. Pasukan yang masuk dari Tanjung Alam dan Gadut bertemu di Kamang Mudiak Sekarang, sedangkan yang datang dari Biaro, sesampai di Kubualah membelok ke Magek, dimana ikut pula Warido, Kepala Penghulu Tigo Lurah, Laras Banuhampu, Menteri Klas I dan seorang polisi, untuk memudian bergabung ke Kamang Mudik. Pasukan inilah yang terlihat pertempuran dengan pasukan rakyat di bawah pimpinan Dt. Parpatiah. Dalam pertempuran D. Parpatiah berhasil membunuh Laras Warido sebelum dia sendiri tewas sebagaimana di sebutkan di atas.
Pada senja hari, Belanda mulai bergerak mengepung rumah H. Abdul Manan untuk menangkapnya, karena pada masa itu mereka beranggapan, yang menjadi dalang pergolakan adalah kaum agama. Tetapi H. Abdul Manan berhasil meloloskan diri dan segera menemui Dt. Rajo Penghulu di Kamang (sekarang Kamang Hilir) untuk berkonsultasi. Akhirnya bertiga dengan Kari Mudo dan beberapa orang pemuka lainya, mereka langsung mengadakan rapat kilat untuk membahas perkembangan yang sangat kritis dan menyusun kesiagaan seluruh rakyat guna mengobarkan perang sabil.
Pukul 12.00 diterima informasi, pasukan Belanda berkumpul di suatu tempat perbatasan Kamang dan Kamang Mudik sekarang, yang bernama Kampuang Tangah, menunggu hari siang, selain dikelilinggi pesawahan yang membuat pandangan bebas ke arah jalan raya satu-satunya, juga penduduknya tidak seberapa. Ini disadari benar oleh Dt. Rajo Penghulu. Setelah ditinggal pergi H. Abdul Manan yang kembali ketempat semula, dia mulai menyiapkan pasukan tempur, Beduk, tong-tong dan puput tanduk berkumandangan di tengah malam sunyi pertanda perang bakal dimulai.
Pasukan rakyat langsung dipimpin Dt. Rajo Penghulu, terlebih dahulu berkumpul di Masjid Taluak untuk menerima penjelasan dan beberapa instruksi penting, sebelum membaginya dalam beberapa kelompok. Kelompok yang paling besar adalah yang dipimpin Khadi Abdul Gani. Setelah selesai sembahyang berjamaah, lalu ditutup dengan pekik Allahu Akbar dan Laailahillah, mereka pun berangkatlah menuju Kampung Tangah.
Jadi di sini jelaslah apa yang disebut dengan Perang Kamang itu ialah suatu pertempuran rakyat yang datang menyerbu. Realitasnya memang begitu dan tidak mungkin diubah-ubah lagi.
Kembali kepada pasukan rakyat yang meninggalkan Masjid Taluak menurut catatan yang diperoleh dari berabagai sumber yang dapat dipercaya dan sampai tulisan ini disusun masih hidup, bahkan ikut dalam pertempuran itu, menyebutkan sesampai mereka di Kampuang Tangah, mereka segera bersembunyi di rumpun padi yang sedang menguning sambil merayap mendekati pasukan Belanda.
J.Westennenk dari tempatnya berdiri dengan pasukannya, di antara remang-remang malam telah melihat semua ini, bahkan juga sudah mengenal bayangan Dt. Rajo Penghulu bersama dengan pemimpin lainya. Tetapi dia masih belum mau bertindak karena dia masih punya harapan untuk membujuk rakyat. Lantas dia berteriak menyuruh supaya pasukan rakyat pulang kembali mengingat kekuatan kompeni cukup banyak dengan personil dan senjatanya. Dia juga mengingatkan segala kemungkinan yang bisa terjadi, sekiranya pasukan rakyat masih bermakud terus maju. Tetapi seruan itu segera pula dijawab Dt.Rajo Penghulu, pasukan rakyat tidak akan mundur setapakpun dan bersedia mati syahid.
Dalam kesimpulan salah satu laporan resmi J.Westennenk kepada Gubernur Jendral Ven Heutsz di Batavia melalui surat kawat tanggal 17 Juni 1908, disusul laporan pada Gubernur Sumatera Barat Heckler No.1012 tanggal 25 Juni 1908, dia melukiskan suasana malam itu, seumpama satu malam dimana jurang antara ras manusia dengan segala kekuasaanya, sudah tidak ada lagi. Yang ada, cuma kelompok kemarahan yang saling bertentangan di dalam diri manusia-manusia yang bertatap dengan buas melalui kerlipan bintang-bintang di langit, siap untuk saling bunuh. Dari arah segerombolan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan raya, sekali-sekali terdenar gemuruh suara Ratib dan Allahu Akbar, yang semuanya berjumlah tidak kurang dari lima ratus orang. Sedangkan beberapa orang lagi yang sedang merayap dalam padi, tidak dapat dihitung. Tapi pasti meliputi ratuan orang pula.
J.Westennenk datang mendekati Sersan Booman yang sedang mengawasi kegelapan. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Sersan Boorman yang bertugas mengawasi wilayah timur, hampir bersamaan dengan J.Westennenk mencabut pistol, ketika gelombang serbuan pertama begitu saja sudah muncul di depanya. Orang-orang itu bagai datang dari balik kegelapan disertai pekik kalimat-kalimat Tuhan yang mendirikan bulu roma. Di tangan mereka berkilauan berbagai macam senjata, mulai dari pisau, parang, lembing dan beberapa jenis senjata lainya. Dalam beberapa jam saja, terjadilah perang basosoh yang dahsyat, karena serdadu Belanda banyak yang tidak sempat menembakkan senjatanya.
Gemercing senjata, letusan senapan, jerit kesakitan dan rintih kematian memenuhi udara malam maka dalam sekejap Kampuang Tangah yang tenang itu berubah menjadi medan bangkai dan telaga darah.
Dalam laporan resmi J. Westennenk tersebut, juga dijelaskan, telah terjadi lebih dari delapan kali serangan serupa dalam waktu hampir berturut-turut dan semakin mengerikan. Ratusan orang penyerbu terus saja maju sekalipun dihujani tembakan. Kegelapan malam menyebabkan sulit bagi serdadu Belanda membidik sasaran secara tepat, sehingga sebahagian besar dari mereka yang berhasil tiba di tempat para serdadu bertahan, langsung membabat lawan bagai kesetanan. Satu demi satu prajurit Belanda tewas dengan tubuh penuh luka-luka mengerikan. Sersan Boorman tak henti-hentinya berteriak membangkitkan semangat anak buahnya yang semakin kendor. Di antara kepulan asap mesiu, Dr.Justesen kelihatan merunduk-runduk ke arah beberapa orang serdadu yang merintih akibat luka-luka yang di deritanya. Tetapi dari arah tidak kurang dari 50 meter, lagi-lagi puluhan penyerbu sudah datang pula. Kelihatan dua orang serdadu mengacungkan senjata dalam jarak beberapa langkah menyongsong mereka, namun sebelum sempat melepaskan tembakan kedua serdadu itu terjungkal di tengah kilauan senjata tajam. Perwira kesehatan Dr.Justesen dan sersan Boorman secara bersama-sama berusaha keras mencegah serdadu yang sudah mulai mundur, ketika menyaksikan seseorang penyerang membelah kepala seorang sersan. Sementara itu dari arah lain, beberapa orang penyerbu berhasil memasuki sekelompok tentara. Terdengar beberapa kali tembakan disusul jatuhnya empat orang di antara mereka. Tetapi belasan orang yang luput, langsung menghabiskan para serdadu Belanda tanpa ampun.
Demikian pada pertempuran yang berlangsung sampai pukul 2.00 dini hari itu, bintang J Westennenk sebgai pelaksana kolonial terlindung oleh bintang M. Saleh Dt. Rajo Penghulu sebagai pemuka perang. Pasukan rakyat memperoleh kemenangan gemilang lantaran semangat dan koordinasi yang tinggi. Tentara Belanda berhaisl dibuat kucar kacir. Tetapi J.Westennek sempat meloloskan diri dan minta bantuan ke Bukittinggi.
Pasukan inilah nantinya yang telah menimbulkan malapetaka terhadap pasukan rakyat, karena bertepatan fajar menyingsing merek datang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga babak kedua perang basosoh, segera meledak kembali. Akan tetapi lantaran pasukan itu terlalu banyak dan segar-segar, dilengkapi pula dengn senjata modern, akhirnya pasukan rakyat terpaksa mengundurkan diri. Dan bersamaan itu, berhentilah kegaduhan suasana perang bagai disapu dari bumi Kampung Tangah. Yang tinggal hanyalah keheningan yang ditingkah erangan suara manusia yang luka-luka di tengah desau angin dedaunan. Nun di ufuk timur, warna keemasan kelihatan menebari permukaan langit dan burung-burungpun mulai berkicau seperti hari-hari sebelumnya. Maka tercatatlah pagi itu sebagi sejarah berkabut di hati setiap bangsa Indonesia di dalam menentang kolonis Belanda.
M.Saleh Dt. Rajo Penghulu bersama lebih 70 angot pasukan rakyat, syahid sebagai pahlawan bangsa, di antaranya terdapat dua orang srikandi yaitu Siti Anisah dan siti Asiah. Selain itu yang mengalami cacat, tercatat 20 orang.
Siti Asiah
Mengenai tragedi gugurnya Siti Asiah, salah seorang penyerbu yang luput dari maut, bernama Makih Mangiang Suku Guci berasal dari dusun Solok Kamang, menceritakan kepada salah seorang anaknya yang hingga saat ini masih hidup, bahwa: Dia melihat Siti Asiah yang berada tidak jauh dari tempatnya berada, sedang istirahat setelah beberapa kali bertempur, tiba-tiba melompat bangunan, berlari dengan rambut tergerai menyerbu ke arah tiga orang serdadu Belanda yang berdiri di kegelapan. Dt. Rajo Penghulu berteriak memperingatkan, tapi wanita itu tidak peduli terantuk pada sebuah benggolan tanah pematang dan terjatuh masuk selokan. Dia berusaha bangun secepatnya tapi tahu-tahu dua orang serdadu Belanda sudah berdiri mengacungkan laras senjata ke arahnya. Dalam keadaan terlentang tak berdaya, Siti Asiah hanya mengelijang sebentar ketika salah seorang dari kedua serdadu itu memasukkan moncong senapan kemulutnya dan menarik pelatuknya. Terdengar sebuah ledakan dan terkaparlah srikandi perkasa Siti Asiah dalam sebuah wajah yang penuh keringat, namun diliputi ketenangan.
Dt.Rajo Penghulu yang sedang bertempur menghadapi dua orang Belanda, lantas berpaling dan berbalik kearah istrinya. Namun sebelum berhasil ia mencapai tubuh istrinya itu, kembali terdengar sebuah letusan senjata api. Dt. Rajo Penghulu terhuyyung-huyung beberapa langkah kemudian jatuh tepat disamping tubuh Siti Asiah dan gugur sebagai pahlawan bangsa.
Akan halanya Haji Abdul Manan, menurut buku Pemberontakan Pajak karangan Rusli Amran, beliau ditangkap Belanda keesokan harinya (16 Juni 1908) dan langsung ditembak mati dikampugn kelahiran beliau, Bansa. Jadi ibandingkan dengan 425 orang tentara Belanda yang mati maka kekalahan tragis dalam memperjuangkan hak dari kekuasaan penjajah ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa dinamika revolusi telah menumbuh suburkan kodrat yang pantas dinilai ole sejarah dunia. Dipandang secara lahir, meandang dalam satu pertempuran tidak ada batas bunuh membunuh, tapi apa yang telah ditunjukkan rakyat Kamang yang rela memilih mati daripada dijajah, jelas ikut sebagai pendorong dlaam meneruskan cita-cita perjuangan yang belum selesai. Namun dipandang dari sudut batin, kehilangan pemimpin-pemimpin yang punya semangat revolusi seperti Dt.Rajo Penghulu itu adalah pukulan yang sedikit banyaknya mempengaruhi warna perjuangan dimasa yang akan datang, karena kemauan yang mempunyai dasar yang kokoh, tidak akan pernah berhenti sebelum seluruhnya berhasl dicapai. Hal yang terakhir akan terlihat nyata dalam jalannya perjuangan rakyat Kamang dibelakang peristwia bersejarah ini.
Akhirnya semua jenazah pahlawan perang Kamang, kembali dibawah ke Kamang (Kamang Hilir sekarang) dan di makamkan di komplek Masjid Taluak, sementra beberapa orang pejuang lianya Kari Mudo, Garang Dt. Palidih, Dt. Siri Marajo, Pedeka Sumin, Dt. Manguhudun, Haji M. Amin dan lain-lain, ditangkap Belanda pada keesokan harinya. Bagi mereka yang tidak mau mengakui atau bersumpah stia kepada bendera Belanda seger dikirim ke berabgai penjara seperti penjara Padang Batavia, Magelang, Makasar, dan sebagainya. Sebagaimana diketahui, Dt.Siri Marajo akhirnya meninggal dunia di penjara glodok Batavia, sedangkan Pendeka Sumin dibuang ke Makasar dan meninggal disana. Begitu pula A. Walid Kari Mudo, setelah menjalani masa pembangunan selama 27 tahun di Makasar, dipindahkan ke Jakarta sampai beliau meninggal dunia disana pada tahun 1052.
Mengenai jumlah korban Perang Kamang yang meninggal di kedua belah pihak, ternyata kemudian banyak terdapat spekulasi angka, baik yang bersal dari statement Balanda sendiri, atau yang di muat berbagai koran setempat waktu itu seperti de Padanger, maupun berdasarkan taksiran-taksiran tidak resmi. Tetapi satu hal yang perlu dikethaui adalah bahwa Belanda dalam mengumumkan angka-angka itu sengja mengeilkan dengan alasan politik. Sedangkan jumlah yang gugur dipihak pasukan rakyat semua tercatat tujuh puluh orang (70 orang) lebih, dapat sma-sama dibuktikan di Makam Perang Kamang 1908 Taluak, yang sampai sekarang masih dirawat baik. Begitu juga mengenai 425 orng tentara Belanda yang mati, tercatat berdasarkan keterangan beberapa orang saksi mata yang ikut terjun dalam pertempuran itu (yang pada waktu penyusunan buku ini masih hidup) sesuai jumlah pedati dan ukuran tubuh manusia yang dapat dimuat didalamnya. Waktu itu pihak Belanda membawa mayat-mayat pasukanya keesokan hari dengan semacam pedati, gerobak sapi yang biasa digunakan para petani untuk membawa hasil panen.
Dalam satu revolusi memang ada yang perlu diumumkan, adapula yang hanya dibisikkan antara awak sama awak saja dan adapula yang hanya perlu disimpan sebagai rahasia. Namun dari kesimpulan uraian di atas, dapat dikatkan bahwa apa yang terjadi pada malam 15 Juni 1908 itu, adalah merupakan mata rantai usaha bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan yang perlu diumumkan. Dari sikap rakyatnya memadu alam yang kontradiktif dan sebagai dreamers akan adanya yang bebas, merdeka, secara berani yang nyaris tanpa perhitungan menentang kekuatan negara maju, dapatlah di yakini bahwa rakyat Kamang punya semangat revolusioner dan selalu siap menghadapi sebarang halangan.